Orang-orang paling alim dan paling memahami agama,
setidaknya yang kukenal, adalah orang-orang yang justru
paling jarang ngoceh soal agama.
—@noffret
setidaknya yang kukenal, adalah orang-orang yang justru
paling jarang ngoceh soal agama.
—@noffret
Tempat tinggal saya lingkungan muslim, dan hampir semua orang yang menjadi penduduknya—sejauh yang saya tahu—orang NU (Nahdhatul Ulama). Karenanya, di lingkungan saya pun lekat dengan budaya NU, yang salah satunya adalah tahlilan saat ada orang meninggal.
Biasanya, saat ada yang meninggal dunia, kami—para tetangga—akan mengikuti acara tahlil di rumah duka. Ada yang menggelar acara tahlil sampai 3 hari, ada pula yang sampai 7 hari. Biasanya, setelah itu, akan dilanjutkan acara tahlil 40 hari, 100 hari, setahun, sampai 1.000 hari. Lingkungan NU mana pun pasti sudah biasa dengan hal itu. Saya pun sudah mengenal acara itu sejak dulu, ketika masih tinggal bersama orang tua.
Dalam setiap acara tahlil, pihak yang punya acara tentu menyediakan minuman serta makanan ala kadarnya. Dulu, di lingkungan orang tua saya, tahlil memang relatif sederhana. Orang-orang yang datang bertahlil di rumah duka hanya mendapat minuman (biasanya teh hangat), dan jajan ala kadarnya yang disediakan di piring-piring. Sudah, hanya itu.
Namun, di tempat tinggal saya yang sekarang, acara tahlil lebih “mewah”. Para peserta tahlil tidak hanya mendapatkan teh hangat dan menikmati jajan ala kadarnya, namun juga bingkisan berupa beras (biasanya 1 kilo), plus telur (biasanya 1 atau 2 butir), teh (biasanya 1 bungkus), dan mi instan (biasanya 1 sampai 2 bungkus).
Pemberian “paket” itu bisa hanya pada hari pertama dan terakhir (malam 1 dan malam 7), namun ada pula yang memberikannya sampai 7 malam berturut-turut. Itu pun sering kali masih ditambah dengan jamuan lontong opor, soto, atau lain-lain.
Karena menghadapi pengalaman tahlil di tempat tinggal orang tua dan di tempat tinggal sekarang, saya pun bisa melihat jelas perbedaannya. Acara tahlil di tempat tinggal saya jauh lebih mewah. Bisa jadi, orang-orang di tempat tinggal saya memang memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi, atau bisa jadi pula hal semacam itu sudah menjadi budaya setempat.
Intinya, di tempat orang tua maupun di tempat tinggal saya sekarang, orang-orang selalu mengadakan tahlil setiap kali ada tetangga yang meninggal. Meski begitu, ada satu orang yang tak pernah mau mengikuti acara tahlil, bahkan umpama acara tahlil itu diadakan tetangga sebelah rumahnya. Orang-orang biasa memanggilnya Pak Pardi. Kebetulan, rumah kami berdekatan.
Semua orang di tempat tinggal saya tahu, Pak Pardi orang Muhammadiyah. Sebagaimana yang kita tahu, Muhammadiyah memiliki ajaran atau budaya yang berbeda dengan NU. Salah satunya tidak ada tahlil untuk orang meninggal. Dan Pak Pardi benar-benar menjalankan ajaran itu dengan sepenuh teguh. Karenanya, di kalangan masyarakat sekitar, Pak Pardi adalah minoritas.
Meski begitu, kami semua menghormati Pak Pardi. Dia orang biasa, dengan kehidupan sederhana, namun sangat taat beribadah. Saban waktu salat, dia selalu pergi ke musala untuk berjamaah. Khusus untuk salat subuh, dia pergi ke masjid Muhammadiyah—yang letaknya agak jauh—mungkin untuk menghindari qunut (bagi yang mungkin belum tahu, NU pakai qunut saat salat subuh, tapi Muhammadiyah tidak pakai qunut).
Begitu pula saat salat tarawih di bulan Ramadan. Pak Pardi, beserta keluarganya, biasanya akan tarawih di masjid Muhammadiyah, meski semua tetangga tarawih di musala kampung. Tujuannya tentu agar tarawih yang dilakukan sesuai ajaran Muhammadiyah (sekali lagi, bagi yang mungkin belum tahu, NU tarawih 20 rakaat, sementara Muhammadiyah hanya 8 rakaat).
Jadi, Pak Pardi benar-benar minoritas di lingkungan kami yang NU. Meski begitu, seperti yang disebut tadi, semua orang menghormatinya. Dalam keseharian, Pak Pardi orang yang kalem, santun, tidak pernah menimbulkan masalah dengan tetangga sekitar, dan biasa menjalani puasa Senin-Kamis. Anak-anaknya (rata-rata seusia saya) juga menjadi anak-anak yang baik. Salah satu anaknya bahkan menjadi guru di pondok pesantren modern di Jakarta.
Keteguhan Pak Pardi dalam memegang ajaran Muhammadiyah sangat tampak, ketika tetangga sebelah rumahnya meninggal. Orang-orang, seperti biasa, mengadakan tahlil di rumah duka. Tapi Pak Pardi tidak terlihat. Hal sama terjadi, ketika tetangga depan rumahnya meninggal. Lagi-lagi, Pak Pardi tidak mau datang untuk ikut tahlilan. Jika dengan tetangga depan dan sebelah rumah saja dia tidak mau datang, apalagi dengan tetangga yang relatif jauh?
Meski begitu, para tetangga tidak mempermasalahkan, kami semua menghormati pilihan Pak Pardi yang begitu taat pada ajaran Muhammadiyah. Kami semua menjadi saksi, dia manusia yang baik, dan itu saja sudah cukup.
Beberapa bulan yang lalu, Pak Pardi meninggal dunia. Orang-orang pun berdatangan ke rumahnya untuk mengantarkan kepergian terakhir Pak Pardi ke pemakaman. Sesaat sebelum jenazah dibawa, salah satu anaknya menyampaikan sambutan, yang intinya mengucap terima kasih kepada masyarakat yang telah datang untuk mengantarkan kepergian terakhir ayahnya.
Di akhir sambutan, dia meminta maaf karena, “sebagaimana yang diamalkan Bapak seumur hidupnya, kami tidak menggelar acara tahlil. Kami mohon maaf karena menjalankan tradisi yang berbeda dengan masyarakat sini.”
Kami semua memaklumi, dan tidak mempermasalahkan. Jadi, usai Pak Pardi dimakamkan, di rumahnya tidak ada apa-apa—berbeda dengan rata-rata orang NU yang biasanya ramai sampai cukup lama. Anak-anak Pak Pardi juga tampak menjalani keseharian seperti biasa, seolah duka telah berlalu. Saya tahu hal ini, karena rumah kami berdekatan—meski, tentu saja, saya tidak tahu kesedihan yang mungkin mereka rasakan.
Beberapa waktu setelah itu, ada tetangga lain yang meninggal. Orang NU. Seperti biasa, kami pun mengikuti tahlil di rumah duka. Tuan rumah yang berduka ini kebetulan akrab dengan saya.
Selama mengikuti acara tahlil di rumahnya, semua tampak wajar dan baik-baik saja—seperti umumnya di rumah tetangga lain saat ada acara tahlil. Kami mendapat bingkisan, minuman, serta jamuan usai tahlil, dan lain-lain.
Lalu, berhari-hari setelah semua keramaian usai, saya bercakap-cakap berdua dengannya. Seperti yang disebut tadi, kami tetangga yang akrab. Sebegitu akrab, hingga bisa membicarakan hal-hal yang mungkin sensitif.
Dia mengatakan, “Ditinggal mati anggota keluarga adalah kesedihan sekaligus kebingungan yang beruntun. Kita tidak tahu kapan seseorang akan mati, bahkan meski ia anggota keluarga sendiri. Tiba-tiba saja dia mati, dan kita yang ditinggal harus mempersiapkan banyak hal secara mendadak dan tiba-tiba, tanpa persiapan sama sekali. Dari urusan pemakaman, menghubungi pihak-pihak yang terkait, sampai mengurus acara tahlil, dan lain-lain. Yang berat, semuanya itu harus dilakukan serba mendadak, di tengah kedukaan dan kehilangan.”
Dan semua butuh biaya, tentu saja.
Di tempat tinggal saya, biaya penguburan sekitar Rp700 ribuan. Sebagaimana dalam urusan “bisnis” lain, aturannya sederhana: “Bayar biaya itu, dan jenazah keluargamu bisa dikubur. Kalau tidak bisa bayar, kami juga tidak bisa menyediakan penguburan.”
Itu baru urusan penguburan jenazah, belum yang lain. Lalu membiayai acara tahlil sampai seminggu.
Bagi orang yang mampu, mengurus semua itu tentu bukan masalah. Tapi bagi yang tidak mampu, mengurus pemakaman dan lain-lain bisa sangat membingungkan—untuk tidak menyebut memberatkan. Seperti yang dikatakan tetangga saya tadi, “Ditinggal mati anggota keluarga adalah kesedihan sekaligus kebingungan yang beruntun.”
Kalau kita menggelar hajatan, misal resepsi perkawinan, kita tentu bisa mempersiapkan semuanya sejak jauh-jauh hari, termasuk menyiapkan uangnya. Meski acara resepsinya besar-besaran sekali pun, bisa dibilang tidak masalah, karena sudah ada persiapan sebelumnya. Dengan adanya persiapan pula, kita bisa menakar seperti apa acara yang ingin kita gelar, disesuaikan dengan kemampuan kita.
Berbeda dengan kematian. Ia datang tiba-tiba, dan bisa jadi anggota keluarga sama sekali tidak siap. Dan dalam ketidaksiapan itu, mereka harus mengurus banyak hal sekaligus, yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Sekali lagi, tidak masalah kalau hal itu terjadi pada orang yang mampu. Tapi bagi yang tidak mampu, itu kesedihan yang ditumpuk kesedihan, kebingungan yang ditumpuk kebingungan.
Membayangkan semua itu, saya teringat pada Pak Pardi, dan keteguhannya dalam memegang prinsip. Mungkin dia telah memikirkan sesuatu yang sekarang saya pikirkan, dan—selama bertahun-tahun—dia telah menunjukkannya dalam perbuatan.