Rabu, 10 Maret 2021

Film Bagus Versi Saya

Berapa miliuner yang kaukenal?
Kalian tahu Elon Musk, Bill Gates... persetan, 
kalian pasti tak mengenalku. Itulah yang kusuka.
One, dalam 6 Underground


Saya suka nonton film action, saya juga memfavoritkan Keanu Reeves, tapi John Wick bukan film favorit saya. Sebagai film action, John Wick jelas gahar. Penampilan Keanu Reeves dalam film itu juga ciamik. Tapi bagi saya, film itu B aja. Jika saya diminta menyusun daftar 10 film action favorit, misalnya, John Wick jelas tidak masuk.

Kenapa saya tidak terkesan dengan John Wick? Karena film itu bisa dibilang tidak ada ceritanya! Kisahnya terlalu simpel, dan kisah simpel itu dibumbui adegan berantem tanpa henti. Bahkan, dalam perspektif saya—yang tentu bisa subjektif—kisah dalam John Wick terlalu lebay. Sebagai film action, akar masalah dalam kisahnya sangat sepele, tapi dampaknya terlalu brutal. Andai John Wick tidak diperankan Keanu Reeves, saya ragu film itu akan populer.

Film action yang bagus versi saya adalah film yang ada ceritanya! Lebih bagus lagi kalau kisah dalam film itu, well... visioner.

Di antara banyak film favorit saya sepanjang masa, dua di antaranya adalah The Island dan 6 Underground. Dua film itu memenuhi semua hal yang saya inginkan dari film; aksi gila-gilaan, pertarungan brutal, kebut-kebutan asoy, ledakan dan ancur-ancuran, dan—di atas segalanya—kisah yang visioner.

The Island, sebagaimana kita tahu, mengisahkan teknologi kloning futuristik yang memungkinkan orang “menciptakan” sosok dirinya yang lain, untuk “dipanen” organ tubuhnya jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Ide cerita ini, bagi saya, sangat menakjubkan sekaligus menggelisahkan.

Bayangkan kita bisa menciptakan sosok kloning diri kita—benar-benar persis kita—melalui teknologi canggih berbiaya mahal. Sosok kloning itu diciptakan lewat mesin, dan sejak “janin” didoktrin untuk meyakini hal-hal tertentu, salah satunya bahwa dia—sosok kloning kita—adalah istimewa karena menjadi bagian yang selamat dari kehancuran bumi.

Ketika sosok kloning kita mulai tumbuh besar dan dewasa, dia hidup bersama sosok-sosok kloning orang lain. Masing-masing sosok kloning itu punya nama dalam bentuk kode. 

Mereka hidup di tempat karantina yang steril, sambil terus meyakini doktrin yang dicekokkan ke memorinya. Mereka tak pernah tahu dunia luar, karena memang dilarang keluar, dengan ancaman ada “kontaminasi”. Mereka hidup teratur, mengonsumsi makanan bergizi, berolah raga rutin, pendeknya menjadi sosok yang benar-benar sehat jiwa raga.

Jika sewaktu-waktu kita mengalami sakit berat, misal jantung kita bermasalah dan butuh transplantasi, kita tinggal menghubungi penyedia jasa kloning tadi, dan meminta agar kloning diri kita di sana dibedah untuk diambil jantungnya. Hasilnya pasti sempurna, karena transplantasi itu berasal dari sosok yang benar-benar mirip kita.

Penyedia jasa kloning punya cara cerdik untuk hal itu. Sewaktu-waktu, mereka mengadakan undian, dan nama yang muncul akan “diantarkan ke Pulau”. Dalam kisah The Island, “Pulau” adalah “tempat indah tanpa kontaminasi”. Padahal, yang terjadi bukan itu. Nama yang muncul dalam undian—yang jelas tidak muncul secara acak—sebenarnya dibawa ke ruang bedah, untuk diambil organ tubuhnya, lalu dikirim pada si pemilik kloning yang membutuhkan.

Jalinan cerita itu membuat saya termenung lama seusai nonton The Island pertama kali. Saya pikir, dalam skala tertentu, itu mirip kehidupan kita.

Kita, di dunia kita, lahir untuk kemudian didoktrin dengan keyakinan-keyakinan tertentu. Kita tumbuh besar dan dewasa dengan aneka keyakinan yang dicekokkan ke kepala kita. Seiring dengan itu, kita juga menunggu “undian” untuk diantarkan ke “tempat yang indah”. Sama seperti sosok-sosok kloning dalam The Island, kita juga tidak tahu apa sebenarnya yang akan kita lihat di “tempat yang indah” itu, selain hal-hal yang dikatakan kepada kita.

Pemikiran itu sangat menggelisahkan, dan saya benar-benar salut pada penulis skenario The Island.

Jalinan cerita yang bagus itu dibumbui adegan-adegan menegangkan, aksi kejar-kejaran, tembak-tembakan, mobil bertabrakan, ledakan demi ledakan, sampai gedung yang hancur berantakan, khas Michael Bay. Benar-benar tontonan yang asoy! Itulah jenis film favorit saya! Action, tapi ada ceritanya.

Selain The Island, film favorit saya yang kedua adalah 6 Underground. Kebetulan juga disutradarai Michael Bay. Dia benar-benar pakar dalam urusan ledakan dan ancur-ancuran, dan saya selalu orgasme tiap menonton film karyanya.

6 Underground, kita tahu, mengisahkan seorang miliuner nyentrik yang ingin meruntuhkan peradaban dengan caranya sendiri. Dia menyebut dirinya “One”. Sebenarnya, dia bisa saja menggunakan uangnya untuk membiayai visinya, sebagaimana umumnya miliuner filantropis. Tapi dia akhirnya memahami bahwa uang sebanyak apa pun tidak akan mengubah dunia sebagaimana diinginkannya... kecuali dia menggunakan tangannya sendiri.

Jadi, itulah yang kemudian dia lakukan. 

Menyadari tak mungkin menjalankan misinya sendirian, One mengumpulkan lima orang lain yang memiliki skill hebat berbeda-beda, dan membentuk semacam “perkumpulan bocah”. Mereka lalu meruntuhkan peradaban dengan cara yang brutal tapi asoy. 

“Kita tidak bisa mengubah dunia,” kata One, “tapi kita bisa menjadikannya lebih baik.”

Untuk memuluskan misi mereka, masing-masing orang harus terlebih dulu memutuskan hubungannya dengan dunia. Mereka harus pura-pura mati—dalam arti harfiah—dan memiliki pemakaman, sehingga dunia menganggap mereka benar-benar telah mati. Ini mirip kisah orang-orang sakti zaman kuno, yang moksa, tiada, tapi sebenarnya masih hidup entah di mana.

Setelah itu, mereka juga harus memutuskan hubungan dengan siapa pun yang mereka kenal semasih hidup. Setelah dianggap benar-benar mati, jejak mereka akan sulit dilacak dan ditelusuri, karena riwayat mereka di dunia dianggap telah berhenti... dan dihapus. 

One, sang pemimpin, sebenarnya memiliki istri yang cantik dan seorang anak yang masih kecil. Tapi demi memuluskan misinya, dia pura-pura mati—tewas dalam kecelakaan pesawat pribadi—dan sejak itu tak pernah lagi berkomunikasi dengan istri maupun anaknya. Dua orang yang dicintainya di dunia telah menganggapnya mati... dan One, meminjam istilah para wali, hidup dalam kematian. 

Jalan hidup yang berat semacam itu jelas hanya mampu dilakukan orang yang memiliki visi, dan percaya pada visinya. Itu bukan pilihan hidup umum yang dilakukan orang-orang umum. One, Tuhan tahu, pastilah seorang bocah yang meyakini mimpi-mimpinya!

Seperti yang dikatakan One dalam monolognya, “Dunia dibungkus pita merah, tak bisa kupotong walau dengan pedang miliaran dolar. Kami tinggalkan segalanya, semua orang, agar menjadi bukan siapa-siapa.”

One dan pasukan kecilnya mengincar pemimpin negara yang otoriter, lalu menumbangkannya dengan cara yang cerdik, penuh adegan menegangkan, tembak-tembakan brutal, kejar-kejaran, pertarungan berdarah, sampai ledakan demi ledakan. Action, tapi ada ceritanya. Dan cerita dalam 6 Underground, sebagaimana kisah dalam The Island, sangat visioner.

Yang dipikirkan One dalam 6 Underground adalah hal sama yang juga dipikirkan bocah-bocah lain yang kemudian kita kenal, dari Batman hingga Spider-Man, yang menggunakan tangannya sendiri untuk membentuk dunia sebagaimana yang diinginkannya. Bedanya, One tampil tanpa topeng, karena dia, sebagaimana yang dikatakannya, “bukan siapa-siapa”. Dia tidak butuh topeng, karena dunia tidak mengenalnya.

Dalam 6 Underground, One sempat menyatakan ada “sembilan bajingan” yang ingin ia tumbangkan. Dia telah mengalahkan satu bajingan, dan semoga Netflix melanjutkan kisah One sampai seri sembilan. 

Amin, ya Allah.

 
;