Senin, 01 Maret 2021

Di Balik Tirai Doktrin

Sambil nunggu cokelat hangat dan udud habis.

Setiap kali aku menyerang doktrin perkawinan, selalu ada orang-orang yang menganggapku menyerang perkawinan. Padahal PERKAWINAN dan DOKTRIN PERKAWINAN adalah dua hal yang berbeda. Perkawinan adalah pilihan, doktrin perkawinan adalah manipulasi.* (Perhatikan tanda * di situ)

"Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki." 

Jika dua orang waras dan dewasa memutuskan untuk menikah, dengan memahami konsekuensi serta tanggung jawabnya, itu pilihan mereka—sebentuk pilihan yang tidak hanya dijamin konstitusi, tapi juga diakui langit; sesuatu yang bahkan para malaikat di surga tak punya hak melarang.

Tapi jika kita mengompori orang-orang lain agar cepat menikah—sambil mengiming-imingi aneka hal berbau angin sorga—itu doktrin perkawinan. Sebentuk manipulasi yang dihasilkan otak purba evolusi; yang tidak hanya merusak manusia, tapi juga memantik nyala api pertama di neraka.

Sekarang, mumpung ududku masih panjang, aku ingin mengocehkan sesuatu yang telah kutahan-tahan selama 4723 tahun. Karena sesuatu yang kutunggu-tunggu selama ribuan tahun kini telah terjadi; sebentuk kesadaran umat manusia yang selama ini disembunyikan di balik tirai doktrin.

Well...

Anak-anak sekarang (yang tercerahkan) telah mengenal istilah privilese—itu kemajuan yang sangat berarti, semacam lompatan penting dalam cara berpikir manusia. Kenyataannya, kapan pun waktunya, Homo sapiens akan sadar dan mulai memahami eksistensinya di dunia fana ini.

Dulu, kita mungkin manggut-manggut ketika diberi tahu, “Kerja keras akan membuatmu kaya.” Kita setuju, karena berpikir dua hal itu—kerja keras dan menjadi kaya—memiliki kausalitas atau keterhubungan yang masuk akal. Tapi sekarang kita tahu, masalahnya tidak sesederhana itu.

Ada banyak orang—yang jumlahnya miliaran di planet ini—bekerja keras seumur hidup, tapi mereka tidak juga kaya. Alih-alih kaya, mereka bahkan seperti terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan dan aneka kekurangan. Hasil kerja keras mereka tak pernah cukup (secara objektif).

Bagaimana "kekacauan" itu bisa terjadi? Kenapa mereka bekerja keras tapi terus miskin dan tidak juga kaya—padahal katanya “kerja keras akan membuatmu kaya”? Kenyataan itulah yang kemudian mengenalkan anak sekarang dengan istilah “privilese”, atau “sistem” jika ingin lebih luas.

Faktanya ada orang yang memiliki privilese dan tidak, dalam hal ini privilese berarti “faktor-faktor yang memungkinkan seseorang menjadi kaya”. Selama kita tidak punya “privilese” tersebut, semboyan “kerja keras akan membuatmu kaya” hanyalah omong kosong... kecuali ada keajaiban.

Bisa melihat sesuatu yang sangat penting di sini? Kerja keras dan kaya adalah dua hal yang tampak memiliki kaitan, kausalitas, sebab akibat, logis, atau apa pun namanya. Sebegitu terikat keduanya—kerja keras dan menjadi kaya—hingga miliaran orang percaya, yakin, tanpa keraguan.

Tapi fakta dan realitas kemudian menampar kepercayaan kita. Sekian miliar orang bekerja keras tanpa henti dan mereka tidak juga kaya. Sementara itu, segelintir orang bekerja santai tapi hartanya melimpah ruah. Sebut itu privilese atau sistem atau apa pun, tapi itulah realitasnya.

Sekarang kita lihat hal serupa, semboyan serupa, doktrin serupa yang sejak dulu juga dikoar-koarkan, “Menikah akan membuatmu kaya”, atau “Punya anak akan melancarkan rezeki”. 

Bisakah kita melihat kausalitasnya? Ini lebih “halu” dibandingkan “bekerja keras akan membuatmu kaya”.

Terus terang, sebagai bocah, aku kesulitan memahami kausalitas “menikah akan membuatmu kaya”. Sama sulitnya memahami kausalitas “punya anak akan melancarkan rezeki”. Wong yang jelas kausalitasnya saja—seperti “bekerja keras akan membuatmu kaya”—ternyata cuma omong kosong.

Sampai di sini, selalu ada kemungkinan orang-orang gatal yang ingin ngemeng, “Tapi kata agama...”

Mohon maaf, semboyan “menikah akan membuatmu kaya” itu bukan ajaran agama! Begitu pula, “punya anak akan melancarkan rezeki” juga bukan ajaran agama! Tolong belajarlah.

Ada banyak hal yang sebenarnya bukan ajaran agama, tapi “ditempel-tempelkan” ke agama, hingga seolah-olah ajaran agama. Atau ajaran agama yang “diselewengkan/dipelintir seenaknya”, lalu diklaim sebagai ajaran agama. Ini topik lain, dan pembahasannya bisa sampai tahun 5734.

Seperti yang sering kuocehkan, dan contoh paling sederhana, makna “Idul Fitri” itu bukan “kembali suci”. Tapi ada orang-orang yang seenaknya mengartikan begitu, lalu mendoktrinkannya ke orang-orang awam, hingga dianggap ajaran agama. Itu kekeliruan sistemik dan struktural.

Begitu pula doktrin “menikah akan membuatmu kaya”, atau “punya anak akan melancarkan rezeki”, itu bukan ajaran agama! Orang-orang alim di sekitar kita pasti tahu soal ini, tapi mungkin mereka tidak mau mengatakannya. Karena sama artinya melawan arus (kesalahan yang jadi sistem).

Karenanya tidak mengejutkan, jika setengah dari hal-hal yang kita kira ajaran agama, sebenarnya bukan ajaran agama. Wong hari raya Idul Fitri yang esensial saja dipahami secara keliru, apalagi hal-hal lain yang lebih sederhana? Tetapi, seperti yang kusebut tadi, ini topik lain.

So, jika doktrin “menikah akan membuatmu kaya” dan “punya anak akan melancarkan rezeki” bukan ajaran agama... lalu ajaran siapa? 

Kau tidak ingin mendengar jawabannya. 

Dan sori, cokelat hangat dan ududku sudah habis.

PS:

Kalau-kalau ada yang menunggu arti tanda * pada kata "manipulasi" di awal ocehan ini, jawabannya panjang sekaligus rumit, karena terkait aneka kepentingan, termasuk kepentingan evolusi, budaya, hingga kepentingan kapitalisme. Mungkin akan kuocehkan di lain waktu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Agustus 2020.

 
;