“Ada saatnya takdir berubah. Dan jika kau menginginkan
takdirmu berubah, kaulah yang harus mengubahnya.”
—Seseorang, 17 tahun yang lalu
Di suatu hari libur, Panda dan aku pergi ke pantai. Semula, kami hanya berencana melihat ikan-ikan hias di depan bank di dekat pasar. Tapi kemudian, entah bagaimana awalnya, kami memutuskan pergi ke pantai.
Panda dan aku masih kecil, waktu itu. Aku masih kelas tiga SD, sementara Panda kelas empat. Kami berteman akrab, sebagai sepasang bocah miskin yang malang. Seminggu sekali, saat sekolah libur, aku dan Panda sering datang ke tempat penjual ikan hias, yang tak jauh dari pasar.
Tidak jauh dari pasar, ada sebuah kantor bank, yang tutup saat hari libur. Di depan bank, ada penjual ikan hias yang berjejer, dan mereka memamerkan ikan-ikan di kantong-kantong plastik. Aku senang sekali melihat ikan-ikan di sana, begitu pula Panda. Kami sama-sama tidak bisa membeli ikan-ikan yang indah itu, karena tak punya uang, tapi kami sudah senang melihatnya. Jadi, setiap sekolah libur, aku dan Panda jalan kaki menuju ke sana.
Suatu pagi menjelang siang, seperti biasa, Panda dan aku menikmati libur sekolah dengan melihat ikan hias di sana. Meski kami harus jalan kaki cukup jauh, tapi rasa lelah seperti terbayar lunas saat bisa asyik memandangi ikan-ikan hias di sana. Pada hari itulah, kami tiba-tiba ingin pergi ke pantai. Jadi, setelah puas melihat-lihat ikan hias di depan bank, kami memutuskan jalan kaki menuju pantai.
Perjalanan menuju pantai cukup jauh. Sebenarnya bahkan sangat jauh, karena jaraknya lebih dari 10 kilometer. Tapi dengan naluri anak-anak, kami anggap itu petualangan. Jadi, kami berdua jalan kaki ke sana. Dan langkah-langkah kecil kami kemudian sampai di pantai. Di sana, Panda dan aku mencari pagar yang bisa diterobos untuk masuk ke pantai, karena kami tidak punya uang untuk membayar tiket masuk.
Di masa itu, pantai hanya dipagari dinding kayu. Beberapa bagian ada yang keropos, berlubang, hingga aku dan Panda bisa merangkak lewat lubang dan masuk ke pantai.
“Akhirnya kita sampai di pantai,” ujarku pada Panda.
Panda menatap hamparan pasir pantai yang bersih, dengan kerang-kerang yang berserakan di mana-mana. Lalu kami asyik memunguti kerang-kerang yang ada di sana, dan mengumpulkannya dalam tas plastik yang kami temukan. Saat memunguti kerang-kerang itu, aku merasa sedang mengumpulkan harta karun.
Pantai di masa itu masih sangat indah. Di sana juga ada ayunan, jungkat-jungkit, dan papan luncur. Bagi yang punya uang, tersedia kapal yang bisa disewa untuk berlayar ke tengah laut. Kebetulan, waktu itu, ada serombongan anak-anak dan beberapa orang dewasa—sepertinya dari sebuah sekolah yang sedang menikmati liburan—dan mereka menyewa sebuah kapal untuk pergi ke tengah laut. Orang-orang dewasa pada rombongan itu tampak sedang tawar menawar harga dengan pemilik kapal.
Panda berkata kepadaku, “Bagaimana kalau kita bergabung dengan mereka, biar bisa menikmati pemandangan di tengah laut?”
Tanpa berpikir dua kali, aku menyetujui usul Panda. Kalau kami bergabung dengan rombongan anak-anak itu, keberadaan kami mungkin akan dianggap sebagai rombongan mereka, pikirku waktu itu. Jadi, sambil berlari-lari kecil, aku dan Panda mendekati kapal tersebut, dan bergabung dengan anak-anak yang menaiki kapal. Lalu kapal meninggalkan pantai, dan menuju ke tengah laut.
Pemilik kapal membiarkan kami menaiki kapal, karena mungkin mengira kami bagian dari rombongan. Lalu kapal benar-benar melaju ke tengah laut. Panda dan aku menikmati keasyikan itu, sampai kemudian kapal berhenti di tengah laut yang tenang, membiarkan para penumpang menikmati pemandangan di sana. Pada waktu itulah, aku baru tahu bahwa debur ombak hanya ada di pinggir pantai. Di tengah laut, air begitu tenang. Warnanya hijau kebiruan. Itu pemandangan yang tak pernah bisa kulupakan sampai hari ini.
Hingga kemudian, kapal kembali bergerak, untuk kembali ke pantai. Saat itulah, orang-orang dewasa dalam rombongan mulai memperhatikan kami, dan mengenali kami bukan bagian rombongan mereka. Orang-orang dewasa itu tampak berbisik-bisik, dan aku bisa memahami kalau mereka membicarakan kami.
Diam-diam aku berkata lirih pada Panda, “Mereka mengenali kita. Mereka tahu kita bukan rombongan mereka.”
Panda mencoba menenteramkan, “Tak perlu khawatir.”
“Bagaimana kalau mereka menurunkan kita dari kapal?” tanyaku bingung.
“Aku akan menjagamu,” jawab Panda. Usia Panda dua tahun lebih tua dariku, dan dia bersikap seolah kakakku.
Akhirnya, kapal kembali sampai di pantai. Begitu kapal mulai berhenti, aku dan Panda segera melompat dari kapal dan berlari sambil membawa bungkusan plastik berisi kerang yang tadi kami kumpulkan. Kami tertawa-tawa senang, waktu itu, karena berpikir bisa menikmati hiburan menyenangkan secara gratis. Kelak, bertahun-tahun kemudian, aku sering merindukan kembali masa-masa itu.
Saat matahari siang makin panas, Panda dan aku memutuskan pulang, meninggalkan pantai. Sekali lagi kami berjalan kaki, menempuh perjalanan jauh, melangkah dengan kaki-kaki kecil kami di trotoar... menuju pulang. Tangan kami membawa tas plastik berisi kerang yang tadi kami kumpulkan di pantai, dan aku merasa sedang membawa harta berharga.
Di tengah perjalanan, diterpa terik matahari, kadang kami beristirahat, melepas lelah. Rasanya ingin minum es yang banyak terjaja di pinggir-pinggir jalan. Tapi kami tidak punya uang. Jadi, saat akhirnya sampai di rumah, kami pun segera minum sepuas-puasnya.
Tubuh kami basah, waktu itu, oleh keringat. Dan kotor oleh debu. Tapi aku senang. Kupikir, Panda juga pasti senang dengan pengalaman kami hari itu.
Seiring kehidupan yang berjalan, Panda dan aku masih terus berteman. Saat dia naik kelas enam SD, aku naik kelas lima. Waktu itu, Panda mulai mengenal dunia jalanan. Setiap sore, dia pergi dari rumah, dan biasanya pulang larut malam. Suatu hari dia bercerita, sekarang dia mulai berusaha mencari uang, dengan menjadi tukang parkir liar. Hasilnya tidak banyak, tapi cerita Panda membuatku tertarik. Mendapatkan uang, bagiku waktu itu, terdengar seperti berita dari surga.
Saat kunyatakan maksudku untuk mengikutinya, Panda berkata, “Ada tempat yang masih kosong, belum dikuasai siapa pun. Kau bisa mencari uang di sana.”
Itulah awal mula, sekaligus cerita pembuka, yang kelak mengantarkanku pada serangkaian kisah yang kemudian mewarnai kehidupanku selanjutnya. Sejak itu, mengikuti Panda, aku mulai memasuki dunia jalanan. Tempat “operasi” kami cukup berjauhan, dipisahkan jarak sekitar 50 meter. Tetapi, seperti biasa, Panda menenteramkanku dengan kata-kata saktinya, “Aku akan menjagamu.”
Hari ini, saat mengingat kembali masa-masa itu, kadang aku ngeri sendiri membayangkan betapa masih kecilnya aku waktu itu. Masa-masa ketika aku seharusnya tenteram di rumah, justru kuhabiskan di jalanan. Malam-malam ketika seharusnya damai di kamar, justru kugunakan untuk mencari uang. Larut malam ketika seharusnya terlelap di tempat tidur, aku masih menghadapi kenyataan yang amat pahit. Satu-satunya hal yang menguatkanku waktu itu adalah janji Panda, “Aku akan menjagamu.”
Dan Panda memenuhi janjinya. Dia benar-benar bersikap seperti kakak terhadapku. Dia berusaha memastikan aku benar-benar aman tanpa diganggu siapa pun. Lalu malam demi malam terus berlalu, dan aku makin terbiasa menjalani kehidupan di sana—di jalanan, bersama anak-anak lain, dan mengenal banyak hal yang sebelumnya tak pernah kutahu. Perlahan-lahan, temanku di sana bertambah, dan kami menikmati kehidupan malam seperti berandal-berandal kecil penguasa dunia.
Sekitar satu tahun sejak itu, Panda berkata kepadaku, “Sepertinya kita harus berpisah sementara waktu. Aku berencana ikut kapal, dan mungkin sampai beberapa bulan.”
Aku menatapnya. “Bagaimana dengan sekolahmu?”
Panda menunduk. “Aku tidak meneruskan sekolah. Orangtuaku tidak mampu membiayai.”
Waktu itu Panda telah lulus SD, dan aku kelas enam. Setelah lulus, Panda tidak meneruskan SMP, karena—seperti yang dikatakannya—orangtuanya tidak mampu membiayai. Jadi, ketika ada tawaran ikut kapal, Panda tertarik untuk ikut.
Kapal-kapal penangkap ikan memang kerap membuka lowongan bagi siapa pun yang ingin bekerja bersama mereka. Pekerjaannya tidak bisa dibilang ringan. Orang-orang yang “ikut kapal” harus siap hidup berbulan-bulan di tengah laut, berusaha mencari dan menangkap ikan, serta mengurus segala sesuatu yang diperlukan di laut. Biasanya, kapal-kapal itu bahkan berlabuh di pulau lain atau negara lain, sehingga orang yang bekerja di kapal penangkap ikan biasanya baru pulang setelah berbulan-bulan.
Aku berkata pada Panda, “Aku pasti akan merindukanmu.”
Sejak itu, Panda dan aku benar-benar berpisah. Dia berangkat bersama kapal yang diikutinya, sementara aku meneruskan kehidupan sebagaimana biasa—pagi ke sekolah, sore pergi dari rumah, lalu menghabiskan malam hingga larut di jalanan. Bisa dibilang tak ada yang berubah waktu itu, selain bahwa kini aku tak bisa lagi bersama Panda seperti sebelumnya. Dia teman terdekatku waktu itu, dan aku sangat kehilangan dirinya.
Enam atau tujuh bulan kemudian, Panda pulang. Kami kembali bertemu, dan aku pangling melihatnya. Tubuhnya makin berisi, wajahnya makin keras, dan kulitnya makin gelap.
“Pekerjaanku berat sekali,” ujar Panda menceritakan. “Siang hari, kami harus disengat panas matahari. Makanan kami hanya nasi dan ikan, terus begitu berbulan-bulan. Dan kalau malam, dinginnya luar biasa.”
Aku bertanya, “Jadi, kau tidak akan ikut kapal lagi?”
Panda tersenyum. “Aku akan ikut kapal lagi. Meski pekerjaanku berat, aku bisa menghasilkan uang cukup banyak.”
Dua bulan kemudian, Panda kembali pergi, mengikuti kapal pencari ikan. Sejak itu, kami pun hanya bertemu sekali-sekali, saat kapalnya berlabuh dan dia bisa pulang, lalu kami mengobrol seperti sebelumnya. Selama waktu-waktu itu, aku sama sekali tidak tahu bagaimana kehidupan Panda di tengah laut bersama kapal yang diikutinya. Yang jelas, kehidupanku masih sama, tak berubah, dan masih ada di jalanan, bersama romantika dan kekerasan, bersama luka-luka dan hening rembulan.
Suatu waktu, saat aku kelas tiga SMP, Panda pulang, dan dia menyatakan akan seterusnya berada di darat (tidak lagi mengikuti kapal pencari ikan). “Aku bosan,” katanya waktu itu.
Setelah tidak lagi ikut kapal, Panda memutuskan untuk kembali ke jalanan. Tapi ada satu masalah waktu itu. Tempat (lahan di jalanan) yang semula dikuasainya, kini telah dikuasai orang lain. Panda menemui orang itu, mengatakan bahwa tempat itu semula miliknya, dan dia meminta orang tersebut angkat kaki dari sana. Singkat cerita, mereka saling cekcok, dan terjadi perkelahian. Itu peristiwa yang tak bisa kulupakan sampai hari ini.
Sebenarnya, usia Panda lebih muda dibanding lawannya. Tetapi, karena kerja kerasnya di kapal, tubuhnya jauh lebih besar serta lebih kuat. Bahkan, sebenarnya, lebih menakutkan. Pada malam itu pula, aku melihat pertama kali bagaimana Panda bisa begitu brutal dan mengerikan. Darah tercecer di jalanan malam itu, dan sejak itu Panda kembali menguasai tempat yang semula dimilikinya.
Tidak lama setelah itu, aku mulai melihat Panda sering mabuk, dan kadang aku memapahnya pulang saat malam telah larut. Kadang dia ngoceh tanpa sadar, kadang hanya diam. Yang jelas, sejak itu, Panda yang kukenal dulu tampak berubah. Jika sebelumnya dia sabar menghadapi orang lain, kini sangat pemarah. Jika sebelumnya kadang mau mengalah, sekarang berubah sangat kejam. Sejak kembalinya Panda ke jalanan, kehidupan di sana bisa dibilang menegangkan. Dan, bisa dibilang, sekarang akulah yang menjaganya.
Di masa itu, dunia jalanan bisa dibilang masih “primitif”—belum seteratur atau seberadab sekarang. Bisa dibilang, waktu itu, yang terkuatlah yang akan menang. Kadang-kadang, ada beberapa orang yang ingin menghabisi Panda—akibat kekerasan dan kekejaman yang dilakukan Panda—tapi mereka kebetulan kenal denganku sebagai sesama bocah yang hidup di sana. Biasanya, aku berkata pada mereka, “Biar aku bicara dengannya, siapa tahu dia bisa berubah.”
Tapi Panda tidak berubah. Dia masih keras, kejam, brutal, dan tanpa ampun. Puncaknya terjadi ketika suatu malam dia terlibat perkelahian yang sangat brutal, dan darah kembali tercecer di jalanan... lalu Panda menghilang.
Aku masih kelas dua SMA waktu itu. Dan, sejak itu, aku tak pernah lagi melihat Panda. Yang kudengar, Panda pergi ke luar pulau. Beberapa orang di jalanan bertanya kepadaku tentang keberadaan Panda, dan aku benar-benar tak tahu.
Lalu waktu-waktu berlalu.
Hingga lulus SMA, aku tidak pernah lagi bertemu Panda. Seiring dengan itu, aku makin sibuk dengan kehidupanku sendiri. Aku sudah meninggalkan jalanan, memasuki dunia baru, dan mulai bermimpi membangun kehidupan yang lebih baik. Seseorang berkata kepadaku, “Ada saatnya takdir berubah, Nak. Dan jika kau menginginkan takdirmu berubah, kaulah yang harus mengubahnya.”
Aku mengubah takdirku. Aku mengubah kehidupanku. Sebenarnya, aku bahkan mengubah diriku. Sejak itu, aku benar-benar melepaskan diriku yang dulu, dan menjalani proses metamorfosis untuk menjadi diriku yang baru. Sejak itu, duniaku benar-benar berubah.
Tujuh tahun sejak menghilang, Panda kembali muncul dalam kehidupanku, dan kata-kata pertamanya adalah, “Kau sudah berubah.”
Aku menatapnya, dan mendapati sosok yang dulu pernah dekat denganku. Panda tidak banyak berubah, selain tampak lebih dewasa dan matang. Jadi, itulah yang kukatakan kepadanya, “Kau juga sudah berubah.”
Panda tersenyum. “Maksudku bukan itu. Aku sangat mengenalmu, dan kau yang sekarang bukan lagi kau yang dulu. Apa yang terjadi?”
Aku membalas senyumnya. “Kau tidak ingin tahu.”
Sejak itu, pertemuan kami hanya terjadi sewaktu-waktu. Karena aku makin sibuk, dan Panda entah ke mana. Kadang-kadang dia muncul, kadang-kadang dia menghilang. Lebih sering dia menghilang.
....
....
Kemarin aku duduk di pantai, tempat Panda dan aku pernah menikmati hari di sana, bertahun-tahun lalu. Kemarin aku duduk di pantai, tempat Panda dan aku pernah naik kapal bersama rombongan anak-anak ke tengah lautan, bertahun-tahun lalu. Kemarin aku duduk di pantai, tempat Panda dan aku pernah memunguti kerang yang terserak di pasir, bertahun-tahun lalu.
Kemarin aku duduk di pantai, dan membayangkan Panda, membayangkan hidup, membayangan kehidupan kami.
Kemarin aku duduk di pantai, dan tiba-tiba merindukan Panda, mengharapkan dia duduk di dekatku, seperti bertahun-tahun lalu.