Catatan ini sebaiknya tidak usah dibaca, karena tidak penting dan tidak bermanfaat, serta hanya akan membuang waktumu. Saya menulis catatan ini hanya untuk bersenang-senang dan menghibur diri sendiri.
Seorang bocah duduk di samping tiang listrik, dan tampak mengobrol asyik dengan tiang listrik. Entah bagaimana cara mereka mengobrol, yang jelas si bocah terlihat mengatakan sesuatu, mengatakan hal-hal seperti umumnya orang bercakap-cakap, dan sesekali tertawa-tawa.
....
....
“Kok bisa begitu, ya?” ujar si bocah. “Dari dulu, kalau diingat-ingat, rutenya selalu begitu. Ya hidup pun mungkin begitu, naik turun. Tapi kalau diingat-ingat memang begitu, kok. Bada, Rangu, Hayek, Yola, Simo, entah siapa lagi—aku lupa. Tapi ya intinya begitu. Dulu Simo pernah menanyakan, malah pernah membahas, tapi aku tidak paham.
“Apa? Simo, iya. Dulu dia pernah tanya apakah ada yang datang, lalu aku menunjukkan lembar manuskrip. Simo bilang, maksudnya bukan itu. Iya, aku paham, maksudnya bukan itu. Tapi aku sengaja menunjukkan manuskrip sebagai bentuk jawaban filosofis—kalau kau tahu maksudku. Tapi Simo sepertinya tidak paham hal-hal filosofis. Hahahaha....
“Jadi ya begitu. Tidak paham. Simo tidak paham maksudku, dan aku juga tidak paham maksud Simo. Karena ternyata Simo juga memaksudkan pertanyaannya sebagai hal filosofis, dan giliran aku yang tidak paham. Hah? Musim yang bukan musim? Waktu itu sesudah masanya. Malah sudah berlalu jauh dari musim itu.
“Ya asalnya dari situ. Setelah bertahun-tahun musim, lalu ada musim yang sedang tidak musim. Haha, lucu kalau diingat-ingat. Malah sampai berjalan jauh, menyeberang jalan yang ramai. Waktu itu, pas di sana, ada Nguh, sedang bercakap-cakap. Nguh bertanya, aku menjawab dari mana. Lalu musim itu pun datang—musim yang sedang tidak musim. Lalu aku pulang, karena sedang tidak musim.
“Nguh mengusulkan agar aku pulang naik karpet, tapi usulnya tidak bisa terwujud, karena ya itu tadi... sedang musim tidak musim. Lalu aku pulang saja.
“Sampai lama setelah itu, aku sama Gungun membahas sesuatu. Wah, kadang aku kangen sama Gungun. Dia pernah menyelamatkan hidupku. Tapi kalau dipikir-pikir, Gungun pun sama seperti hidup. Sekarang aku mau cerita soal Gungun, sambungan dari musim yang tidak musim, sebagai awal kenapa ada manuskrip filosofis.
“Waktu itu, aku dan Gungun membahas sesuatu. Oke, aku bilang ke Gungun. Karena dia orangnya tepat waktu, aku pun bisa mengandalkannya. Lalu aku pergi ke tempat yang dibilang Gungun. Jalan kaki. Waktu itu rasanya damai sekali, karena berpikir perjalanan yang jauh akan sampai di tempat yang indah.
“Sebelum itu, aku sudah bolak-balik jalan kaki, malah lebih jauh. Malah tidak ada indah-indahnya. Cukup lama itu, sampai kadang aku berpikir apa mungkin jalan yang kutempuh keliru? Nah, waktu aku jalan kaki yang barusan itu, muncullah cerita lanjutan tentang musim yang sedang tidak musim. Lha dia cerita sendiri, hahahaha...
“Dari situlah aku menyadari, ternyata kehidupan memang angin dingin. Padahal, sebelum itu, aku pernah ketemu Drume, sama waktu aku sedang berjalan menuju ke sana. Drume dan aku lalu bercakap-cakap. Soal beberapa, dan dia malah sempat menceritakan familinya yang sedang sakit tapi bingung karena anaknya akan terbang menuju antah berantah. Lalu kami berpisah, waktu pintu gerbang sampai.
“Beda lagi dengan musim itu. Yah, dari situ, aku pun jadi malas membahas musim, karena musim sedang tidak musim. Kalau dipikir-pikir memang aneh. Sudah bertahun-tahun berjalan, lalu suatu hari datang musim yang sedang tidak musim, lalu aku jalan kaki dan ketemu Drume, dan lama setelah itu aku menyadari tentang musim.
“Nah, dari situlah, aku dan Some membahas hal filosofis tadi, dan kami sama-sama tidak paham. Dulu waktu Rafu pulang, Some pernah bertanya apakah mungkin aku akan sama dengan Rafu. Aku bilang tidak, dan Some tertawa. Lalu soal manuskrip itu, Some bilang bukan itu. Ya, mestinya aku paham, tapi mungkin aku sedang goblok. Sepertinya aku memang sering goblok, kalau dipikir-pikir. Lalu pulanglah mereka, dan aku tidak tahu lagi bagaimana kabarnya.
“Kalau diingat-ingat memang aneh. Hayek itu kalau sedang sampai di sana ya seperti yang lain. Payi, juga. Hahaha, entah bagaimana kabarnya sekarang. Aku sudah lama tak ketemu. Niwa juga pernah menanyakan hal serupa. Apakah masih ke sini, dia bertanya. Aku bilang, ya, masih ke sini. Aku malah sempat bingung mendapati Niwa sering menanyakan hal serupa. Aku pernah terpikir untuk menjawab bahwa hal-hal berubah, semuanya berubah, karena kehidupan selalu berubah.
“Mungkin Niwa sudah tercerahkan sejak dulu. Aku pernah bilang kepadanya bahwa kita harus menyelamatkan dunia, tapi Niwa hanya tertawa. Mungkin baginya dunia tidak perlu diselamatkan. Ya benar juga, kalau dipikir-pikir. Lalu setelah itu Niwa menghilang. Aku pernah tanya pada seseorang, bagaimana kabarnya sekarang, dan katanya dia sudah berubah menjadi bundar.
“Kalau diingat-ingat memang aneh. Apakah ini sebenarnya plot yang sama, atau bagaimana? Hahahahaaa... soalnya aku tidak paham-paham. Mula-mula naik, naik, lalu turun, turun. Naik lagi, turun lagi. Mungkin sudah saatnya aku sadar, ya. Sadar kalau selama ini aku tidak sadar.
“Yang membuatku bertanya-tanya, kenapa musim bisa terjadi? Kalau dipikir-pikir, ini persoalan musim. Benar sekali. Tapi bagaimana bisa terjadi dan musim berulang? Mengapa ada musim yang tidak sedang musim? Dari dulu, kalau diingat-ingat. Dari zaman Luo, lalu zaman Sorah dan Dal, sampai zaman-zaman seterusnya. Itu sudah berabad-abad. Kok bisa?
“Lalu aku ingat Piar. Dia pernah menulis di meja tentang Diyu. Ya asal-usulnya memang Diyu, kalau dipikir-pikir. Tapi dia bisa melewati hidupnya dengan baik, meski mungkin susah, dan aku pernah terpikir untuk menirunya. Tapi zaman kami sudah jauh berbeda. Sekarang sudah tidak ada, dan aku membahas jalan dan rute. Piar katanya sudah terbang pakai karpet.
“Dari zaman Diyu sampai sekarang, sudah ada beberapa generasi, tapi kok bisa sama, ya. Dari waktu ke waktu ya mesti ada musim, dan musimnya sama. Itu-itu saja. Sampai aku bingung sendiri. Apa aku yang salah, apa musimnya yang salah. Dulu pernah kutulis di buku kecil itu, tapi mungkin sekarang bukunya sudah hilang. Entah kena banjir, entah kubuang.
“Yang baru juga begitu, zaman baru. Ada musim-musim yang sama. Lalu lubang besar di tengah jalan. Wah, parah itu. Tapi ya tidak ada yang peduli, dan aku menyadari bahwa itulah angin dingin. Aku menghadapi kegoncangan, salju, panas, hujan, dan banjir. Angin dingin yang datang. Musim yang tidak sedang musim.
“Orang-orang suka mempercayai yang ada dalam pikirannya sendiri. Lalu menganggap yang dipercayai itu betul, dan mengatakannya kepada orang lain. Lalu orang lain percaya, tanpa menyadari bahwa yang ia percaya awalnya hanya ada dalam pikiran seseorang yang entah benar atau tidak. Apakah itu berarti UFO benar-benar ada? Ya mungkin, hahahahaha....
“Kapu juga begitu. Impala. Sampai yang dekat-dekat itu ya percaya pada UFO. Lalu Hita. Kemarin dia malah bilang awal tapi malah ngilang, hahahaha. Sudah kuduga. Bagaimana kalau kita bisa masuk ke dalam cermin, dan hidup di dalamnya? Itulah yang kutanyakan kepada tusuk gigi, ketika suatu kali aku sedang bingung. Tusuk gigi mengatakan bisa saja. Lalu aku pun masuk cermin. Ternyata kehidupan di dalam cermin ya sama saja. Ada musim-musim.
“Pernah, dulu, ada Kidu yang mengatakan beberapa hal dan aku tertarik. Lalu seseorang mengatakan soal Obi entah siapa, dan musim yang sama datang. Sama, kalau dipikir-pikir. Malah dulu ada Ska segala, dan kami membentuk sebuah lingkaran. Seperti balon, lalu meletus di udara. Tapi ya kisahnya sama, seperti yang lain-lain. Malah aku sempat membahas itu dengan Ska, dan dia ternyata bisa serius, padahal sebelumnya suka cekikikan.
“Sekarang Ska sudah berubah, tidak pernah lagi cekikikan seperti dulu. Sekarang malah seperti serius sekali. Ini mengingatkanku pada hal-hal lain, pada musim-musim lain. Bahkan yang paling dekat pun. Apakah itu tidak menakjubkan? Sangat menakjubkan, menurutku. Cuma aku bingung, bagaimana hal-hal menakjubkan seperti itu bisa terjadi? Apakah ini yang disebut entah?
“Mungkin akan lebih baik kalau saja Simo tidak mengatakan soal musim, dan Niwa tidak membahas dunia yang perlu diselamatkan. Simo kembali bertemu denganku waktu dia baru saja terbang. Ya, kemana lagi dia harus datang, coba? Dan aku bilang kepadanya, itu sepuluh dari sepuluh. Dan aku tertawa. Tempo hari aku sempat melihatnya, dan dia telah berubah menjadi tiga. Aku terkesima.
“Sekarang mungkin sebaiknya aku mulai merintis... entah merintis apa. Kadang-kadang aku lelah. Kadang mempertanyakan. Kadang aku merasa terbang pakai karpet. Kadang aku berpikir musim sedang tidak musim. Kadang aku merasa goblok. Entahlah.
“Terima kasih sudah menjadi teman ngobrol yang menyenangkan. Kamu sungguh pendengar yang baik.”
....
....
Bocah itu menyentuh tiang listrik seperti menyentuh sahabatnya, lalu bangkit dari duduknya. Dia melangkah ringan—mungkin lebih ringan dibanding sebelum mengobrol dengan tiang listrik.
Aku menatap kepergiannya.
Aku menyulut udud.
Dan aku berpikir, “Hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah ngobrol dengan tiang listrik.”