Dari dulu, akar masalah manusia cuma satu.
Ketidaksadaran menjadi manusia.
Masalah trotoar adalah masalah kronis, karena telah bermasalah sejak zaman dahulu kala, tapi sepertinya tidak juga mengalami perbaikan atau pembenahan yang jelas. Urusan ini kembali menjadi bahan pikiran saya, ketika suatu petang menyaksikan peristiwa yang sangat getir terkait trotoar.
Waktu itu menjelang magrib, dan saya sedang dalam perjalanan pulang. Ketika melihat penjual martabak di pinggir jalan, saya berhenti dan mampir ke sana. Saya duduk di bangku yang disediakan, menunggu martabak pesanan saya dibuatkan. Sambil duduk, saya memandangi suasana sekitar yang penuh orang berlalu lalang.
Petang hari semacam itu, ada banyak warung makan yang mulai buka di trotoar. Umumnya, mereka meletakkan meja kursi atau menggelar tikar atau karpet di trotoar. Meja dan kursi atau karpet dan tikar itu ditujukan sebagai tempat duduk pembeli yang makan di sana. Di samping tempat penjual martabak juga tampak seorang lelaki sedang menggelar karpet, sementara di depan trotoar ada sebuah gerobak.
Semula, pemandangan yang saya lihat tampak biasa-biasa saja. Sebenarnya, saya sudah melihat hal semacam itu puluhan atau bahkan ratusan kali, karena memang sangat biasa. Tetapi, petang itu, terjadi peristiwa yang membuat saya merasa getir.
Ketika si lelaki penjual warung tadi baru menggelar karpet di trotoar, muncul seorang lelaki lain yang melangkah di sana. Semula, saya tidak terlalu memperhatikan. Perhatian saya baru tertarik ketika terdengar suara kemarahan lelaki penjual warung kepada lelaki yang berjalan di trotoar. Rupanya, lelaki itu menginjak karpet yang baru digelar, dan lelaki penjual warung marah melihat karpetnya diinjak.
Jadi, selama beberapa saat, saya sempat memandangi dua lelaki itu. Si penjual warung marah-marah, sementara si lelaki yang melangkah di trotoar—ini yang membuat saya getir—ternyata seorang tunanetra. Dia tidak tahu kalau trotoar yang akan dilewatinya terdapat karpet.
Seharusnya, lelaki penjual warung memaklumi hal itu, wong kenyataannya orang yang menginjak karpetnya memang tidak bisa melihat. Tetapi, sayangnya, dia justru marah-marah, bahkan sampai memaki si tunanetra. Yang sempat saya dengar, dia mengatakan, “Sudah buta, tidak hati-hati!”
Ketika si lelaki tunanetra sudah pergi melanjutkan perjalanannya, saya berpikir. Sebenarnya, siapakah yang buta? Lelaki tunanetra yang melangkah di trotoar yang memang disediakan untuk para pejalan kaki... ataukah orang yang memiliki mata dan bisa melihat, tapi menyalahgunakan trotoar?
Masalah trotoar adalah masalah klasik, sekaligus kronis. Diakui atau tidak, masalah yang terjadi terkait trotoar sebenarnya telah menimbulkan aneka macam masalah lain dalam jumlah tak terhitung banyaknya. Dari masalah-masalah yang jelas terlihat—sebagaimana peristiwa yang tadi saya ceritakan—sampai masalah-masalah tak terlihat, yang semuanya juga terkait penyalahgunaan trotoar. Baca catatan ini untuk memahami lebih lanjut: Akar Kesalahan.
Masalah trotoar tidak sekadar masalah pemerintah yang tidak mampu menegakkan ketertiban, tetapi juga masalah kesadaran masyarakat yang tidak mau mematuhi peraturan. Dan kenyataan semacam itu tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di kota-kota kecil. Tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di luar negeri.
Di Jakarta, misalnya, kita pasti sudah biasa melihat para pengendara sepeda motor nyelonong seenaknya ke trotoar demi bisa menghindari padatnya jalan raya. Pemandangan semacam itu tidak hanya terjadi di Jakarta. Di kota-kota yang lebih kecil—dengan kemacetan yang juga lebih kecil—pelanggaran semacam itu sering terjadi. Orang tidak mau menyadari bahwa itu kesalahan, atau memahami bahwa yang mereka lakukan bisa menimbulkan bahaya.
Florida, di Amerika Serikat, adalah salah satu tempat paling mengerikan, terkait penyalahgunaan trotoar. Di sana ada empat kota yang terkenal sebagai “neraka trotoar”, yaitu Orlando, Tampa, Jacksonville, dan Miami. Jika kalian keluyuran ke empat kota itu, sebaiknya hindari jalan kaki di trotoar, karena sama artinya dengan menyabung nyawa. Di sana, bukan hanya sepeda motor yang naik ke trotoar, tapi juga mobil dan truk!
Dalam penelitian yang dilakukan Complete Streets Coalition, sepanjang 2003 sampai 2012 terdapat ratusan ribu kecelakaan yang semuanya terjadi di trotoar, dan semua korbannya adalah para pejalan kaki pengguna trotoar. Dengan jelas, penelitian tersebut menyebutkan jumlah 47.025 orang tewas dan 676.000 terluka ketika sedang berjalan di trotoar di Florida. Dari jumlah itu, ada banyak korban yang merupakan orang-orang yang sedang berjalan kaki menuju tempat kerja.
Bayangkan, 47.025 orang tewas di trotoar selama sepuluh tahun, sepanjang 2003 sampai 2012. Jumlah itu adalah 16 kali jumlah penduduk Amerika yang meninggal karena bencana alam semisal gempa bumi, banjir, badai, dan tornado, selama 10 tahun. Dengan kata lain, kecelakaan di trotoar 16 kali lebih mematikan dibanding bencana alam semisal gempa, banjir, dan badai tornado, yang digabung menjadi satu.
Seiring puluhan ribu orang yang tewas, dalam kurun waktu yang sama juga terdapat 676.000 orang yang terluka, akibat mengalami kecelakaan di trotoar. Itu artinya, di Florida, setiap delapan menit sekali ada pejalan kaki yang tertabrak sepeda motor atau mobil!
Menghadapi kenyataan mengerikan itu, pemerintah Florida pun segera melakukan upaya-upaya yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. Florida Department of Transportation (FDOT), misalnya, telah menerbitkan rencana strategi keamanan bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda, atau Pedestrian and Bicycle Strategic Safety Plan (PBSSP).
Dalam rilis berita disebutkan, Florida juga sudah menentukan target dan strategi untuk meningkatkan keamanan pejalan kaki. Department of Highway Safety and Motor Vehicles, beserta para penegak hukum, agen pemerintah setempat, juga para penggiat pejalan kaki, turut serta dalam program tersebut. And you know what...? Sampai saat ini Florida masih tetap parah dalam urusan trotoar!
Jadi, masalah trotoar tampaknya sudah bukan lagi masalah klasik atau kronis, tapi juga masalah mental! Itu tak jauh beda dengan orang yang terbiasa membuang sampah sembarangan. Meski di depan matanya telah disediakan tempat sampah, dia tetap saja membuang sampah sembarangan. Atau seperti perokok bangsat yang biasa membuang abu seenaknya. Meski di depannya sudah disediakan asbak sebesar baskom, dia tetap saja membuang abu rokok seenaknya.
Masalahnya bukan sekadar pada trotoar, tempat sampah, atau asbak. Tapi lebih pada mental! Mental para pelakunya yang sudah rusak. Tak jauh beda pula dengan pejabat keparat yang bermental korup sampai ke tulang sumsum. Meski sudah digaji sebesar apa pun, tetap saja dia korupsi. Karena masalahnya bukan penghasilan yang tak mencukupi, melainkan mentalnya yang harus diperbaiki.
Begitu pula trotoar, asbak, atau tempat sampah. Sarana-sarana itu ditujukan untuk hal-hal baik—memungkinkan pejalan kaki dapat melangkah aman, menjadikan abu rokok tidak mengotori tempat lain, juga agar sampah tidak berserakan. Sarana itu sudah ada, disediakan dengan tujuan baik bahkan mulia, tetapi disalahgunakan!
Manusia, oh, manusia.
Masalah manusia memang sering kali diawali kekurangsadaran sebagai manusia. Ada banyak manusia yang tidak sadar diri mereka manusia, lalu menjalani hidup tidak selayaknya manusia. Dari yang korupsi sampai yang memanipulasi, dari yang buang sampah sembarangan sampai menyalahgunakan trotoar. Karena itu pulalah banyak manusia harus diiming-imingi hadiah atau diancam hukuman, agar mereka ingat kemanusiaan mereka.
Jika manusia mau sepenuhnya menyadari mereka manusia, mereka tidak butuh apa pun untuk menjalani hidup sebagai manusia. Tidak butuh ancaman denda sampai neraka, juga tidak butuh piala sampai nikmatnya surga. Terkait hal ini, kita bisa belajar pada Singapura. Singapura adalah contoh nyata tentang bagaimana manusia bisa menjadi manusia... ketika mereka dipaksa melakukannya.
Tapi karena martabak yang saya pesan sudah jadi, serta sudah dibungkus rapi—dan saya juga tak sabar untuk menikmatinya di rumah—terpaksa saya akhiri dulu catatan ini. Tentang Singapura, akan saya ceritakan di catatan mendatang.