Sabtu, 24 Desember 2016

Misi dan Rahasia Illuminati (2)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Sementara itu, ada orang-orang yang menyadari bahaya tengah mengancam keberlangsungan hidup mereka. Orang-orang itu memperhatikan pertumbuhan populasi yang terus meningkat, dan kehidupan di lingkaran yang makin tidak nyaman dihuni akibat jumlah penduduk yang amat padat. Sebagian orang itu berusaha dan berupaya menyadarkan masyarakatnya mengenai bahaya yang siap datang, tapi masyarakat tidak pernah mau mendengarkan. Alih-alih mendengarkan, masyarakat justru menganggap ajakan untuk sadar sebagai kesalahan.

Orang-orang yang menyadari bahaya itu lama-lama memahami, bahwa mereka hanyalah minoritas di antara masyarakat luas. Mereka hanya punya pengetahuan, tapi tidak punya apa pun yang bisa menjadi daya atau kekuatan untuk menyampaikan pengetahuan mereka agar masyarakat percaya. Jadi, akhirnya, mereka pun memilih diam. Karena berbicara juga sia-sia. Tidak ada orang yang mau percaya pada yang mereka katakan. Tidak ada yang mau memahami bahwa lingkaran tempat mereka hidup sedang dalam ancaman bahaya mengerikan.

Sekarang bayangkan bahwa lingkaran itu adalah bumi tempat kita hidup. Sementara orang-orang minoritas itulah yang lalu terbentuk sebagai Illuminati, yaitu orang-orang yang memahami suatu pengetahuan, ketika masyarakat luas tidak mampu dan tidak mau menerima pengetahuan itu.

Kita lihat...? Illuminati tidak pernah menyembunyikan apalagi merahasiakan pengetahuan apa pun. Mereka sebenarnya telah berusaha menyampaikan kepada kita, mengenai apa yang mereka tahu, yang mereka lihat, agar kita waspada. Tapi kita tidak percaya pada mereka. Oh, well, kita tidak pernah percaya. Karena, di mata kita, mereka hanyalah kaum aneh yang minoritas.

Sampai kemudian, orang-orang yang tergabung dalam Illuminati bertemu orang-orang lain yang memiliki kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh besar. Mereka terdiri dari para pengusaha, bankir, pemilik perusahaan makanan, hiburan, farmasi, penguasa jaringan media, dan lain-lain, sampai orang-orang di pemerintahan di banyak negara. Orang-orang itu disatukan oleh visi yang sama, yaitu kesadaran mengenai kebenaran pengetahuan Illuminati. Mengenai masa depan bumi di masa yang akan datang.

Orang-orang berkuasa itu memahami visi Illuminati, dan mereka bergabung demi misi tersebut. Tetapi, karena masyarakat luas sulit disadarkan mengenai pengetahuan yang mereka pahami, mereka pun akhirnya menyampaikan pengetahuan itu dengan cara mereka sendiri. Maka lahirlah sesuatu yang kemudian kita sebut “konspirasi”.

Sampai di titik itu, Illuminati mulai memasuki wilayah abu-abu.

Sejak itu, Illuminati bukan hanya kumpulan orang-orang berpengetahuan, karena mereka kini telah bergabung dengan orang-orang yang punya kekuasaan dan pengaruh. Ketika dua kekuatan itu bersatu—pengetahuan dan kekuasaan—maka bahaya paling mengerikan di bawah langit pun dimulai....

Di mata orang-orang Illuminati, manusia yang menghuni lingkaran bumi—sebagaimana yang digambarkan di atas—memiliki dua tipe. Yang pertama adalah tipe konstruktif, yaitu mereka yang memiliki kontribusi positif bagi kehidupan lingkaran atau bumi secara luas. Keberadaan mereka membawa dampak positif bagi kehidupan di lingkaran bumi. Kehidupan mereka mendatangkan manfaat, pengetahuan, dan kesadaran bagi sesama manusia.

Sementara tipe kedua adalah tipe destruktif, yaitu mereka yang tidak memiliki kontribusi apa-apa terhadap kehidupan di lingkaran bumi, selain hanya hidup, beranak pinak, menghabiskan sumber daya bumi, lalu mati. Mereka tidak memiliki manfaat apa pun, selain hanya menambah jumlah populasi. Ketiadaan mereka, bagi Illuminati, jauh lebih baik daripada keberadaan mereka, karena nyatanya mereka tidak punya kontribusi positif apa-apa bagi kehidupan di bumi.

Berdasarkan cara pandang semacam itu, orang-orang Illuminati pun berpikir, “Kenapa kita harus susah-payah memelihara bumi, sementara mereka—yang jumlahnya sangat banyak—tidak melakukan apa-apa, selain hanya beranak pinak dan menghabiskan sumber daya bumi? Daripada kita repot-repot berusaha menyelamatkan bumi dari ulah mereka, jauh lebih baik kita hancurkan saja mereka!”

Semula—sebagaimana yang telah disebut tadi—orang-orang Illuminati telah berusaha memberitahu bahaya yang menghadang masa depan bumi, di kehidupan manusia yang akan datang, jika populasi tidak terkontrol. Tapi umat manusia tidak ada yang mau mendengarkan, tidak ada yang mau percaya. Kenapa? Karena itu berhubungan dengan selangkangan mereka!

Dalam urusan kawin, homo sapiens adalah budak selangkangannya! Jadi, mereka pun terus kawin dan kawin dan kawin dan kawin, dan meledaklah populasi, seperti yang kita lihat sekarang.

Menghadapi hal itu, Illuminati akhirnya menggunakan cara lain dalam menjalankan visi mereka. Alih-alih kembali mengingatkan agar manusia mengontrol populasi, Illuminati akhirnya memanfaatkan ledakan populasi itu untuk menghancurkan manusia secara luas, sekaligus mengambil keuntungan dari kondisi itu.

Sekarang kita sampai pada titik paling krusial menyangkut Illuminati. Selama ini, Illuminati kerap dituduh atau disebut-sebut berencana menghancurkan dunia. Istilah itu sebenarnya keliru, meski maksudnya mungkin benar.

Illuminati tidak punya rencana menghancurkan dunia. Yang ingin mereka hancurkan adalah manusia, karena jumlah manusia sudah terlalu banyak! Jadi, Illuminati memang ada di belakang berbagai kerusakan yang ada di dunia ini, tapi misi mereka cuma satu—menghancurkan manusia, dan mengurangi populasi sebanyak-banyaknya.

Sejak itulah, mereka merancang program depopulasi, atau pengurangan penduduk bumi, dengan cara yang cerdas, licin, dan sistematis. Program itu dilakukan di berbagai bidang, dan mereka mengambil keuntungan sekaligus menjalankan visi mereka. Ketika rencana itu dijalankan, perbudakan umat manusia pun dimulai.

Sampai di sini, dia mengangguk-angguk, lalu berkomentar, “Kedengarannya menakjubkan. Tapi apa yang kaumaksud perbudakan umat manusia?”

Saya mengisap rokok, mengembuskan asap sesaat, lalu menjelaskan, “Jika aku harus menjelaskan secara detail, percakapan ini mungkin baru akan selesai tahun depan, karena begitu banyak yang harus kujelaskan. Tetapi, yang jelas, seperti yang kukatakan tadi, Illuminati tidak hanya terdiri dari orang-orang pintar, tapi juga orang-orang yang memiliki pengaruh dan kekuasaan besar. Ada yang menguasai dunia perbankan, makanan dan minuman, media, hiburan, kesehatan dan farmasi, sampai tokoh-tokoh berpengaruh di banyak bidang ilmu pengetahuan, yang dapat mengubah hitam tampak putih dan yang putih tampak hitam.”

Dia mengangguk.

Setelah itu, saya melanjutkan dengan paparan berikut.

Umpamakan saja saya anggota Illuminati, dan menguasai bisnis makanan serta minuman yang dikonsumsi mayoritas pasar dunia. Sangat mudah bagi saya untuk memasukkan racun dengan nama tersamar—sehingga tampak tidak berbahaya. Jika ada yang curiga, saya bisa mengontak rekan-rekan ilmuwan yang sesama anggota Illuminati untuk menegaskan bahwa bahan-bahan beracun yang saya masukkan ke dalam makanan dan minuman sama sekali tidak berbahaya. Mereka ilmuwan-ilmuwan terkenal, yang setiap ocehannya akan dipercaya.

Kemudian, rekan-rekan saya yang mengusai bisnis media—yang sama-sama anggota Illuminati—akan mengekspos ocehan para ilmuwan itu, sehingga masyarakat dunia akan ikut percaya dan meyakini bahwa bahan-bahan beracun yang saya masukkan ke dalam makanan serta minuman sama sekali tidak berbahaya.

Jadi, bisnis makanan dan minuman saya tetap berjalan lancar, orang-orang tetap mengonsumsi, dan saya mendapat keuntungan. Sementara itu, visi saya sebagai anggota Illuminati juga berhasil dijalankan, yaitu depopulasi. Semakin banyak orang mengonsumsi makanan dan minuman yang saya produksi, mereka pun mati perlahan-lahan, digerogoti penyakit. Ketika mereka sakit, mereka membutuhkan obat, dan hal itu diambil alih oleh rekanan saya, sesama anggota Illuminati, yang menguasai bisnis farmasi.

Itu baru bidang makanan dan minuman. Bisakah kita membayangkan apa yang mereka lakukan di bidang kesehatan? Mereka bisa menciptakan penyakit, sekaligus menciptakan obatnya! Di bidang perbankan? Mereka bisa menciptakan sistem yang menjerat banyak orang dalam cekikan inflasi. Di bidang media? Mereka bisa mengabarkan apa pun yang ingin mereka kabarkan, sekaligus menyembunyikan atau membuat remang-remang sesuatu yang tidak ingin mereka katakan. Pendeknya, mereka memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menjalankan misi mereka.

Berdasarkan ilustrasi ini saja, kita bisa melihat bagaimana Illuminati memanfaatkan kekuasaan mereka untuk mengambil keuntungan, sekaligus menjalankan visinya terhadap penduduk bumi.

Jika semula Illuminati khawatir dengan populasi penduduk bumi yang terus meningkat, sekarang mereka menggunakan hal itu untuk mengeruk keuntungan. Mereka tidak lagi meminta orang-orang agar berhenti menambah populasi, mereka sendirilah yang menjalankan misi itu, dengan cara mereka sendiri. Kenyataannya, dalam rencana yang dijalankan Illuminati, mereka justru mengeruk banyak keuntungan atas meledaknya populasi, karena itu artinya semakin banyak pula budak mereka.

Setelah terdiam beberapa lama, dia berujar, “Berdasarkan semua itu, apakah kau mendukung yang dilakukan Illuminati?”

Saya menjawab, “Sejujurnya, aku menghadapi dilema. Di satu sisi, aku memahami visi Illuminati memang benar. Tetapi, karena mereka menghadapi kebebalan manusia yang tidak juga memahami kekhawatiran mereka, akhirnya mereka pun menggunakan cara yang berbahaya, sebagaimana yang kujelaskan tadi. Karena mereka tidak bisa menghentikan populasi manusia, mereka pun memanfaatkan populasi itu untuk keuntungan mereka, sambil diam-diam melakukan depopulasi dan menghancurkan kehidupan manusia. Dalam hal itu, yang paling kukasihani adalah orang-orang yang tidak tahu.”

“Sepertinya rumit, ya?”

“Sangat rumit,” saya menjawab. “Persoalan ini sudah dimulai sejak beberapa abad lalu, dan gerak lajunya semakin cepat. Karena cengkeraman Illuminati semakin besar dan kuat dari tahun ke tahun, dan itu menjadikan pengaruh mereka semakin besar dan semakin kuat. Bisa dibilang, sekarang mereka telah ada di semua lini, di semua bidang, di semua tempat, tanpa dihalangi oleh batas apa pun. Sekali lagi, jika aku harus menjelaskan sampai detail, percakapan ini akan selesai tahun depan, karena harus menjelaskan banyak hal. Tetapi, yang jelas, dari uraian singkat tadi, sekarang kita mulai memahami bahwa Illuminati bukan sekadar mitos konspirasi sebagaimana yang sering diocehkan orang-orang yang tidak tahu. Illuminati benar-benar ada, bahkan di dekat kita, tapi mereka tak terlihat.”

“Selain tanda mata?”

“Selain tanda mata,” saya mengangguk. “Itu sudah menegaskan bahwa mereka tidak main-main. Tanda mata yang ada di mana-mana itu dengan jelas dan tegas telah memberitahu bahwa mereka melihat kita... meski kita tidak melihat mereka. Omong-omong, apa yang lebih hebat dari itu? Kalau kau bisa melihat apa pun, tapi kau tidak bisa dilihat siapa pun, maka kau menggenggam kekuasaan mutlak.”

Setelah terdiam sesaat, dia berujar, “Sekarang aku memahami maksud tanda mata itu. Bagaimana dengan piramida terpenggal? Maksudku, bagaimana kau mengartikan tanda itu?”

Saya menjawab perlahan-lahan, “Bisa saja aku keliru. Tetapi, yang kupahami dari tanda atau simbol itu adalah sindiran atau ejekan Illuminati kepada kita. Bagi mereka, piramida menyimbolkan tubuh manusia. Bagian paling atas atau puncak adalah kepala atau otak. Dalam lambang Illuminati, puncak piramida dipenggal, dan... apa yang ada di tengah penggalan itu?”

“Satu mata?”

Saya tersenyum. “Itulah ejekan yang kumaksud. Bagi Illuminati, kita semua sudah tidak menggunakan otak dan akal waras sebagai manusia, hingga disimbolkan dengan piramida terpenggal di bagian puncak. Tepat di tengah penggalan itu, terdapat tanda satu mata, yang menyimbolkan bahwa otak dan pikiran dan kehendak kita telah digantikan oleh otak dan pikiran dan kehendak mereka.”

Dia mengangguk. “Sekarang pertanyaan lain. Mengapa Illuminati memuja Isis?”

“Isis adalah Dewi atau Ibu Bumi,” saya menjawab. “Itu sudah menjelaskan semua hal yang dari tadi kuocehkan. Asal mula Illuminati adalah kesadaran mengenai upaya menyelamatkan bumi dari kehancuran akibat ulah manusia. Visi mereka adalah menyingkirkan atau setidaknya mengurangi jumlah manusia, demi kelestarian bumi. Karenanya wajar kalau mereka memuja Ibu Bumi.”

Dia mengangguk-angguk, lalu kembali berkata, “Dalam banyak artikel dan buku yang pernah kubaca, sering disebutkan bahwa Illuminati juga sengaja merusak moral manusia dengan narkoba, berbagai hiburan yang menyesatkan, dan lain-lain. Apakah itu benar?”

“Jawabannya merujuk pada penjelasanku tadi. Misi Illuminati cuma satu—menghancurkan manusia, menurunkan jumlah populasi, demi menyelamatkan bumi. Bagi Illuminati, semakin rusak manusia, semakin mudah pula dihancurkan. Karenanya mereka memang sengaja melakukan aneka cara yang ditujukan untuk merusak manusia—secara moral, pikiran, kesehatan, hingga rohani. Untuk tujuan itu, mereka akan menggunakan cara apa pun, karena nyatanya mereka memiliki kekuasaan di berbagai bidang, termasuk di dunia hitam dan dunia hiburan. Di Hollywood, misalnya, mereka bisa mengangkat seorang artis hingga sangat terkenal, sekaligus bisa menenggelamkan seorang artis hingga namanya dilupakan. Mereka punya pengaruh sangat besar. Dan mereka punya aturan yang tak bisa diganggu gugat, ‘Ikuti kami, atau kami akan menghancurkanmu’.”

Setelah mengisap rokok sesaat, saya melanjutkan, “Sekarang kita paham, kenapa Illuminati selalu dilekatkan dengan orang-orang terkenal, orang-orang hebat, atau orang-orang berpengaruh. Karena Illuminati memiliki pengaruh besar terhadap orang-orang terkenal itu, atau orang-orang itulah yang memiliki visi sama dengan Illuminati. Semua orang yang dicurigai sebagai anggota—atau memiliki keterkaitan dengan Illuminati—selalu orang hebat, orang terkenal, atau orang berpengaruh. Sebaliknya, sampai saat ini, kita belum pernah menemukan ada orang biasa atau orang tolol yang dicurigai sebagai anggota Illuminati. Karena kenyataannya Illuminati juga tidak sudi menerima mereka.”

Keheningan menggantung beberapa saat.

Setelah terdiam beberapa lama, dia tampak tersenyum. “Omong-omong, apakah kau sebenarnya anggota Illuminati?”

Saya membalas senyumnya. “Kalau aku anggota Illuminati, aku tidak akan menjelaskan semua ini.”

Misi dan Rahasia Illuminati (1)

Ingin sekali menulis tentang Illuminati. 
Tapi jika aku menulisnya, orang-orang pasti akan mengira 
atau menuduh aku anggota Illuminati.


“Banyak orang membicarakan Illuminati,” dia berkata. “Apakah kau setuju dengan yang mereka katakan?”

Saya tersenyum. “Memangnya apa yang mereka katakan?”

“Well, di mana-mana, orang sering membicarakan atau mengaitkan Illuminati dengan banyak hal. Bahwa Illuminati semacam konspirasi—atau apa pun sebutannya—dan mereka punya rencana buruk bagi dunia.”

“Mungkin, ya.” Saya terdiam sesaat. “Meski sebenarnya misi mereka bisa dibilang baik, namun terbentur dinding kebodohan dan kebebalan manusia.”

....
....

Malam itu kami bercakap-cakap di rumah saya, duduk santai di sofa, sambil menyesap teh hangat dan merokok. Percakapan yang menyenangkan sering mengalir ke mana-mana, begitu pula kami. Dari percakapan antah berantah bisa sampai pada topik Illuminati. Dan karena percakapan itu mungkin berguna bagi orang lain—setidaknya dapat menambah perspektif dan wawasan—maka saya pun menuliskan percakapan itu di sini.

Saya menyesap teh di gelas, menyulut rokok, lalu berkata, “Illuminati, sebagaimana arti namanya, adalah Pencerahan—sebentuk pengetahuan yang melampaui zaman. Dan setiap kali suatu pengetahuan melampaui zaman, sang pemilik akan menjadi martir—jika bukan korban. Galileo, Copernicus, Darwin, Freud, sebut lainnya. Kebetulan, di zaman kita, Illuminati mampu menggabungkan orang-orang yang sama, dengan pengetahuan bahkan kekuasaan yang sama, hingga mereka tidak lagi menjadi martir atau korban. Alih-alih menjadi korban akibat pengetahuan yang mereka miliki, merekalah yang sekarang menggunakan pengetahuan itu untuk berkuasa di atas kita semua.”

Dia menatap saya, dan berkata ragu, “Sejujurnya, aku sama sekali tidak memahami maksudmu.”

Saya tersenyum. “Kalau begitu, mari kita buat kau paham.”

Pengetahuan, atau bahkan pencerahan, adalah satu hal. Tetapi sumber daya adalah hal lain. Tanpa sumber daya yang mampu mendukung, pengetahuan tidak akan berfungsi apa-apa. Sebaliknya, sumber daya sebesar apa pun juga tidak berguna tanpa pengetahuan. Yang paling berbahaya di bawah langit bukan apa pun, tetapi ketika pengetahuan bergabung dengan sumber daya yang mampu mendukung. Ketika itu terjadi, lahirlah kekuasaan. 

Fenomena itulah yang telah terjadi sejak berabad-abad lalu. Di masa lalu, ada orang-orang yang memiliki pengetahuan—sebentuk pengetahuan yang melampaui zaman—tetapi mereka sendirian, dan tidak memiliki sumber daya yang mendukung. Karena sendirian dan tak punya kekuasaan apa pun, mereka lemah. Ketika memunculkan diri, nasib mereka sudah jelas. Mereka akan disingkirkan oleh masyarakat, dan mereka pun menjadi martir. Atau korban. Masyarakat tidak pernah bisa—atau setidaknya sulit—menerima pengetahuan baru yang bertentangan dengan kebenaran mereka, dan itulah masalah krusial yang dihadapi “orang-orang tercerahkan” sejak zaman dahulu kala.

Tahun demi tahun, sejak berabad lalu, selalu muncul orang hebat di berbagai tempat, di setiap zaman, dengan pengetahuan yang melampaui zamannya—segugus pencerahan yang sulit dipahami orang-orang lain, karena bertentangan dengan keyakinan massa. Dan nasib mereka sama—sendirian, miskin, tidak diterima masyarakat, lalu menjadi martir atau korban. Sebagian dari mereka sempat dikenal oleh sejarah, namun lebih banyak yang tidak. Dan itu terus berlangsung tahun demi tahun, bahkan dari abad ke abad.

Karena kenyataan semacam itu terus terjadi, orang-orang hebat pun mulai belajar. Sejak itu, mereka tidak lagi menunjukkan diri terang-terangan, karena nasib mereka dapat diramalkan. Begitu mereka muncul dengan pengetahuan baru, riwayat mereka akan selesai. Karena mereka sendirian. Karena mereka miskin. Karena mereka tidak memiliki kekuatan.

Ada suatu masa ketika orang-orang hebat semacam itu hidup di satu zaman yang sama, bahkan kemudian saling kenal, lalu mereka berkumpul untuk membentuk persatuan. Meski begitu, mereka tetap memilih untuk merahasiakan diri, karena menyadari pengetahuan mereka bisa mendatangkan bahaya ke dalam hidup mereka. 

Masyarakat memiliki keyakinan, bahkan kebenaran, dan masyarakat tidak akan mengizinkan siapa pun menggoyang keyakinan mereka. Dari situlah kemudian lahir sesuatu yang disebut Illuminati, yaitu sekelompok orang yang memiliki pengetahuan yang melampaui zaman mereka—sekumpulan orang yang merahasiakan diri, karena tidak ingin berkonflik dengan masyarakat.

Selama berabad-abad, Illuminati menjalani hidup dalam sunyi. Mereka tidak banyak ribut, berusaha menjalani kehidupan sebagaimana orang-orang lain umumnya, seperti masyarakat, sambil diam-diam menyembunyikan pengetahuan rahasia yang hanya mereka pahami sendiri dan kelompoknya. Sampai masa itu, Illuminati masih berupa kumpulan orang-orang lemah dan tak berdaya—selain hanya memiliki pengetahuan di kepala, yang berbeda dengan masyarakatnya.

Kemudian, suatu masa di abad yang lalu, takdir mempertemukan orang-orang itu dengan kemungkinan yang membentangkan cakrawala. Melalui alur rumit perjalanan pengetahuan, sesuatu yang semula hanya disimpan Illuminati kemudian sampai ke tangan orang-orang berkuasa. Dan, kali ini, orang-orang berkuasa itu bukan kumpulan orang bebal, tapi orang-orang yang bisa memahami pengetahuan rahasia yang disimpan Illuminati. 

Sejak itu, takdir Illuminati berubah. 

Semula, mereka hanya kumpulan orang-orang miskin yang tak punya sumber daya, selain hanya pengetahuan rahasia. Jika mereka keluar terang-terangan menunjukkan pengetahuan, nasib mereka akan selesai, seperti para pendahulu mereka. Tetapi, setelah bergabung dengan orang-orang yang memiliki sumber daya, mereka memiliki sarana bahkan kekuatan untuk menyampaikan pengetahuan mereka kepada dunia, meski dengan cara sangat tersamar. 

Mendengar penjelasan saya sampai di sini, dia menyahut sambil tersenyum, “Seperti tanda mata di banyak tempat?”

Saya ikut tersenyum. “Something like that.”

Dia kembali bertanya, kali ini dengan serius, “Kenapa mereka tidak mengatakan pengetahuannya terang-terangan?”

“Karena, seperti yang kukatakan tadi, mereka berhadapan dengan kebodohan dan kebebalan manusia.”

Setelah hening sejenak, dia berkata perlahan, “Terus terang, aku masih bingung. Pengetahuan apa sebenarnya yang dirahasiakan Illuminati, sehingga mereka sampai segitunya? Maksudku, jika memang pengetahuan yang mereka miliki benar, kenapa mereka harus menyembunyikan, bahkan merahasiakan sedemikian rupa?”

“Bagaimana dengan Galileo?” saya bertanya.

Dia menatap bingung. “Sorry?”

Saya menjelaskan, “Galileo mengatakan pengetahuan yang sebenarnya benar, dan dia terancam pancungan. Nasib sama yang dihadapi Copernicus. Lalu Darwin belakangan juga mengatakan pengetahuan yang ia tahu, dan dunia murka kepadanya. Itu beberapa contoh terkenal tentang bagaimana sikap manusia terhadap pengetahuan baru yang bertentangan dengan pengetahuan atau bahkan keyakinan mereka. Ketika pengetahuan itu dinyatakan, kita seperti membuka Kotak Pandora.”

Dia mengangguk, lalu bertanya, “Dan bagaimana dengan Illuminati? Kenapa mereka tidak meniru Galileo, atau Copernicus, atau bahkan Darwin? Toh kenyataannya dunia akhirnya bisa menerima kebenaran yang mereka katakan.”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu berkata, “Seperti yang kubilang tadi, ada masa ketika orang-orang tercerahkan hanya berdiri sendirian. Seperti Galileo. Atau Copernicus. Mereka benar, dan mereka menjadi martir. Illuminati tidak ingin mengulang sejarah yang sama. Bahkan, berbeda dengan Galileo dan yang lain, Illuminati tidak sendirian. Mereka adalah gabungan orang-orang dengan kualitas yang sama, dan—kali ini—didukung sumber daya yang luar biasa besar. Alih-alih mengeluarkan pengetahuan rahasia mereka hanya untuk menjadi martir, Illuminati justru menggunakan pengetahuan mereka untuk menguasai dunia. Dan, omong-omong, saat ini kita ada di bawah kekuasaan mereka.”

Dia menatap saya. “Kau bercanda, kan?”

Saya tersenyum. “Akan jauh lebih baik kalau saja aku memang bercanda. Sayangnya tidak. Kita, saat ini, hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan Illuminati. Itu jenis kekuasaan yang lebih berbahaya dibanding kekuasaan apa pun yang dapat kita lihat, karena Illuminati tidak terlihat. Mereka memiliki kemampuan bahkan kekuasaan dan pengaruh besar, tapi tetap tak terlihat.”

Dia menyulut rokok, lalu berkata dengan nada frustrasi, “Baiklah, anggap saja omonganmu benar. Sekarang, tolong katakan, pengetahuan keparat apa yang dirahasiakan Illuminati, hingga mereka sampai segitunya?”

Sambil menahan senyum, saya menggodanya, “Kenapa kau ingin tahu?”

“Kenapa aku ingin tahu?” Dia terbatuk karena asap rokoknya. Setelah bisa kembali berbicara, dia berujar, “Ke mana-mana, aku mendengar Illuminati disebut. Di mana-mana, aku mendengar Illuminati ada di baliknya. Film, musik, pertunjukan, buku, kesenian, tokoh-tokoh besar, dan segala macam, nyaris semuanya terkait atau dikaitkan dengan Illuminati. Memangnya siapa mereka sebenarnya, dan apa misi mereka, hingga sampai ada di mana-mana?”

“Jadi, kau sudah mengakui kalau mereka ada di mana-mana?”

“Oh, sialan, sepertinya memang begitu, kan?”

“Jadi, itulah premis pertama, bahwa kenyataannya Illuminati memang ada di mana-mana—mereka menguasai nyaris semua hal yang terkait kehidupan kita—meski keberadaan mereka tak terlihat, dan hanya tersamar. Itu cara mereka menunjukkan kekuasaan yang mereka miliki. Melalui cara itu, mereka seperti mengatakan kepada kita semua, ‘Hei, kami mengawasimu’.”

“Itu pula kenapa mereka menggunakan lambang mata?”

Saya mengangguk. “Itu pula kenapa mereka menggunakan lambang mata.”

Dia mengisap rokok sesaat, lalu kembali berkata, “Jadi, kita kembali ke pertanyaanku tadi. Pengetahuan apa yang dirahasiakan Illuminati?”

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya membuat gambar lingkaran, lalu menjelaskan apa maksud gambar lingkaran tersebut kepadanya. Inilah rahasia yang disembunyikan dan dirahasiakan Illuminati, meski sebenarnya tak tersembunyi dan tak pernah menjadi rahasia. Yang menjadikannya tersembunyi dan rahasia, karena pengetahuan itu berhadapan dengan kebebalan manusia. Yaitu kita. Oh, well, inilah lingkaran yang saya gambar. Sebuah lingkaran biasa.


Bayangkan lingkaran itu tempat kita hidup. Di dalam lingkaran itu ada tanah subur, sawah dan ladang, air bersih, sampai hewan-hewan yang bisa dijadikan makanan. Intinya, lingkaran itu memberi jaminan kehidupan yang baik dan tak berkekurangan.

Bayangkan saja, semula di lingkaran itu hanya ada dua orang, yaitu A dan B. Dua orang itu lalu beranak pinak, dan jumlah mereka semakin banyak. A dan B punya anak C, D, E, dan F. Lalu keempat anak itu berpasangan, dan kembali beranak pinak melahirkan G, H, I, J, K, L, M, N, dan seterusnya. Kembali, anak-anak serta cucu-cucu A dan B beranak pinak, dan terus lahir manusia sehingga jumlah mereka semakin banyak. 

Sampai di sini, saya membuat lingkaran-lingkaran berikut.


Kita lihat, luas lingkaran tempat mereka hidup tidak berubah. Tetapi jumlah orang yang hidup di dalamnya terus bertambah. Semula, karena jumlah penghuni lingkaran masih relatif sedikit, sumber alam di lingkaran masih berlimpah untuk menunjang kehidupan penghuninya. Jadi, selama waktu-waktu itu, mereka tidak menghadapi masalah dalam memenuhi kebutuhan hidup, karena sumber alam masih tersedia melimpah. Siapa pun yang lahir akan mendapatkan rezeki dan penghidupan, karena nyatanya tempat mereka hidup di masa itu masih luas dan subur makmur.

Dari situlah orang-orang kerap berkata kepada anak-anaknya, agar mereka memiliki banyak anak. Karena banyak anak akan menambah banyak rezeki. Orang-orang di masa itu senang memiliki banyak anak dan banyak cucu, dan mereka tidak terlalu mengkhawatirkan kehidupan, toh tempat mereka hidup masih kaya-raya. Ajaran itu pun lalu dipercaya orang lain turun temurun sebagai kebenaran, padahal itu kebenaran temporer, karena sangat terkait dengan kekayaan alam.

Lalu tahun demi tahun berlalu, dan abad berganti. Jumlah penghuni lingkaran yang semula hanya puluhan berubah menjadi ratusan. Dari ratusan membengkak menjadi ribuan, lalu jutaan. Ketika itu terjadi, beberapa orang mulai menyadari adanya masalah. Bagaimana pun, lingkaran tempat mereka hidup tidak pernah bertambah luas, sementara penghuni di dalamnya terus bertambah. Tanah-tanah subur digunakan untuk tempat tinggal, hasil alam cepat habis karena banyaknya kebutuhan, sementara jumlah hewan terus berkurang karena diburu untuk makanan manusia.

Mereka yang menyadari hal itu pun mencoba memberitahu yang lain, agar mulai menghentikan atau setidaknya memperlambat kenaikan populasi, agar jumlah penghuni lingkaran tidak terus meningkat. Tapi upaya itu sulit diterima, karena adanya doktrin masa lalu, bahwa setiap orang akan mendapat rezeki sendiri-sendiri, sehingga tidak perlu khawatir. Karenanya, ajakan untuk mengurangi jumlah kelahiran hanya menjadi ajakan yang didengar sambil lalu.

Seiring waktu, jumlah penghuni lingkaran semakin banyak. Ketika populasi mereka telah menyentuh angka miliaran, peningkatan kelahiran pun bisa dibilang mustahil dihentikan. Lalu lingkaran itu makin padat, makin padat, dan makin padat, karena penuh orang. Sementara tanah-tanah luas yang semula kosong dan menumbuhkan kekayaan alam kian menyusut. Jumlah makanan semakin menipis, bahkan udara untuk bernapas pun tidak seberlimpah di masa lalu.

Lanjut ke sini: Misi dan Rahasia Illuminati (2)

Cinta yang Peka

Lelaki Pertama berkata, “Kudengar ada cinta yang hilang perlahan-lahan, karena mention yang dihapus.”

“Karena itu melukai perasaanku yang peka,” sahut Lelaki Kedua.

Selasa, 20 Desember 2016

Noffret’s Note: Duh

Jika kata dan bahasa manusia tak berkembang, masih sebatas “Duh” hingga sekarang, isi Twitter, blog, atau apa pun hanya tiga huruf, “Duh”.

Berdasarkan penelitian, kata pertama yang diucapkan manusia pertama di muka bumi adalah, “Duh.”

Ada banyak ahli di berbagai negara yang melakukan penelitian serupa, dan menghasilkan kesimpulan sama. Kata pertama manusia adalah “Duh.”

Kata “Duh”, menurut para ahli, adalah satu-satunya kata yang mungkin bisa diucapkan manusia pertama, berdasarkan struktur lidah mereka.

Hasil penelitian soal “Duh” itu membuatku terpesona dan tertegun sangat lama. “Duh” mungkin bersifat biologis, tapi terdengar filosofis.

Manusia pertama dalam penelitian itu bisa Adam yang baru sampai di bumi, atau manusia pertama hasil evolusi. Kesimpulannya tetap sama. Duh.

Menakjubkan, kalau dipikir-pikir, betapa awal yang semula hanya “Duh” bisa berkembang dan melahirkan kata, kosakata, frasa, hingga rima.

Bahkan masih menakjubkan, kalau dipikir-pikir, jika “Duh” tidak pernah berkembang. Pasti manusia akan berkomunikasi hanya dengan “Duh”.

Aku benar-benar ingin tahu apa isi pikiran manusia pertama di bumi, saat ia (bisa) mengucapkan “Duh” sebagai kata pertama dari mulutnya.

Dalam kehidupan manusia, “Duh” tampaknya lahir untuk menjadi paradoks, antara ekspresi kegembiraan dan kesadaran menghadapi kutukan.

Kata-kata mutiara dari kakek-nenek moyang kita, ribuan tahun lalu, cuma tiga huruf. “Duh”. Dan kita mewarisi inti serta kutukan di dalamnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Oktober 2016.

Yang Terdengar di Telingaku

“Kapan kamu mau menikah? Jangan kelamaan.”

“APA? KAMU SUDAH TAK SABAR INGIN MELIHATKU SUSAH, CEPAT TUA, MENYESAL, DAN MENYEDIHKAN SEPERTIMU? YANG BENAR SAJA! SENGSARA KOK NGAJAK-NGAJAK!”

Selasa, 13 Desember 2016

Urusan Paling Gila di Dunia

Ingin percaya bahwa dunia baik-baik saja, 
tapi begitu banyak kenyataan memberitahu dan membuktikan 
bahwa dunia tidak baik-baik saja.


Sebagian orang mungkin akan mengerutkan kening, sebagian lain mungkin tidak percaya, pada yang akan saya paparkan dalam catatan ini. Tetapi, meski mungkin sebagian orang akan sulit menerima kenyataan ini, kalian bisa melakukan klarifikasi ke para ahli atau pihak-pihak berkompeten, mengenai yang akan saya katakan di sini. Oh, well, ini adalah urusan paling gila di dunia, yang sangat tampak di depan mata kita, tapi hanya segelintir orang yang menyadari.

Mari kita mulai dengan pertanyaan ini, “Siapakah pihak yang mencetak uang?”

Sembilan dari sepuluh orang, mungkin, akan menjawab, “Pemerintah!”

Salah!

Pemerintah bahkan tidak punya kuasa apa pun mengenai pencetakan uang!

Pihak yang mencetak uang adalah bank sentral. Bank sentral juga bukan milik pemerintah. Di Amerika, misalnya, bank sentral dimiliki swasta, yang disebut Federal Reserve System (biasa disingkat The Fed). Di negara lain seperti Inggris atau Indonesia, hak memproduksi uang diberikan secara eksklusif kepada bank sentral yang “independen”. Independen di sini memiliki arti serbarahasia, dan tidak bisa dikontrol oleh publik.

Masing-masing negara di dunia memiliki bank sentral sendiri-sendiri, yang memiliki kebijakan mencetak uang untuk diedarkan di masing-masing negara bersangkutan.

Dalam penjelasan normatif di Wikipedia, bank sentral didefinisikan seperti ini, “Bank sentral di suatu negara, pada umumnya adalah sebuah instansi yang bertanggung jawab atas kebijakan moneter di wilayah negara tersebut. Bank Sentral berusaha untuk menjaga stabilitas nilai mata uang, stabilitas sektor perbankan, dan sistem finansial secara keseluruhan.”

Itu penjelasan normatif. Kenyataannya, bank sentral tidak sekadar melakukan itu. Bank sentral di masing-masing negara tidak dikendalikan oleh pemerintah, karena memang—secara de facto—bukan milik pemerintah. Lalu siapa yang mengendalikan bank sentral di banyak negara? Jawabannya adalah bank sentralnya bank sentral!

Memangnya ada bank sentralnya bank sentral?

Ada! Namanya Bank of International Settlement, atau disingkat BIS. Jika kalian masih asing dengan nama itu, silakan tanya pada pakar keuangan mana pun, dan mereka akan membenarkan keterangan ini. BIS itulah yang mengendalikan bank-bank sentral di negara-negara dunia. Seluruh operasi dan mekanisme bank sentral mengikuti supervisi yang diberikan oleh BIS. Sistem ini telah dimulai sejak berdirinya The Fed pada 1913 dan BIS pada 1930-an. Jadi, bank sentral di masing-masing negara tidak tunduk pada pemerintah masing-masing, melainkan kepada BIS.

Dan siapakah yang memiliki BIS? Juga bukan pemerintah! Oh, well, bukan pemerintah mana pun!

Yang memiliki dan mengendalikan BIS adalah sekelompok orang paling berkuasa di dunia—mereka yang namanya tak boleh disebut.

Oh, saya tidak sedang bercanda!

Catatan ini merupakan catatan awal yang kelak akan menjadi serangkaian catatan panjang berisi penjelasan mengerikan mengenai sistem yang saat ini sedang membelit seluruh dunia, beserta kita di dalamnya. Tetapi, sebelum masuk lebih jauh, kita akan mulai perlahan-lahan, dengan mempelajari apa yang dilakukan bank sentral, dan bagaimana sistem yang mereka jalankan benar-benar menjadi urusan paling gila di dunia.

Omong-omong, jika dalam waktu dekat saya mati secara tidak wajar, kalian boleh curiga hal itu berkaitan dengan catatan ini.

....
....

Well, uraian ini agak sedikit rumit. Karenanya, bacalah perlahan-lahan, dengan cermat dan hati-hati, hingga benar-benar paham.

Kita mulai dari fakta tadi. Pihak yang mencetak uang bukan pemerintah, melainkan bank sentral. Setiap kali uang diproduksi, negara harus berutang kepada bank sentral. Negara, yang diwakili pemerintah, tidak bisa memproduksi uang begitu saja. Setiap kali pemerintah membutuhkan uang, pemerintah harus berutang kepada bank sentral, atau mengeluarkan surat utang untuk ditukarkan dengan uang oleh bank sentral.

Jadi, setiap kali pemerintah menerima uang dari bank sentral, uang itu merupakan utang. Dan utang itu dibebani bunga yang juga harus dibayar pemerintah. Dalam bahasa Inggris, kenyataan ini disebut dengan istilah “interest-burdened debt”. Kapan pun pemerintah butuh uang untuk tujuan apa pun, mereka akan berutang ke bank sentral. Bank sentral menggelontorkan sejumlah uang yang merupakan utang, dan utang itu dibebani bunga yang harus dibayar pemerintah.

Apakah penjelasan ini sudah terdengar aneh? Tunggu, kalian perlu mendengar kelanjutannya, karena urusan ini akan semakin aneh.

Ketika bank sentral memproduksi sejumlah uang sebagaimana yang dibutuhkan pemerintah, bank sentral mengenakan bunga yang juga harus dibayar pemerintah. Yang menjadi masalah di sini, bank sentral hanya mencetak uang sejumlah yang dibutuhkan pemerintah, tetapi tidak pernah mencetak bunganya! Jadi, uang diproduksi sejumlah yang diinginkan pemerintah, tapi bunganya tidak pernah diproduksi, padahal pemerintah harus membayar utang beserta bunga!

Sebagai contoh, pemerintah Amerika Serikat meminta The Fed (bank sentral AS) untuk memproduksi uang sebanyak 100 juta dolar. The Fed pun mencetak uang sejumlah itu, dan mengenakan bunga 6 persen. Artinya, ketika The Fed menyerahkan uang sejumlah 100 juta dolar kepada pemerintah AS, maka saat itu pula pemerintah AS memiliki utang kepada The Fed sejumlah 106 juta dolar (100 juta dolar utang + 6 persen bunga).

Yang menjadi masalah, sebagaimana yang disebut tadi, bank sentral—dalam contoh ini The Fed—hanya mencetak jumlah utang, tapi tidak mencetak bunganya. Mereka hanya mencetak 100 juta dolar, dan memberikan pada pemerintah sambil mengenakan bunga sejumlah 6 juta dolar, tapi tidak mencetak 6 juta dolar tersebut. Pertanyaannya, tentu saja, bagaimana pemerintah AS bisa melunasi utang itu sepenuhnya?

Jawabannya jelas: Tidak akan bisa!

Satu-satunya cara agar pemerintah AS bisa melunasi utang yang 100 juta dolar beserta bunganya kepada The Fed adalah... kembali berutang kepada The Fed!

Lalu utang pemerintah AS pun perlahan-lahan semakin besar. Utang berbunga utang berbunga utang berbunga utang, dan begitu seterusnya.

Sekarang kalian paham, kenapa negara-negara di dunia terbelit utang yang tak pernah selesai mereka lunasi. Karena mereka memang dibelit oleh utang yang mustahil dilunasi. Ini bukan kesalahan matematis. Ini adalah sistem yang sengaja dirancang untuk membangkrutkan negara-negara di dunia, membuat negara-negara terbelit utang dalam jumlah tak terbatas, hingga tak bisa lagi membayar. Sistem ini telah lama terjadi, dan terus berlangsung sampai saat ini.

Sekadar ilustrasi, utang pemerintah Amerika saat ini lebih dari $14.000.000.000.000 (empat belas triliun dolar), dan jumlah itu akan terus bertambah seiring waktu berjalan, karena utang besar itu akan menumbuhkan utang lain, berikut bunga yang ikut membesar, dan begitu seterusnya. Karenanya, bahkan sejak jauh-jauh hari, para ahli sudah meramalkan bahwa Amerika akan menjadi negara awal yang kelak mengalami kebangkrutan. Oh, well, siapa yang bilang mereka kaya?

Lalu berapa utang Indonesia? Hingga akhir Oktober 2016, utang pemerintah Indonesia sudah mencapai Rp 3.439,78 triliun (lebih dari tiga ribu empat ratus triliun!) Sudah terdengar banyak? Itu pun masih kurang, karena pemerintah Indonesia sedang berencana menambah utang. Dan, begitu pula, yang terjadi di banyak negara lain. Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa kenyataan ini—utang terus menerus yang dilakukan banyak negara—adalah sesuatu yang niscaya. Dengan kata lain, tidak bisa tidak!

Kemudian, yang tidak kalah gila dari semua ini, bank boleh membuat uang seenaknya, dan menggunakannya sebagai piutang yang harus dibayar berikut bunganya. Dalam ilustrasi yang mudah, temanmu bisa masuk penjara jika mencoba membuat uang palsu. Tapi bank boleh! “Uang palsu” buatan bank disebut dengan istilah “fractional reserve system” atau sistem cadangan fraksional.

Sistem tersebut membolehkan bank untuk memberi pinjaman atau kredit sebesar ratusan hingga ribuan persen dari cadangan modal yang dimilikinya. Bila cadangan wajib perbankan ditentukan 10 persen, misalnya, maka dengan modal sebesar 100 juta dolar, bank bisa memberikan kredit hingga 900 juta dolar. Tentu saja dengan mengenakan bunga bagi si peminjam.

Melihat sistem ini, kita pun mungkin berpikir bahwa cara paling cepat sekaligus paling mudah untuk menjadi kaya adalah dengan memiliki bank. Benar! Di sisi lain, pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya inflasi—karena uang yang beredar lebih banyak dari barang—juga bank.

Sudah melihat bagaimana gilanya urusan ini?

Sekarang kita mulai memahami mengapa uang yang kita miliki terus mengalami penurunan nilai dari tahun ke tahun akibat inflasi. Karena sistem yang digunakan memang sengaja diarahkan begitu. Sistem yang kita hadapi saat ini adalah sistem yang dirancang untuk memiskinkan siapa pun—negara, beserta orang-orang di dalamnya. Kemiskinan adalah hasil niscaya dari sistem yang gila ini.

Kemiskinan, disadari atau tidak, terjadi karena bank-bank memberi pinjaman atau kredit kepada publik dengan beban bunga. Yang menjadi masalah—sebagaimana dijelaskan tadi—bank mencetak uang yang ditujukan sebagai pinjaman, tetapi tidak mencetak bunganya. Akibatnya, orang-orang harus “bertarung” untuk dapat mengembalikan pinjaman yang nilainya lebih tinggi dari jumlah yang mereka pinjam. Dan dalam “pertarungan” itu, tentu saja ada yang kalah dan menang. Siapa yang menang? Bank!

Jika saya adalah bank, maka inilah permainan yang akan saya mainkan, untuk membuat saya kaya dalam waktu singkat, sekaligus membuat kalian jatuh melarat.

Sebagai bank yang berhak mencetak uang (memberi kredit) melebihi kapasitas modal, saya akan mencetak uang dalam jumlah banyak, lalu memberikannya sebagai pinjaman kepada kalian. Pinjaman itu dikenai bunga yang juga harus kalian bayar. Saya mencetak uang yang dijadikan pinjaman, tapi saya tidak mencetak bunganya. Lalu kalian berdatangan kepada saya untuk meminjam uang. Apa yang terjadi setelah itu?

Di antara sekian banyak orang yang meminjam uang kepada saya, pasti ada sebagian yang tidak akan bisa membayar. Itu sesuatu yang bisa dipastikan! Kenapa? Karena saya mencetak uang yang ditujukan untuk dipinjamkan, tetapi tidak mencetak bunganya, padahal kalian harus membayar bunga. Dan ketika sebagian orang tidak bisa membayar utang mereka, apa yang akan saya lakukan? Jawabannya sederhana; menyita aset yang menjadi jaminan mereka!

Sudah melihat bagaimana permainan ini dijalankan? Tak jauh beda dengan permainan monopoli, yang menang akan terus bertambah kaya (karena mendapatkan limpahan aset yang disita), sementara yang kalah akan semakin miskin (karena harus kehilangan aset-aset yang sudah dijaminkan ke bank). Karenanya, seiring waktu, dalam jangka panjang, para pemenang akan terkonsentrasi pada segelintir orang yang memiliki modal paling besar, yaitu para pemilik bank. Aset-aset dan kekayaan akan terus terkumpul untuk mereka.

Dua ratus empat belas tahun sebelum saya menulis catatan ini, Thomas Jefferson, Presiden Amerika, menyatakan kalimat berikut, “Bila rakyat Amerika mengizinkan perbankan swasta untuk mengontrol uang mereka—pertama-tama lewat inflasi dan kemudian dengan deflasi—bank-bank dan korporasi yang mengelilinginya akan memisahkan rakyat Amerika dari properti mereka, sampai suatu hari anak-anak mereka akan bangun dari tidur tanpa rumah di atas tanah yang ditaklukkan oleh leluhur mereka.”

Tiga puluh tahun setelah Thomas Jefferson memperingatkan hal itu, Andrew Jackson, Presiden Amerika yang lain, menemukan kenyataan mengerikan yang telah diperingatkan oleh Jefferson. Pada 1833, Andrew Jackson terang-terangan berteriak di podium, “Kalian (bankir internasional) para penjahat busuk, saya akan mengusir kalian. Demi Tuhan, saya akan mengusir kalian!”

Kemudian, pada 1852, ketika William Gladstone menjadi Perdana Menteri Inggris, dia tercengang mendapati kenyataan yang di luar bayangannya. Dalam kata-katanya sendiri, William Gladstone mengatakan, “Sejak saya bertugas di sini, saya mulai menyadari ternyata pemerintah tidak berkuasa atas masalah finansial. Mereka memang tidak direncanakan untuk berkuasa, karena pekerjaan mereka sebenarnya adalah melindungi dan menutupi ‘Kekuatan Kaya’.”

Bertahun-tahun setelah itu, pada 1934, David Lloyd, Mantan Perdana Menteri Inggris, dengan terang-terangan mengatakan, “Inggris adalah budak kekuatan finansial internasional.” Yang ia maksud adalah bahwa sebenarnya Inggris tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan apa-apa, karena kekuatan yang seolah dimiliki Inggris sebenarnya dimiliki oleh para bankir yang mengendalikan uang.

Karena kenyataan itu pula, bank adalah pihak yang paling senang ketika perang terjadi, karena perang memberi banyak keuntungan kepada bank. Ketika terjadi perang, pemerintah negara-negara yang terlibat dalam perang akan membutuhkan banyak modal untuk berperang. Karena pemerintah butuh banyak modal, mereka pun berutang kepada bank sentral. Seperti biasa, bank memberikan sejumlah yang diminta pemerintah, berikut bunganya.

Selanjutnya, utang-utang pemerintah itu dapat diperjualbelikan dan dijadikan aset oleh perbankan untuk kembali “menggandakan” uang (ingat “fractional reserve system” di atas). Semakin banyak utang pemerintah, semakin banyak pula uang yang dapat digandakan oleh bank. Semakin sering perang terjadi, bank semakin untung, karena perang adalah salah satu peristiwa ketika pemerintah akan berutang dengan jumlah luar biasa besar.

Sebagai contoh, Perang Irak menghabiskan biaya mencapai 3 triliun dolar. Kenyataan itu dibenarkan oleh Joseph Stiglitz, ekonom peraih Nobel. Bagi pemerintah negara yang terlibat perang, 3 triliun dolar adalah utang besar. Bagi bank-bank sentral, 3 triliun dolar adalah modal besar. Sekali lagi, sudah melihat bagaimana permainan ini dijalankan?

Sampai di sini, pasti sebagian orang akan berpikir, “Kalau memang begitu kenyataannya, kenapa tidak ada yang mencoba menentang atau mengubah sistem yang gila itu? Kenapa tidak ada satu presiden atau satu pemerintah atau satu negara pun, yang mencoba mengubah sistem yang jelas-jelas tidak beres itu?”

Sebenarnya, sudah ada orang-orang nekat yang pernah mencoba menentang sistem tersebut. Beberapa presiden Amerika yang paling kuat pernah mencoba melawan sistem tersebut. Abraham Lincoln, misalnya, pernah terang-terangan menentang The Fed, yang menjadi bank sentral AS. Dia tidak mau berurusan dengan The Fed. Alih-alih membiarkan The Fed mencetak uang untuk Amerika, Lincoln waktu itu memutuskan untuk membuat uang sendiri yang akan digunakannya sendiri, dan persetan dengan The Fed.

Pada 1862, Abraham Lincoln mengatakan dengan marah, “Pemerintahlah yang seharusnya mencetak dan mengedarkan uang, sesuai kemampuan belanja pemerintah dan daya beli masyarakat. Dengan mengadopsi prinsip ini, rakyat bisa dibebaskan dari bunga pajak yang sangat memberatkan. Uang akan menjadi pelayan manusia, bukan majikannya.”

Apa yang terjadi kemudian?

Kita tahu jawabannya. Abraham Lincoln mati terbunuh.

Dua puluh tahun setelah era Lincoln, James Garfield menjabat sebagai Presiden Amerika. Sama seperti Lincoln, dia juga melihat ketidakberesan yang terjadi terkait keuangan negaranya yang dikendalikan oleh bank sentral (The Fed).

Pada 1881, James Garfield menyatakan, “Siapa yang mengendalikan volume uang di sebuah negara adalah tuan sebenarnya dari industri dan perdagangan… dan ketika Anda sadar bahwa keseluruhan sistem ini sebenarnya mudah dikendalikan—oleh sekelompok kecil orang di atas—Anda tak perlu diberitahu lagi dari mana datangnya periode deflasi dan depresi.”

Karena kesadaran itu pula, James Garfield pun mempersiapkan rencana untuk menghabisi kekuasaan The Fed, dan pemerintah Amerika akan mencetak uang sendiri, agar negara serta rakyat tidak dibelit utang yang dirancang oleh bank.

Dan apa yang terjadi kemudian?

Oh, well, sejarah terulang. James Garfield mati terbunuh.

John F. Kennedy adalah presiden AS lain yang pernah mencoba melawan kekuasaan bank sentral di Amerika. Tidak jauh beda dengan Lincoln dan Garfield, Kennedy juga berpikir bahwa keberadaan The Fed di AS bukan membantu, melainkan merusak. Jadi, sama seperti Lincoln, Kennedy juga mencoba melawan.

Pada waktu itu, sebagai pemegang kekuasaan Amerika, John F. Kennedy menerbitkan silver dolar (uang dalam arti sesungguhnya, bukan kredit) dan menandatangani Executive Order 11110 untuk mencabut hak Federal Reserve dalam mencetak uang sebagai utang kepada publik Amerika. Kennedy mengatakan, “Petinggi di kantor kepresidenan telah digunakan sebagai basis untuk menghancurkan kebebasan rakyat Amerika. Dan sebelum saya meninggalkan kantor ini, saya harus menginformasikan hal ini kepada rakyat.”

Dan apa yang terjadi kemudian?

Sekali lagi, kita tahu jawabannya. John F. Kennedy tewas ditembak.

Presiden Amerika lain yang juga tewas ditembak adalah William McKinley, yang menjabat sejak 1897-1901. Sama seperti tiga presiden sebelumnya, William McKinley juga tewas akibat rencana mengubah sistem keuangan dan perbankan di negaranya.

Sekarang pikirkan, jika ada organisasi yang berani membunuh presiden Amerika Serikat karena presiden-presiden itu dianggap “tidak beres”, sekuat dan sebesar apa organisasi ini? Wong presiden Amerika saja dibunuh! Dan kalau mereka punya keberanian sekaligus kemampuan membunuh presiden Amerika, membunuh orang lain tentu jauh lebih mudah bagi mereka.

Terbunuhnya empat presiden AS itu akhirnya menjadi “pelajaran” bagi presiden-presiden AS sesudahnya, untuk tidak mencoba mengutak-atik masalah keuangan atau menentang kekuasaan bank sentral. Hal itu dipahami benar oleh Woodrow Wilson, yang juga pernah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat.

Woodrow Wilson menyadari betapa rusak sistem keuangan di negaranya, karena dikendalikan oleh sistem The Fed yang dirancang dan dikendalikan segelintir orang. Tapi dia tidak bisa apa-apa, selain hanya “nggerundel” di belakang.

Pada 1916, di sebuah pertemuan tertutup, Woodrow Wilson menyatakan, “Kita telah menjadi salah satu pemerintahan terburuk yang ada dalam peradaban. Bukan lagi pemerintahan yang memiliki kebebasan berpendapat, bukan lagi pemerintahan yang dijalankan oleh mayoritas suara, tetapi sebuah pemerintahan yang didominasi oleh sekelompok kecil orang. Sebagian orang-orang besar di Amerika—di dunia perdagangan dan manufaktur—sedang takut pada sesuatu. Mereka tahu ada sebuah kekuatan yang terorganisir, tak terlihat, rumit, yang membuat mereka sebaiknya tidak bicara terlalu keras kalau ingin mengutukinya.”

Woodrow Wilson hanya bisa sebatas nggerundel. Karena dia tahu, kalau dia mencoba mengusik sistem yang telah kuat itu, nasibnya akan sama dengan empat presiden sebelumnya. Belakangan, pada 1924, Woodrow Wilson bahkan sampai mengutuki diri sendiri, dengan mengatakan, “Saya manusia yang paling tidak bahagia di dunia. Saya secara tak sengaja telah menghancurkan negara saya.” Kalimat itu ia ucapkan terkait keputusannya dalam memberikan kewenangan pada The Fed di AS, akibat tidak bisa menolak tekanan.

Yang belum lama terjadi, Muammar Gaddafi di Libya juga telah menyusun rencana untuk mengubah sistem perbankan di negaranya, dengan meniadakan bank sentral. Gaddafi, sebagaimana Lincoln dan Kennedy, juga menyadari bahwa keberadaan bank sentral diam-diam menggerogoti negaranya, dan dia memutuskan untuk mengubah keadaan itu.

Apa yang kemudian terjadi?

Berbagai media mainstream dunia seketika memfitnah Gaddafi dengan tuduhan-tuduhan mengerikan, lalu Amerika menyerang Libya, dan riwayat Gaddafi tamat. Oh, well, kalian pikir perang di Libya kemarin buat apa? Gaddafi mungkin gila, tapi dia bukan orang berbahaya. Yang menjadikan Gaddafi berbahaya, karena dia berencana mengubah sistem bank sentral di negaranya! Rencana itu pulalah yang membuatnya terbunuh.

Di Indonesia, Presiden Jokowi juga pernah melontarkan ide serupa, terkait dengan bank sentral. Pada 1 April 2016, Jokowi menyatakan ingin membubarkan Bank Dunia atau bank sentral. Satu tahun sebelumnya, dalam Konferensi Asia-Afrika pada 22 April 2015, Presiden Jokowi bahkan terang-terangan menyatakan bahwa lembaga semacam Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) harus dibubarkan. Salah satu berita mengenai hal tersebut, bisa dibaca di sini.

Sebagai orang berlatar belakang pedagang, Jokowi pasti paham pengaruh merusak yang ditimbulkan oleh bank sentral, karena neraca perdagangan telah mengajari Jokowi mengenai untung-rugi. Tetapi, lontaran Presiden Jokowi waktu itu tidak terlalu menarik perhatian banyak orang—kenapa? Karena kebanyakan orang tidak paham apa maksud Jokowi!

Urusan bank sentral dan sistem keuangan yang kita jalani saat ini adalah urusan paling gila di dunia, tetapi ironisnya hanya segelintir orang yang tahu dan menyadari bahaya di baliknya. Terkait Presiden Jokowi, sejak melontarkan idenya yang “revolusioner” tempo hari, sampai saat ini masih belum ada tindakan apa-apa. Kemungkinan besar, Presiden Jokowi akhirnya juga melihat, dan tahu, siapa yang harus dihadapinya, dan mungkin jadi berpikir-pikir lagi untuk menindaklanjuti rencananya.

Jadi, inilah urusan paling gila di dunia—sebuah sistem yang absurd dan jelas-jelas merusak serta merugikan, tapi terus (terpaksa) dijalankan, karena sistem itu dilindungi orang-orang paling berkuasa di dunia. Sistem itu telah dirancang jauh-jauh hari, setidaknya sejak abad ke-16, dan membawa satu misi yang pasti: Memiskinkan negara-negara di dunia, dan membuat kaya segelintir orang. Pada akhirnya, sistem inilah yang akan mengantarkan umat manusia menuju satu pemerintahan dunia, sekaligus memulai abad perbudakan terbesar sepanjang masa.

Jika kalian menganggap ini terdengar seperti teori konspirasi, tunggu catatan-catatan yang akan datang... tahun depan.

Jika saya masih hidup.

Noffret’s Note: Ignorant

Dulu, aku meributkan Perang Dunia III, dan orang-orang menyebutku paranoid. Sekarang mereka mulai khawatir, dan aku menyebut mereka ignorant.
—Twitter, 8 Oktober 2016

Kalau orang-orang mengira mereka bisa kawin, beranak-pinak, dan memenuhi dunia hingga penuh sesak tanpa konsekuensi... mereka keliru.
—Twitter, 8 Oktober 2016

Dunia bawah tanah internet (deep web) saat ini sedang membahas satu topik yang sama: Perang Dunia III. Dunia tidak sedang baik-baik saja.
—Twitter, 8 Oktober 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Si Unyil Pergi ke Pasar

Dari situlah, segala kompleksitas, bahkan ideologi, dimulai.

Kenyataannya tak semudah yang tampak. Oh, well, tak semudah yang tampak.

Sabtu, 10 Desember 2016

Kerinduan di Pantai

“Ada saatnya takdir berubah. Dan jika kau menginginkan 
takdirmu berubah, kaulah yang harus mengubahnya.”
Seseorang, 17 tahun yang lalu


Di suatu hari libur, Panda dan aku pergi ke pantai. Semula, kami hanya berencana melihat ikan-ikan hias di depan bank di dekat pasar. Tapi kemudian, entah bagaimana awalnya, kami memutuskan pergi ke pantai.

Panda dan aku masih kecil, waktu itu. Aku masih kelas tiga SD, sementara Panda kelas empat. Kami berteman akrab, sebagai sepasang bocah miskin yang malang. Seminggu sekali, saat sekolah libur, aku dan Panda sering datang ke tempat penjual ikan hias, yang tak jauh dari pasar.

Tidak jauh dari pasar, ada sebuah kantor bank, yang tutup saat hari libur. Di depan bank, ada penjual ikan hias yang berjejer, dan mereka memamerkan ikan-ikan di kantong-kantong plastik. Aku senang sekali melihat ikan-ikan di sana, begitu pula Panda. Kami sama-sama tidak bisa membeli ikan-ikan yang indah itu, karena tak punya uang, tapi kami sudah senang melihatnya. Jadi, setiap sekolah libur, aku dan Panda jalan kaki menuju ke sana.

Suatu pagi menjelang siang, seperti biasa, Panda dan aku menikmati libur sekolah dengan melihat ikan hias di sana. Meski kami harus jalan kaki cukup jauh, tapi rasa lelah seperti terbayar lunas saat bisa asyik memandangi ikan-ikan hias di sana. Pada hari itulah, kami tiba-tiba ingin pergi ke pantai. Jadi, setelah puas melihat-lihat ikan hias di depan bank, kami memutuskan jalan kaki menuju pantai.

Perjalanan menuju pantai cukup jauh. Sebenarnya bahkan sangat jauh, karena jaraknya lebih dari 10 kilometer. Tapi dengan naluri anak-anak, kami anggap itu petualangan. Jadi, kami berdua jalan kaki ke sana. Dan langkah-langkah kecil kami kemudian sampai di pantai. Di sana, Panda dan aku mencari pagar yang bisa diterobos untuk masuk ke pantai, karena kami tidak punya uang untuk membayar tiket masuk.

Di masa itu, pantai hanya dipagari dinding kayu. Beberapa bagian ada yang keropos, berlubang, hingga aku dan Panda bisa merangkak lewat lubang dan masuk ke pantai.

“Akhirnya kita sampai di pantai,” ujarku pada Panda.

Panda menatap hamparan pasir pantai yang bersih, dengan kerang-kerang yang berserakan di mana-mana. Lalu kami asyik memunguti kerang-kerang yang ada di sana, dan mengumpulkannya dalam tas plastik yang kami temukan. Saat memunguti kerang-kerang itu, aku merasa sedang mengumpulkan harta karun.

Pantai di masa itu masih sangat indah. Di sana juga ada ayunan, jungkat-jungkit, dan papan luncur. Bagi yang punya uang, tersedia kapal yang bisa disewa untuk berlayar ke tengah laut. Kebetulan, waktu itu, ada serombongan anak-anak dan beberapa orang dewasa—sepertinya dari sebuah sekolah yang sedang menikmati liburan—dan mereka menyewa sebuah kapal untuk pergi ke tengah laut. Orang-orang dewasa pada rombongan itu tampak sedang tawar menawar harga dengan pemilik kapal.

Panda berkata kepadaku, “Bagaimana kalau kita bergabung dengan mereka, biar bisa menikmati pemandangan di tengah laut?”

Tanpa berpikir dua kali, aku menyetujui usul Panda. Kalau kami bergabung dengan rombongan anak-anak itu, keberadaan kami mungkin akan dianggap sebagai rombongan mereka, pikirku waktu itu. Jadi, sambil berlari-lari kecil, aku dan Panda mendekati kapal tersebut, dan bergabung dengan anak-anak yang menaiki kapal. Lalu kapal meninggalkan pantai, dan menuju ke tengah laut.

Pemilik kapal membiarkan kami menaiki kapal, karena mungkin mengira kami bagian dari rombongan. Lalu kapal benar-benar melaju ke tengah laut. Panda dan aku menikmati keasyikan itu, sampai kemudian kapal berhenti di tengah laut yang tenang, membiarkan para penumpang menikmati pemandangan di sana. Pada waktu itulah, aku baru tahu bahwa debur ombak hanya ada di pinggir pantai. Di tengah laut, air begitu tenang. Warnanya hijau kebiruan. Itu pemandangan yang tak pernah bisa kulupakan sampai hari ini.

Hingga kemudian, kapal kembali bergerak, untuk kembali ke pantai. Saat itulah, orang-orang dewasa dalam rombongan mulai memperhatikan kami, dan mengenali kami bukan bagian rombongan mereka. Orang-orang dewasa itu tampak berbisik-bisik, dan aku bisa memahami kalau mereka membicarakan kami.

Diam-diam aku berkata lirih pada Panda, “Mereka mengenali kita. Mereka tahu kita bukan rombongan mereka.”

Panda mencoba menenteramkan, “Tak perlu khawatir.”

“Bagaimana kalau mereka menurunkan kita dari kapal?” tanyaku bingung.

“Aku akan menjagamu,” jawab Panda. Usia Panda dua tahun lebih tua dariku, dan dia bersikap seolah kakakku.

Akhirnya, kapal kembali sampai di pantai. Begitu kapal mulai berhenti, aku dan Panda segera melompat dari kapal dan berlari sambil membawa bungkusan plastik berisi kerang yang tadi kami kumpulkan. Kami tertawa-tawa senang, waktu itu, karena berpikir bisa menikmati hiburan menyenangkan secara gratis. Kelak, bertahun-tahun kemudian, aku sering merindukan kembali masa-masa itu.

Saat matahari siang makin panas, Panda dan aku memutuskan pulang, meninggalkan pantai. Sekali lagi kami berjalan kaki, menempuh perjalanan jauh, melangkah dengan kaki-kaki kecil kami di trotoar... menuju pulang. Tangan kami membawa tas plastik berisi kerang yang tadi kami kumpulkan di pantai, dan aku merasa sedang membawa harta berharga.

Di tengah perjalanan, diterpa terik matahari, kadang kami beristirahat, melepas lelah. Rasanya ingin minum es yang banyak terjaja di pinggir-pinggir jalan. Tapi kami tidak punya uang. Jadi, saat akhirnya sampai di rumah, kami pun segera minum sepuas-puasnya.

Tubuh kami basah, waktu itu, oleh keringat. Dan kotor oleh debu. Tapi aku senang. Kupikir, Panda juga pasti senang dengan pengalaman kami hari itu.

Seiring kehidupan yang berjalan, Panda dan aku masih terus berteman. Saat dia naik kelas enam SD, aku naik kelas lima. Waktu itu, Panda mulai mengenal dunia jalanan. Setiap sore, dia pergi dari rumah, dan biasanya pulang larut malam. Suatu hari dia bercerita, sekarang dia mulai berusaha mencari uang, dengan menjadi tukang parkir liar. Hasilnya tidak banyak, tapi cerita Panda membuatku tertarik. Mendapatkan uang, bagiku waktu itu, terdengar seperti berita dari surga.

Saat kunyatakan maksudku untuk mengikutinya, Panda berkata, “Ada tempat yang masih kosong, belum dikuasai siapa pun. Kau bisa mencari uang di sana.”

Itulah awal mula, sekaligus cerita pembuka, yang kelak mengantarkanku pada serangkaian kisah yang kemudian mewarnai kehidupanku selanjutnya. Sejak itu, mengikuti Panda, aku mulai memasuki dunia jalanan. Tempat “operasi” kami cukup berjauhan, dipisahkan jarak sekitar 50 meter. Tetapi, seperti biasa, Panda menenteramkanku dengan kata-kata saktinya, “Aku akan menjagamu.”

Hari ini, saat mengingat kembali masa-masa itu, kadang aku ngeri sendiri membayangkan betapa masih kecilnya aku waktu itu. Masa-masa ketika aku seharusnya tenteram di rumah, justru kuhabiskan di jalanan. Malam-malam ketika seharusnya damai di kamar, justru kugunakan untuk mencari uang. Larut malam ketika seharusnya terlelap di tempat tidur, aku masih menghadapi kenyataan yang amat pahit. Satu-satunya hal yang menguatkanku waktu itu adalah janji Panda, “Aku akan menjagamu.”

Dan Panda memenuhi janjinya. Dia benar-benar bersikap seperti kakak terhadapku. Dia berusaha memastikan aku benar-benar aman tanpa diganggu siapa pun. Lalu malam demi malam terus berlalu, dan aku makin terbiasa menjalani kehidupan di sana—di jalanan, bersama anak-anak lain, dan mengenal banyak hal yang sebelumnya tak pernah kutahu. Perlahan-lahan, temanku di sana bertambah, dan kami menikmati kehidupan malam seperti berandal-berandal kecil penguasa dunia.

Sekitar satu tahun sejak itu, Panda berkata kepadaku, “Sepertinya kita harus berpisah sementara waktu. Aku berencana ikut kapal, dan mungkin sampai beberapa bulan.”

Aku menatapnya. “Bagaimana dengan sekolahmu?”

Panda menunduk. “Aku tidak meneruskan sekolah. Orangtuaku tidak mampu membiayai.”

Waktu itu Panda telah lulus SD, dan aku kelas enam. Setelah lulus, Panda tidak meneruskan SMP, karena—seperti yang dikatakannya—orangtuanya tidak mampu membiayai. Jadi, ketika ada tawaran ikut kapal, Panda tertarik untuk ikut.

Kapal-kapal penangkap ikan memang kerap membuka lowongan bagi siapa pun yang ingin bekerja bersama mereka. Pekerjaannya tidak bisa dibilang ringan. Orang-orang yang “ikut kapal” harus siap hidup berbulan-bulan di tengah laut, berusaha mencari dan menangkap ikan, serta mengurus segala sesuatu yang diperlukan di laut. Biasanya, kapal-kapal itu bahkan berlabuh di pulau lain atau negara lain, sehingga orang yang bekerja di kapal penangkap ikan biasanya baru pulang setelah berbulan-bulan.

Aku berkata pada Panda, “Aku pasti akan merindukanmu.”

Sejak itu, Panda dan aku benar-benar berpisah. Dia berangkat bersama kapal yang diikutinya, sementara aku meneruskan kehidupan sebagaimana biasa—pagi ke sekolah, sore pergi dari rumah, lalu menghabiskan malam hingga larut di jalanan. Bisa dibilang tak ada yang berubah waktu itu, selain bahwa kini aku tak bisa lagi bersama Panda seperti sebelumnya. Dia teman terdekatku waktu itu, dan aku sangat kehilangan dirinya.

Enam atau tujuh bulan kemudian, Panda pulang. Kami kembali bertemu, dan aku pangling melihatnya. Tubuhnya makin berisi, wajahnya makin keras, dan kulitnya makin gelap.

“Pekerjaanku berat sekali,” ujar Panda menceritakan. “Siang hari, kami harus disengat panas matahari. Makanan kami hanya nasi dan ikan, terus begitu berbulan-bulan. Dan kalau malam, dinginnya luar biasa.”

Aku bertanya, “Jadi, kau tidak akan ikut kapal lagi?”

Panda tersenyum. “Aku akan ikut kapal lagi. Meski pekerjaanku berat, aku bisa menghasilkan uang cukup banyak.”

Dua bulan kemudian, Panda kembali pergi, mengikuti kapal pencari ikan. Sejak itu, kami pun hanya bertemu sekali-sekali, saat kapalnya berlabuh dan dia bisa pulang, lalu kami mengobrol seperti sebelumnya. Selama waktu-waktu itu, aku sama sekali tidak tahu bagaimana kehidupan Panda di tengah laut bersama kapal yang diikutinya. Yang jelas, kehidupanku masih sama, tak berubah, dan masih ada di jalanan, bersama romantika dan kekerasan, bersama luka-luka dan hening rembulan.

Suatu waktu, saat aku kelas tiga SMP, Panda pulang, dan dia menyatakan akan seterusnya berada di darat (tidak lagi mengikuti kapal pencari ikan). “Aku bosan,” katanya waktu itu.

Setelah tidak lagi ikut kapal, Panda memutuskan untuk kembali ke jalanan. Tapi ada satu masalah waktu itu. Tempat (lahan di jalanan) yang semula dikuasainya, kini telah dikuasai orang lain. Panda menemui orang itu, mengatakan bahwa tempat itu semula miliknya, dan dia meminta orang tersebut angkat kaki dari sana. Singkat cerita, mereka saling cekcok, dan terjadi perkelahian. Itu peristiwa yang tak bisa kulupakan sampai hari ini.

Sebenarnya, usia Panda lebih muda dibanding lawannya. Tetapi, karena kerja kerasnya di kapal, tubuhnya jauh lebih besar serta lebih kuat. Bahkan, sebenarnya, lebih menakutkan. Pada malam itu pula, aku melihat pertama kali bagaimana Panda bisa begitu brutal dan mengerikan. Darah tercecer di jalanan malam itu, dan sejak itu Panda kembali menguasai tempat yang semula dimilikinya.

Tidak lama setelah itu, aku mulai melihat Panda sering mabuk, dan kadang aku memapahnya pulang saat malam telah larut. Kadang dia ngoceh tanpa sadar, kadang hanya diam. Yang jelas, sejak itu, Panda yang kukenal dulu tampak berubah. Jika sebelumnya dia sabar menghadapi orang lain, kini sangat pemarah. Jika sebelumnya kadang mau mengalah, sekarang berubah sangat kejam. Sejak kembalinya Panda ke jalanan, kehidupan di sana bisa dibilang menegangkan. Dan, bisa dibilang, sekarang akulah yang menjaganya.

Di masa itu, dunia jalanan bisa dibilang masih “primitif”—belum seteratur atau seberadab sekarang. Bisa dibilang, waktu itu, yang terkuatlah yang akan menang. Kadang-kadang, ada beberapa orang yang ingin menghabisi Panda—akibat kekerasan dan kekejaman yang dilakukan Panda—tapi mereka kebetulan kenal denganku sebagai sesama bocah yang hidup di sana. Biasanya, aku berkata pada mereka, “Biar aku bicara dengannya, siapa tahu dia bisa berubah.”

Tapi Panda tidak berubah. Dia masih keras, kejam, brutal, dan tanpa ampun. Puncaknya terjadi ketika suatu malam dia terlibat perkelahian yang sangat brutal, dan darah kembali tercecer di jalanan... lalu Panda menghilang.

Aku masih kelas dua SMA waktu itu. Dan, sejak itu, aku tak pernah lagi melihat Panda. Yang kudengar, Panda pergi ke luar pulau. Beberapa orang di jalanan bertanya kepadaku tentang keberadaan Panda, dan aku benar-benar tak tahu.

Lalu waktu-waktu berlalu.

Hingga lulus SMA, aku tidak pernah lagi bertemu Panda. Seiring dengan itu, aku makin sibuk dengan kehidupanku sendiri. Aku sudah meninggalkan jalanan, memasuki dunia baru, dan mulai bermimpi membangun kehidupan yang lebih baik. Seseorang berkata kepadaku, “Ada saatnya takdir berubah, Nak. Dan jika kau menginginkan takdirmu berubah, kaulah yang harus mengubahnya.”

Aku mengubah takdirku. Aku mengubah kehidupanku. Sebenarnya, aku bahkan mengubah diriku. Sejak itu, aku benar-benar melepaskan diriku yang dulu, dan menjalani proses metamorfosis untuk menjadi diriku yang baru. Sejak itu, duniaku benar-benar berubah.

Tujuh tahun sejak menghilang, Panda kembali muncul dalam kehidupanku, dan kata-kata pertamanya adalah, “Kau sudah berubah.”

Aku menatapnya, dan mendapati sosok yang dulu pernah dekat denganku. Panda tidak banyak berubah, selain tampak lebih dewasa dan matang. Jadi, itulah yang kukatakan kepadanya, “Kau juga sudah berubah.”

Panda tersenyum. “Maksudku bukan itu. Aku sangat mengenalmu, dan kau yang sekarang bukan lagi kau yang dulu. Apa yang terjadi?”

Aku membalas senyumnya. “Kau tidak ingin tahu.”

Sejak itu, pertemuan kami hanya terjadi sewaktu-waktu. Karena aku makin sibuk, dan Panda entah ke mana. Kadang-kadang dia muncul, kadang-kadang dia menghilang. Lebih sering dia menghilang.

....
....

Kemarin aku duduk di pantai, tempat Panda dan aku pernah menikmati hari di sana, bertahun-tahun lalu. Kemarin aku duduk di pantai, tempat Panda dan aku pernah naik kapal bersama rombongan anak-anak ke tengah lautan, bertahun-tahun lalu. Kemarin aku duduk di pantai, tempat Panda dan aku pernah memunguti kerang yang terserak di pasir, bertahun-tahun lalu.

Kemarin aku duduk di pantai, dan membayangkan Panda, membayangkan hidup, membayangan kehidupan kami.

Kemarin aku duduk di pantai, dan tiba-tiba merindukan Panda, mengharapkan dia duduk di dekatku, seperti bertahun-tahun lalu.

Risa Kasumi adalah Mbakyu

Begitu pula Ren Mukai dan Yui Tatsumi.

Tebak-tebakan Bocah

Kamu yang ingin, dia yang dapat.

Kamu ingin lagi, dia yang dapat lagi.

Terus begitu. Kamu ingin, dia yang dapat.

Meski begitu, kamu selalu ingin, dan dia selalu dapat.

Meski begitu juga, kamu tidak sadar, dan berpikir kamulah yang dapat.

Jadi, kamu ingin terus, dan merasa kamu yang dapat, padahal dia yang dapat terus. Karena ingin terus, kamu pun rela melakukan apa pun agar merasa dapat, padahal dia yang selalu dapat. Sebenarnya, dia sudah untung, karena selalu dapat. Tapi karena kamu ingin terus, dan kamu merasa dapat terus, dia pun menggunakan itu untuk mempersulitmu. Meski dia yang selalu dapat, dia bersikap seolah kamu yang dapat.

Lama-lama, aturan semacam itulah yang terjadi. Kamu yang ingin, dia yang dapat. Karena kamu merasa dapat, kamu ingin terus. Karena kamu ingin terus, dia mempersulitmu, karena tahu dipersulit seperti apa pun kamu akan terus ingin. Bahkan, karena dipersulit, kamu makin ingin dan makin merasa dapat. Padahal tetap dialah yang dapat, dan kamu hanya sebatas ingin dan ingin.

Lama-lama, kamu maupun dia sama-sama tidak sadar siapakah yang sebenarnya ingin, dan siapakah yang sebenarnya dapat.

Apa hayo...?

Senin, 05 Desember 2016

Terpaksa Menjadi Manusia

Hidup akan jauh lebih sederhana, dan lebih mulia, 
kalau saja setiap manusia menyadari dirinya manusia.


Bagi sebagian orang, memasuki Singapura jauh lebih sulit dibanding memasuki negara lain. Bukan urusan izin masuk ke negara tersebut, melainkan karena ketatnya peraturan yang diberlakukan di Singapura. Sebagai negara maju, Singapura terbuka kepada siapa pun yang ingin berkunjung. Tapi mereka menerapkan aturan ketat, yang kira-kira berbunyi, “Patuhi aturan kami, atau silakan pergi ke neraka!”

Sebagian orang mungkin sudah tahu, bahwa Singapura melarang penjualan permen karet. Jadi, orang yang biasa mengunyah permen karet harus menghadapi masalah satu itu, dan tidak bisa bebas menikmati kebiasaannya. Karena, jika ketahuan—dan kemungkinan besar memang akan ketahuan—orang yang mengunyah permen karet di wilayah Singapura akan dihukum denda yang besarnya mencapai 500-1.000 dollar.

Itu denda untuk pelanggaran pertama. Jika orang tersebut kembali ditemukan mengunyah permen karet di wilayah Singapura, denda yang dikenakan naik hingga 2.000 dollar, dan diwajibkan mengikuti Corrective Work Order (CWO).

CWO adalah hukuman membersihkan fasilitas publik, dan mereka yang dihukum CWO diharuskan memakai jaket berwarna terang. Pada saat orang-orang menjalankan hukuman CWO, media-media di Singapura akan berdatangan untuk meliput, sehingga menimbulkan efek malu dan jera. Kalau kau dua kali ketahuan mengunyah permen karet di Singapura, hampir bisa dipastikan kau akan terkenal, karena tampangmu akan muncul di banyak media di sana, dan masyarakat Singapura akan menganggapmu “orang tak beradab”.

Itu baru urusan permen karet.

Selain mengurus permen karet, pemerintah Singapura juga mengurus hal lain, di antaranya meludah dan buang air sembarangan. Orang tidak bisa cah-coh seenaknya di Singapura, sebagaimana orang tidak bisa kencing seenaknya. Jangankan kencing sembarangan, bahkan orang di Singapura tidak bisa seenaknya buang air besar di toilet umum tanpa disiram.

Sebagaimana ketahuan mengunyah permen karet, meludah sembarangan juga akan dikenai denda. Begitu pula kencing sembarangan, atau buang air di toilet tanpa disiram. Semuanya dikenai hukuman denda, yang mencapai 2.000 dollar (kalau belum naik). Buang sampah sembarangan juga diancam hukuman yang sama.

Percaya atau tidak, di toilet-toilet umum Singapura terpasang detektor tinja yang bisa mendeteksi apakah seseorang menyiram toilet dengan benar atau tidak. Kalau kau buang air besar dan tidak disiram, beberapa petugas sudah siap menyambutmu begitu kau keluar dari pintu toilet. Karena, di Singapura, yang kaulakukan adalah kejahatan—perbuatan yang tidak beradab.

Selain masalah permen karet, meludah sembarangan, dan urusan buang air, Singapura juga menerapkan berbagai aturan lain yang mungkin terkesan lebay, jika diukur menggunakan ukuran kita (orang Indonesia). Misalnya, Singapura tidak mengizinkan orang memelihara kucing. Alasannya sederhana, karena kucing suka buang kotoran sembarangan, dan itu bisa merusak kebersihan kota.

Bagaimana dengan anjing? Orang Singapura boleh memelihara anjing, tapi tidak sembarang anjing. Anjing yang diizinkan dipelihara di Singapura adalah anjing kecil, semisal chihuahua. Sementara anjing berukuran besar, semisal golden retriver atau siberian husky, tidak diizinkan. Selain itu, penduduk di sana hanya boleh memelihara satu ekor anjing untuk setiap satu rumah. Kecuali kalau kau punya rumah yang sangat besar, kau boleh memelihara hingga tiga ekor anjing. Tapi tetap anjing kecil.

Bagaimana dengan senjata api? Wong memelihara anjing saja tidak bebas, apalagi memiliki senjata api? Singapura sangat tegas dan tidak main-main dalam urusan kepemilikan senjata api. Pistol dan senapan hanya dimiliki polisi. Orang tidak bebas memiliki senjata api, jika tidak ingin berhadapan dengan hukum Singapura yang tanpa ampun. Karenanya, penjahat di sana—yang jumlahnya segelintir—paling banter membawa pisau sebagai senjata.

Sebagian orang mungkin bertanya-tanya, kenapa pemerintah Singapura sampai segitunya dalam mengatur warga? Kenapa urusan permen karet saja sampai diatur? Kenapa meludah saja sampai dihukum? Kenapa buang air tidak disiram saja sampai didenda? Kenapa memelihara kucing saja tidak boleh?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita harus flashback ke masa lalu, untuk melihat asal usul semua itu.

Di masa kini, Singapura adalah negara yang maju, bersih, modern, dan beradab. Tapi semua kualitas itu tidak datang seketika. Pada era 1970-an, Singapura adalah negara yang sangat kotor, dan warga di sana menjalani gaya hidup yang sangat jorok. Di masa itu, orang seenaknya meludah di mana-mana, termasuk di lantai bersih, di karpet, di elevator, dan lain-lain.

Begitu pula soal buang air. Mereka juga melakukan hal itu seenaknya, sehingga taman-taman di pinggir jalan berbau busuk, sementara toilet-toilet umum menjadi tempat yang menjijikkan. Di masa itu, karena sebegitu jorok, orang-orang di Singapura kadang sampai buang air kecil di lift! Karenanya, pada saat ini, semua lift di Singapura dipasangi detektor urin.

Aturan mengenai meludah dan buang air mulai ditetapkan sejak tahun 1980-an. Sejak itu, orang yang meludah atau buang air sembarangan, atau buang air besar di toilet dan tidak disiram, akan dikenai hukuman denda. Aturan itu benar-benar dipatuhi masyarakat, karena pemerintah Singapura sangat tegas dan tidak pandang bulu. Aturannya sederhana: Kau melanggar, kau harus dihukum, dan persetan denganmu!

Lalu soal permen karet. Sebenarnya, di masa lalu, Singapura membebaskan warganya menikmati permen karet. Tapi mereka yang suka mengunyah permen karet kadang memperlakukan sisa permennya dengan tidak beradab. Bukannya dibuang di tempat sampah, sisa permen yang lengket ditempelkan ke kotak surat, lubang kunci, tombol lift, lantai, tembok, tangga, kursi, meja, trotoar, dan lain-lain.

Hal itu pun menyebabkan biaya perawatan kebersihan membengkak, sementara peralatan yang ditempeli sisa permen karet sering kali rusak. Sampai di situ, pemerintah Singapura masih mencoba bersabar.

Pada 1987, MRT (Mass Rapid Transit; Angkutan Cepat Terpadu) mulai beroperasi di Singapura. Para pengunyah permen karet yang tidak bertanggung jawab menempelkan sisa permen mereka seenaknya ke kursi-kursi, juga ke sensor pintu MRT. Akibatnya, pintu tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Selain mengganggu layanan publik, hal itu tentu saja mengakibatkan kerusakan yang biaya perbaikannya tidak sedikit. Kenyataan itulah yang lalu membuat pemerintah Singapura habis kesabaran, dan mereka benar-benar murka.

Akhirnya, pada Januari 1992, pemerintah Singapura mengeluarkan larangan mengunyah permen karet di seluruh wilayah Singapura. Larangan itu juga mencakup kegiatan mengimpor, menjual, dan memproduksi permen karet. Impor dalam peraturan itu didefinisikan sebagai kegiatan membawa produk ke Singapura lewat darat, air, atau udara, oleh siapa pun, berapa pun jumlahnya, dan apa pun tujuannya.

Sejak itu, Singapura pun bersih dari masalah permen karet! Tidak ada lagi yang berani mengunyah permen karet di sana, karena pemerintah Singapura benar-benar tegas dalam menjalankan aturan. Tak peduli kau anak pejabat atau anak konglomerat, kau tidak berbeda di mata hukum Singapura. Sekali lagi, aturannya sederhana: Kau melanggar aturan, kau harus mendapat hukuman, dan persetan denganmu!

Setelah urusan permen karet bisa dibereskan, pemerintah Singapura pun merambah ke hal-hal lain, dan kembali menerapkan aturan ketat yang sama. Seperti urusan buang sampah, pemeliharaan hewan, masalah SARA, senjata api, peredaran majalah, dan lain-lain. Omong-omong, Singapura melarang peredaran majalah Playboy. Alasannya bukan agama, melainkan karena moral. Bagi Singapura, majalah Playboy “mempromosikan nilai-nilai promiskuitas kalangan perempuan”.

Singapura juga menutup akses situs kencan Ashley Madison. Situs itu mempromosikan freelife atau gaya hidup bebas, dan Singapura memblokir situs tersebut. Alasannya, lagi-lagi, bukan agama. Melainkan karena menganggap situs itu “menyerang nilai-nilai keluarga dan moralitas publik”.

Omong-omong soal agama, Singapura bisa dibilang negara sekuler. Meski begitu, mereka sangat menghormati agama-agama yang ada di sana. Kasus SARA bisa dibilang sangat langka di Singapura, dan orang harus berpikir sejuta kali sebelum mencoba melakukan keributan menyangkut SARA.

Sekadar ilustrasi, pada 2011 ada pendeta yang menyinggung agama Buddha, dalam suatu ceramahnya. Hanya dalam hitungan jam, ceramah si pendeta sudah tersebar di YouTube, dan menjadi pembicaraan publik di sana. Semua media massa di Singapura juga membahasnya, hingga seolah semua jari tertuding ke arah si pendeta. Tidak lama setelah itu, si pendeta meminta maaf ke petinggi komunitas Buddha.

Di luar yang telah saya sebutkan di atas, pemerintah Singapura juga mengatur berbagai hal lain, yang mungkin terkesan sepele dan tidak penting di negara lain, namun benar-benar diperhatikan di sana. Dan masyarakat Singapura benar-benar mematuhi berbagai aturan itu, hingga mau tak mau mereka mulai mendisiplinkan diri jika tidak ingin terkena hukuman dan denda. Karena hal itu pula, Singapura dijuluki “fine city” yang berarti “kota berbudaya”.

Yang menakjubkan, meski memiliki setumpuk aturan ketat—dari soal-soal besar sampai hal-hal kecil—di Singapura sangat jarang terlihat polisi. Tidak ada polisi yang berpatroli di jalanan Singapura. Hal itu didasari dua hal. Pertama, kamera pemantau tersebar di seluruh penjuru jalan dan tempat. Kedua, penegakan hukum di Singapura sangat tegas dan keras. Karenanya, meski tidak ada polisi atau petugas yang mengawasi, orang akan berpikir panjang sebelum nekat melakukan pelanggaran.

Hasilnya, sebagaimana yang kita lihat sekarang, Singapura benar-benar menjadi tempat yang bersih, tertib, modern, sekaligus beradab. Pemerintah Singapura menyadari, hal-hal kecil memiliki peran penting dalam membentuk hal-hal besar. Karenanya, sambil menjalankan hal-hal besar, mereka tidak melupakan hal-hal kecil. Seperti soal kebersihan, ketertiban, kedispilinan, keteraturan, dan hukum yang benar-benar dijalankan dengan tegas.

Menyaksikan Singapura adalah menyaksikan kebenaran lama tentang manusia. Bahwa manusia bisa menjadi makhluk yang baik, bermoral sekaligus beradab, jika mereka “dipaksa” menjadi manusia. Karena Singapura adalah sebuah negara, maka sistem yang bisa digunakan untuk “memaksa” adalah hukum dan kekuasaan pemerintah.

Dalam hal itu, pemerintah Singapura memberlakukan hukum yang tegas, keras, sekaligus tak pandang bulu. Saat rakyat yang bersalah, mereka dihukum. Saat pejabat yang bersalah, mereka pun dihukum. Saat si miskin melanggar aturan, mereka dihukum. Saat si kaya yang melanggar, mereka juga dihadapkan hukum yang sama. Saat manusia setara di hadapan hukum, keadilan tercapai. Saat keadilan tercapai, manusia akan berusaha menjadi manusia.

Terbiasa mengunyah permen karet, lalu diminta meninggalkan kebiasaan itu, jelas bukan tugas mudah. Begitu pula kebiasaan meludah dan buang sampah sembarangan, atau kebiasaan buruk lain. Ketika orang sudah terbiasa melakukan kebiasaan buruk, lama-lama mereka tidak lagi menyadari hal itu buruk. Karena sudah menganggap sebagai hal biasa. Mereka baru akan menyadari itu buruk, jika dihadapkan pada konsekuensi, hukuman, atau denda.

Tetapi, seberat apa pun, kenyataannya masyarakat Singapura berhasil meninggalkan kebiasaan-kebiasaan itu. Yang semula mengunyah permen karet, berhenti. Yang suka meludah dan buang sampah sembarangan, berhenti. Yang semula suka melakukan hal-hal tak beradab, berhenti. Bagaimana mereka bisa melakukannya? Karena mereka memaksa diri untuk melakukannya!

Adanya hukuman tegas dan adil menjadikan setiap orang belajar mendisiplinkan diri sendiri. Ketika orang bisa mendisiplinkan diri agar lebih beradab, mereka pun menjadi beradab. Ketika orang bisa mendisiplinkan diri agar lebih tertib, mereka pun lebih tertib. Ketika orang bisa mendisiplinkan diri agat menjalani hidup lebih baik, mereka pun hidup lebih baik.

Jika manusia dipaksa menjadi manusia, mereka benar-benar akan menjadi manusia.

Yang Bahagia dan yang Sengsara

Aku menghormati pernikahan, itu benar. Tapi aku jijik pada orang-orang yang suka memprovokasi orang lain cepat menikah. Itu dua hal berbeda.

Orang-orang yang menikah dan susah, tidak bisa menceritakan penyesalan mereka. Sebagai gantinya, mereka menyuruh-nyuruh kita cepat menikah.

Ada 2 jenis orang menikah, yang bahagia dan yang menyesal. Yang bahagia menikmati perkawinannya. Yang menyesal sibuk menyuruhmu cepat kawin.

Cara mudah mengetahui apakah orang bahagia atau tidak dalam perkawinannya: Jika dia hobi memprovokasimu cepat menikah, dia tidak bahagia.

Perhatikan dengan cermat. Kapan pun kau bertemu orang yang suka menyuruhmu cepat menikah, orang itu pasti tidak bahagia dalam perkawinannya.

Pola pikir orang yang menyesali perkawinan, “Aku susah, menderita gara-gara kawin. Tidak adil. Orang lain juga harus sama susah sepertiku!”

Pola pikir orang yang bahagia dalam perkawinan, “Nikmat sekali perkawinanku. Orang lain mau nikah atau tidak, persetan, itu urusan mereka.”

Ingat selalu fakta ini: Orang yang bahagia dan nyaman dengan diri sendiri, tidak punya keinginan untuk mengusik kehidupan orang lain.

Orang yang suka mengusik kehidupan orang lain adalah orang yang sakit. Termasuk orang yang suka menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin.

Langkah terbaik soal menikah adalah; jika menikah adalah pilihanmu, lakukanlah. Setelah itu, tutup cocotmu, dan hormati pilihan orang lain.

Sebenarnya, aku tidak peduli orang mau menikah atau tidak, karena itu soal pilihan. Kalau saja mereka diam, aku juga tidak akan meributkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 September 2016.

Di Antara Sendok

Lalu, suatu hari, aku sadar.

Ternyata aku hidup di antara sendok.

Jumat, 02 Desember 2016

Catatan dari Trotoar

Dari dulu, akar masalah manusia cuma satu.
Ketidaksadaran menjadi manusia.


Masalah trotoar adalah masalah kronis, karena telah bermasalah sejak zaman dahulu kala, tapi sepertinya tidak juga mengalami perbaikan atau pembenahan yang jelas. Urusan ini kembali menjadi bahan pikiran saya, ketika suatu petang menyaksikan peristiwa yang sangat getir terkait trotoar.

Waktu itu menjelang magrib, dan saya sedang dalam perjalanan pulang. Ketika melihat penjual martabak di pinggir jalan, saya berhenti dan mampir ke sana. Saya duduk di bangku yang disediakan, menunggu martabak pesanan saya dibuatkan. Sambil duduk, saya memandangi suasana sekitar yang penuh orang berlalu lalang.

Petang hari semacam itu, ada banyak warung makan yang mulai buka di trotoar. Umumnya, mereka meletakkan meja kursi atau menggelar tikar atau karpet di trotoar. Meja dan kursi atau karpet dan tikar itu ditujukan sebagai tempat duduk pembeli yang makan di sana. Di samping tempat penjual martabak juga tampak seorang lelaki sedang menggelar karpet, sementara di depan trotoar ada sebuah gerobak.

Semula, pemandangan yang saya lihat tampak biasa-biasa saja. Sebenarnya, saya sudah melihat hal semacam itu puluhan atau bahkan ratusan kali, karena memang sangat biasa. Tetapi, petang itu, terjadi peristiwa yang membuat saya merasa getir.

Ketika si lelaki penjual warung tadi baru menggelar karpet di trotoar, muncul seorang lelaki lain yang melangkah di sana. Semula, saya tidak terlalu memperhatikan. Perhatian saya baru tertarik ketika terdengar suara kemarahan lelaki penjual warung kepada lelaki yang berjalan di trotoar. Rupanya, lelaki itu menginjak karpet yang baru digelar, dan lelaki penjual warung marah melihat karpetnya diinjak.

Jadi, selama beberapa saat, saya sempat memandangi dua lelaki itu. Si penjual warung marah-marah, sementara si lelaki yang melangkah di trotoar—ini yang membuat saya getir—ternyata seorang tunanetra. Dia tidak tahu kalau trotoar yang akan dilewatinya terdapat karpet.

Seharusnya, lelaki penjual warung memaklumi hal itu, wong kenyataannya orang yang menginjak karpetnya memang tidak bisa melihat. Tetapi, sayangnya, dia justru marah-marah, bahkan sampai memaki si tunanetra. Yang sempat saya dengar, dia mengatakan, “Sudah buta, tidak hati-hati!”

Ketika si lelaki tunanetra sudah pergi melanjutkan perjalanannya, saya berpikir. Sebenarnya, siapakah yang buta? Lelaki tunanetra yang melangkah di trotoar yang memang disediakan untuk para pejalan kaki... ataukah orang yang memiliki mata dan bisa melihat, tapi menyalahgunakan trotoar?

Masalah trotoar adalah masalah klasik, sekaligus kronis. Diakui atau tidak, masalah yang terjadi terkait trotoar sebenarnya telah menimbulkan aneka macam masalah lain dalam jumlah tak terhitung banyaknya. Dari masalah-masalah yang jelas terlihat—sebagaimana peristiwa yang tadi saya ceritakan—sampai masalah-masalah tak terlihat, yang semuanya juga terkait penyalahgunaan trotoar. Baca catatan ini untuk memahami lebih lanjut: Akar Kesalahan.

Masalah trotoar tidak sekadar masalah pemerintah yang tidak mampu menegakkan ketertiban, tetapi juga masalah kesadaran masyarakat yang tidak mau mematuhi peraturan. Dan kenyataan semacam itu tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di kota-kota kecil. Tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di luar negeri.

Di Jakarta, misalnya, kita pasti sudah biasa melihat para pengendara sepeda motor nyelonong seenaknya ke trotoar demi bisa menghindari padatnya jalan raya. Pemandangan semacam itu tidak hanya terjadi di Jakarta. Di kota-kota yang lebih kecil—dengan kemacetan yang juga lebih kecil—pelanggaran semacam itu sering terjadi. Orang tidak mau menyadari bahwa itu kesalahan, atau memahami bahwa yang mereka lakukan bisa menimbulkan bahaya.

Florida, di Amerika Serikat, adalah salah satu tempat paling mengerikan, terkait penyalahgunaan trotoar. Di sana ada empat kota yang terkenal sebagai “neraka trotoar”, yaitu Orlando, Tampa, Jacksonville, dan Miami. Jika kalian keluyuran ke empat kota itu, sebaiknya hindari jalan kaki di trotoar, karena sama artinya dengan menyabung nyawa. Di sana, bukan hanya sepeda motor yang naik ke trotoar, tapi juga mobil dan truk!

Dalam penelitian yang dilakukan Complete Streets Coalition, sepanjang 2003 sampai 2012 terdapat ratusan ribu kecelakaan yang semuanya terjadi di trotoar, dan semua korbannya adalah para pejalan kaki pengguna trotoar. Dengan jelas, penelitian tersebut menyebutkan jumlah 47.025 orang tewas dan 676.000 terluka ketika sedang berjalan di trotoar di Florida. Dari jumlah itu, ada banyak korban yang merupakan orang-orang yang sedang berjalan kaki menuju tempat kerja.

Bayangkan, 47.025 orang tewas di trotoar selama sepuluh tahun, sepanjang 2003 sampai 2012. Jumlah itu adalah 16 kali jumlah penduduk Amerika yang meninggal karena bencana alam semisal gempa bumi, banjir, badai, dan tornado, selama 10 tahun. Dengan kata lain, kecelakaan di trotoar 16 kali lebih mematikan dibanding bencana alam semisal gempa, banjir, dan badai tornado, yang digabung menjadi satu.

Seiring puluhan ribu orang yang tewas, dalam kurun waktu yang sama juga terdapat 676.000 orang yang terluka, akibat mengalami kecelakaan di trotoar. Itu artinya, di Florida, setiap delapan menit sekali ada pejalan kaki yang tertabrak sepeda motor atau mobil!

Menghadapi kenyataan mengerikan itu, pemerintah Florida pun segera melakukan upaya-upaya yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. Florida Department of Transportation (FDOT), misalnya, telah menerbitkan rencana strategi keamanan bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda, atau Pedestrian and Bicycle Strategic Safety Plan (PBSSP).

Dalam rilis berita disebutkan, Florida juga sudah menentukan target dan strategi untuk meningkatkan keamanan pejalan kaki. Department of Highway Safety and Motor Vehicles, beserta para penegak hukum, agen pemerintah setempat, juga para penggiat pejalan kaki, turut serta dalam program tersebut. And you know what...? Sampai saat ini Florida masih tetap parah dalam urusan trotoar!

Jadi, masalah trotoar tampaknya sudah bukan lagi masalah klasik atau kronis, tapi juga masalah mental! Itu tak jauh beda dengan orang yang terbiasa membuang sampah sembarangan. Meski di depan matanya telah disediakan tempat sampah, dia tetap saja membuang sampah sembarangan. Atau seperti perokok bangsat yang biasa membuang abu seenaknya. Meski di depannya sudah disediakan asbak sebesar baskom, dia tetap saja membuang abu rokok seenaknya.

Masalahnya bukan sekadar pada trotoar, tempat sampah, atau asbak. Tapi lebih pada mental! Mental para pelakunya yang sudah rusak. Tak jauh beda pula dengan pejabat keparat yang bermental korup sampai ke tulang sumsum. Meski sudah digaji sebesar apa pun, tetap saja dia korupsi. Karena masalahnya bukan penghasilan yang tak mencukupi, melainkan mentalnya yang harus diperbaiki.

Begitu pula trotoar, asbak, atau tempat sampah. Sarana-sarana itu ditujukan untuk hal-hal baik—memungkinkan pejalan kaki dapat melangkah aman, menjadikan abu rokok tidak mengotori tempat lain, juga agar sampah tidak berserakan. Sarana itu sudah ada, disediakan dengan tujuan baik bahkan mulia, tetapi disalahgunakan!

Manusia, oh, manusia.

Masalah manusia memang sering kali diawali kekurangsadaran sebagai manusia. Ada banyak manusia yang tidak sadar diri mereka manusia, lalu menjalani hidup tidak selayaknya manusia. Dari yang korupsi sampai yang memanipulasi, dari yang buang sampah sembarangan sampai menyalahgunakan trotoar. Karena itu pulalah banyak manusia harus diiming-imingi hadiah atau diancam hukuman, agar mereka ingat kemanusiaan mereka.

Jika manusia mau sepenuhnya menyadari mereka manusia, mereka tidak butuh apa pun untuk menjalani hidup sebagai manusia. Tidak butuh ancaman denda sampai neraka, juga tidak butuh piala sampai nikmatnya surga. Terkait hal ini, kita bisa belajar pada Singapura. Singapura adalah contoh nyata tentang bagaimana manusia bisa menjadi manusia... ketika mereka dipaksa melakukannya.

Tapi karena martabak yang saya pesan sudah jadi, serta sudah dibungkus rapi—dan saya juga tak sabar untuk menikmatinya di rumah—terpaksa saya akhiri dulu catatan ini. Tentang Singapura, akan saya ceritakan di catatan mendatang.

 
;