Senin, 11 Maret 2019

Merpati yang Ingkar Janji

Terbang tinggi bukan hal sulit.
Yang sulit adalah tetap menapak bumi, sementara kau tahu
betapa nikmatnya terbang tinggi.
@noffret


“Aku akan membuatmu berdarah, bangsat!” Dan dia melakukannya.

Kelak, pertarungan pertama di jalanan itu mengantarkannya menjadi petarung tangguh dan paling ditakuti di dunia. Tapi jalan takdir tak pernah bisa diduga. Ia bisa mengantarmu menjadi seorang juara, juga bisa menghancurkanmu dengan cara paling brutal.

Tumbuh sebagai anak miskin dengan orang tua tunggal, Michael Gerard Tyson adalah sosok pendiam. Dia tidak sempat mengenal ayahnya, karena sang ayah pergi saat Tyson berusia 2 tahun. Sang ibu, Lorna Smith, sendirian membesarkan Tyson, dan bocah itu tumbuh menjadi anak yang suka mengurung diri di rumah. Dia tak punya teman. Sementara lingkungan tempat tinggalnya, Brooklyn, dikenal sebagai tempat yang keras. Bocah itu pun lebih senang tinggal di rumah.

Karena tidak memiliki teman, dia biasa menghibur diri dengan berkunjung ke Taman Kota Brownsville, yang tak jauh dari rumahnya. Di taman itu ada banyak burung merpati berkerumun, dan dia senang menyaksikan mereka. Bagi Tyson, waktu itu, merpati adalah makhluk lembut yang ajaib.

Karena ketertarikannya pula, Tyson mengumpulkan uang untuk membeli seekor merpati. Ia merawat merpati miliknya dengan penuh sayang, dan itulah satu-satunya teman yang ia miliki. Ia rajin memberinya makan, memandikannya, bersamain-main, dan bersenda gurau dengannya. Hidup Tyson waktu itu hanya sebatas dengan burung merpati.

Suatu hari, dia terkejut mendapati merpati kesayangannya hilang, tak ada lagi di sangkar. Ketika mencoba mencari, yang ia dapati sungguh mengerikan.

Di Brooklyn, seperti umumnya di lingkungan keras lain, ada bocah-bocah yang tumbuh menjadi berandal. Bocah-bocah itu senang mencari gara-gara, dari mencorat-coret tembok, menghancurkan kaca mobil tetangga, melempari rumah, sampai menantang berkelahi siapa pun. Salah satu berandal di sana tahu, Tyson memelihara merpati dan menyayangi burung itu. Jadi, si berandal mengerjai Tyson, ingin melihatnya menangis.

Ketika Tyson sedang bingung di halaman rumah mencari merpati kesayangannya, berandal itu memanggil Tyson, dan berkata, “Lihat ini!”

Tyson menatap berandal di depan halaman rumahnya. Si berandal memegangi merpati yang ia cari-cari. Kemudian, dengan dingin, bocah berandal itu memelintir kepala merpati milik Tyson, lalu melemparkannya ke halaman rumah, di depan Tyson berdiri.

Tyson terpana menyaksikan merpati kesayangannya tergeletak menjadi bangkai, sementara si berandal tertawa-tawa. Setelah sadar dari keterkejutan, Tyson menatap berandal di depan rumahnya, dan merasakan darah di tubuhnya membakar murka.

“Aku akan membuatmu berdarah, bangsat!” ujarnya. Dan itulah yang kemudian ia lakukan.

Waktu itu, Tyson berusia 11 tahun, dengan tubuh ramping. Lawannya, si berandal yang membunuh merpatinya, berusia lebih tua dengan tubuh dua kali lipat lebih besar. Tapi amarah menyulut adrenalin, dan adrenalin yang mengalir deras bisa membuat siapa pun memiliki kekuatan super. Tyson, si bocah rumahan, waktu itu telah berubah menjadi monster.

Dengan amarah membara, Tyson mendekati si berandal, lalu menghajarnya tanpa ampun. Si berandal, yang mungkin tak mengira akan menghadapi serangan Tyson, tergagap dan tak mampu menyelamatkan diri dari hantaman bertubi-tubi yang datang. Dia terkapar, dengan muka berdarah-darah.

Pertarungan itu ditonton banyak orang—berandal-berandal di Brooklyn—dan mereka menyaksikan berandal kawan mereka babak belur. Sejak itu, mereka menilai Tyson dengan pandangan berubah.

Sejak itu pula, hidup Tyson ikut berubah. Anak rumahan yang semula hanya berteman merpati, berubah menjadi anak jalanan yang akrab dengan geng berandal. Dia berkelahi setiap hari, mencari masalah setiap pekan. Sejak itu, hidupnya hanya ada di dua tempat—di jalanan, dan di penjara. Sebelum berumur 13 tahun, Michael Gerard Tyson, yang akrab dipanggil Mike Tyson, telah ditangkap polisi 38 kali.

Lorna Smith, sang ibu, khawatir dengan perkembangan Tyson yang makin liar. Karena kekhawatiran pula, ia mengirim Tyson ke sekolah-asrama Tryon School for Boys di Johnstown, New York. Sekolah itu menampung banyak anak berandalan, dan memiliki banyak pilihan ekstrakurikuler. Tyson memilih tinju sebagai kegiatan ekstrakurikulernya.

Kelas tinju di sekolah itu dilatih oleh Bobby Stewart, seorang mantan petinju. Begitu melihat Tyson, Bobby segera mengenali bakatnya. Ia lalu mengenalkan Tyson pada pelatih tinju legendaris, Cus D’Amato. Kelak, lewat orang inilah Tyson akan menjadi petinju paling terkenal di dunia, dan orang-orang menjulukinya Si Leher Beton.

Tapi perjalanan ke sana masih panjang.

Dari Tryon School for Boys di Johnstown, New York, Mike Tyson dipindahkan ke sasana tinju milik D’Amato, di Catskill Boxing Club. Tempat itu menjadi Kawah  Candradimuka bagi Tyson. Di sana, Cus D’Amato bersama asistennya, Kevin Rooney, membentuk ulang Mike Tyson, si bengal dari Brooklyn, untuk menjadi petarung yang tangguh di atas ring.

Cus D’Amato bukan hanya melatih Tyson dalam urusan bertinju, tapi juga menanamkan kedisiplinan, melatihnya mengendalikan diri, mengajari bagaimana menjadi pemenang.

“Ingatlah ini,” kata D ‘Amato berulang-ulang, “disiplin, kendalikan diri, dan jadilah pemenang!”

Mike Tyson berjanji akan mengingatnya.

Tiga resep itu kelak terbukti mampu mengantarkan Tyson menjadi pemenang sesungguhnya—sang petarung paling ditakuti di dunia—yang bisa menjatuhkan lawan mana pun hanya dalam hitungan detik!

Kelak, bertahun-tahun kemudian, Mike Tyson mengenang D’Amato sebagai guru yang luar biasa. “Dia menghancurkan hidup saya,” ujar Tyson, “tapi juga membangunnya kembali.”

Ketika Tyson sedang berlatih keras di bawah bimbingan D’Amato, ibunya sedang sakit keras. Sejak lama, Lorna Smith berjuang menghadapi kanker yang menggerogoti tubuhnya, dan Tyson selalu berharap ibunya mampu melewati masa-masa berat itu. Ia ingin menunjukkan pada ibunya, bahwa anaknya yang bengal bisa menjadi orang yang patut dibanggakan.

Tetapi, harapan Tyson tak terkabul. Sebelum ia sempat memulai karier sebagai petinju profesional, ibunya meninggal.

Sepeninggal sang ibu, Cus D’Amato menjadi wali bagi Tyson. Ia tidak lagi hanya menjadi pelatih, tapi juga menjadi ayah bagi bocah itu. Sayang, D’Amato meninggal, tak lama setelah ibu Tyson wafat. Setelah D’Amato meninggal, Tyson dilatih Kevin Rooney, yang semula menjadi asisten D’Amato. Sama seperti sebelumnya, Tyson terus berlatih keras di bawah bimbingan Rooney.

Akhirnya, pada 1984, ketika berusia 18 tahun, Mike Tyson memulai debut tinju profesional.

Bocah berandal dari Brooklyn itu menghadapi Hector Mercedes sebagai lawan pertama di ring. Tyson mampu menganvaskan lawannya di ronde pertama. Mengalahkan Hector Mercedes membuka jalan bagi Tyson untuk menghadapi lawan-lawan berikutnya. Dan kemenangan demi kemenangan terus ia raih. Hampir semua lawan tersungkur KO. Mike Tyson, si bocah rumahan, berandal bengal, kini mulai dikenal sebagai juara.

Lalu tiba 1986, dan usia Tyson 20 tahun. Itu menjadi waktu penting bagi Tyson, karena ia harus berhadapan dengan Trevor Berbick, juara kelas berat versi WBC. Waktu itu, Berbick bertubuh lebih besar dari Tyson. Tapi Tyson bisa merobohkan sang juara di ronde kedua, sekaligus mencatatkan diri sebagai petinju termuda dalam sejarah, yang berhasil meraih sabuk juara kelas berat dunia. Ia meraihnya dalam usia 20 tahun, 4 bulan, 22 hari.

Sejak itu, para petinju lain mulai ketakutan.

Pada 1987, Tyson memukul KO James Smith, pemegang sabuk kelas berat WBA. Lima bulan kemudian, Tyson menjadi petinju pertama yang berhasil menyatukan seluruh gelar tinju kelas berat, setelah mengalahkan Tony Tucker, pemegang sabuk IBF. Tyson kemudian dikenal sebagai Raja KO. Selama itu, dia berhasil menang 28 kali, dan 26 di antaranya menang dengan KO atau TKO. Dari sejumlah pertarungan, 16 di antaranya menang KO di ronde pertama.

Setelah mengalahkan semua jawara di kelas berat, Tyson kemudian menghadapi para petinju yang mengincar gelar-gelar miliknya. Dari wajah-wajah baru sampai para jawara tua. Dan mereka semua menghadapi nasib sama; jatuh hanya dalam beberapa detik. Bahkan mantan juara kelas berat dunia, Larry Holmes, tersungkur di ronde keempat. Leonel Spinks jatuh dan tak bangun lagi, hanya dalam tempo 91 detik.

Kegarangan Tyson, yang kini dijuluki Si Leher Beton, terus mendunia. Resep Cus D’ Amato terbukti. “Disiplin, kendalikan diri, dan jadilah juara!”

Tetapi, rupanya, Mike Tyson mulai melupakan wasiat penting pelatihnya. Setelah berhasil mengalahkan para juara—dari yang paling terkenal sampai yang tidak dikenal—Tyson mungkin merasa tak terkalahkan. Disiplin dan pengendalian dirinya mulai mengendur. Hal itu diperparah oleh kedekatannya dengan Don King, promotor flamboyan yang gemar pesta. Sejak itu, banyak kalangan menyebut gaya hidup Tyson berubah.

Mike Tyson, yang semula sangat disiplin berlatih, kini mulai doyan pesta, dan sering tidak datang ke sasana latihan. Hubungannya dengan Kevin Rooney, sang pelatih, menjadi tegang. Rooney, sebagaimana D’Amato, adalah pelatih yang baik, sabar, sekaligus keras. Dia ingin Tyson tetap disiplin berlatih seperti dulu. Tapi rupanya Tyson lebih menyukai berpesta dengan Don King.

Hubungan Tyson dengan Rooney semakin menegang, dan puncak perseteruan mereka terjadi pada 1988. Tyson memecat Kevin Rooney tanpa sebab, dan pelatih yang telah susah-payah membentuk Tyson menjadi juara itu akhirnya pergi.

Setelah Rooney pergi, kehidupan Tyson makin liar. Tak ada lagi orang sesabar Rooney yang mengingatkan kedisiplinan dalam hidup, juga di atas ring. Sejak itu, Tyson kembali bengal. Rajin mabuk di pesta-pesta, dan melupakan latihan. Selama masa-masa itu pula, Tyson menghambur-hamburkan uangnya yang mungkin ia pikir tak akan habis. Dia membeli permata untuk cewek-ceweknya, semudah orang lain membeli es krim.

Badai kemudian datang melalui pukulan bertubi-tubi yang dilancarkan James Buster Douglas. Februari 1990, James Douglas sebenarnya bukan siapa-siapa, khususnya jika dibandingkan Mike Tyson. Tetapi, dalam pertarungan mereka di Jepang, Douglas mampu menghajar Tyson dengan hook beruntun, hingga Tyson kewalahan.

Douglas memang sempat sempoyongan, dan jatuh ke kanvas, setelah mendapat upper cut kanan Tyson yang mematikan. Tapi dia bangkit lagi. Bahkan, seperti dapat mengukur daya pukulan Tyson, Douglas kemudian tampil lebih impresif. Kali ini dia tahu bagaimana menghadapi Si Leher Beton, dan Douglas melancarkan hook kanan yang tak kalah mematikan, hingga Tyson jatuh mencium kanvas di ronde 10.

Itu menjadi sejarah penting di dunia tinju, bahwa Mike Tyson, Si Leher Beton, bisa dikalahkan.

Memang, dalam pertarungan ulang, Mike Tyson kemudian membalas dendam dengan memukul KO Douglas. Tapi pertarungan melawan Douglas—yang sempat menjatuhkannya—perlahan mulai meruntuhkan kedigdayaan Tyson. Si Raja KO itu bisa tersungkur, bahkan oleh pendatang baru.

Maka para penantang pun mulai berani.

Seharusnya, itu menjadi masa kritis yang membuat Tyson menyadari kesalahannya. Tapi tidak. Dia tidak segera memperbaiki kelemahan utamanya, yaitu kedisiplinan. Tanpa kedisiplinan, seorang juara pun akan kalah. Tapi Tyson sudah melupakan wasiat penting pelatihnya. Bukannya kembali ke sasana latihan untuk membentuk kedisplinan diri, dia malah makin liar di pesta-pesta, dan kehidupannya makin tak terkendali.

Puncaknya terjadi pada 1991, ketika dia ditangkap karena memperkosa ratu kecantikan dari Rhode Island, Desiree Washington. Insiden itu terjadi di Indianapolis. Tyson kemudian dijatuhi hukuman penjara enam tahun.

Di penjara, jauh dari ingar-bingar pesta, Tyson mulai memiliki waktu untuk berpikir, untuk merenung, dan dia mulai mengenali dirinya sendiri yang kini telah jauh berubah. Di penjara itu pula dia mempelajari kehidupan petinju idolanya, Muhammad Ali, hingga terinspirasi memeluk Islam seperti sang idola. Mike Tyson lalu mengubah namanya menjadi Malik Abdul Aziz.

Tiga tahun kemudian, karena dinilai berkelakuan baik, Mike Tyson dibebaskan dari penjara.

Waktu itu, Tyson bertekad untuk kembali menjadi dirinya yang dulu, yang disiplin, yang berlatih keras, dan yang mampu mengendalikan diri. Bersama tekadnya pula, Mike Tyson berhasil merebut gelar WBC dan WBA dengan memukul KO Frank Bruno dan Bruce Seldon. Namanya kembali gemilang di dunia tinju.

Tapi insiden tak terduga muncul, ketika ia berhadapan dengan Evander Holyfield, petinju yang telah lama menunggu giliran bertarung melawan Tyson. Pada 9 November 1996, Evander Holyfield memanfaatkan kesempatannya bertarung dengan Tyson, dan dia melancarkan pukulan bertubi-tubi, nyaris tanpa henti. Dia pasti telah melatih gerakan itu bertahun-tahun.

Menghadapi amukan Holyfield, Tyson seperti orang kebingungan, dan wasit menghentikan pertandingan. Mike Tyson kalah TKO, dan dia kehilangan gelar WBA.

Pertandingan ulang dilakukan, dan Tyson kembali berhadapan dengan Holyfield. Tapi pertandingan itu dinyatakan batal, karena Tyson menggigit telinga Holyfield. Atas perbuatannya, Tyson berdalih kesal karena kepala Holyfield terus membentur dahinya tanpa dihentikan wasit. Apa pun, yang jelas sejak itu Tyson jadi bahan olok-olok di dunia tinju.

Setelah cukup lama menghilang usai kalah dengan Evander Holyfield, Tyson muncul kembali pada 2002, ketika usianya 35. Tidak ada yang tahu apakah selama menghilang itu Tyson kembali berlatih dengan disiplin atau tidak. Yang jelas, saat bertarung melawan Lennox Lewis, Tyson kalah TKO. Empat tahun kemudian, pada 2006, Tyson akhirnya mengundurkan diri dari dunia tinju, setelah kalah KO dari Danny Williams dan Kevin McBride—dua petinju yang tak dikenal dunia.

Apa yang terjadi setelah itu?

Jawabannya ironi. Mike Tyson, yang semula menjadi petinju paling ditakuti di dunia, sang juara tak terkalahkan, berubah menjadi gembel jalanan tanpa uang, tanpa kebanggaan.

Selama berkarier di dunia tinju, Tyson sebenarnya telah mendapatkan uang dalam jumlah luar biasa. Setidaknya, dia telah meraup U$400 juta dolar, atau lebih dari Rp4 triliun. Dia dibayar sangat mahal untuk beraksi di atas ring. Pada masa kejayaannya, dia bahkan dibayar U$30 juta dolar atau sekitar Rp300 miliar untuk satu pertarungan.

Dengan kekayaan yang luar biasa itulah, Tyson terlena dan mabuk dalam banyak pesta, hingga melupakan kedisiplinan—wasiat penting D’Amato—yang menjadi kunci kesuksesannya. Dengan uang berlimpah, Tyson menikmati kehidupan glamor, memanjakan diri dengan pesta dan cewek-cewek. Tidak ada lagi latihan, tidak ada lagi kedisiplinan, tidak ada lagi kemampuan mengendalikan diri.

Saat sang pemenang melepaskan resep kemenangannya, dia sedang mengubah diri menjadi pecundang. Tapi Tyson tidak menyadari. Dan tidak ada yang menyadarkannya. Cus D’Amato, wali sekaligus pelatihnya, telah wafat. Sementara Rooney, pelatihnya yang sabar, telah ia pecat. Sendirian, Mike Tyson terlena oleh uang dan kekayaan, dan pesta, dan para wanita. 

Akhirnya, pada 22 Desember 2003, Mike Tyson menyatakan kebangkrutannya di Pengadilan Kebangkrutan Amerika Serikat, di Manhattan.

The New York Times melaporkan, Tyson memiliki utang U$23 juta dolar (lebih dari Rp200 miliar). Ia juga memiliki utang pajak di Amerika Serikat dan Inggris sebesar U$17 juta dolar (lebih dari Rp170 miliar). Tyson juga punya utang biaya pelayanan limousine, sejumlah U$300 ribu dolar (lebih dari Rp3 miliar), sementara beberapa utang lain mencapai U$750 ribu dolar (lebih dari Rp7 miliar).

“Saya benar-benar sudah melarat,” ujar Tyson kepada Times waktu itu.

Tidak hanya melarat dan kehabisan uang, Mike Tyson juga dikabarkan menjadi gembel. Pada 2004, berbagai forum internet ramai memberitakan Tyson yang hidup luntang-lantung tanpa rumah. Seluruh asetnya habis untuk membayar utang.

Dalam kehidupannya sebagai gembel waktu itu, mungkin sesekali Mike Tyson kembali ke Taman Kota Brownsville, menyaksikan burung-burung merpati di sana, seperti saat ia kecil dulu. Burung-burung merpati itu telah menjadi inspirasinya, jalannya menjadi petinju terkenal dunia, saat ia selalu menepati janji pada sang pelatih untuk disiplin, mengendalikan diri, dan menjadi pemenang.

Tetapi, tak seperti merpati, Tyson lupa memegang janji.

 
;