Rabu, 06 Maret 2019

Kepak Sayap Kupu-Kupu

Hidup bisa berantakan, dan upaya memperbaikinya
bisa penuh kekacauan. Tapi bukan berarti kita harus hancur.
@noffret


Kalau kita punya kakak atau adik, atau bahkan saudara kembar sekali pun, kita pasti akan mendapati perbedaan antara diri kita dengan mereka. Entah perbedaan dalam selera musik, gaya hidup, penampilan, kecenderungan-kecenderungan tertentu, dan lain-lain. Tidak ada dua orang—bahkan saudara kembar pun—yang tidak punya perbedaan sama sekali. Semua orang pasti berbeda.

Perbedaan masing-masing orang bisa berupa perbedaan-perbedaan “sepele”, seperti selera musik atau selera bacaan, sampai perbedaan-perbedaan yang bersifat “prinsip” seperti gaya hidup dan cara memandang hidup.

Dalam contoh yang sepele, satu orang bisa menggemari musik jazz, sementara orang lain menggemari rock. Manakah yang lebih baik? Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, wong itu selera. Kita toh tidak bisa memaksa selera setiap orang harus sama. Justru aneh dan gila kalau kita ngotot memaksakan selera kita pada semua orang. Tak peduli kita menganggap jazz adalah genre musik terbaik, misalnya, tidak setiap orang akan bisa menerima.

Begitu pula dalam selera makanan, atau gaya penampilan. Masing-masing orang memilih yang mereka suka, dan masing-masing orang memilih yang membuat mereka nyaman. Masakan rendang mungkin nikmat bagi sebagian orang, tapi ada sebagian lain yang justru tidak doyan atau menjauhi rendang. Celana jins mungkin nyaman dipakai, tapi tidak setiap orang pasti akan sepakat.

Sampai di sini, kita melihat dan memahami bahwa setiap orang—tak peduli siapa pun—pasti punya perbedaan, dan kita bisa memaklumi, serta tidak menganggap mereka salah. Setidaknya, selama ini saya belum pernah mendengar ada orang dikafir-kafirkan hanya karena tidak doyan rendang, atau dianggap sesat hanya karena tidak suka pakai celana jins.

Tetapi, perbedaan masing-masing orang tidak sebatas itu. Ada perbedaan-perbedaan lain yang bisa dibilang lebih penting, karena terkait prinsip hidup, dan biasanya kita gagal untuk bisa menerima perbedaan. Agar yang saya maksud lebih mudah dipahami, mari gunakan contoh nyata.

Saya punya teman bernama Masruri. Dulu, dia senior saya di kampus. Masruri lahir dan tumbuh di keluarga sederhana. Ayahnya seorang guru, dan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Dia hidup di lingkungan yang agamis, sehingga juga menjadi orang yang sangat agamis—tak pernah meninggalkan ibadah, hingga dekat dengan para ustaz dan ulama.

Selama bertahun-tahun berteman dengannya, saya melihat Masruri sebagai orang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik, hingga bisa bergaul dengan siapa pun. Dia dekat dengan sesama mahasiswa, dan akrab dengan para dosen. Dia baik dengan para tetangga, dan sangat menghormati orang tua. Kemampuan (atau kepribadian) itu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang keluarganya yang memang rukun dan harmonis. Dia dibesarkan dengan baik, hingga tumbuh menjadi pribadi yang baik.

Bertahun-tahun kemudian, yakni sekarang, Masruri telah menjadi orang sukses. Dia memiliki bisnis properti, dan menjadi direkturnya. Atas kesuksesan tersebut, dia tidak cuma kaya-raya, tapi juga sering menjadi pembicara di acara-acara bisnis. Perjalanan ke arah itu butuh perjuangan dan kerja keras yang luar biasa. Tapi yang jelas, dia sekarang sukses. Dan Masruri masih menjadi pribadi yang sama seperti sekian tahun lalu, yakni ramah pada siapa pun, rajin beribadah, dan sangat menghormati orang tuanya.

Jika kita bertanya kepadanya, apa rahasia suksesnya, Masruri akan menjawab kira-kira begini, “Pertama, dekatkan dirimu pada Tuhan. Rajinlah beribadah dan berdoa, karena kesuksesan datang dari Tuhan. Kedua, dapatkan ridha (restu) orang tuamu, karena ridha orang tua adalah ridha Tuhan. Mendapatkan ridha orang tua akan meluruskan jalanmu menuju kesuksesan.”

Apakah nasihat itu salah? Tentu saja tidak! Yang dikatakan Masruri itu benar. Rajinlah beribadah dan berdoa, karena kesuksesan hakikatnya datang dari Tuhan. Dan hormatilah orang tuamu, dapatkan ridha mereka. Karena ridha orang tua menjadi ridha Tuhan. Itu kebenaran yang sulit disangkal, khususnya bagi orang-orang beragama.

Tetapi, jangan lupa. Masruri bisa memiliki keyakinan semacam itu—dan bisa memberi nasihat semacam itu—karena latar belakangnya membentuknya untuk berpikir begitu. Seperti yang disebut tadi, dia tumbuh dalam keluarga harmonis, dibesarkan orang tua yang baik, dan dia hidup di lingkungan yang agamis. Semua itu, mau tak mau—disadari atau tidak—ikut membentuk dirinya.

Saat saya menulis catatan ini, Masruri sudah menikah dan punya anak-anak. Dia telah—meminjam istilah populer—“menjadi orang”, dalam arti bisa mencapai kesuksesan dan materi, memiliki keluarga yang lengkap, serta terpandang di kalangan masyarakat.

Sekarang, mari lihat teman saya yang lain.

Iwan adalah teman saya yang kini juga sukses. Iwan menjadi jurnalis internasional, yang tidak hanya membuat dia hidup nyaman, tapi juga memungkinkannya keliling dunia—keluyuran dari satu negara ke negara lain—semudah kita keluar masuk mal. Dia yang sekarang adalah dia yang seratus delapan puluh derajat berbeda, dengan dia yang dulu.

Bertahun-tahun lalu, Iwan bukan siapa-siapa. Dia anak terbuang yang saban hari dianiaya orang tuanya. Lahir dan tumbuh dalam keluarga miskin, membuat Iwan sudah kenyang penderitaan sejak masih dini. Orang tuanya sangat agamis, tapi perilaku mereka terhadap anak-anaknya sangat kejam, karena mungkin frustrasi menghadapi kemiskinan dan beratnya hidup.

Jadi, Iwan tidak hanya menghadapi hidup yang berat, tapi juga perlakuan orang tua yang—meminjam istilah yang digunakannya—“merusak diriku luar dalam”. Pada titik semacam itu, Iwan sejak dulu menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang bisa ia andalkan, selain dirinya sendiri.

“Aku tidak tahu seperti apa wujud iblis,” kata Iwan dengan amarah dan luka. “Tapi aku berpikir bahwa orang tuaku adalah iblis sesungguhnya.”

“Orang-orang mengatakan agar kita menghormati orang tua,” lanjut Iwan, masih dengan amarah dan luka, “tapi bagaimana aku bisa menghormati orang yang telah melahirkanku hanya untuk mengutuki hidup dan menyesali kelahiranku?”

Mendengar seseorang mengatakan kalimat sejujur dan seluka itu, bisakah kita membayangkan perlakuan buruk macam apa yang ia derita, yang ditimpakan orang tua kepadanya?

Iwan tidak percaya pada Tuhan atau agama—juga tidak percaya pada orang tuanya. Ayah-ibunya sangat taat pada Tuhan, tapi mereka menjalani kehidupan miskin yang mengubah mereka menjadi pribadi mengerikan. Orang tuanya sangat agamis, tapi mereka menjadi orang tua yang buruk, yang sering menyiksa anak-anaknya. Sejak dulu, Iwan adalah pribadi murung bermuka serius.

Karena kesadaran bahwa dia tidak bisa mengandalkan siapa pun selain diri sendiri, Iwan pun membentuk dirinya sendiri, dan memacu dirinya sendiri. Dia belajar sangat keras, dan bekerja sangat keras. Hasilnya, dia bisa mendapat beasiswa kuliah sampai S2. Kemampuannya dalam menulis dan presentasi, membuatnya memperoleh pekerjaan yang sampai sekarang ia jalani.

Ketika Iwan mulai kuliah, orang tuanya menentang. Mereka lebih ingin Iwan bekerja di pabrik, agar bisa segera mendapat penghasilan, agar bisa membantu ekonomi keluarga. Ketika Iwan bekerja sebagai jurnalis, lagi-lagi orang tuanya menentang. Mereka lebih ingin Iwan bekerja di kantor, dengan gaji jelas, agar bisa diandalkan dan dibanggakan.

Keinginan orang tuanya, menurut Iwan, “benar-benar khas orang miskin-terbelakang yang memandang anak-anaknya sebagai investasi! Mereka merasa telah melahirkan dan membesarkan, dan sekarang mereka ingin balik modal!”

Bertahun-tahun kemudian, yakni sekarang, kepribadian Iwan tak jauh beda dengan Iwan yang dulu. Bertampang murung dan serius, sangat mandiri, serta berusaha menjauh—atau menjaga jarak—dari orang tuanya. Di luar itu, dia dikagumi teman-temannya, karena dianggap telah mencapai sesuatu yang mustahil bagi kebanyakan orang.

Jika kita bertanya pada Iwan mengenai resep kesuksesan, dia akan menjawab kira-kira begini, “Pertama, pahamilah bahwa satu-satunya orang yang bisa diandalkan di dunia ini adalah dirimu sendiri. Kau tidak bisa mengandalkan siapa pun—termasuk orang tuamu—karena takdirmu ada di tanganmu. Kedua, setelah menyadari bahwa kau hanya bisa mengandalkan diri sendiri, kau harus belajar dan bekerja, jauh lebih keras dari siapa pun.”

Apakah nasihat itu salah? Tentu saja tidak! Yang dikatakan Iwan itu benar. Kita harus membangun hidup dengan usaha dan upaya sendiri, karena nyatanya takdir setiap orang ada di tangannya sendiri. Bahkan jika seseorang ditakdirkan sebagai orang hebat sekali pun, takdir itu akan hilang jika orang bersangkutan tidak melakukan usaha dan upaya apa pun. Itu kebenaran yang sulit disangkal, tak peduli kau orang beragama atau tidak beragama.

Dan, jangan lupa. Iwan bisa memiliki keyakinan semacam itu—dan bisa memberi nasihat semacam itu—karena latar belakangnya membentuknya untuk berpikir begitu. Seperti yang disebut tadi, dia tumbuh dalam keluarga miskin, dibesarkan oleh orang tua yang buruk, hingga dia hidup dengan keyakinan tidak bisa mengandalkan siapa pun selain dirinya. Semua itu, mau tak mau—disadari atau tidak—ikut membentuk dirinya.

Kita lihat? Setiap orang memiliki perbedaan, tidak hanya dalam selera musik atau cara berpenampilan, tapi juga sampai pada prinsip hidup serta hal-hal yang mereka yakini. Karena nyatanya setiap orang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan dan pengalaman hidupnya. Membicarakan prinsip orang per orang, sama artinya membicarakan kehidupan mereka seutuhnya. Kita tidak bisa menilai orang hanya dari hal-hal yang ia percaya, tanpa melihat latar belakang kehidupannya.

Jadi, berdasarkan contoh Masruri dan Iwan yang saya ceritakan, manakah yang lebih baik? Bagi saya, tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, karena begitulah manusia tumbuh, seperti itulah kepercayaan terbentuk, dan dengan cara itulah prinsip hidup masing-masing orang terwujud. Sekali lagi, kita tidak bisa melepaskan orang dari pengalaman dan kehidupan yang mereka jalani, karena pengalaman dan kehidupan itulah yang membentuk mereka.

Karenanya, akan sangat bermasalah, kalau kita memaksakan sesuatu kepada orang lain, semata-mata karena kita menganggapnya benar. Karena yang “benar” bagi kita, tidak pernah terjamin benar pula bagi orang lain.

Masruri—atau orang-orang seperti Masruri—benar dengan kepercayaan mereka sendiri, karena kehidupan yang dijalani membentuk mereka untuk berpikir seperti itu. Tapi yang benar menurut mereka bisa menjadi masalah ketika dipaksakan kepada Iwan, atau orang-orang seperti Iwan. Karena nyatanya masing-masing orang punya jalan hidup dan pengalaman berbeda, yang membentuk keyakinan serta cara pandang mereka.

Dalam menjalani kehidupan—termasuk cara memandang hidup, upaya mencapai kesuksesan, sampai perkawinan dan kepemilikan anak—masing-masing orang punya pandangan sendiri, yang dibentuk oleh latar belakang mereka sejak kecil.

Masruri pasti sangat yakin bahwa menikah akan membuat bahagia, dan punya anak-anak akan melancarkan rezeki. Sama yakinnya bahwa kunci sukses adalah menghormati orang tua serta rajin berdoa. Kenapa? Karena jalan hidupnya membentuk dia berpikir seperti itu, dan kenyataannya dia memang menjalani kehidupan semacam itu.

Tapi akan bermasalah, jika—misalnya—Masruri memaksakan kepercayaan pribadinya terhadap Iwan, atau orang-orang semacam Iwan.

Berdasarkan pengakuannya sendiri, Iwan mengatakan, “Setiap kali mendengar kata perkawinan, yang terbayang dalam benakku adalah kehidupan orang tuaku yang menyedihkan. Perkawinan membuat bahagia? Itu benar-benar kebohongan yang mengerikan. Punya anak akan melancarkan rezeki? Orang tuaku punya banyak anak, tapi kehidupan kami keblangsak!”

Begitu pula terkait hal-hal lain. “Menghormati orang tua” mungkin terdengar mudah, bahkan mulia, khususnya bagi orang-orang yang punya orang tua baik, yang membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih. Sayangnya, tidak semua orang tua pasti baik. Sebagian mereka adalah orang tua buruk, yang membuat anak-anaknya sangat membenci dan berusaha menjauh.

Karenanya, sungguh lucu dan sia-sia memaksakan keyakinan pribadi kepada orang lain, karena nyatanya setiap manusia memang berbeda. Lebih dari itu, masalah kita sebenarnya bukan perbedaan—karena itu mutlak terjadi—melainkan cara kita dalam menghadapi perbedaan. Kita tidak bisa menghilangkan perbedaan, yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki sikap kita dalam menghadapi perbedaan.

Manusia lahir dan tumbuh, untuk kemudian hidup, seperti kupu-kupu. Sama-sama berasal dari ulat, sama-sama tumbuh dalam kepompong, tapi mereka kemudian menjelma dengan sayap warna-warni, dan tidak ada satu pun dari mereka yang serupa.

Dan kupu-kupu tidak pernah mempermasalahkan perbedaan yang ada. Mereka mengepakkan sayap dalam hening, menjalani kehidupan dengan damai... dan menyimpan luka, kesedihan, serta tangis dalam sunyi.

 
;