Sabtu, 20 Maret 2021

Eufemisme dan Kekacauan Media di Indonesia

Baru membaca ini, dan terpikir, mungkin sebagian orang bertanya-tanya kenapa banyak jurnalis di Indonesia seperti menjauhi istilah “memperkosa”.

Sebut Saja Perkosa, Kenapa Masih Pakai Istilah Setubuhi, Gagahi, dan Rudapaksa? —Voxpop Indonesia

Mumpung cokelat hangatku masih penuh dan udud masih panjang, aku mau ngoceh.

Salah satu hal yang lekat dengan media di Indonesia adalah eufemisme (penghalusan bahasa). Seperti penggunaan diksi “menyetubuhi” atau bahkan “menggagahi”, padahal yang dimaksud adalah “memperkosa”. Kalau dirunut ke belakang, budaya eufemisme ini dimulai di era Orde Baru.

Pada era Orde Baru, media-media di Indonesia tidak bisa ngoceh seenaknya, karena taruhannya adalah pembredelan. Kau salah ngomong, perusahaanmu bubar. Karena tekanan semacam itu, awak media didoktrin untuk berhati-hati—sangat berhati-hati—dalam menggunakan diksi dalam tulisan.

Di masa-masa itulah, “ditangkap” menjadi “ditahan” atau bahkan “diamankan”, sementara “pemerkosaan” menjadi “penyetubuhan paksa” atau “rudapaksa”. Penggunaan diksi semacam itu, sebagai contoh, di masa Orde Baru, seperti meniti rambut dibelah tujuh, butuh kehati-hatian.

Belakangan, penggunaan eufemisme semacam itu, tanpa sadar, diwarisi oleh generasi selanjutnya. Para jurnalis yang baru terjun ke media meniru cara para seniornya dalam menggunakan diksi, dan itu terus berlangsung bahkan sampai saat ini. Padahal zamannya sudah berubah.

Para jurnalis era kekinian masih suka menggunakan eufemisme, seperti para senior mereka yang meniru senior sebelumnya. Ini praktik yang keliru, tapi tidak disadari di dunia media serta para awaknya, hingga terus diwarisi turun temurun, dan terus digunakan dalam penulisan berita.

Aku berani bertaruh, tidak ada media di Indonesia yang terang-terangan memberi tahu para jurnalis mereka agar “jangan gunakan eufemisme”. 

Karena praktik semacam itu—penggunaan eufemisme—sudah dianggap kelaziman di dunia jurnalistik atau penulisan berita. Padahal ini bermasalah.

Kenyataannya, banyak jurnalis yang merasa “pekewuh” (tidak nyaman) ketika ingin terang-terangan menulis “memperkosa”, hingga terpaksa menggunakan diksi lain; “menyetubuhi”, “menggagahi”, sampai “rudapaksa”. Padahal intinya cuma mau ngomong “memperkosa”. Tapi tidak nyaman.

Jangankan menulis “memperkosa” yang mungkin terdengar kasar atau vulgar, bahkan sekadar menulis “dia” saja, banyak jurnalis yang tidak berani, karena "pekewuh" dan terbiasa menyebut “beliau”. Hasilnya, mereka kemudian menggunakan diksi lain yang terkesan aneh, “dirinya”.

Kita bisa menemukan fenomena aneh itu di hampir semua media di Indonesia. Tiap kali seorang jurnalis akan menulis “dia”, bawah sadarnya akan mengingatkan itu “kasar”. Karena tidak mungkin menggunakan “beliau” dalam penulisan berita, mereka pun lalu menulis “dirinya”.

Hasilnya, kalau cukup peka, kita akan merasa aneh tiap membaca berita yang isinya penuh kata ganti “dirinya”. Wong tinggal nulis, “Dia mengatakan bla-bla-bla”, menjadi “Dirinya mengatakan bla-bla-bla”. 

Kita, dalam hal ini para jurnalis, sudah terjebak warisan eufemisme.

Sekarang bayangkan. Jika sekadar menulis “dia” untuk menyebut seseorang (narasumber) saja para jurnalis di Indonesia sudah merasa berat, apalagi terang-terangan menulis “memperkosa”?

Karenanya, editor yang sadar soal ini sangat dibutuhkan, untuk “meluruskan” setiap tulisan.

Editor media perlu menyadari bahwa menyebut “dia” (misal untuk narasumber) itu tidak salah, sebagaimana seharusnya menulis “memperkosa” untuk berita kasus perkosaan.

Jurnalisme, mestinya, berdiri tegak lurus, termasuk dalam penggunaan diksi. Tapi eufemisme membengkokkannya.

Eufemisme, khususnya dalam penulisan berita, sebenarnya bermasalah, karena ia menciptakan jarak antara pembaca dengan realitas. Padahal jurnalisme adalah upaya memotret (menulis) realitas untuk disuguhkan pada pembaca. Karena "menyetubuhi" jelas berbeda dengan "memperkosa".

Sayangnya, inilah yang terjadi pada media-media di Indonesia, wabilkhusus media-media online. 

Ketika ribuan media online bermunculan di Indonesia, mereka butuh ribuan jurnalis baru. Para jurnalis pendatang baru itu, tanpa sadar, meniru para senior mereka, termasuk kelirunya.

Atmosfer media online di Indonesia juga sangat tampak saling mempengaruhi. Ketika media A menggunakan suatu diksi tertentu, media lain akan meniru, lalu media lain lagi akan meniru, dan begitu seterusnya. Contoh paling gamblang dalam hal ini adalah penggunaan akhiran “lah”.

Akhir-akhir ini, ada kekeliruan massal yang dilakukan media-media online di Indonesia dalam penggunaan akhiran “lah”—sesuatu yang seharusnya digabung dengan kata awal, tapi dipenggal. 

Contoh, “katakanlah” mestinya digabung. Tapi media memenggalnya jadi “katakan lah”. Itu piye?

Jika kita teliti, ada banyak sekali diksi berakhiran “lah” yang mestinya digabung—bersatu dengan kata awal—tapi dipenggal, dipenggal, dan dipenggal. “Dialah” menjadi “dia lah”, “inilah” menjadi “ini lah”, dan seterusnya. Ivan Lanin mungkin mimisan tiap menemukan hal aneh itu.

Kekacauan ini sebenarnya bermula dari penggunaan kata-kata slang atau bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari. 

Dalam bahasa gaul sehari-hari, sering muncul ucapan, misalnya, “Ya enggak, lah.” Ketika ucapan itu ditranskrip ke tulisan, akhiran “lah” memang dipenggal. Tetapi...

Tetapi, di situ ada koma—sekali lagi, perhatikan, di situ ada koma!

Ketika kita memenggal “lah” dari kata awalnya, seperti dalam contoh tadi, pemenggalan harus disisipi koma. Dengan kata lain, jika koma tidak mungkin disisipkan, artinya akhiran "lah" tidak perlu dipenggal!

Uraian soal ini sebenarnya sangat teknis, dan aku tidak mungkin menjelaskannya secara gamblang di sini karena bisa panjang sekali—setidaknya butuh 34 SKS hanya untuk mempelajari soal ini. Intinya, akhiran “lah” dalam penulisan bahasa baku mestinya digabung dengan kata awal.

Selain akhiran “lah” yang dipenggal seenaknya, akhir-akhir ini juga muncul kekacauan massal lain di banyak media di Indonesia, yaitu memenggal akhiran “nya”—lagi-lagi seenaknya. Misal, “mestinya” jadi “mesti nya”, “ucapnya” jadi “ucap nya”. Itu siapa yang mengajari?

Kekacauan massal di media ini, jika tidak segera diluruskan, lama-lama akan dianggap kelaziman baru, yang lalu akan ditiru para jurnalis pemula yang meniru para senior mereka, yang mengira hal-hal itu benar padahal salah! Sebelas dua belas dengan “memperkosa” jadi “menyetubuhi”.

Sekali lagi, ini sangat teknis, dan ocehan ini bisa sangat membosankan jika kuteruskan. 

Kata kunci dalam hal ini sebenarnya sepele: Akhiran “lah” dan sebagian “nya” sering kali tidak berguna. Jika ragu-ragu menulisnya, sebaiknya hilangkan saja, daripada salah dan jadi aneh.

Contoh, “Dialah yang mengatakannya”, bisa menjadi “Dia yang mengatakan”. Akhiran “lah” di situ tidak berguna. 

Begitu pula sebagian akhirnya “nya”—sebagian lho, bukan semuanya. Ada banyak akhiran “nya” yang bisa dihapus, tapi juga ada sebagian "nya" yang harus tetap ada.

Bagaimana kita membedakan mana akhiran “nya” yang bisa dihapus, dan mana yang harus tetap ada? Sekali lagi, jawabannya sangat teknis, dan karena itulah ada mata kuliah jurnalistik! Setiap editor media mestinya menguasai keterampilan ini, hingga bisa membenahi setiap tulisan.

Ini baru ngoceh soal eufemisme dan akhiran kata saja sudah panjang begini. Kalau kuteruskan, ocehan ini mungkin baru selesai pas azan subuh... tahun 8375. Tapi karena cokelat hangat dan ududku sudah habis, sampai di sini saja. Kalau mungkin ada yang ingin ditanya, sila tanyakan.

Kalau ternyata aku ketiduran, ya jawabnya besok, kalau pas login ke Twitter lagi. Tapi biasanya, sih, tidak ada yang tanya. 

....
....

“Kamu ngoceh cuma nunggu udud habis, tapi kenapa ocehannya bisa panjang sekali?” 

Ududku samsu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Juli 2020.

Menciptakan Masalah untuk Menyelesaikan Masalah

Apa yang sedang kita saksikan hari-hari ini? Semua kekacauan ini? Segala keributan ini? Kebingungan, ketidakpastian, tangis, dan petaka ini? Yang kita saksikan adalah betapa manusia mampu menciptakan masalah, lalu dijerat dan dicekik oleh masalah yang dibuatnya sendiri.

Hidup sudah penuh masalah. Tapi selalu ada manusia-manusia yang sengaja menciptakan masalah, meski dengan alasan “logis”, misalnya untuk “menyelesaikan masalah yang lebih besar”. Oh, well, menciptakan masalah kecil untuk menyelesaikan masalah besar.

Pola pikir seperti itu saja sebenarnya sudah salah. Karena menciptakan masalah artinya memelihara anak macan. Dan kita tidak bisa memelihara anak macan sambil terus berharap ia sejinak kucing. Kapan pun waktunya, “masalah kecil” akan jadi masalah besar.

Kedamaianku Sederhana

Kedamaianku sederhana. Saat mulai membaringkan diri, bersiap tidur di kamar yang redup, lalu sejenak mengecek ponsel di meja untuk memastikan jam berapa... entah kenapa, rasanya damai. Dan aku pun bisa meninggalkan hari ini dengan tenang. Selamat tidur.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Oktober 2019.

Peragu

Dasar peragu, aku mau ngetwit/merespons sesuatu saja dari tadi terus ragu-ragu, sampai akhirnya tidak jadi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Oktober 2019.

Bingung Campur Takjub

Sering bingung campur takjub tiap melihat penonton konser Didi Kempot sampai nangis-nangis waktu ikut nyanyi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Oktober 2019.

Rabu, 10 Maret 2021

Film Bagus Versi Saya

Berapa miliuner yang kaukenal?
Kalian tahu Elon Musk, Bill Gates... persetan, 
kalian pasti tak mengenalku. Itulah yang kusuka.
One, dalam 6 Underground


Saya suka nonton film action, saya juga memfavoritkan Keanu Reeves, tapi John Wick bukan film favorit saya. Sebagai film action, John Wick jelas gahar. Penampilan Keanu Reeves dalam film itu juga ciamik. Tapi bagi saya, film itu B aja. Jika saya diminta menyusun daftar 10 film action favorit, misalnya, John Wick jelas tidak masuk.

Kenapa saya tidak terkesan dengan John Wick? Karena film itu bisa dibilang tidak ada ceritanya! Kisahnya terlalu simpel, dan kisah simpel itu dibumbui adegan berantem tanpa henti. Bahkan, dalam perspektif saya—yang tentu bisa subjektif—kisah dalam John Wick terlalu lebay. Sebagai film action, akar masalah dalam kisahnya sangat sepele, tapi dampaknya terlalu brutal. Andai John Wick tidak diperankan Keanu Reeves, saya ragu film itu akan populer.

Film action yang bagus versi saya adalah film yang ada ceritanya! Lebih bagus lagi kalau kisah dalam film itu, well... visioner.

Di antara banyak film favorit saya sepanjang masa, dua di antaranya adalah The Island dan 6 Underground. Dua film itu memenuhi semua hal yang saya inginkan dari film; aksi gila-gilaan, pertarungan brutal, kebut-kebutan asoy, ledakan dan ancur-ancuran, dan—di atas segalanya—kisah yang visioner.

The Island, sebagaimana kita tahu, mengisahkan teknologi kloning futuristik yang memungkinkan orang “menciptakan” sosok dirinya yang lain, untuk “dipanen” organ tubuhnya jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Ide cerita ini, bagi saya, sangat menakjubkan sekaligus menggelisahkan.

Bayangkan kita bisa menciptakan sosok kloning diri kita—benar-benar persis kita—melalui teknologi canggih berbiaya mahal. Sosok kloning itu diciptakan lewat mesin, dan sejak “janin” didoktrin untuk meyakini hal-hal tertentu, salah satunya bahwa dia—sosok kloning kita—adalah istimewa karena menjadi bagian yang selamat dari kehancuran bumi.

Ketika sosok kloning kita mulai tumbuh besar dan dewasa, dia hidup bersama sosok-sosok kloning orang lain. Masing-masing sosok kloning itu punya nama dalam bentuk kode. 

Mereka hidup di tempat karantina yang steril, sambil terus meyakini doktrin yang dicekokkan ke memorinya. Mereka tak pernah tahu dunia luar, karena memang dilarang keluar, dengan ancaman ada “kontaminasi”. Mereka hidup teratur, mengonsumsi makanan bergizi, berolah raga rutin, pendeknya menjadi sosok yang benar-benar sehat jiwa raga.

Jika sewaktu-waktu kita mengalami sakit berat, misal jantung kita bermasalah dan butuh transplantasi, kita tinggal menghubungi penyedia jasa kloning tadi, dan meminta agar kloning diri kita di sana dibedah untuk diambil jantungnya. Hasilnya pasti sempurna, karena transplantasi itu berasal dari sosok yang benar-benar mirip kita.

Penyedia jasa kloning punya cara cerdik untuk hal itu. Sewaktu-waktu, mereka mengadakan undian, dan nama yang muncul akan “diantarkan ke Pulau”. Dalam kisah The Island, “Pulau” adalah “tempat indah tanpa kontaminasi”. Padahal, yang terjadi bukan itu. Nama yang muncul dalam undian—yang jelas tidak muncul secara acak—sebenarnya dibawa ke ruang bedah, untuk diambil organ tubuhnya, lalu dikirim pada si pemilik kloning yang membutuhkan.

Jalinan cerita itu membuat saya termenung lama seusai nonton The Island pertama kali. Saya pikir, dalam skala tertentu, itu mirip kehidupan kita.

Kita, di dunia kita, lahir untuk kemudian didoktrin dengan keyakinan-keyakinan tertentu. Kita tumbuh besar dan dewasa dengan aneka keyakinan yang dicekokkan ke kepala kita. Seiring dengan itu, kita juga menunggu “undian” untuk diantarkan ke “tempat yang indah”. Sama seperti sosok-sosok kloning dalam The Island, kita juga tidak tahu apa sebenarnya yang akan kita lihat di “tempat yang indah” itu, selain hal-hal yang dikatakan kepada kita.

Pemikiran itu sangat menggelisahkan, dan saya benar-benar salut pada penulis skenario The Island.

Jalinan cerita yang bagus itu dibumbui adegan-adegan menegangkan, aksi kejar-kejaran, tembak-tembakan, mobil bertabrakan, ledakan demi ledakan, sampai gedung yang hancur berantakan, khas Michael Bay. Benar-benar tontonan yang asoy! Itulah jenis film favorit saya! Action, tapi ada ceritanya.

Selain The Island, film favorit saya yang kedua adalah 6 Underground. Kebetulan juga disutradarai Michael Bay. Dia benar-benar pakar dalam urusan ledakan dan ancur-ancuran, dan saya selalu orgasme tiap menonton film karyanya.

6 Underground, kita tahu, mengisahkan seorang miliuner nyentrik yang ingin meruntuhkan peradaban dengan caranya sendiri. Dia menyebut dirinya “One”. Sebenarnya, dia bisa saja menggunakan uangnya untuk membiayai visinya, sebagaimana umumnya miliuner filantropis. Tapi dia akhirnya memahami bahwa uang sebanyak apa pun tidak akan mengubah dunia sebagaimana diinginkannya... kecuali dia menggunakan tangannya sendiri.

Jadi, itulah yang kemudian dia lakukan. 

Menyadari tak mungkin menjalankan misinya sendirian, One mengumpulkan lima orang lain yang memiliki skill hebat berbeda-beda, dan membentuk semacam “perkumpulan bocah”. Mereka lalu meruntuhkan peradaban dengan cara yang brutal tapi asoy. 

“Kita tidak bisa mengubah dunia,” kata One, “tapi kita bisa menjadikannya lebih baik.”

Untuk memuluskan misi mereka, masing-masing orang harus terlebih dulu memutuskan hubungannya dengan dunia. Mereka harus pura-pura mati—dalam arti harfiah—dan memiliki pemakaman, sehingga dunia menganggap mereka benar-benar telah mati. Ini mirip kisah orang-orang sakti zaman kuno, yang moksa, tiada, tapi sebenarnya masih hidup entah di mana.

Setelah itu, mereka juga harus memutuskan hubungan dengan siapa pun yang mereka kenal semasih hidup. Setelah dianggap benar-benar mati, jejak mereka akan sulit dilacak dan ditelusuri, karena riwayat mereka di dunia dianggap telah berhenti... dan dihapus. 

One, sang pemimpin, sebenarnya memiliki istri yang cantik dan seorang anak yang masih kecil. Tapi demi memuluskan misinya, dia pura-pura mati—tewas dalam kecelakaan pesawat pribadi—dan sejak itu tak pernah lagi berkomunikasi dengan istri maupun anaknya. Dua orang yang dicintainya di dunia telah menganggapnya mati... dan One, meminjam istilah para wali, hidup dalam kematian. 

Jalan hidup yang berat semacam itu jelas hanya mampu dilakukan orang yang memiliki visi, dan percaya pada visinya. Itu bukan pilihan hidup umum yang dilakukan orang-orang umum. One, Tuhan tahu, pastilah seorang bocah yang meyakini mimpi-mimpinya!

Seperti yang dikatakan One dalam monolognya, “Dunia dibungkus pita merah, tak bisa kupotong walau dengan pedang miliaran dolar. Kami tinggalkan segalanya, semua orang, agar menjadi bukan siapa-siapa.”

One dan pasukan kecilnya mengincar pemimpin negara yang otoriter, lalu menumbangkannya dengan cara yang cerdik, penuh adegan menegangkan, tembak-tembakan brutal, kejar-kejaran, pertarungan berdarah, sampai ledakan demi ledakan. Action, tapi ada ceritanya. Dan cerita dalam 6 Underground, sebagaimana kisah dalam The Island, sangat visioner.

Yang dipikirkan One dalam 6 Underground adalah hal sama yang juga dipikirkan bocah-bocah lain yang kemudian kita kenal, dari Batman hingga Spider-Man, yang menggunakan tangannya sendiri untuk membentuk dunia sebagaimana yang diinginkannya. Bedanya, One tampil tanpa topeng, karena dia, sebagaimana yang dikatakannya, “bukan siapa-siapa”. Dia tidak butuh topeng, karena dunia tidak mengenalnya.

Dalam 6 Underground, One sempat menyatakan ada “sembilan bajingan” yang ingin ia tumbangkan. Dia telah mengalahkan satu bajingan, dan semoga Netflix melanjutkan kisah One sampai seri sembilan. 

Amin, ya Allah.

Everywhere

 James Bond: Where is he?

Mr. White: He is everywhere. He's everywhere! He's at a bar with your friends, he's having dinner with your kids, he's in bed with your lover!

—Spectre

"Privilese" menjadi orang tak dikenal adalah kau bisa ada di mana-mana, tapi orang-orang tak menyadari kehadiranmu. Kau bisa melihat apa pun, tapi orang-orang tak bisa melihatmu. Kau bahkan bisa bercakap-cakap dengan siapa pun, dan orang-orang tak menyadari siapa dirimu.

Kau berpapasan denganku, tapi kau tidak melihatku. —Franz Oberhauser a.k.a Ernst Stavro Blofeld 

Aku suka kata-kata itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 September 2019.

Utopia Para Jenius

Jeff Bezos ingin memindahkan manusia ke luar angkasa, demi “bumi yang lebih baik”. Elon Musk bermimpi mengubah dunia dengan energi bersih, demi “bumi yang lebih baik”. Bill Gates menghamburkan uang untuk pengobatan berbagai penyakit, demi “bumi yang lebih baik”.

Semuanya utopis.

Yang dilakukan (dan diimpikan) Jeff Bezoz, Elon Musk, hingga Bill Gates, adalah berupaya menambal masalah tanpa membereskan akar masalah—khas manusia dalam menghadapi kenyataan yang tidak ingin diakui dan dihadapinya. Ironis, untuk orang-orang sejenius mereka.

Masalah bumi, dan masalah seluruh umat manusia, sebenarnya hanya ada dua—kapitalisme dan over-populasi. Dua hal itulah yang menghancurkan planet ini habis-habisan, dari penggundulan hutan, pemanasan global, sampah yang menggunung, sampai kota-kota yang nyaris tenggelam di laut.

Kapitalisme mengisap semua kekayaan bumi, bahkan mengisap keringat manusia. Sebagai hasilnya, kapitalisme menghasilkan keluaran berupa polusi, pencemaran air dan udara, kerusakan lingkungan, gunung sampah, wabah penyakit, pemanasan global, berbagai bencana—sebut lainnya.

Dan kapitalisme bisa tumbuh, hidup, bahkan berkuasa, karena didukung over-populasi. Kapitalisme tidak akan laku, jika populasi manusia terkendali. Karenanya, mengutuk kapitalisme sambil terus beranak pinak adalah lelucon paling ironis, sekaligus sangat tidak akademis.

Rumusnya sederhana: Semakin banyak manusia, semakin sedikit sumber daya bumi yang bisa diperoleh. Dan itu artinya, mau tak mau, semua orang harus masuk ke dalam sistem kapitalisme, karena hanya dengan sistem itulah setiap orang bisa makan dan melanjutkan hidup. This is a game.

Sosialisme, sosialisme-demokratis, atau sosialisme apa pun, mungkin terdengar indah. Tapi sistem-sistem itu tidak akan berdaya ketika berhadapan dengan over-populasi. Sebenarnya bukan hanya sosialisme, bahkan sistem lain—misal sistem khilafah—juga sama, tidak akan berdaya.

Mungkin ada yang ingin ngemeng bahwa sistem khilafah pernah terbukti berhasil menyejahterakan umat manusia. Itu benar, khususnya di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tapi di masa itu populasi manusia masih terkendali. Dan Umar bin Abdul Aziz juga benar-benar pemimpin sejati.

Saat ini, jika ingin memaksakan sistem khilafah, mau tak mau harus berhadapan dengan dua hal. Pertama, over-populasi. Kedua, mungkinkah di zaman sekarang masih ada manusia seperti Umar bin Abdul Aziz? 

Jika belum tahu siapa dia, sila lihat ocehan ini:



Selama populasi manusia tak terkendali, sampai kapan pun kapitalisme akan menjadi raja, karena itulah satu-satunya sistem yang bisa bekerja—terlepas suka atau tidak. Dan selama kapitalisme yang menguasai dunia, kerusakan akan terus terjadi, pengisapan manusia akan terus terjadi.

Karenanya, yang dilakukan dan diimpikan Jeff Bezos, Elon Musk, juga Bill Gates, hanyalah berupaya menambal masalah tanpa mau melihat akar masalah—atau pura-pura tak tahu. Bahkan, sebenarnya, mereka pun menjadi bagian dari masalah, wong semuanya sama-sama menggerakkan kapitalisme.

Jadi, bagaimana solusinya? Thanos, Magneto, dan En Sabah Nur, memiliki solusi yang cemerlang, tapi kalian pasti tidak akan setuju—dan inilah masalah lainnya. Padahal solusi mereka masuk akal; runtuhkan peradaban, dan musnahkan manusia di bumi, hingga tinggal setengahnya!

Di Georgia, AS, ada monumen misterius yang memberi tahu cara menjadikan “bumi yang lebih baik”, yaitu dengan mengusahakan agar jumlah penduduk bumi hanya sebanyak 500 juta orang. Tidak ada yang tahu siapa pembuat monumen itu—mungkin Thanos, atau mungkin En Sabah Nur.

PS:

Kalau-kalau ada yang mengira aku cuma ngarang/mengada-ada, monumen misterius itu benar-benar ada, dan bisa dilihat/didatangi sampai sekarang. Namanya Georgia Guidestones, terletak di Elbert County, Georgia, AS. Kalian bisa googling, karena datanya sangat banyak di internet.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Desember 2019.

Cuaca yang Sangat Mbakyu

Howo hawi* pertama yang kusaksikan dalam setengah tahun terakhir.

(*Howo hawi adalah istilah teman-temanku yang Arab, untuk menyebut cuaca mendung yang adem dan menyenangkan. Secara harfiah, howo adalah cuaca, dan hawi adalah... appeeeeeuuuhh...)

Kalau diterjemahkan ke bahasa bocah, howo hawi adalah cuaca yang sangat mbakyu. Appeeeeeeuuuh!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 November 2019.

Harus Diledakkan Dulu

Kenyataannya, beberapa hal memang harus diledakkan untuk mendapat perhatian. Satu media mencoba bicara, dicueki. Dua media mulai mem-blow up hal serupa, masih dijawab apologi. Saat tiga, empat, lima, media menggempur habis-habisan, akhirnya hal penting benar-benar terjadi.

Senang membaca berita hari ini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Juli 2020.

Senin, 01 Maret 2021

Di Balik Tirai Doktrin

Sambil nunggu cokelat hangat dan udud habis.

Setiap kali aku menyerang doktrin perkawinan, selalu ada orang-orang yang menganggapku menyerang perkawinan. Padahal PERKAWINAN dan DOKTRIN PERKAWINAN adalah dua hal yang berbeda. Perkawinan adalah pilihan, doktrin perkawinan adalah manipulasi.* (Perhatikan tanda * di situ)

"Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki." 

Jika dua orang waras dan dewasa memutuskan untuk menikah, dengan memahami konsekuensi serta tanggung jawabnya, itu pilihan mereka—sebentuk pilihan yang tidak hanya dijamin konstitusi, tapi juga diakui langit; sesuatu yang bahkan para malaikat di surga tak punya hak melarang.

Tapi jika kita mengompori orang-orang lain agar cepat menikah—sambil mengiming-imingi aneka hal berbau angin sorga—itu doktrin perkawinan. Sebentuk manipulasi yang dihasilkan otak purba evolusi; yang tidak hanya merusak manusia, tapi juga memantik nyala api pertama di neraka.

Sekarang, mumpung ududku masih panjang, aku ingin mengocehkan sesuatu yang telah kutahan-tahan selama 4723 tahun. Karena sesuatu yang kutunggu-tunggu selama ribuan tahun kini telah terjadi; sebentuk kesadaran umat manusia yang selama ini disembunyikan di balik tirai doktrin.

Well...

Anak-anak sekarang (yang tercerahkan) telah mengenal istilah privilese—itu kemajuan yang sangat berarti, semacam lompatan penting dalam cara berpikir manusia. Kenyataannya, kapan pun waktunya, Homo sapiens akan sadar dan mulai memahami eksistensinya di dunia fana ini.

Dulu, kita mungkin manggut-manggut ketika diberi tahu, “Kerja keras akan membuatmu kaya.” Kita setuju, karena berpikir dua hal itu—kerja keras dan menjadi kaya—memiliki kausalitas atau keterhubungan yang masuk akal. Tapi sekarang kita tahu, masalahnya tidak sesederhana itu.

Ada banyak orang—yang jumlahnya miliaran di planet ini—bekerja keras seumur hidup, tapi mereka tidak juga kaya. Alih-alih kaya, mereka bahkan seperti terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan dan aneka kekurangan. Hasil kerja keras mereka tak pernah cukup (secara objektif).

Bagaimana "kekacauan" itu bisa terjadi? Kenapa mereka bekerja keras tapi terus miskin dan tidak juga kaya—padahal katanya “kerja keras akan membuatmu kaya”? Kenyataan itulah yang kemudian mengenalkan anak sekarang dengan istilah “privilese”, atau “sistem” jika ingin lebih luas.

Faktanya ada orang yang memiliki privilese dan tidak, dalam hal ini privilese berarti “faktor-faktor yang memungkinkan seseorang menjadi kaya”. Selama kita tidak punya “privilese” tersebut, semboyan “kerja keras akan membuatmu kaya” hanyalah omong kosong... kecuali ada keajaiban.

Bisa melihat sesuatu yang sangat penting di sini? Kerja keras dan kaya adalah dua hal yang tampak memiliki kaitan, kausalitas, sebab akibat, logis, atau apa pun namanya. Sebegitu terikat keduanya—kerja keras dan menjadi kaya—hingga miliaran orang percaya, yakin, tanpa keraguan.

Tapi fakta dan realitas kemudian menampar kepercayaan kita. Sekian miliar orang bekerja keras tanpa henti dan mereka tidak juga kaya. Sementara itu, segelintir orang bekerja santai tapi hartanya melimpah ruah. Sebut itu privilese atau sistem atau apa pun, tapi itulah realitasnya.

Sekarang kita lihat hal serupa, semboyan serupa, doktrin serupa yang sejak dulu juga dikoar-koarkan, “Menikah akan membuatmu kaya”, atau “Punya anak akan melancarkan rezeki”. 

Bisakah kita melihat kausalitasnya? Ini lebih “halu” dibandingkan “bekerja keras akan membuatmu kaya”.

Terus terang, sebagai bocah, aku kesulitan memahami kausalitas “menikah akan membuatmu kaya”. Sama sulitnya memahami kausalitas “punya anak akan melancarkan rezeki”. Wong yang jelas kausalitasnya saja—seperti “bekerja keras akan membuatmu kaya”—ternyata cuma omong kosong.

Sampai di sini, selalu ada kemungkinan orang-orang gatal yang ingin ngemeng, “Tapi kata agama...”

Mohon maaf, semboyan “menikah akan membuatmu kaya” itu bukan ajaran agama! Begitu pula, “punya anak akan melancarkan rezeki” juga bukan ajaran agama! Tolong belajarlah.

Ada banyak hal yang sebenarnya bukan ajaran agama, tapi “ditempel-tempelkan” ke agama, hingga seolah-olah ajaran agama. Atau ajaran agama yang “diselewengkan/dipelintir seenaknya”, lalu diklaim sebagai ajaran agama. Ini topik lain, dan pembahasannya bisa sampai tahun 5734.

Seperti yang sering kuocehkan, dan contoh paling sederhana, makna “Idul Fitri” itu bukan “kembali suci”. Tapi ada orang-orang yang seenaknya mengartikan begitu, lalu mendoktrinkannya ke orang-orang awam, hingga dianggap ajaran agama. Itu kekeliruan sistemik dan struktural.

Begitu pula doktrin “menikah akan membuatmu kaya”, atau “punya anak akan melancarkan rezeki”, itu bukan ajaran agama! Orang-orang alim di sekitar kita pasti tahu soal ini, tapi mungkin mereka tidak mau mengatakannya. Karena sama artinya melawan arus (kesalahan yang jadi sistem).

Karenanya tidak mengejutkan, jika setengah dari hal-hal yang kita kira ajaran agama, sebenarnya bukan ajaran agama. Wong hari raya Idul Fitri yang esensial saja dipahami secara keliru, apalagi hal-hal lain yang lebih sederhana? Tetapi, seperti yang kusebut tadi, ini topik lain.

So, jika doktrin “menikah akan membuatmu kaya” dan “punya anak akan melancarkan rezeki” bukan ajaran agama... lalu ajaran siapa? 

Kau tidak ingin mendengar jawabannya. 

Dan sori, cokelat hangat dan ududku sudah habis.

PS:

Kalau-kalau ada yang menunggu arti tanda * pada kata "manipulasi" di awal ocehan ini, jawabannya panjang sekaligus rumit, karena terkait aneka kepentingan, termasuk kepentingan evolusi, budaya, hingga kepentingan kapitalisme. Mungkin akan kuocehkan di lain waktu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Agustus 2020.

Menikah Akan Membuatmu Cekcok

Cekcok Urusan Rumah Tangga, Istri Tusuk Suami 
—@tempodotco

"Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki."
—@noffret


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Agustus 2020.

Siapa Meniru Siapa?

Membaca thread menarik di bawah ini, aku teringat pada salah satu adegan X-Men: Apocalypse, saat Charles Xavier, Alex, dan Moira MacTaggert berbincang tentang En Sabah Nur.

Moira mengatakan, "Dia (En Sabah Nur) selalu ditemani empat pengikut yang menjadi muridnya."

Alex menyahut, "Dia (En Sabah Nur) pasti meniru kitab suci."

Moira menjawab dengan satu kalimat, yang membuatku tertegun lama. Aku ingin mentranskrip kalimat itu di sini, tapi tidak nyaman. Kalau penasaran, sila tonton lagi X-Men: Apocalypse, dan perhatikan dialog mereka.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 September 2020.

Noffret’s Note: Panjat Pinang

Kita diberitahu bahwa lomba panjat pinang adalah simbol perjuangan para pahlawan meraih kemerdekaan. Faktanya, panjat pinang adalah simbol penindasan dan ketidakadilan.


Berdasarkan sejarahnya, panjat pinang merupakan simbol penindasan, ketidakadilan, dan bukti nyata ketimpangan sosial.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Agustus 2020.

Aktivitas Terpenting

Apa aktivitas terpenting yang lo harus lakukan setiap hari?
@VICE_ID

Bangun tidur, tentu saja.
@noffret


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 September 2020.

 
;