Selalu menyenangkan bertemu teman lama.
Rasanya seperti membuka kembali album masa lalu
yang lusuh dan berdebu, tapi penuh kenangan.
—@noffret
Rasanya seperti membuka kembali album masa lalu
yang lusuh dan berdebu, tapi penuh kenangan.
—@noffret
—untuk seorang teman
Saya punya seorang teman yang baik sekaligus unik, bernama Budi. Lengkapnya Budi Prasetya. Dia memiliki pembawaan yang selalu ceria, mudah tertawa, hingga siapa pun yang berdekatan dengannya ikut ceria. Saya termasuk salah satu teman yang senang mengobrol dengannya, karena bisa tertular energi keceriaan yang dimilikinya.
Dia hampir selalu mampu mengubah apa pun menjadi sesuatu yang bisa ditertawakan, dan “keahlian” itu juga menular ke teman-temannya, termasuk saya. Entah kenapa, humor paling garing sekali pun bisa menjadi sesuatu yang mampu membuat kami tertawa-tawa gila jika dinikmati bersama Budi.
Bertahun-tahun lalu, misalnya, kami—Budi, saya, dan beberapa teman yang masih sama-sama ABG—pernah berkumpul dan mengobrol bareng. Waktu itu lagi ngetren pijer (pager), sarana komunikasi sebelum ada ponsel. Kami pun asyik membicarakan pijer, meski sama-sama tidak memakainya. Boro-boro dolanan pijer, waktu itu gimbot (game watch) pun kami tidak punya.
Di sela-sela percakapan, saya sempat nyeletuk, “Pijer makan tanaman.”
Celetukan itu mungkin garing. Tetapi Budi seketika ngakak sejadi-jadinya. Dia bahkan sampai tertawa-tawa lama, hingga kami semua ikut terpengaruh tawanya. Kebiasaan ngakak sejadi-jadinya itu memang ciri khas Budi. Dia seperti punya impuls tawa yang sangat peka, hingga mendengar kelucuan yang paling absurd pun akan membuatnya tertawa-tawa gila.
Bahkan, sejak itu, setiap kali di antara kami ada yang menyebut “pijer” saja, Budi akan tertawa-tawa gila, karena teringat “pijer makan tanaman”.
Dengan kebiasaannya yang mudah tertawa seperti itu, Budi pun menjadi sosok populer—di kalangan teman-teman, maupun di lingkungan tetangga tempatnya tinggal. Orang-orang selalu senang mengobrol dengannya, karena tertular keceriaannya.
Selain kebiasaannya yang ceria dan mudah tertawa, Budi juga punya keunikan lain. Meski namanya Budi Prasetya, dia sangat jarang—bahkan hampir tidak pernah—menulis namanya secara lengkap, kecuali jika memang diwajibkan. Kapan pun dia harus mengisi nama, misal mengisi buku tamu ketika menghadiri acara resepsi, dia akan menulis namanya “Budi P”. Huruf P di situ tentu singkatan “Prasetya”.
Yang agak “bermasalah”, dia sering menulis nama “Budi P” dengan jarak (spasi) yang sangat dekat, sehingga “Budi” dan “P” terkesan menempel. Selain itu, Budi juga selalu menulis “P” pada namanya dengan “p” (huruf kecil). Akibatnya, jika dilihat sekilas, nama “Budi P” akan terbaca “Budip”.
Semula, saya tidak menyadari kenyataan itu, meski sudah sering melihatnya. Saya pikir itu bukan masalah, toh saya tahu kalau itu maksudnya “Budi P” yang artinya “Budi Prasetya”. Jadi, meski sudah melihat nama itu berkali-kali, saya sama sekali tidak punya perhatian apa pun.
Sampai suatu hari, kelucuan yang sangat aneh terjadi.
Waktu itu, saya dan Budi mengikuti suatu pelatihan. Ada sekitar 20 orang dalam kelas, dan salah satu instruktur dalam acara itu seorang pria bule. Waktu acara akan dimulai, masing-masing peserta pelatihan diminta mengisi absensi seperti di ruang kuliah. Kami diminta mengisi nama serta tanda tangan di kolom yang disediakan.
Saya duduk berdampingan dengan Budi, waktu itu. Ketika melihatnya mengisi lembar absensi, saya lihat dia menulis namanya seperti biasa, dengan “Budi” dan “p” yang sekilas terbaca “Budip”.
Setelah semua peserta mengisikan nama di lembar absensi, instruktur bule lalu mengabsen satu per satu nama-nama kami. Tujuannya agar dia bisa mengenali siapa bernama siapa, sehingga bisa menyapa dengan akrab.
Instruktur bule itu tampak ramah. Dia menyebut nama di lembar absensi satu per satu, dan nama yang disebut mengacungkan tangan. Lalu si bule akan menyapa dengan hangat, serta mengatakan beberapa hal yang menyenangkan. Sampai tiba giliran Budi. Sesaat, instruktur bule mencermati lembaran absensi di tangannya, lalu dengan agak ragu menyebut, “Budip.”
Memahami namanya disebut, Budi pun mengacungkan tangan.
Instruktur bule menengok ke arahnya, dan memastikan, “Budip, huh?”
Budi hanya menjawab, “Yes, Sir.”
Si bule sepertinya terkesan dengan nama itu, hingga menyebutnya berkali-kali. Dia lalu berkata dengan hangat, “Saya sangat menyukai namamu, Budip. Unik, dan saya baru pertama kali menemukannya.”
Selama si bule menyebut-nyebut “Budip”, saya mati-matian menahan tawa. Nama itu saja—Budip—bagi saya sudah lucu. Dan ketika nama itu diucapkan lidah bule, kedengarannya semakin lucu. Tapi saya tidak mungkin tertawa-tawa gila di sana, jadi saya mati-matian menahan tawa, dan berusaha tetap menampilkan wajah serius.
Saya tidak tahu apakah Budi juga menganggap hal itu lucu. Yang jelas, dia tetap menampilkan muka lempeng, dan sama sekali tidak memperdengarkan cekikikan sedikit pun.
Setelah acara perkenalan selesai, instruktur bule mulai menjelaskan materi yang perlu kami pelajari. Dia menyampaikan materinya dengan baik, dengan sikap hangat seperti yang ia tunjukkan sejak awal. Di sela-sela memberikan materi, dia selalu menyempatkan untuk menyapa atau menyebut nama-nama kami, hingga kami terus fokus pada yang disampaikannya.
Mungkin karena sejak awal sudah terkesan pada nama “Budip”, si bule juga menyapa serta menyebut nama itu lebih banyak dari yang lain. Dan setiap kali si bule menyebut “Budip”, setiap kali pula saya mati-matian menahan tawa.
Materi si bule berlangsung sekitar 2 jam. Setelah itu, para peserta disodori lembar soal, yang isinya kira-kira seperti tes esai, dan berkaitan dengan penjelasan instruktur bule tadi. Ada 12 soal di lembar itu, dan jawabannya ditulis di lembar tersendiri yang banyaknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing peserta dalam memberi jawaban.
Jadi, mula-mula kami hanya diberi selembar kertas soal, dan dua lembar kertas kosong untuk menulis jawaban. Namun, di depan kelas sudah disediakan setumpuk kertas kosong yang bisa diambil siapa pun, yang membutuhkan kertas lebih banyak untuk menulis jawaban.
Ketika masing-masing orang sudah mendapatkan kertas soal, seketika suasana terasa tegang. Tidak ada keributan apa pun, tapi semua orang sama-sama menyadari bahwa kami dalam kondisi tegang. Pasalnya, 12 soal yang tertulis di lembar pertanyaan tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.
Tipe pertanyaannya kira-kira, “Jika ini terjadi, apa yang akan Anda lakukan?”, “Bagaimana cara melakukannya?”, dan, “Jelaskan secara detail ketika Anda mengambil langkah tersebut.” Untuk menjawab satu soal saja, rata-rata dibutuhkan minimal satu lembar kertas jawaban.
Detik-detik awal berjalan, dan kami semua terlihat tegang memandangi lembar soal yang sangat rumit. Belum ada satu pun yang mulai menulis jawaban—kami semua seperti sedang shock. Budi, yang duduk di samping saya, kelihatan gelisah seperti yang lain. Dia merundukkan kepalanya, lalu berbisik pada saya, “Soal-soal keparat apa ini?”
Saya, yang waktu itu juga stres menatap lembar pertanyaan, seketika nyeletuk, “Menurutku, ini soal-soal yang sungguh budip.”
Di luar dugaan, Budi seketika ngakak sejadi-jadinya waktu mendengar saya menyebut “budip”. Dia ngakak dengan gila seperti biasa, tanpa ingat waktu itu kami ada di dalam kelas bersama orang-orang yang tak dikenal. Seperti biasa pula, saya selalu terpengaruh ikut tertawa setiap kali mendengar dia tertawa, dan tawa saya pun ikut meledak—apalagi ditambah sejak tadi sudah menahan-nahan agar tidak tertawa.
Selama sesaat, kami berdua seperti orang gila yang tertawa tanpa aturan, dan kami butuh waktu beberapa saat untuk meredakan tawa kami yang menggila. Ketika saya mulai berhenti tertawa sambil memegangi perut yang kaku, saya sempat khawatir akan diusir dari sana, karena telah bertingkah tidak sopan.
Tapi rupanya kekhawatiran saya tidak terjadi. Tawa kami yang gila tadi rupanya ikut menurunkan ketegangan di dalam kelas. Orang-orang yang semula tampak serius dan murung melihat kertas soal, kini tampak lebih santai, dan beberapa terlihat senyum-senyum, meski mereka tentu tidak tahu apa yang membuat kami tertawa. Instruktur bule, yang duduk di depan kelas, tidak mengatakan apa pun, selain, “Kalau kalian sudah selesai (tertawa), silakan mulai kerjakan (soalnya).”
Sejak peristiwa itulah, saya sering menyebut “budip” (dengan b kecil) untuk menyifati segala sesuatu yang absurd, yang belakangan menjadi semacam humor internal antara saya dan Budi. Entah kenapa, kami selalu tertawa gila setiap kali menyebut kata itu.
Dalam banyak kesempatan, kami selalu menemukan hal-hal yang “bersifat budip”, dan kami lalu tertawa-tawa seperti orang gila. Saat makan bareng di tempat asing, misalnya, Budi kadang bertanya, “Bagaimana menurutmu, masakan di sini?”
Kalau saya kebingungan antara menjawab enak atau tidak, saya akan menjawab, “Menurutku, masakan di sini sangat budip.” Lalu kami ngakak bersama.
Well, hari ini, Budi Prasetya alias Budip berulang tahun, dan saya ingin menyampaikan selamat ulang tahun untuknya. Panjang umur dan selalu sehat, teman baik, dan tetaplah menjadi keceriaan, pijar tawa yang menggembirakan, bagi semua orang.