Baru membaca ini, dan terpikir, mungkin sebagian orang bertanya-tanya kenapa banyak jurnalis di Indonesia seperti menjauhi istilah “memperkosa”.
Sebut Saja Perkosa, Kenapa Masih Pakai Istilah Setubuhi, Gagahi, dan Rudapaksa? —Voxpop Indonesia
Mumpung cokelat hangatku masih penuh dan udud masih panjang, aku mau ngoceh.
Salah satu hal yang lekat dengan media di Indonesia adalah eufemisme (penghalusan bahasa). Seperti penggunaan diksi “menyetubuhi” atau bahkan “menggagahi”, padahal yang dimaksud adalah “memperkosa”. Kalau dirunut ke belakang, budaya eufemisme ini dimulai di era Orde Baru.
Pada era Orde Baru, media-media di Indonesia tidak bisa ngoceh seenaknya, karena taruhannya adalah pembredelan. Kau salah ngomong, perusahaanmu bubar. Karena tekanan semacam itu, awak media didoktrin untuk berhati-hati—sangat berhati-hati—dalam menggunakan diksi dalam tulisan.
Di masa-masa itulah, “ditangkap” menjadi “ditahan” atau bahkan “diamankan”, sementara “pemerkosaan” menjadi “penyetubuhan paksa” atau “rudapaksa”. Penggunaan diksi semacam itu, sebagai contoh, di masa Orde Baru, seperti meniti rambut dibelah tujuh, butuh kehati-hatian.
Belakangan, penggunaan eufemisme semacam itu, tanpa sadar, diwarisi oleh generasi selanjutnya. Para jurnalis yang baru terjun ke media meniru cara para seniornya dalam menggunakan diksi, dan itu terus berlangsung bahkan sampai saat ini. Padahal zamannya sudah berubah.
Para jurnalis era kekinian masih suka menggunakan eufemisme, seperti para senior mereka yang meniru senior sebelumnya. Ini praktik yang keliru, tapi tidak disadari di dunia media serta para awaknya, hingga terus diwarisi turun temurun, dan terus digunakan dalam penulisan berita.
Aku berani bertaruh, tidak ada media di Indonesia yang terang-terangan memberi tahu para jurnalis mereka agar “jangan gunakan eufemisme”.
Karena praktik semacam itu—penggunaan eufemisme—sudah dianggap kelaziman di dunia jurnalistik atau penulisan berita. Padahal ini bermasalah.
Kenyataannya, banyak jurnalis yang merasa “pekewuh” (tidak nyaman) ketika ingin terang-terangan menulis “memperkosa”, hingga terpaksa menggunakan diksi lain; “menyetubuhi”, “menggagahi”, sampai “rudapaksa”. Padahal intinya cuma mau ngomong “memperkosa”. Tapi tidak nyaman.
Jangankan menulis “memperkosa” yang mungkin terdengar kasar atau vulgar, bahkan sekadar menulis “dia” saja, banyak jurnalis yang tidak berani, karena "pekewuh" dan terbiasa menyebut “beliau”. Hasilnya, mereka kemudian menggunakan diksi lain yang terkesan aneh, “dirinya”.
Kita bisa menemukan fenomena aneh itu di hampir semua media di Indonesia. Tiap kali seorang jurnalis akan menulis “dia”, bawah sadarnya akan mengingatkan itu “kasar”. Karena tidak mungkin menggunakan “beliau” dalam penulisan berita, mereka pun lalu menulis “dirinya”.
Hasilnya, kalau cukup peka, kita akan merasa aneh tiap membaca berita yang isinya penuh kata ganti “dirinya”. Wong tinggal nulis, “Dia mengatakan bla-bla-bla”, menjadi “Dirinya mengatakan bla-bla-bla”.
Kita, dalam hal ini para jurnalis, sudah terjebak warisan eufemisme.
Sekarang bayangkan. Jika sekadar menulis “dia” untuk menyebut seseorang (narasumber) saja para jurnalis di Indonesia sudah merasa berat, apalagi terang-terangan menulis “memperkosa”?
Karenanya, editor yang sadar soal ini sangat dibutuhkan, untuk “meluruskan” setiap tulisan.
Editor media perlu menyadari bahwa menyebut “dia” (misal untuk narasumber) itu tidak salah, sebagaimana seharusnya menulis “memperkosa” untuk berita kasus perkosaan.
Jurnalisme, mestinya, berdiri tegak lurus, termasuk dalam penggunaan diksi. Tapi eufemisme membengkokkannya.
Eufemisme, khususnya dalam penulisan berita, sebenarnya bermasalah, karena ia menciptakan jarak antara pembaca dengan realitas. Padahal jurnalisme adalah upaya memotret (menulis) realitas untuk disuguhkan pada pembaca. Karena "menyetubuhi" jelas berbeda dengan "memperkosa".
Sayangnya, inilah yang terjadi pada media-media di Indonesia, wabilkhusus media-media online.
Ketika ribuan media online bermunculan di Indonesia, mereka butuh ribuan jurnalis baru. Para jurnalis pendatang baru itu, tanpa sadar, meniru para senior mereka, termasuk kelirunya.
Atmosfer media online di Indonesia juga sangat tampak saling mempengaruhi. Ketika media A menggunakan suatu diksi tertentu, media lain akan meniru, lalu media lain lagi akan meniru, dan begitu seterusnya. Contoh paling gamblang dalam hal ini adalah penggunaan akhiran “lah”.
Akhir-akhir ini, ada kekeliruan massal yang dilakukan media-media online di Indonesia dalam penggunaan akhiran “lah”—sesuatu yang seharusnya digabung dengan kata awal, tapi dipenggal.
Contoh, “katakanlah” mestinya digabung. Tapi media memenggalnya jadi “katakan lah”. Itu piye?
Jika kita teliti, ada banyak sekali diksi berakhiran “lah” yang mestinya digabung—bersatu dengan kata awal—tapi dipenggal, dipenggal, dan dipenggal. “Dialah” menjadi “dia lah”, “inilah” menjadi “ini lah”, dan seterusnya. Ivan Lanin mungkin mimisan tiap menemukan hal aneh itu.
Kekacauan ini sebenarnya bermula dari penggunaan kata-kata slang atau bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari.
Dalam bahasa gaul sehari-hari, sering muncul ucapan, misalnya, “Ya enggak, lah.” Ketika ucapan itu ditranskrip ke tulisan, akhiran “lah” memang dipenggal. Tetapi...
Tetapi, di situ ada koma—sekali lagi, perhatikan, di situ ada koma!
Ketika kita memenggal “lah” dari kata awalnya, seperti dalam contoh tadi, pemenggalan harus disisipi koma. Dengan kata lain, jika koma tidak mungkin disisipkan, artinya akhiran "lah" tidak perlu dipenggal!
Uraian soal ini sebenarnya sangat teknis, dan aku tidak mungkin menjelaskannya secara gamblang di sini karena bisa panjang sekali—setidaknya butuh 34 SKS hanya untuk mempelajari soal ini. Intinya, akhiran “lah” dalam penulisan bahasa baku mestinya digabung dengan kata awal.
Selain akhiran “lah” yang dipenggal seenaknya, akhir-akhir ini juga muncul kekacauan massal lain di banyak media di Indonesia, yaitu memenggal akhiran “nya”—lagi-lagi seenaknya. Misal, “mestinya” jadi “mesti nya”, “ucapnya” jadi “ucap nya”. Itu siapa yang mengajari?
Kekacauan massal di media ini, jika tidak segera diluruskan, lama-lama akan dianggap kelaziman baru, yang lalu akan ditiru para jurnalis pemula yang meniru para senior mereka, yang mengira hal-hal itu benar padahal salah! Sebelas dua belas dengan “memperkosa” jadi “menyetubuhi”.
Sekali lagi, ini sangat teknis, dan ocehan ini bisa sangat membosankan jika kuteruskan.
Kata kunci dalam hal ini sebenarnya sepele: Akhiran “lah” dan sebagian “nya” sering kali tidak berguna. Jika ragu-ragu menulisnya, sebaiknya hilangkan saja, daripada salah dan jadi aneh.
Contoh, “Dialah yang mengatakannya”, bisa menjadi “Dia yang mengatakan”. Akhiran “lah” di situ tidak berguna.
Begitu pula sebagian akhirnya “nya”—sebagian lho, bukan semuanya. Ada banyak akhiran “nya” yang bisa dihapus, tapi juga ada sebagian "nya" yang harus tetap ada.
Bagaimana kita membedakan mana akhiran “nya” yang bisa dihapus, dan mana yang harus tetap ada? Sekali lagi, jawabannya sangat teknis, dan karena itulah ada mata kuliah jurnalistik! Setiap editor media mestinya menguasai keterampilan ini, hingga bisa membenahi setiap tulisan.
Ini baru ngoceh soal eufemisme dan akhiran kata saja sudah panjang begini. Kalau kuteruskan, ocehan ini mungkin baru selesai pas azan subuh... tahun 8375. Tapi karena cokelat hangat dan ududku sudah habis, sampai di sini saja. Kalau mungkin ada yang ingin ditanya, sila tanyakan.
Kalau ternyata aku ketiduran, ya jawabnya besok, kalau pas login ke Twitter lagi. Tapi biasanya, sih, tidak ada yang tanya.
....
....
“Kamu ngoceh cuma nunggu udud habis, tapi kenapa ocehannya bisa panjang sekali?”
Ududku samsu.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Juli 2020.