Tampilkan postingan dengan label Tentang Menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Menulis. Tampilkan semua postingan
Minggu, 10 Maret 2024

Omong-omong Soal Menulis...

Setiap penulis, setidaknya yang sata tahu, memiliki kemampuan menulis dengan berbagai cara atau latar belakang. Terlepas dari bakat, ada penulis yang punya kemampuan menulis dari otodidak, ada yang karena rajin ikut kursus atau workshop menulis, dan lain-lain.

Cara seseorang memiliki kemampuan menulis biasanya akan ikut mempengaruhi jawabannya ketika dia ditanya bagaimana cara untuk bisa menulis, atau ketika dia diminta mengajari orang lain terkait menulis. Ini sesuatu yang mungkin sepele, tapi kita perlu memahami.

Jika Penulis A, misalnya, mendapatkan ilmu/pengetahuan menulis dari mengikuti workshop, kemungkinan itu pula yang akan jadi jawabannya ketika ditanya orang lain tentang cara bisa menulis. Apakah salah? Ya tidak, wong memang itulah yang dialami Penulis A, dan dia jujur.

Jadi, jika kita, misalnya, minta diajari menulis oleh Penulis A, kemungkinan besar Penulis A akan mengatakan, “Sebaiknya kamu rajin ikut kursus atau workshop saja, karena aku dulunya juga begitu. Sebelum bisa menulis seperti sekarang, aku rajin ikut kursus menulis,” dan bla-bla-bla.

Dalam hal ini, saya memiliki kemampuan menulis semata-mata karena otodidak. Saya tidak pernah mengikuti pendidikan formal/nonformal menulis, tidak pernah ikut kursus/workshop menulis, dan semacamnya. Yang saya lakukan hanya membaca buku—maksud saya, banyak buku. 

Dari membaca banyak buku, selama bertahun-tahun sejak kecil, saya seperti mendapat pelajaran tentang menulis yang baik, bagaimana merangkai kata dan kalimat, bagaimana menyusun alinea dan paragraf, sampai akhirnya bisa menulis buku hingga terbit secara komersial.

Karena latar belakang saya otodidak (rajin membaca buku hingga akhirnya punya kemampuan menulis), maka itu pula jawaban saya setiap kali ada yang minta diajari menulis. Saya tidak bisa mengajari. Jadi, saya hanya bisa mengatakan, “Bacalah banyak buku, nanti kamu bisa menulis.”

Sayangnya, jawaban semacam itu ternyata disalahartikan sebagian orang. Dulu, zaman kuliah, sebagian teman saya mengira saya tidak mau berbagi ilmu, hanya karena jawaban saya seperti itu. Padahal, saya menjawab seperti itu karena memang itulah yang saya lakukan, yang saya alami.

Saya tidak mungkin bertingkah sok pintar dengan memberi resep macam-macam kalau saya sendiri tidak melakukannya, kan? Karena saya bisa menulis berdasarkan rajin membaca buku, maka itu pula yang saya katakan. Sayangnya, seperti saya bilang tadi, jawaban itu disalahpahami.

Karenanya, ketika bikin blog di internet, saya sengaja membuat satu kategori khusus, yaitu Tentang Menulis, dan saat ini telah terkumpul puluhan catatan terkait pembelajaran menulis. Semua hal yang saya tahu tentang cara untuk bisa menulis, saya tuliskan di situ.

Sejujurnya, saya bingung kalau ada orang menyatakan ingin bisa menulis, atau ingin jadi penulis, tapi tidak pernah membaca buku. Itu sebenarnya konyol, karena tugas utama seorang penulis sebenarnya bukan menulis... tapi membaca! Semua penulis pasti seorang pembaca.

Sebagai penulis, saya tidak akan percaya kalau ada orang bisa menulis sangat bagus, tapi tidak pernah membaca. Bahkan jika dia punya bakat adimanusiawi (di atas rata-rata manusia) sekalipun, dia tidak akan bisa menulis, jika tidak pernah membaca! 

Jadi, kalau, umpama, misalnya, kamu ingin bisa menulis—apalagi ingin dapat penghasilan besar dari menulis seperti Tere Liye, misalnya—coba tanya diri sendiri, “Apakah aku senang membaca?” 

Jika jawabannya “tidak”, sebaiknya cari pekerjaan lain saja.

Senin, 01 Mei 2023

Menulis untuk Menjaga Kewarasan

Seharian tadi saya membaca On Writing, buku tentang kepenulisan karya Charles Bukowski. Dia penulis/sastrawan asal Jerman yang tinggal di Los Angeles, dan telah menulis ratusan cerita pendek, ribuan puisi, enam novel, dan telah menerbitkan lebih dari 50 buku.

On Writing, buku yang saya baca tadi, berisi narasi-narasi Bukowski tentang proses kreatifnya sebagai penulis. Sebagai orang yang aktif menulis, saya menemukan banyak sekali narasi di buku itu yang menyentuh hati dan pikiran, sekaligus menguatkan dan menginspirasi. 

Berikut ini saya terjemahkan beberapa di antaranya. (Kalau kamu kebetulan juga penulis, atau aktif menulis, atau ingin jadi penulis, On Writing patut dibaca.) 

“Menulis membutuhkan kedisiplinan, sama seperti yang lain. Jam berlalu sangat cepat, bahkan ketika aku sedang tidak menulis.”

“Menulis apa yang kita sukai jauh lebih mudah, daripada berusaha menciptakan tulisan yang disukai banyak orang.”

“Aku tidak berusaha menjadi penulis, aku hanya melakukan sesuatu yang terasa menyenangkan bagiku.”

“Aku akan terus menulis hingga embusan napas terakhir. Tak peduli orang lain menganggapnya bagus atau tidak. Dari awal sampai akhir. Aku ditakdirkan untuk melakukannya, dan menjadi seperti ini. Sederhana dan mendalam.” 

“Apa pun yang kutulis, baik atau buruk, pastilah aku apa adanya.”

“Semua penulis bagus bisa menulis dengan sangat bagus. Tapi, ya Tuhan, mereka mirip satu sama lain. Aku tidak mau seperti itu, aku ingin menulis apa pun yang kuinginkan. Aku menulis dari rasa sakit, kegilaan, dan kebenaran.” 

“Jangan khawatir soal frase, hitungan atau akhiran yang berima. Tulis apa adanya, keras, kasar, atau sebaliknya—terserah caramu menyampaikan.”

“Tak masalah kalau tulisanku dikritik. Tapi diubah menjadi seperti tulisan orang lain merupakan sesuatu yang sangat tidak bagus.”

“Kebanyakan penulis hebat menghasilkan karya-karya hebat karena tujuan utamanya adalah untuk menjaga kewarasan.” 

“Penulis-penulis yang bisa menulis dengan baik adalah orang-orang yang menulis supaya tidak gila.”

Minggu, 20 Maret 2022

Menyongsong Kiamat Bersama Nabilah

Mau tidur, tapi malah ingat Nabilah.
Benar-benar permulaan tidur yang tidak ilmiah!
@noffret


Tantangan terbesar menulis fiksi adalah berupaya membuat pembaca percaya pada yang kita ceritakan. Semakin panjang kisah fiksi yang kita tulis, semakin besar tantangan yang kita hadapi, karena kita harus menjaga ritme cerita secara masuk akal, dan terus menjaga kepercayaan pembaca. Sedikit saja pembaca mulai tidak percaya, fiksi kita gagal.

Karena latar belakang itu, menulis cerpen jauh lebih sulit dibanding menulis artikel berita, dan menulis novel jauh lebih sulit dibanding menulis cerpen.

Bagi para penulis, menulis artikel berita—apalagi yang relatif pendek—bisa dibilang sangat mudah. Cukup datangi lokasi kejadian, kumpulkan wawancara, pahami kronologi peristiwa, lalu susunlah dalam tulisan yang runtut dan detail. Sudah. Dan orang-orang (para pembaca) akan percaya yang kita tulis, karena memang berita berdasar kenyataan.

Menulis artikel berita bisa dibilang tanpa beban. Karena, bahkan seaneh atau seabsurd apa pun isinya, pembaca akan percaya. Ada artikel berita, misalnya, yang mengabarkan munculnya lubang-lubang besar di suatu daerah secara tiba-tiba. Mungkin artikel itu tidak menjelaskan latar belakang munculnya lubang, dan tidak ada penjelasan apa pun, selain hanya fakta. Tetapi, sekali lagi, pembaca akan percaya.

Begitu pula, ada berita yang mengabarkan seseorang yang dikenal alim, tapi ternyata menyimpan kejahatan busuk. Itu jelas dua hal yang kontradiktif, tapi pembaca berita tetap percaya, karena memang berdasar fakta. Jurnalis atau penulis berita hanya menuliskan fakta, apa adanya. Perkara pembaca mau percaya atau tidak, bodo amat, wong faktanya memang begitu. 

Sebagai pembaca berita, kita juga tidak menuntut macam-macam. Kita hanya membaca berita yang kita pilih, membacanya sampai selesai, sudah. Mungkin kita berpikir berita itu aneh, atau tak masuk akal, atau sadis dan tidak rasional. Tetapi, yang jelas, kita tidak akan menyalahkan penulisnya, karena si penulis hanya mewartakan fakta apa adanya.

Kenyataan semacam itu jelas berbeda ketika membaca fiksi. Ketika membaca cerpen, misalnya, kita tahu bahwa cerpen yang kita baca hanya khayalan atau imajinasi penulisnya. Atau, dengan kata lain, “tulisan bohongan”. Tetapi, karena kita tahu itu bohong (fiksi), kita justru menuntut kisah yang benar-benar masuk akal dan dapat dipercaya!
 
Karenanya, ketika menulis fiksi, kita menghadapi tantangan yang lebih sulit daripada menulis nonfiksi. Semakin panjang fiksi yang kita tulis, semakin besar tantangan yang kita hadapi. 

Novel, misalnya, adalah cerita fiksi panjang yang melibatkan banyak tokoh, peristiwa, jalan cerita, konflik, dan lain-lain. Itu jelas membutuhkan kerja keras dan pemikiran yang sangat matang, agar kisah dan para tokoh yang kita ceritakan dalam novel benar-benar realistis, masuk akal, dan tidak mencederai akal sehat pembaca. 

Dalam novel, kita tidak bisa seenaknya menciptakan tokoh dengan kemampuan tertentu tanpa penjelasan atau latar belakangnya. Pun, kita tidak bisa menceritakan peristiwa yang alurnya tidak masuk akal. Justru karena itu fiksi, pembaca harus percaya!

(Catatan: Memang ada beberapa jenis fiksi yang ditulis secara absurd dan sengaja dibuat tidak masuk akal, tapi itu sudah lain pembahasan.)

Well, saya sebenarnya mau bercerita tentang Nabilah, tapi intro catatan ini sepertinya kepanjangan. 

Sekarang, saya akan menceritakan suatu kisah yang mungkin absurd, sulit dipahami akal sehat, tidak logis, tapi kemungkinan besar kalian akan percaya. Karena, kisah yang akan saya ceritakan ini berdasarkan mimpi yang saya alami. Namanya mimpi, cerita yang terjadi kadang sangat absurd bahkan “umbrus”, tapi kita bisa apa? Namanya juga mimpi!

Kemarin malam, saya bermimpi menikmati perjalanan bersama Nabilah. Cuma, Nabilah yang ada dalam mimpi saya waktu itu sudah dewasa—bukan Nabilah remaja seperti yang kita kenal sekarang. Mimpi ini sangat mengesankan, khususnya bagi saya, sehingga merasa perlu menulisnya.
 
Entah bagaimana asal usulnya, dalam mimpi itu saya sedang menikmati perjalanan bersama Nabilah yang sudah dewasa, mengendarai pikap. 

Kenapa kok naik pikap? Saya juga tidak tahu, wong ini kisah dalam mimpi!

Yang masih saya ingat, kami sedang berkendara menuju Jakarta. Kami melaju di jalan satu arah, dan saya tahu betul itu perjalanan menuju Jakarta... meski saya tidak tahu (atau tidak ingat) kami dari mana.

Setelah beberapa lama berkendara—dan jarak kami sudah dekat Jakarta—kami mendapati kerumunan orang di depan. Ada banyak motor dan mobil yang ditinggal di tengah jalan, dan orang-orang tampak ramai berkerumun di sana-sini. Ada yang berdiri, ada yang berjongkok, ada yang bercakap-cakap, ada yang tampak memandangi sesuatu.

Karena jalan di depan penuh kendaraan yang parkir sembarangan, dan orang-orang banyak berkerumun, semua orang pun menghentikan perjalanan. Termasuk saya dan Nabilah. Saya mengajaknya turun, lalu kami melangkah menuju kerumunan, untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.

Beberapa meter melangkah, kami mendapati aspal yang retak dengan lubang-lubang mengerikan. Jalanan yang semula mulus dan rata, kini tampak bergelombang, naik turun mengerikan, dengan lubang-lubang besar menganga. Saya meraih Nabilah, dan menggandeng tangannya erat, memastikan dia tidak jatuh di antara jalanan yang berlubang di sana-sini.

Kami berdiri bersama orang-orang yang berkerumun di sana, dan menatap kejauhan. Di depan kami, tampak pemandangan mengerikan. Jembatan besar—yang semula menghubungkan tempat kami berdiri ke Jakarta—saat itu telah runtuh, dengan tiang-tiang besi rusak parah, seperti baru diguncang raksasa. Sementara air sungai di bawahnya tampak bergolak seperti lahar. Aspal di sana-sini tak ada lagi yang rata, semuanya rusak parah. Ke mana pun memandang, yang kami saksikan hanyalah kerusakan.

“Apa yang terjadi?” bisik saya dengan tercekam.

Orang di sebelah saya menjawab, “Jakarta sedang kiamat.”

Saya merasakan Nabilah mencengkeram lengan saya dengan erat, seperti ketakutan—mungkin membayangkan keluarga dan teman-temannya yang ada di Jakarta. Saya menatap ke atas, dan langit Jakarta tampak akan runtuh. Awan gelap menggumpal di udara, dan kehidupan manusia sepertinya akan segera usai.

“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Nabilah.

Saya terdiam, lalu menjawab dengan berat, “Tidak ada yang bisa kita lakukan. Kalau Jakarta dilanda kiamat, artinya semua tempat juga mengalami kiamat serupa. Kita tidak bisa melakukan apa-apa.”

Nabilah menatap saya, dan berkata sungguh-sungguh, “Tapi kita bisa mencari warung sebentar, untuk makan?”

Itu jelas percakapan yang sangat mbuh. Wong sudah tahu dunia sedang kiamat, dia malah mengajak cari warung makan! Tapi kisah dan percakapan ini terjadi dalam mimpi, dan saya bisa apa?

Akhirnya, kami pun berusaha mencari warung makan yang ada di sana. Berdasarkan tanya-tanya orang di sana, kami menemukan sebuah warung makan yang buka di dekat jembatan. Keberadaan warung makan ini pun sebenarnya sangat absurd. Wong dunia sedang kiamat, masih sempat-sempatnya buka warung.

Saya pun mengajak Nabilah ke sana. Selama melangkah ke warung, kami harus melewati medan yang mengerikan—aspal rusak, gelombang-gelombang tanah yang naik turun, sampai lubang-lubang menganga. Saya terus menggandeng tangan Nabilah dengan erat, meski dia sudah dewasa.

Sesampai di warung, Nabilah makan sesuatu—saya tidak ingat atau tidak tahu dia makan apa. Saya hanya menemani, duduk di sampingnya, sambil minum teh hangat, dan merokok. 

Usai makan, Nabilah menatap saya dengan tatapan getir, dan bertanya lirih, “Mengapa kiamat terjadi?”

“Jawabannya panjang,” saya menjawab, “dan sepertinya sudah tidak penting lagi, karena sesaat lagi kita semua akan hancur.”

Kami terdiam, saling menatap. Lalu saya berkata perlahan, “Setidaknya, aku bersyukur, karena bisa melihatmu dewasa.”

Kisah dan percakapan itu selesai sampai di situ, karena setelahnya gelap. Mungkin kiamat benar-benar terjadi, dan waktu itu kami sudah tergulung dalam kehancuran dahsyat akhir bumi. 

Lalu saya terbangun dari tidur.

Dan sangat terkesan pada mimpi yang baru saya alami. 

....
....

Kita sama-sama paham, kisah ini—dan percakapan di dalamnya—tidak masuk akal. Tapi ini mimpi, dan kita bisa apa? 

Tips Menulis Novel yang Jarang Dikatakan

Tip menulis novel yang jarang dikatakan: Saat menciptakan tokoh untuk kisahmu, jangan pernah menciptakan tokoh yang sempurna. Selain akan membuatnya berjarak dengan pembaca, tokoh sempurna hanya akan membuat pembaca muak mengikuti kisahnya.

Sebenarnya, aku memang pernah membaca novel yang mengisahkan orang yang sangat sempurna. Sosok yang menawan, pintar, kaya, ramah, berbudi luhur, tanpa cacat atau kekurangan sama sekali. Dan, kau tahu, aku muak selama membacanya, karena merasa sedang dibohongi terang-terangan.

Semakin seseorang mencitrakan dirinya sempurna, aku semakin tidak percaya. Bahkan dalam novel sekali pun, tak pernah ada tokoh sempurna.

Setiap orang berhak untuk punya kekurangan. Mungkin tak pernah dikatakan kepadamu, tapi itu benar. Kau, atau siapa pun, berhak untuk punya kekurangan, untuk tidak sempurna, dan tak seorang pun berhak menghakimi kekuranganmu atau ketidaksempurnaanmu.

Aku percaya, tidak ada orang yang sempurna, sebagaimana dunia memang bukan tempat sempurna. Seperti apa pun seseorang sempurna di mata kita, nyatanya dia tetap punya kekurangan, dan kita perlu memahami kekurangannya—asal tidak toxic dan memanipulasi orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 November 2017.

Sabtu, 10 April 2021

Percakapan-Percakapan Sederhana

Aku suka menulis percakapan-percakapan sederhana yang menyenangkan, dengan teman atau dengan orang asing. Ini salah satunya.

Catatan baru: Lelaki Tua dan Bocah » https://bit.ly/2KNailt


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 November 2019.

Sabtu, 20 Maret 2021

Eufemisme dan Kekacauan Media di Indonesia

Baru membaca ini, dan terpikir, mungkin sebagian orang bertanya-tanya kenapa banyak jurnalis di Indonesia seperti menjauhi istilah “memperkosa”.

Sebut Saja Perkosa, Kenapa Masih Pakai Istilah Setubuhi, Gagahi, dan Rudapaksa? —Voxpop Indonesia

Mumpung cokelat hangatku masih penuh dan udud masih panjang, aku mau ngoceh.

Salah satu hal yang lekat dengan media di Indonesia adalah eufemisme (penghalusan bahasa). Seperti penggunaan diksi “menyetubuhi” atau bahkan “menggagahi”, padahal yang dimaksud adalah “memperkosa”. Kalau dirunut ke belakang, budaya eufemisme ini dimulai di era Orde Baru.

Pada era Orde Baru, media-media di Indonesia tidak bisa ngoceh seenaknya, karena taruhannya adalah pembredelan. Kau salah ngomong, perusahaanmu bubar. Karena tekanan semacam itu, awak media didoktrin untuk berhati-hati—sangat berhati-hati—dalam menggunakan diksi dalam tulisan.

Di masa-masa itulah, “ditangkap” menjadi “ditahan” atau bahkan “diamankan”, sementara “pemerkosaan” menjadi “penyetubuhan paksa” atau “rudapaksa”. Penggunaan diksi semacam itu, sebagai contoh, di masa Orde Baru, seperti meniti rambut dibelah tujuh, butuh kehati-hatian.

Belakangan, penggunaan eufemisme semacam itu, tanpa sadar, diwarisi oleh generasi selanjutnya. Para jurnalis yang baru terjun ke media meniru cara para seniornya dalam menggunakan diksi, dan itu terus berlangsung bahkan sampai saat ini. Padahal zamannya sudah berubah.

Para jurnalis era kekinian masih suka menggunakan eufemisme, seperti para senior mereka yang meniru senior sebelumnya. Ini praktik yang keliru, tapi tidak disadari di dunia media serta para awaknya, hingga terus diwarisi turun temurun, dan terus digunakan dalam penulisan berita.

Aku berani bertaruh, tidak ada media di Indonesia yang terang-terangan memberi tahu para jurnalis mereka agar “jangan gunakan eufemisme”. 

Karena praktik semacam itu—penggunaan eufemisme—sudah dianggap kelaziman di dunia jurnalistik atau penulisan berita. Padahal ini bermasalah.

Kenyataannya, banyak jurnalis yang merasa “pekewuh” (tidak nyaman) ketika ingin terang-terangan menulis “memperkosa”, hingga terpaksa menggunakan diksi lain; “menyetubuhi”, “menggagahi”, sampai “rudapaksa”. Padahal intinya cuma mau ngomong “memperkosa”. Tapi tidak nyaman.

Jangankan menulis “memperkosa” yang mungkin terdengar kasar atau vulgar, bahkan sekadar menulis “dia” saja, banyak jurnalis yang tidak berani, karena "pekewuh" dan terbiasa menyebut “beliau”. Hasilnya, mereka kemudian menggunakan diksi lain yang terkesan aneh, “dirinya”.

Kita bisa menemukan fenomena aneh itu di hampir semua media di Indonesia. Tiap kali seorang jurnalis akan menulis “dia”, bawah sadarnya akan mengingatkan itu “kasar”. Karena tidak mungkin menggunakan “beliau” dalam penulisan berita, mereka pun lalu menulis “dirinya”.

Hasilnya, kalau cukup peka, kita akan merasa aneh tiap membaca berita yang isinya penuh kata ganti “dirinya”. Wong tinggal nulis, “Dia mengatakan bla-bla-bla”, menjadi “Dirinya mengatakan bla-bla-bla”. 

Kita, dalam hal ini para jurnalis, sudah terjebak warisan eufemisme.

Sekarang bayangkan. Jika sekadar menulis “dia” untuk menyebut seseorang (narasumber) saja para jurnalis di Indonesia sudah merasa berat, apalagi terang-terangan menulis “memperkosa”?

Karenanya, editor yang sadar soal ini sangat dibutuhkan, untuk “meluruskan” setiap tulisan.

Editor media perlu menyadari bahwa menyebut “dia” (misal untuk narasumber) itu tidak salah, sebagaimana seharusnya menulis “memperkosa” untuk berita kasus perkosaan.

Jurnalisme, mestinya, berdiri tegak lurus, termasuk dalam penggunaan diksi. Tapi eufemisme membengkokkannya.

Eufemisme, khususnya dalam penulisan berita, sebenarnya bermasalah, karena ia menciptakan jarak antara pembaca dengan realitas. Padahal jurnalisme adalah upaya memotret (menulis) realitas untuk disuguhkan pada pembaca. Karena "menyetubuhi" jelas berbeda dengan "memperkosa".

Sayangnya, inilah yang terjadi pada media-media di Indonesia, wabilkhusus media-media online. 

Ketika ribuan media online bermunculan di Indonesia, mereka butuh ribuan jurnalis baru. Para jurnalis pendatang baru itu, tanpa sadar, meniru para senior mereka, termasuk kelirunya.

Atmosfer media online di Indonesia juga sangat tampak saling mempengaruhi. Ketika media A menggunakan suatu diksi tertentu, media lain akan meniru, lalu media lain lagi akan meniru, dan begitu seterusnya. Contoh paling gamblang dalam hal ini adalah penggunaan akhiran “lah”.

Akhir-akhir ini, ada kekeliruan massal yang dilakukan media-media online di Indonesia dalam penggunaan akhiran “lah”—sesuatu yang seharusnya digabung dengan kata awal, tapi dipenggal. 

Contoh, “katakanlah” mestinya digabung. Tapi media memenggalnya jadi “katakan lah”. Itu piye?

Jika kita teliti, ada banyak sekali diksi berakhiran “lah” yang mestinya digabung—bersatu dengan kata awal—tapi dipenggal, dipenggal, dan dipenggal. “Dialah” menjadi “dia lah”, “inilah” menjadi “ini lah”, dan seterusnya. Ivan Lanin mungkin mimisan tiap menemukan hal aneh itu.

Kekacauan ini sebenarnya bermula dari penggunaan kata-kata slang atau bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari. 

Dalam bahasa gaul sehari-hari, sering muncul ucapan, misalnya, “Ya enggak, lah.” Ketika ucapan itu ditranskrip ke tulisan, akhiran “lah” memang dipenggal. Tetapi...

Tetapi, di situ ada koma—sekali lagi, perhatikan, di situ ada koma!

Ketika kita memenggal “lah” dari kata awalnya, seperti dalam contoh tadi, pemenggalan harus disisipi koma. Dengan kata lain, jika koma tidak mungkin disisipkan, artinya akhiran "lah" tidak perlu dipenggal!

Uraian soal ini sebenarnya sangat teknis, dan aku tidak mungkin menjelaskannya secara gamblang di sini karena bisa panjang sekali—setidaknya butuh 34 SKS hanya untuk mempelajari soal ini. Intinya, akhiran “lah” dalam penulisan bahasa baku mestinya digabung dengan kata awal.

Selain akhiran “lah” yang dipenggal seenaknya, akhir-akhir ini juga muncul kekacauan massal lain di banyak media di Indonesia, yaitu memenggal akhiran “nya”—lagi-lagi seenaknya. Misal, “mestinya” jadi “mesti nya”, “ucapnya” jadi “ucap nya”. Itu siapa yang mengajari?

Kekacauan massal di media ini, jika tidak segera diluruskan, lama-lama akan dianggap kelaziman baru, yang lalu akan ditiru para jurnalis pemula yang meniru para senior mereka, yang mengira hal-hal itu benar padahal salah! Sebelas dua belas dengan “memperkosa” jadi “menyetubuhi”.

Sekali lagi, ini sangat teknis, dan ocehan ini bisa sangat membosankan jika kuteruskan. 

Kata kunci dalam hal ini sebenarnya sepele: Akhiran “lah” dan sebagian “nya” sering kali tidak berguna. Jika ragu-ragu menulisnya, sebaiknya hilangkan saja, daripada salah dan jadi aneh.

Contoh, “Dialah yang mengatakannya”, bisa menjadi “Dia yang mengatakan”. Akhiran “lah” di situ tidak berguna. 

Begitu pula sebagian akhirnya “nya”—sebagian lho, bukan semuanya. Ada banyak akhiran “nya” yang bisa dihapus, tapi juga ada sebagian "nya" yang harus tetap ada.

Bagaimana kita membedakan mana akhiran “nya” yang bisa dihapus, dan mana yang harus tetap ada? Sekali lagi, jawabannya sangat teknis, dan karena itulah ada mata kuliah jurnalistik! Setiap editor media mestinya menguasai keterampilan ini, hingga bisa membenahi setiap tulisan.

Ini baru ngoceh soal eufemisme dan akhiran kata saja sudah panjang begini. Kalau kuteruskan, ocehan ini mungkin baru selesai pas azan subuh... tahun 8375. Tapi karena cokelat hangat dan ududku sudah habis, sampai di sini saja. Kalau mungkin ada yang ingin ditanya, sila tanyakan.

Kalau ternyata aku ketiduran, ya jawabnya besok, kalau pas login ke Twitter lagi. Tapi biasanya, sih, tidak ada yang tanya. 

....
....

“Kamu ngoceh cuma nunggu udud habis, tapi kenapa ocehannya bisa panjang sekali?” 

Ududku samsu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Juli 2020.

Jumat, 20 November 2020

Media Online Paling Memuakkan

Sambil nunggu udud habis, aku mau melanjutkan ocehan kemarin dan kemarinnya lagi dan kemarinnya lagi.

Seperti yang kukatakan di sini, ada “konspirasi tolol” yang diam-diam terjadi di Twitter, sejak lama, melibatkan banyak orang, laki-laki dan perempuan, dan mereka semua terhubung satu pihak yang sama, yang memberi brief ke mereka, dengan tujuan yang sama. 



Bagaimana dan dari mana urusan tolol ini bermula? Asalnya dari sebuah media online, yang kebetulan menarik perhatianku—sekian waktu lalu. Sebut saja media X. Waktu itu aku tertarik, karena X adalah media online baru yang unik, dan aku mengatakannya terus terang pada mereka.

Karena ketertarikan itu pula, aku mencoba mengirim naskah ke mereka. Satu-satunya alasan aku mengirim naskah ke mereka cuma karena KETERTARIKAN. Honor? Untuk ukuran media lokal, paling berapa, sih? Tidak seberapa! Popularitas? Aku tidak butuh! Aku hanya tertarik, itu saja.

Naskah kirimanku ternyata ditolak. Tidak apa-apa. Bagiku, sebagai penulis, itu hal biasa. Bahkan aku masih mencoba mengirim beberapa naskah lain, yang semuanya tetap ditolak—mungkin karena tulisanku dianggap terlalu berat, dan tidak sesuai dengan segmen pembaca mereka.

Sekali lagi, aku menganggap semua penolakan itu sebagai hal biasa, dan sama sekali tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebagai penulis, aku sadar betul bahwa risiko menjadi penulis adalah ditolak. Jadi, penolakan naskah sama sekali tidak ada artinya bagiku. Itu sangat, sangat biasa.

Sebenarnya, aku masih akan mencoba menulis dan mengirim naskah lagi untuk media X tadi. Tetapi, kebetulan ada banyak urusan mendesak yang harus kukerjakan, dan tak bisa ditunda. Akhirnya, rencana menulis untuk media online X pun tertunda, sampai cukup lama.

Ketika urusan yang mendesak sudah mulai rampung, muncul masalah lain. Blogger mengirim pengumuman yang membuatku terguncang, yaitu perubahan dasbor. Perubahan dasbor ini sangat merisaukanku, karena dampaknya luar biasa. 

Sila baca: Blogger Bikin Pusing » https://bit.ly/305S9qI

Aku punya situs Belajar Sampai Mati, yang masih butuh penambahan gambar untuk ribuan artikelnya. Urusan penambahan gambar ini akan sangat rumit jika dilakukan menggunakan dasbor baru. Karenanya, sejak pengumuman dari Blogger tadi, aku benar-benar risau.

Sejak itu pula, aku berpacu dengan waktu, memasukkan gambar pada ribuan artikel di BSM, selama dasbor lama masih bisa digunakan. Gara-gara ini pula, aku sampai meninggalkan urusan pekerjaan, siang malam hanya ngurus BSM. Selengkapnya, baca di sini. » https://bit.ly/305S9qI

Ketika aku sedang suntuk dan stres mengerjakan hal-hal itulah, media X mulai mengganggu. Mungkin mereka nunggu aku kirim naskah lagi, tapi tidak juga kirim naskah. Lalu mereka menuduhku kecewa, sakit hati, egois, dan semacamnya, melalui sarana ala nomention. Inilah asal usulnya.

Bayangkan posisimu di tempatku. Aku sedang stres, banyak urusan, berpacu dengan waktu penggantian dasbor Blogger, siang malam mengunggah gambar untuk ribuan artikel, hingga meninggalkan urusan pekerjaan yang jadi sumber nafkahku. Aku tidak sempat melakukan hal lain, waktu itu.

Dan dalam kondisi semacam itu, media online X terus menerus mengirim pesan ala nomention yang menuduhku kecewa, sakit hati, egois, dan lain-lain, nyaris tanpa henti, hanya karena aku tidak juga mengirim naskah baru ke mereka. Padahal masalahnya sepele; aku sedang sangat sibuk!

Andai mereka menghubungiku baik-baik, dan menanyakan kenapa aku tidak kirim naskah baru, dengan senang hati aku akan menjelaskan. Bahwa aku sedang banyak urusan/kesibukan, dan saat itu sedang suntuk mengurusi situs "Belajar Sampai Mati" yang sampai membuatku tidak bisa kerja.

Tetapi, alih-alih menggunakan cara yang baik dan profesional semacam itu, media X justru hanya terus menerus mengirim pesan ala nomention, menuduhku sakit hati dan kecewa karena ditolak. Kalau aku kemudian jengkel karena hal itu, bahkan iblis di neraka akan dapat memaklumi.

Sejak itulah, ketertarikanku pada media online X pudar, dan aku kehilangan gairah menulis lagi untuk mereka. Ingat kembali, satu-satunya alasanku mau menulis naskah untuk mereka cuma ketertarikan. Dan sejak itu, akibat ulah mereka yang memuakkan, ketertarikanku hilang.

Mereka masih berusaha mengirim pesan-pesan melalui sarana ala nomention dan masih menuduhku kecewa/sakit hati karena ditolak, tapi aku tak peduli lagi. 

Di Twitter, aku bahkan unfollow akun mereka, sebagai upaya menunjukkan kalau aku sudah tak tertarik dan muak dengan mereka.

Lalu, dimulailah “konspirasi tolol” di Twitter. Mungkin karena sadar mereka sudah tak menarik bagiku, media X rupanya mencari cara lain. Kali ini, mereka “memanfaatkan” orang-orang tertentu di Twitter, dan diberi brief tertentu untuk menarik perhatianku. Hasilnya sama memuakkan!

Sejak itulah, aku mendapati ada orang-orang di Twitter menulis tweet-tweet tertentu, yang lalu di-retweet oleh akun-akun yang kebetulan ku-follow. Tweet-tweet hasil brief itu sangat jelas bagiku, meski mungkin orang lain tidak tahu, dan aku sengaja tidak pernah mempedulikannya.

Tidak cukup hanya itu, media X juga memantau TL-ku untuk melihat dengan siapa saja aku berinteraksi, atau tweet dari siapa saja yang ku-retweet. Lalu muncullah kasus si aktivis ini. Aku me-retweet tweet dia, dan media X langsung menghubungi si aktivis.


Juga kasus wanita ini. Aku sering me-retweet tweet dia, dan berinteraksi dengannya. Lalu media X mendekati wanita ini, dan memberi brief agar sering me-retweet/memfavoritkan tweet dari akun-akun tertentu, agar sampai di TL-ku, dengan harapan aku tertarik. 


Kasus si aktivis dan si wanita itu hanyalah dua di antara banyak kasus lain yang terjadi di Twitter selama ini. Dan selama waktu-waktu itu, aku hanya diam, karena tak ingin ribut. Tapi ulah media X, lewat orang-orang suruhannya, makin lama makin memuakkan.



Ada orang-orang di Twitter yang disuruh “menggangguku” dengan aneka cara, dari menyindir, berusaha membuatku tertarik/terkesan, menyerangku dengan cara nomention, dll. Tak cukup di Twitter, sampai ada orang di FB diminta ikutan, lalu SS tulisannya dibawa ke Twitter! WTF is that?

Jadi, akhirnya, aku pun memutuskan untuk speak up, dan terang-terangan menunjukkan bahwa aku tahu perbuatan mereka, lewat tweet ini dan tweet-tweet beberapa malam kemarin. Ulah mereka sudah sangat memuakkan, dan sudah saatnya mereka diberi tahu.


Sekarang, aku akan mengatakan ini pada media X. 

Aku sama sekali tidak marah, tidak kecewa, juga tidak sakit hati, atas penolakan naskahku dulu, dan Tuhan menjadi saksi atas kebenaran kata-kata ini. Satu-satunya alasan aku berhenti kirim naskah, karena sedang sangat sibuk!

Tapi kalian tidak menunjukkan itikad baik. Bukannya menghubungiku dan menanyakan secara baik-baik, kalian malah menuduhku macam-macam, dan itu, terus terang, membuatku muak sekaligus sakit hati. Apalagi ditambah ulah kalian yang menggangguku di Twitter melalui orang-orang lain.

Kini, aku sudah tak tertarik pada kalian, atau media kalian, atau apa pun milik kalian, dan tidak ada apa pun lagi yang bisa membuatku tertarik. Yang kalian lakukan sudah sangat... sangat memuakkan, dan terus terang aku tidak berminat mengenal apalagi berhubungan dengan kalian.

Tak ada gunanya lagi mencoba apa pun untuk menarik perhatianku. Aku tidak butuh uang kalian. Aku juga tidak butuh popularitas yang mungkin bisa kalian berikan. Satu-satunya hal yang kalian miliki, dulu, hanya ketertarikanku. Dan ketertarikan itu sekarang sudah hilang.

Dan sekarang, fellas, kalian tahu kenapa aku terus menyematkan ini di setiap ocehanku sejak beberapa malam lalu. Baca dari awal sampai akhir: 

Hal Sepele tapi Dibikin Rumit » https://bit.ly/2SIcrT1


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Oktober 2020.

Kamis, 10 Mei 2018

60 Buku Pengantar untuk Mengenal Dunia

Kalau pas selo, dan pikiran lagi fresh, coba baca buku-buku ini. Daftar ini bisa menjadi pengantar yang bagus untuk (lebih) mengenal dunia yang kita tinggali saat ini. Tidak banyak, cuma 60 buku, plus seri pendamping. (Masing-masing seri pendamping terdiri dari 1 sampai 12 buku lagi).

  1. Adam Fergusson: When Money Dies, The Nightmare Of The Weimar Hyper Inflation 
  2. Antonia Juhasz: The Tyranny of Oil, The World's Most Powerful Industry, and What We Must Do to Stop It
  3. C. Wright Mills: The Power Elite 
  4. Charles Ferguson: Predator Nation (Corporate Criminals, Political Corruption, and the Hijacking of America)
  5. Charles Mackay: Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds
  6. Charles R. Morris: The Tycoons (How Andrew Carnegie, John D. Rockefeller, Jay Gould and J.P. Morgan Invented the American Supereconomy) 
  7. Charles P. Kindleberger: Manias, Panics, and Crashes (A History of Financial Crises) 
  8. David Graeber: Debt, The First 5,000 Years
  9. David S. Landes: The Wealth and Poverty of Nations, Why Some Are So Rich and Some So Poor 
  10. Emma Rothschild: The Inner Life of Empires, An Eighteenth-Century History 
  11. Erin Arvedlund: Too Good to Be True, The Rise and Fall of Bernie Madoff 
  12. Eustace Mullins: The Secrets Of The Federal Reserve 
  13. Gary Gorton: Misunderstanding Financial Crises: Why We Don't See Them Coming 
  14. Geoffrey P. Faux: The Global Class War, How America's Bipartisan Elite Lost Our Future - and What It Will Take to Win It Back 
  15. George A. Akerlof: Phishing for Phools, The Economics of Manipulation and Deception 
  16. George Monbiot: Captive State, The Corporate Takeover of Britain 
  17. Gordon Brown: Beyond the Crash, Overcoming the First Crisis of Globalization 
  18. Greg Farrell: Crash of the Titans (Greed, Hubris, the Fall of Merrill Lynch, and the Near-Collapse of Bank of America) 
  19. Ha-Joon Chang: 23 Things They Don't Tell You About Capitalism
  20. Harald Parigger: Fugger und der Duft des Goldes, Die Entstehung des Kapitalismus 
  21. James Morcan: Bankrupting the Third World
  22. James Morcan: Interntional Bankster$, The Global Banking Elite Exposed and the Case for Restructuring Capitalism 
  23. James Rickards: Currency Wars, The Making of the Next Global Crisis
  24. Jane Mayer: Dark Money, The Hidden History of the Billionaires Behind the Rise of the Radical Right 
  25. Joel Bakan: The Corporation, The Pathological Pursuit of Profit and Power
  26. John Bowe: Nobodies, Modern American Slave Labor and the Dark Side of the New Global Economy 
  27. John Perkins: Confessions of an Economic Hit Man
  28. John Perkins: Hoodwinked, An Economic Hit Man Reveals Why the World Financial Markets Imploded & What We Need to Do to Save Them 
  29. John Perkins: The Secret History of the American Empire (Economic Hit Men, Jackals & the Truth about Global Corruption) 
  30. Joseph E. Stiglitz: Globalization and Its Discontents  
  31. Joseph E. Stiglitz: Freefall (America, Free Markets, and the Sinking of the World Economy) 
  32. Josy Joseph: A Feast of Vultures, The Hidden Business of Democracy in India 
  33. Karen Piper: The Price of Thirst, Global Water Inequality and the Coming Chaos 
  34. Kevin P. Gallagher: Ruling Capital, Emerging Markets and the Reregulation of Cross-Border Finance 
  35. Larry Doyle: In Bed with Wall Street, The Conspiracy Crippling Our Global Economy 
  36. Liaquat Ahamed: Lords of Finance, The Bankers Who Broke the World 
  37. Malcolm Balen: The King, the Crook, and the Gambler (The True Story of the South Sea Bubble and the Greatest Financial Scandal in History)
  38. Martin J. Walker: Corporate Ties That Bind, An Examination of Corporate Manipulation and Vested Interest in Public Health
  39. Muhammad Yunus: Banker to the Poor, Micro-Lending and the Battle Against World Poverty
  40. Naomi Klein: The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism 
  41. Niall Ferguson: The Ascent of Money, A Financial History of the World
  42. Niall Ferguson: The House of Rothschild (All Series)
  43. Nick Buxton: The Secure and the Dispossessed, How the Military and Corporations are Shaping a Climate-Changed World
  44. Noam Chomsky: Hegemony or Survival, America's Quest for Global Dominance 
  45. Noam Chomsky: Media Control, The Spectacular Achievements of Propaganda 
  46. Noam Chomsky: Failed States, The Abuse of Power and the Assault on Democracy 
  47. Paul Krugman: The Return of Depression Economics and the Crisis of 2008 
  48. Peter Chapman: Jungle Capitalists (A Story of Globalisation, Greed and Revolution: United Fruit and the Invention of Twentieth-century Greed)
  49. Peter Dale Scott: The American Deep State (Wall Street, Big Oil & the Attack on U.S. Democracy)
  50. Peter Temple: Hedge Funds, Courtesans of Capitalism 
  51. Robert B. Reich: Aftershock, The Next Economy and America's Future 
  52. Sebastian Mallaby: More Money Than God, Hedge Funds and the Making of a New Elite 
  53. Sheldon S. Wolin: Democracy Incorporated, Managed Democracy and the Specter of Inverted Totalitarianism
  54. Stephen E. Ambrose: Rise to Globalism, American Foreign Policy since 1938 
  55. Steven Hiatt: A Game as Old as Empire, The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption 
  56. Thomas Frank: One Market Under God: Extreme Capitalism, Market Populism, and the End of Economic Democracy 
  57. Thomas L. Friedman: Hot, Flat, and Crowded (Why We Need a Green Revolution, and How It Can Renew America)
  58. Tim Parks: Medici Money (Banking, Metaphysics, and Art in Fifteenth-Century Florence) 
  59. William D. Cohan: Money and Power, How Goldman Sachs Came to Rule the World 
  60. William D. Cohan: House of Cards, A Tale of Hubris and Wretched Excess on Wall Street 

Kapan-kapan, kalau pas selo, dan pikiranku juga lagi fresh, akan kutambah lagi.


*) Catatan/daftar buku ini sebelumnya saya tulis di timeline Twitter, pada 13 Maret 2018, dan saya pindahkan ke sini agar lebih mudah ditemukan.

Rabu, 01 November 2017

Saatnya Media Belajar Waras

Ya Tuhan, aku cinta akun ini!
@noffret


Di Twitter, ada akun baru yang segera menarik banyak pengikut, bernama @ClickUnbait. Seperti namanya, akun itu tampaknya bermaksud memerangi clickbait yang saat ini telah menjadi masalah sekaligus penyakit sebagian media di Indonesia, khususnya media yang eksis di internet.

Saat saya pertama kali mengikuti akun tersebut, jumlah pengikutnya masih 300-an. Saat ini, jumlah pengikut @ClickUnbait telah mencapai 23 ribuan. Padahal, kalau tak keliru, akun tersebut baru berumur dua minggu. Fakta itu menggembirakan, karena secara tak langsung memberitahu bahwa masih banyak pembaca berita di Indonesia yang waras.

Keberadaan akun @ClickUnbait yang secara frontal memerangi media-tukang-clickbait bisa menjadi pressure bagi media-media agar mulai belajar waras, agar tidak lagi “menipu” pembaca dengan judul-judul tak relevan. Di sisi lain, akun @ClickUnbait juga secara tak langsung mendidik para pengikutnya untuk membedakan mana berita yang layak baca, dan mana berita yang bernilai sampah.

Sebelum saya ngoceh panjang lebar, ada baiknya kita ketahui dulu apa itu clickbait, agar orang-orang yang mungkin belum paham bisa mengikuti isi catatan ini, juga memahami kenapa praktik clickbait yang dilakukan media-media di internet harus diperangi.

Mari kita lihat penjelasan atau definisi clickbait di Wikipedia (saya transkrip secara utuh):

“Umpan klik (clickbait) adalah suatu istilah peyoratif yang merujuk kepada konten web yang ditujukan untuk mendapatkan penghasilan iklan daring, terutama dengan mengorbankan kualitas atau akurasi, dengan bergantung kepada tajuk sensasional atau gambar mini yang menarik mata guna mengundang klik-tayang (click-through) dan mendorong penerusan bahan tersebut melalui jejaring sosial daring. Tajuk umpan klik umumnya bertujuan untuk mengeksploitasi "kesenjangan keingintahuan" (curiosity gap) dengan hanya memberi informasi yang cukup membuat pembaca penasaran ingin tahu, tetapi tidak cukup untuk memenuhi rasa ingin tahu tersebut tanpa mengklik pada tautan atau pranala yang diberikan.”

Penjelasan itu mungkin terlalu normatif, dan ada kemungkinan sebagian orang masih bingung. Jadi, izinkan saya menjelaskan lebih gamblang, hingga bisa dipahami anak SD sekali pun.

Pertama, mari kita lihat media-media daring di internet, seperti Tempo.Co, Beritagar.Id, Kompas.Com, Merdeka.Com, Tirto.Id, Tribunnews.Com, Detik.Com, Kapanlagi.Com, dan semacamnya. Apa persamaan mereka? Benar, sama-sama media yang menyuguhkan berita!

Situs-situs atau media-media tersebut menyuguhkan berita untuk para pembaca. Berita dan artikel didapat dari para wartawan atau para pekerja yang menulis di situs-situs tersebut. Untuk hal itu, tentu saja, perusahaan pemilik masing-masing situs harus membayar para pekerja, selain juga membayar biaya server, dan lain-lain, terkait operasional situs. Artinya, agar situs dapat terus hidup, mereka harus mendapat uang!

Umumnya, situs di internet mendapat pemasukan melalui iklan komersial. Umumnya pula, iklan tersebut berbentuk banner yang terpasang di sisi (kanan/kiri) artikel, di bawah, di atas, dan lain-lain. Iklan-iklan itulah yang memberi pemasukan pada masing-masing situs, hingga dapat membayar para pekerja dan biaya operasional. Dalam proses itu, tentu saja, masing-masing perusahaan pemilik situs juga ingin untung—semakin besar semakin bagus.

Terkait iklan yang terpasang, ada beragam pembayaran yang diperoleh situs. Dua yang paling populer adalah “bayar per klik” dan “bayar per tampilan”. Artinya, jika ada pengunjung situs yang mengklik iklan, situs akan memperoleh bayaran (dari si pemasang iklan). Atau, semakin banyak halaman situs yang dibuka pengunjung, semakin besar pula bayaran yang mereka terima.

Dan... well, dari situlah asal usul clickbait dimulai.

Para pemilik situs di internet menyuguhkan berita untuk pembaca/pengunjung. Mereka mempekerjakan para wartawan atau jurnalis untuk mencari dan menulis berita. Dalam hal itu, pemilik situs harus membayar/menggaji mereka, termasuk membayar biaya operasional. Untuk mendapat pemasukan, situs memasang iklan komersial. Selain untuk menggaji para wartawan dan membiayai operasional, juga untuk menangguk keuntungan.

Sampai di sini, mereka pun bertanya-tanya, “Bagaimana cara agar pemasukan dari iklan bisa sebesar mungkin?”

Bagi media yang memiliki integritas, pertanyaan itu memacu mereka untuk berpikir kreatif. Hasilnya, mereka menyuguhkan konten atau artikel yang lebih baik dari rata-rata situs lain, atau memperbanyak artikel dengan cara positif, sehingga pengunjung mendapat lebih banyak bacaan.

Dalam hal itu, media berpikir kreatif, “Jika pengunjung puas, mereka akan senang berlama-lama.” Dan jika pengunjung berlama-lama di sebuah situs, artinya akan ada banyak laman yang dibuka, akan ada banyak artikel yang dibaca, akan ada iklan yang diklik, dan tingkat bounce-rate akan membaik, yang hasil akhirnya akan meningkatkan tarif iklan di situs bersangkutan. Kesimpulannya; pengunjung senang, pemilik situs juga untung.

Sebaliknya, bagi media yang tidak berintegritas, pertanyaan di atas juga memacu mereka untuk berpikir “kreatif”. Sama-sama kreatif, tapi dalam tanda kutip. Biasanya, yang mereka lakukan adalah membuat judul-judul bombastis yang tidak relevan (tidak nyambung dengan isi berita, atau menyesatkan pembaca), sampai memecah suatu artikel/berita dalam beberapa halaman, padahal berita itu relatif pendek. Diakui atau tidak, itu praktik tercela dalam jurnalisme daring.

Judul-judul yang tidak relevan, atau menyesatkan pembaca—itulah yang disebut clickbait! Tujuannya agar kau penasaran, lalu mengklik tautan berita yang kaulihat.

Karena judulnya sudah menipu, ada kemungkinan kau akan merasa tertipu setelah membaca isi beritanya, dan merasa telah membuang waktu secara sia-sia. Tapi situs bersangkutan tidak mau tahu. Bagi mereka, yang penting kau mengklik tautan yang mereka sodorkan. Soal kau puas atau tidak, bodo amat! Yang penting situs mereka dikunjungi, artikel mereka dibaca, dan persetan denganmu!

Sudah mulai paham yang disebut clickbait?

Mengenai seperti apa judul-judul berita yang tidak relevan (yang bisa disebut clickbait), contohnya banyak sekali. Karena nyaris setiap situs berita di Indonesia kadang (sebagian malah sering) menggunakan. Karenanya, saya akan mati bosan kalau harus menuliskan contoh-contohnya di sini. Agar lebih mudah, silakan pelototi timeline akun @ClickUnbait di Twitter. Judul-judul berita yang “dibantai” di sana rata-rata judul yang tidak relevan alias clickbait.

Masih terkait judul, ada pula sebagian situs yang tampaknya merasa perlu memasukkan opini ke dalam judul, meski hal semacam itu sebenarnya salah. Contohnya juga banyak sekali, dan bisa ditandai dengan kata sifat yang subjektif dari si penulis berita. Misal:

Miris! Wanita Ini Bla-bla-bla
Menyedihkan, Negara Ini Bla-bla-bla
Ironis, Ternyata Pria Ini Serigala Berbulu Teman
Mengharukan! Sepasang Kucing Ini Bla-bla-bla
Membanggakan, Indonesia Sekarang Bla-bla-bla


Semua contoh judul itu salah! Wartawan hanya bertugas mewartakan. Soal apakah isi beritanya miris, menyedihkan, mengharukan, membanggakan, ironis, dan lain-lain, itu hak pembaca untuk menilai dan menentukan. Karena itulah, salah satu kode etik wartawan adalah objektif. Sementara judul-judul di atas justru subjektif, karena memasukkan opini. Dalam konteks pemberitaan media daring, praktik semacam itu bisa digolongkan clickbait.

Yang lebih gila, ada judul-judul kontemporer yang sangat asu. Biasanya, judul sangat panjang, diakhiri kalimat sok tahu. Misal:

Inilah 10 Hal yang Diam-diam Dilakukan Pasanganmu Saat Kamu Tidur, Nomor 8 Akan Membuatmu Salto Hingga Patah Tulang!

Atau;

Inilah 9 Hal yang Membuat Cewek Menangis, Nomor 6 Akan Membuatmu Mimisan Sambil Guling-guling!

Judul keparat apa itu? Okelah, orang mungkin bisa menulis tentang “9 hal yang membuat cewek menangis”. Itu ilmiah, dan bisa diterima akal sehat. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa “nomor 6 akan membuatmu mimisan sambil guling-guling”? Biasanya, artikel berjudul “9 Hal” semacam itu akan dipecah menjadi 9 halaman, agar pembaca terus melakukan klik.

Judul dan praktik seperti itu benar-benar parah. Dalam konteks clickbait, itu bahkan layak disebut simbahnya clickbait!

Well, selain judul yang tidak relevan, praktik tercela yang juga dilakukan sebagian situs berita di internet adalah “memecah satu artikel dalam beberapa halaman”. Saya perlu ngemeng khusus soal ini, agar tidak ada yang salah paham.

Ada kalanya, suatu situs menerbitkan artikel yang sangat panjang. Sebut saja, artikel itu mencapai 10 halaman ketika ditulis di MS Word. Ketika artikel panjang semacam itu diunggah ke situs, bisa jadi hasilnya sangat panjang, dan pembaca harus melakukan scroll berkali-kali untuk membaca artikel seutuhnya. Pada beberapa kasus, artikel yang sangat panjang bisa membuat proses loading tidak lancar, khususnya jika situs bersangkutan menggunakan server yang tidak bagus. Hasil akhirnya, pengunjung/pembaca bisa terganggu atau tidak nyaman.

Untuk mengantisipasi hal semacam itu, ada situs-situs yang berpikir untuk memecah artikel panjang menjadi 2 atau 3 halaman. Tujuannya untuk membuat pembaca lebih nyaman—baik saat membuka halaman, maupun saat membaca artikel bersangkutan. Dalam hal ini, bisa dibilang tidak masalah, dan kita menghargai itikad baik situs bersangkutan yang memang bertujuan membuat pengunjung nyaman.

Tetapi, ada pula situs-situs tertentu yang benar-benar bangsat! Mereka memecah artikel hingga beberapa halaman, tapi bukan bertujuan membuat pengunjung nyaman. Sebaliknya, yang mereka lakukan justru membuat pengunjung tidak nyaman!

Saya sering mendapati berita di suatu situs, yang memuat artikel pendek (atau tak seberapa panjang) tapi dipecah hingga 3, 4, 5, bahkan kadang sampai 9 halaman. Padahal, artikel itu sangat pendek! Sebegitu pendek, hingga masing-masing halaman hanya memuat satu atau dua paragraf! Itu benar-benar parah! Yang lebih parah, berita yang dipecah dalam beberapa halaman itu tidak penting-penting amat—biasanya hanya berita yang sekadar membuat pembaca penasaran!

Dalam konteks yang sedang kita bicarakan, praktik memecah satu artikel pendek dalam beberapa halaman semacam itu disebut clickbait. Yaitu upaya “memaksa” pengunjung/pembaca untuk terus melakukan klik dan klik, yang tujuannya keuntungan bagi situs bersangkutan. Karena itu pula, rata-rata situs yang melakukan praktik tercela semacam itu biasanya memiliki iklan sangat banyak, hingga satu klik membutuhkan waktu loading lama, akibat banyaknya iklan. Itu benar-benar memboroskan waktu pembaca secara sia-sia.

Well, sekarang kita paham apa yang disebut clickbait, dan bagaimana sebagian media sengaja “memanipulasi” pembaca melalui (judul-judul) berita yang mereka suguhkan. Itulah kenapa praktik semacam itu harus diperangi. Karena menjadikan media-media mandul (tidak kreatif, atau kreatif dengan cara yang salah), sekaligus menyesatkan pembaca, dan membuang waktu pembaca secara sia-sia.

Sudah saatnya media-media belajar dan berbenah untuk menulis dan menyuguhkan berita secara waras, yang mendidik dan mencerdaskan pembaca, bukan malah sebaliknya. Juga sudah saatnya bagi kita untuk mampu memilah dan memilih mana yang layak dibaca, serta mana yang patut dibuang. Karena membaca sesuatu yang tidak memberi manfaat hanya membuang-buang waktu, energi, biaya, serta umur kita.

Karena clickbait seperti lintah—mereka mengisap hidup kita, tanpa kita sadari. Mereka mendapatkan keuntungan dari pengisapan yang mereka lakukan, sementara kita tak mendapat apa pun, selain waktu dan energi yang terbuang.

Inilah 20 Hal yang Harus Kamu Tahu Seputar Hidup Sehat, Nomor 19 Bisa Membuatmu Kejang-kejang Sampai Mati!

Sudah pakai “Inilah”, masih pakai tanda seru di akhir judul.

Percaya atau tidak, setiap kali kau mendapati artikel yang judulnya diawali “Inilah”, apalagi diakhiri tanda seru (!), hampir bisa dipastikan penulisnya seorang pemula. Dan hampir bisa dipastikan isinya tak layak baca.

Penulis profesional—dan waras—tidak melakukan hal setolol itu.

Jumat, 28 Juli 2017

Dibayar Mahal untuk Bersenang-senang

Aku tidak pernah peduli berapa IQ yang mungkin kupunya.
Aku hanya peduli seberapa keras aku belajar dan bekerja.
@noffret


Pertanyaan: Bagaimana cara agar bisa mendapatkan uang puluhan juta per bulan hanya dengan menulis, sementara kita bukan orang terkenal?

Jawaban: Mudah, asal kau mencintai menulis, dan memiliki kemampuan menulis dengan standar internasional.

Di era internet dan ponsel pintar seperti sekarang, dunia kepenulisan benar-benar menjanjikan, dan—kenyataannya—ada sebagian penulis (tentu yang profesional) yang menghasilkan puluhan juta per bulan dengan cara sangat mudah—hanya dengan menulis! Hanya menulis, tanpa ribut-ribut, tanpa harus terkenal atau dikenal, tanpa harus mengikuti acara atau seremonial apa pun, dan uang terus mengalir ke rekening mereka.

Sebelum saya ngoceh panjang lebar, mari kita lihat dulu kenyataan ini: Pemula menginginkan popularitas, profesional menginginkan uang. Kau bisa mengiming-imingi pemula dengan popularitas, tapi itu tidak menarik bagi para profesional. Pemula senang melihat foto mereka terpampang, misalnya di majalah atau di situs terkenal. Tapi profesional bekerja untuk menghasilkan uang. Ini perkara remeh, sederhana, yang seharusnya dapat dipahami anak SMP sekali pun!

Sekarang kita masuk topik inti, yang mungkin sudah membuat kalian tidak sabar. Yaitu cara menghasilkan uang dalam jumlah besar hanya dengan menulis.

Pertama, lihatlah sekelilingmu, dan pelototi internet. Saat ini, orang di mana pun terhubung internet, baik lewat komputer, laptop, tablet, sampai ponsel pintar. Dan apa yang ada di internet? Selain media sosial, isi internet adalah tulisan, artikel, esai, atau apa pun sebutannya, yang semuanya dibangun kata-kata. Sebagian tulisan atau artikel ada di blog-blog pribadi, sementara sebagian lain—yang jauh lebih besar—ada di situs-situs profesional.

Ada miliaran situs di internet saat ini, dan mereka hidup dari tulisan yang mereka produksi. Semakin bagus dan semakin banyak tulisan yang diproduksi, semakin cepat situs berkembang dan tumbuh besar. Dan situs mana pun yang dikelola secara profesional tentu ingin tumbuh besar, dengan berbagai tujuan dan kepentingan.

Fenomena semacam itu terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Situs-situs yang ingin terus berkembang, mau tak mau, harus mendapat pasokan tulisan terus menerus—kalau bisa dalam jumlah besar—untuk memastikan situs terus tumbuh membesar. Tulisan, artikel, atau apa pun sebutannya, adalah darah segar untuk situs mana pun di internet. Jika aliran darah tidak lancar, kehidupan akan megap-megap. Karenanya, setiap situs akan memastikan pasokan darah (tulisan) terus tersedia dengan baik, untuk menjamin kelangsungan hidup mereka.

Dalam hal itu, tidak setiap situs mampu memproduksi tulisan sebanyak (atau sebagus) yang mereka inginkan. Jika hasrat untuk tumbuh begitu kuat, sementara kemampuan menghasilkan tulisan tergolong kurang, kira-kira apa yang harus mereka lakukan? Benar, mereka akan membayar siapa pun yang mau mengirim tulisan untuk mereka. Dalam hal itu, ada situs yang membayar mahal, ada pula yang membayar “sekadarnya”.

Sejauh yang saya tahu, situs-situs yang membayar mahal (bahkan sangat mahal) untuk sebuah tulisan, adalah situs-situs luar negeri. Karenanya, sebagaimana yang saya nyatakan di atas, syarat untuk bisa menghasilkan uang dalam jumlah besar dari menulis adalah memiliki kemampuan menulis dengan standar internasional.

Sebagai ilustrasi, situs Polygon (Polygon.com) membayar 125 dolar (sekitar Rp1.625.000) untuk satu artikel berisi 500 kata. Artikel-artikel di situs tersebut berkisar kehidupan artis, film, video, games, dan sosial budaya. Sangat mudah. Kalau kita mampu menghasilkan 1 artikel saja per hari, dalam sebulan kita mampu menghasilkan uang sekitar Rp48.750.000. Well, lumayan.

Selain Polygon, ada situs Defending Dissent (DefendingDissent.org), yang membayar 100-250 dolar (sekitar Rp1.300.000-Rp3.250.000) untuk satu artikel. Tulisan-tulisan yang dimuat situs ini berkisar seputar berita, analisis, dan hal-hal lain, terkait perbedaan pendapat dan gerakan sosial.

Ada pula A Fine Parent (AFineParent.com), situs yang membahas pengasuhan dan orang tua. Situs ini membayar 100 dolar (sekitar Rp1.300.000) per artikel, ditambah 200 dolar (sekitar Rp2.600.000) jika artikelmu menduduki posisi teratas atau terpopuler pada akhir tahun.

Lalu ada The Introspectionist (TheIntrospectionist.com), yang lagi-lagi membayar 100-200 dolar (sekitar Rp1.300.000-Rp2.600.000) untuk satu artikel. Situs ini membahas seputar perempuan, dan cara menjadi perempuan cerdas.

Sama seperti The Introspectionist, situs Nevada Magazine juga membayar 100-200 dolar (sekitar Rp1.300.000-Rp2.600.000) untuk satu artikel. Situs beralamat NevadaMagazine.com ini menerbitkan tulisan seputar negara, restoran, dan cerita perjalanan.

Bagi yang mencintai pengetahuan umum, ada Listverse (Listverse.com), situs pengetahuan umum yang juga membayar 100 dolar (sekitar Rp1.300.000) per artikel. Sementara bagi penggemar burung atau hewan lain, ada Bird Channel (BirdChannel.com), yang membayar 100-200 dolar (sekitar Rp1.300.000-Rp2.600.000) untuk satu artikel. 

Selain situs-situs yang telah saya sebutkan, masih banyak situs lain yang siap membayar mahal (minimal 100 dolar) untuk satu artikel. Bagi para profesional, itu lahan yang sangat basah untuk menghasilkan uang dalam jumlah besar, tanpa syarat yang merepotkan, atau tetek bengek yang ribet. Hanya menulis, memuntahkan yang ada dalam pikiran, dan dibayar!

Sekarang bayangkan, umpama kita menjadi kontributor situs-situs internasional, dan mampu menghasilkan setidaknya 2 artikel per hari, dan setiap artikel dihargai 100 dolar saja, maka artinya kita sudah mengantungi Rp2.600.000 per hari. Dalam sebulan, kita sudah mendapatkan Rp78.000.000. Sekali lagi, lumayan.

Jika kita mampu menghasilkan 3 artikel per hari, total “gaji” kita per bulan bisa lebih dari Rp100 juta! Beberapa profesional bahkan bisa menghasilkan 5 artikel lebih setiap hari. Bayangkan sekaya apa mereka, meski mungkin kita tidak mengenal namanya!

Omong-omong soal nama, situs-situs internasional—setidaknya yang saya kenal—tidak peduli siapa namamu atau siapa dirimu. Artinya, kau terkenal atau tidak, persetan! Yang mereka butuhkan adalah tulisan. Asal tulisanmu memenuhi standar, mereka akan membayar. Bahkan, mereka tidak mempersyaratkan macam-macam, semisal harus mengirim foto diri, menyebutkan nama asli, dan semacamnya. Hanya tulisan, itulah yang mereka inginkan!

Jadi, kira-kira seperti inilah mekanisme yang terjadi, atau yang dilakukan situs-situs internasional yang bersedia membayar tulisanmu. Kau mengirim tulisan untuk mereka, dan mereka akan menilai tulisanmu memenuhi standar atau tidak. Kalau memenuhi standar, mereka akan memuat tulisanmu, dan mengirim honor ke rekeningmu. Mudah, sederhana, tidak ribet!

Itulah yang saya sukai dari situs-situs yang selama ini menjadi tempat “mencari uang”. Mereka membayar mahal, tanpa syarat macam-macam! Mereka hanya membutuhkan kualitas, dan itu yang saya berikan. Mereka tidak peduli siapa saya, tidak peduli di mana saya tinggal, tidak peduli latar belakang saya. Bahkan, sebagai penulis, saya boleh menggunakan nama apa pun yang saya inginkan untuk tulisan yang dikirim! Di sisi lain, sebagai penulis, saya tidak peduli dunia mengenal saya atau tidak. Saya hanya ingin dunia mendengar yang saya katakan!

Bagi saya, cara semacam itu benar-benar layak disebut “dibayar untuk bersenang-senang”. Saya senang ngoceh dalam bentuk tulisan, dan mampu menulis tanpa henti, dengan berbagai topik yang saya minati. Dalam hal ini, saya dibayar mahal untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas saya senangi! Dan saya tidak perlu tampil di mana pun, tidak perlu dikenali orang—hanya menulis, dan meneriakkan apa pun yang ingin saya katakan pada dunia! Apa yang lebih menyenangkan dari itu?

Bagi yang mungkin belum pede menulis di situs internasional, mungkin bertanya-tanya, adakah yang semacam itu di Indonesia?

Sayang, kenyataan semacam itu belum populer di Indonesia. Memang ada situs-situs Indonesia yang juga membayar tulisan yang kita kirim untuk mereka, meski jumlahnya tidak sebesar (semahal) situs-situs internasional. Selain itu, rata-rata situs Indonesia memasang syarat macam-macam, jika ingin mengirim tulisan untuk mereka. Dari harus mengirim foto diri, sampai akun media sosial, dan tetek bengek lainnya.

Di Indonesia, saya justru lebih tertarik menangani aplikasi-aplikasi penyedia bacaan, yang juga membutuhkan artikel dalam jumlah raksasa. Memproduksi tulisan untuk mereka jauh lebih menyenangkan bagi saya, karena tidak ada persyaratan yang ribet.

Saat ini, mengakses berita dan membaca artikel tidak hanya dilakukan lewat komputer, tapi juga ponsel. Dari situ, muncullah aplikasi-aplikasi penyedia bacaan, yang memudahkan siapa pun untuk membaca apa pun. Dulu, aplikasi-aplikasi semacam itu hanya menyuguhkan feed yang terhubung dengan penyedia konten asli. Kini, aplikasi-aplikasi terbaru benar-benar menyuguhkan artikel milik mereka sendiri.

Seiring pertumbuhan pengguna ponsel pintar yang terkoneksi internet, makin tumbuh pula berbagai aplikasi pembaca dan penyedia artikel. Setiap aplikasi membutuhkan ribuan artikel, dan itu artinya mereka harus memproduksi sekian banyak artikel setiap hari, untuk menyuplai kebutuhan pembaca. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, penyedia aplikasi harus menghubungi ahlinya. Siapa? Penulis profesional!

Kenyataan itu juga membuka lahan sangat luas bagi para profesional, yang mampu memproduksi tulisan tanpa henti, dengan kualitas yang terus terjaga. Saya juga terjun ke bidang itu. Mereka menciptakan teknologinya, dan saya “memberi nyawa” bagi teknologi mereka. Itu, bagi saya, cara bersenang-senang sekaligus menghasilkan banyak uang.

Terkait aplikasi penyedia konten, saya tidak memproduksi artikel secara satuan. Biasanya, saya dikontrak untuk memproduksi sekian ribu artikel sekaligus untuk satu aplikasi. Dalam hal itu, saya dibantu tim untuk memenuhi tenggat waktu.

Apakah orang luar (masyarakat umum) juga bisa berkontribusi dalam pembuatan artikel untuk aplikasi-aplikasi penyedia konten? Sebenarnya bisa saja, karena ada pengembang/penyedia aplikasi yang menerima artikel dari siapa pun, asal tulisan/artikel yang dihasilkan memang bagus.

Situs Jalan Tikus (jalantikus.com), misalnya, membuat aplikasi penyedia konten bernama BaBe (Baca Berita). Aplikasi itu memiliki beberapa kanal, meliputi kesehatan, gosip artis, seks, gaya hidup, otomotif, dan lain-lain. Masing-masing kanal membutuhkan ribuan artikel, dan terbuka menerima kiriman artikel dari siapa pun.

Pengembang aplikasi tersebut bersedia membayar Rp50.000 untuk satu artikel dengan panjang 150-an kata. Bagi para profesional, itu mudah sekali! Kalau mau, saya bahkan bisa melakukannya sambil merem.

Bagi para profesional, menghasilkan 20 artikel dengan panjang 150-an kata hanya butuh waktu sebentar, dan sudah langsung mengantungi 1 juta rupiah! Dan di Indonesia ada banyak aplikasi penyedia konten yang semuanya membutuhkan ribuan artikel. Karenanya, bagi para profesional, mencari duit 1 juta per hari bisa dibilang sangat mudah. Cukup muntah-muntah dalam bentuk tulisan, dan jumlah rekening bertambah! Tanpa ribet, tanpa harus tampil di mana pun, tanpa syarat dan tetek bengek tidak penting.

....
....

Well, saya memaparkan semua ini, untuk menunjukkan bahwa untuk menghasilkan uang dalam jumlah besar melalui tulisan tidak harus terkenal lebih dulu. Untuk menjadi penulis kaya-raya, kau tidak harus terkenal!

Memang, jika kita terkenal, kemudian menulis buku—sebagai misal—ada kemungkinan buku kita laris dan menghasilkan royalti besar, karena ditunjang popularitas yang kita miliki. Tapi kita melupakan satu hal di sini. Yaitu upaya membangun popularitas! Jangan lupa, popularitas tidak datang tiba-tiba. Untuk memiliki popularitas, kita harus membangun perlahan-lahan. Dalam hal itu, saya berpikir sebaliknya.

Bagi saya, lebih baik membangun skill (kemampuan atau keahlian), daripada membangun popularitas. Jika skill telah terbentuk dengan baik, jalan menuju kesuksesan lebih mudah dan lebih luas terbentang, karena—bagaimana pun—kita telah memiliki kemampuan. Jika kemampuan telah siap, kesempatan akan datang. Pada akhirnya, kemampuan bisa melahirkan popularitas, tapi popularitas tidak bisa melahirkan kemampuan!

Minggu, 23 Juli 2017

Terkenal tapi Tidak Dikenal

Writing is essentially saying, “I have something I really want to tell you, but I don’t want to be anywhere near you, or give you any opportunity to talk back.”

Kalimat itu diucapkan oleh Ken Dee, seorang jurnalis internasional. Dan, kalau saya boleh menambahkan, “That’s an introvert’s dream.”

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Belum lama, saya menerima telepon dari seseorang. Saya tidak mengenalnya, tapi dia mengenal saya. Berdasarkan penjelasannya, dia mendapatkan nomor ponsel saya dari seseorang yang sama-sama kami kenal. Dia memperkenalkan diri, dan menjelaskan maksudnya menelepon.

“Saya dari Penerbit X (sebuah penerbit di Indonesia), dan bermaksud mengajak Anda bekerja sama. Kami ingin menerbitkan karya Anda, dan...” Setelah menguraikan beberapa hal, dia menambahkan, “Untuk itu, kami juga akan meminta Anda untuk menghadiri peluncuran buku, wawancara, dan...” dan lain-lain syarat semacamnya, yang intinya mengharuskan saya menghadiri acara yang mereka bikin.

Sambil tersenyum, saya menjawab, “Sepertinya Anda salah orang. Saya bukan penulis yang seperti itu.”

Percakapan telepon itu selesai tanpa menghasilkan kesepakatan apa pun. Dan, terus terang, itu bukan kejadian pertama. Sebelumnya, saya sudah beberapa kali menerima telepon dengan tawaran serupa—dari penerbit yang ingin menerbitkan karya saya, tapi mereka menetapkan syarat macam-macam, yang intinya saya harus “keluar”, “muncul”, atau apa pun istilahnya. Dan saya tidak pernah tertarik dengan tawaran semacam itu.

Ketika menetapkan diri menjadi penulis, saya berpikir bahwa profesi ini memungkinkan saya khusyuk bekerja tanpa harus keluar menemui orang-orang, tanpa harus mengikuti acara tetek bengek yang mengharuskan saya tampil, bahkan memungkinkan saya untuk tidak dikenal! Itu alasan dan latar belakang kenapa saya memilih jadi penulis!

Bagi yang mungkin belum tahu, sebelumnya saya justru aktif menjadi pembicara dibanding menulis. Selama masa-masa kuliah, hingga beberapa tahun setelah tidak lagi kuliah, saya lebih banyak berbicara di berbagai kampus dan di banyak tempat, dibanding menulis. Orang-orang senang mendengarkan saya berbicara, dan saya pun senang berbicara di hadapan mereka.

Selama waktu-waktu itu, saya tampil di banyak tempat, di berbagai forum, dan berbicara, berbicara, berbicara. Bahkan, kesenangan serta “kegilaan” saya saat berbicara pula, yang lalu ikut mempengaruhi gaya tulisan saya. (Untuk hal tersebut, dulu pernah saya ceritakan di sini.)

Sampai kemudian, era media sosial lahir, dan menjadi bagian gaya hidup masyarakat kontemporer. Sejak ada Twitter, Facebook, Instagram, dan semacamnya, apa saja bisa masuk ke sana. Saya pun berpikir, “Jika aku masih aktif sebagai pembicara, foto-fotoku akan mudah didapat, dan orang-orang akan mudah mengenaliku.”

Sejak itu pula, saya memutuskan untuk mengundurkan diri, dan sejak itu semua undangan menjadi pembicara dari mana pun terpaksa saya tolak. Sampai saat ini. Bahkan ketika kampus almamater saya mengundang untuk berbicara di sana, saya tetap menolak. Mereka telah mencoba mengundang berkali-kali, dan saya telah menolak berkali-kali.

Intinya, saya tidak lagi bersedia muncul ke hadapan publik, untuk meminimalkan “tekanan psikologis” yang saya alami.

Saya seorang introver, yang, sebenarnya, lebih nyaman saat sendirian. Fakta bahwa saya pernah aktif menjadi pembicara yang tampil di hadapan banyak orang, saya pikir itu “kecelakaan”. Kebetulan, saya dikaruniai kemampuan berbicara yang—bagi banyak orang—menarik, dan saya memanfaatkan karunia itu. Tetapi, sejujurnya, saya hanya nyaman ketika berbicara di depan forum, tapi tidak di luar forum.

Saya sering kebingungan saat harus berinteraksi dengan orang yang belum terlalu kenal, dan kami harus membicarakan hal-hal remeh-temeh seperti basa-basi dan semacamnya. Itu, bagi saya, jauh lebih sulit dibandingkan berbicara di forum yang dihadiri ratusan orang, yang mengharuskan saya membicarakan peradaban dunia dan nasib umat manusia. Dalam ilustrasi yang mudah, saya tidak tahu cara pedekate, meski tahu cara membuat wanita tergila-gila jika kami telah bersama.

Sebagai introver, saya menghadapi kenyataan “mengerikan” itu—sesuatu yang tampaknya tidak dipahami kebanyakan orang. Saya kurang bisa (dan sebenarnya malas) berbasa-basi, atau membicarakan hal-hal tolol yang tidak penting. Susahnya, dalam interaksi dengan orang lain (yang kita kenal maupun tidak), hal-hal semacam itu sulit dihindarkan.

Kalau kau orang terkenal—dalam arti orang-orang mengenalmu sebagai “Si Anu” karena fotomu terpampang di mana-mana, sehingga mudah dikenali—selalu ada kemungkinan orang akan mengenalimu saat kau berada di mana pun. Ketika itu terjadi, mau tak mau kau harus berinteraksi dengan mereka, entah sekadar basa-basi, atau membicarakan hal-hal remeh yang sangat tidak penting sekali. Karena, kalau tidak begitu, kau akan dikenal sebagai bangsat sombong. Jadi, agar kau tetap populer, dan orang tetap menyukaimu, kau harus murah senyum, ramah, bersedia basa-basi, meski sebenarnya kau tidak menginginkan.

Kenyataan seperti itulah yang tidak saya inginkan. Itu pula yang saya hindari.

Jadi, seperti yang disebut tadi, saya mengundurkan diri dari aktivitas sebagai pembicara, tepat ketika era media sosial mulai menjadi bagian gaya hidup masyarakat kita. Karena saya tidak ingin orang-orang mudah mengenali saya. Karena saya tidak ingin mengalami tekanan psikologis yang hanya dapat saya pahami sendiri.

Sejak itu pula, saya memutuskan untuk sepenuhnya menjadi penulis, karena saya pikir profesi sebagai penulis tidak mengharuskan saya tampil di mana pun, sekaligus memungkinkan saya untuk tidak dikenali. Sebagai penulis, saya hanya perlu menulis, membuat naskah, dan membiarkan penerbit menangani urusan selanjutnya.

Kenyataannya, saya nyaman menjalani profesi menulis, karena memungkinkan saya menjalani gaya hidup yang saya inginkan. Saya bisa keluyuran ke mana pun tanpa dikenal orang, meski mungkin mereka mengenal nama saya, atau meski mereka membaca buku dan tulisan-tulisan saya. Sebagai penulis, saya menawarkan karya, bukan menawarkan diri saya. Mereka boleh mengenal nama saya, menikmati karya saya, tapi cukuplah sebatas itu. Saya ingin tetap menjalani kehidupan dengan cara saya sendiri.

Karena latar belakang itu pula, terus terang, saya sangat selektif dalam memilih penerbit atau media untuk menerbitkan tulisan saya. Sebisa mungkin, saya hanya menjalin hubungan dengan penerbit dan media yang membebaskan penulis untuk tampil atau tidak, untuk menghadiri acara tetek bengek atau tidak. Pendeknya, saya hanya memilih penerbit dan media yang membebaskan saya untuk tidak dikenal!

Tentu saya senang dan menghargai jika penerbit mempromosikan buku saya. Tetapi, meski begitu, saya tetap tidak akan bersedia jika diminta muncul—semisal menghadiri peluncuran buku, wawancara, dan semacamnya—meski dengan alasan untuk promosi. Dan saya bersyukur, karena di Indonesia ada penerbit-penerbit yang bisa memahami penulisnya, sehingga saya tetap dapat menerbitkan buku sampai sekarang.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah penulis seperti saya hanya saya seorang, ataukah ada penulis-penulis lain yang juga seperti saya?

Mari saya ceritakan beberapa penulis yang saya kenal, yang juga memiliki “kelainan” seperti saya.

Beberapa tahun lalu, saya mengobrol dengan seorang teman yang juga penulis. Waktu itu dia baru menyelesaikan naskah novel, dan kami membicarakan kemungkinan penerbit mana yang paling tepat untuk naskahnya. Ketika saya menyebut satu nama penerbit, dia menjawab, “Aku suka penerbit itu, tapi sepertinya mereka mengharuskan penulis untuk aktif (maksudnya aktif dalam promosi, termasuk menghadiri launching buku, dan semacamnya.)”

Belakangan, naskah novel itu dikirim ke Gramedia Pustaka Utama, dan telah lama terbit. Jika saya sebutkan judulnya, atau nama penulisnya, kemungkinan besar kalian kenal.

Terkait Gramedia Pustaka Utama (GPU), ada banyak teman saya yang sangat “fanatik”—dalam arti mereka hanya mau naskah mereka diterbitkan GPU. Alasannya bukan karena GPU terkenal sebagai penerbit besar. Alasan kenapa banyak penulis—khususnya yang saya kenal—sangat “fanatik” pada GPU, karena GPU (dan penerbit lain di bawah Kompas-Gramedia Group) sangat memahami penulisnya!

Kalau kau ingin menerbitkan buku di GPU, yang kaubutuhkan hanya naskah bagus! Asal naskahmu bagus, berkualitas, dan layak jual—GPU akan menerima dan menerbitkan, dan tidak ada tetek bengek lain yang memberatkan. Setidaknya, itulah yang saya dan teman-teman alami, saat kami bekerja sama dengan mereka. Kami hanya perlu menulis naskah bagus, memenuhi standar mereka, dan selesai. Di luar urusan itu, semua bersifat opsional.

Sebagai contoh mudah, GPU tidak mewajibkanmu melampirkan foto untuk buku atau untuk tujuan apa pun. Kalau penulis ingin melampirkan fotonya, agar tampil di buku, silakan. Tapi kalau pun tidak, juga tidak masalah.

Jangankan foto, GPU bahkan tidak meminta fotokopi KTP penulis! Jika naskahmu diterbitkan GPU, yang perlu kaulakukan hanya menuliskan nama dan alamat lengkap (untuk urusan surat menyurat dan pengiriman bukti terbit), nomor rekening (untuk pengiriman royalti), dan nomor NPWP (untuk urusan pajak). Sudah, tidak ada tetek bengek lain!

Di luar itu—setidaknya yang pernah saya dan teman-teman alami—GPU juga tidak mengharuskanmu melakukan hal-hal yang mungkin membuatmu tidak nyaman. Misalnya, kalau kau mau mempromosikan bukumu, itu bagus. Tapi kalau pun tidak, juga tidak apa-apa, dan GPU akan tetap menerbitkan bukumu selanjutnya, kalau naskahmu memang memenuhi standar mereka.

Kenyataan-kenyataan itulah yang membuat banyak penulis—khususnya yang saya kenal—sangat “fanatik” pada GPU, karena mereka menilai GPU sebagai penerbit yang benar-benar memahami mereka. Faktanya, banyak penulis GPU yang sangat terkenal, tapi sosoknya tak pernah kita lihat. Jangankan sosoknya, bahkan fotonya pun belum pernah kita lihat! Oh, well, itulah hebatnya dunia kepenulisan, dan karena itulah saya memilih menjadi penulis!

Sekali lagi, saya memilih menjadi penulis, karena tidak ingin dikenal. Kalau saya ingin dikenal, saya tidak akan jadi penulis... tapi jadi artis!

Jadi, ketika ada penerbit mengajak saya bekerja sama, tapi mengharuskan saya tampil dan menjalani tetek bengek semacamnya, terus terang saya tidak tertarik. Saya bukan pemula yang butuh popularitas. Saya profesional yang hanya ingin bekerja. Kalau orang-orang mengenal nama saya, dan menyukai karya yang saya hasilkan, silakan. Tapi saya ingin tetap menjalani kehidupan sebagaimana yang saya inginkan, tanpa harus terusik atau terganggu gara-gara “terkenal”.

Penerbit (dan media) yang baik bukan sekadar penerbit yang jujur dan profesional, tapi yang juga dapat memahami bahwa setiap individu (dalam hal ini penulis) bisa berbeda, sehingga lebih mampu berempati. Memang, sebagian orang menjadi penulis dengan harapan agar sosoknya dikenal. Tetapi ada sebagian lain yang menjadi penulis justru karena ingin sosoknya tidak dikenal. Saya termasuk golongan kedua.

Manakah yang lebih baik? Oh, ini hanya soal pilihan. Setiap orang tentu punya hak untuk dikenal, sebagaimana setiap orang juga punya hak untuk tidak dikenal. Kita tidak bisa memaksa Dee Lestari agar tidak muncul ke hadapan publik, sebagaimana kita tidak bisa memaksa Ilana Tan agar memunculkan diri. Itu hak dan pilihan masing-masing penulis—untuk dikenal, atau untuk tidak dikenal.

Di catatan mendatang, saya akan meneruskan catatan ini dengan menjelaskan bagaimana cara menjadi kaya—dan menghasilkan puluhan juta per bulan dari menulis—bahkan umpama kau tidak terkenal.

Minggu, 04 Juni 2017

Kenikmatan Menulis di Blog yang Tidak Bisa Didapatkan di Tempat Lain

Blogger ini enggak pernah memajang foto dirinya, apalagi foto orang lain. Isi postingannya tulisan thok, tapi kalau udah mampir ke sini, saya seperti enggan melewatkan satu kata pun di postingannya. Yang dibahas asyik. Gaya penulisannya juga asyik. Satu lagi, identitas blogger ini, kok, misterius. Bikin penasaran!
—Haya Aliya Zaki, di Blogger Perempuan

Tak seperti nama blognya, pemilik blog ini saya anggap kontroversial. Namun demikian bukan jenis kontroversial yang membuat saya antipati, melainkan yang justru membuat saya penasaran dan akhirnya berkata, “Tidak apa-apa beda, asal tidak merugikan orang lain.”
—Lusi Tris, di Be Your Self Woman


Saya bukan blogger yang menjadi penulis. Yang benar, saya penulis yang aktif ngeblog. Buku pertama saya—Gapailah Impianmu—terbit pada awal 2000-an. Itu sembilan tahun sebelum saya membuat blog ini. Jadi, sebagian orang yang mengira saya menerbitkan buku gara-gara aktif ngeblog, itu keliru. Bahkan sebelum ngeblog, saya sudah menerbitkan cukup banyak buku.

Saya perlu menjelaskan hal tersebut, agar orang-orang yang ingin jadi penulis tidak salah sangka. Di internet, ada sebagian orang yang mengira bahwa untuk bisa menerbitkan buku harus terkenal dulu sebagai penulis. Untuk terkenal sebagai penulis, orang harus aktif ngeblog, hingga terkenal sebagai blogger. Itu logika yang tidak sepenuhnya benar.

Kalau tulisanmu memang bagus, penerbit tidak peduli kau terkenal atau tidak. Sebaliknya, kalau tulisanmu buruk, penerbit juga tidak peduli kau terkenal atau tidak. Untuk bisa menerbitkan buku secara profesional, modal utama kita adalah tulisan bagus. Selengkapnya; bagus, layak baca, dan layak jual. Kalau kita bisa menulis naskah bagus, layak baca, dan layak jual, penerbit mana pun akan welcome, terlepas kita terkenal atau tidak. Hal sebaliknya juga berlaku.

Memang akan sangat bagus kalau kita bisa menulis naskah yang bagus, layak baca, dan layak jual, plus terkenal. Tapi terkenal atau popularitas hanya penunjang. Inti pentingnya tetap pada naskah. Karenanya, jika bermimpi ingin jadi penulis profesional, utamakan karya terlebih dulu, bukan sibuk mengejar popularitas. Dalam hal ini, ngeblog atau aktif menulis di blog bisa menjadi sarana dalam melatih kemampuan menulis. Kalau pun kita sudah menjadi penulis profesional, ngeblog bisa menjadi sarana bersenang-senang. Setidaknya, itulah yang saya lakukan.

Seperti yang sudah saya katakan berulang-ulang, saya ngeblog bukan agar terkenal (kalau ada orang menganggap saya terkenal, itu urusan mereka). Saya ngeblog juga bukan agar dilirik penerbit (wong sebelum kenal blog pun, saya sudah menerbitkan cukup banyak buku). Saya ngeblog murni untuk kesenangan. Meski tulisan-tulisan saya di blog mungkin cenderung serius, aktivitas ngeblog bagi saya adalah sarana bersenang-senang.

Blog, bagi saya, adalah sarana yang sempurna untuk menumpahkan kegelisahan pikiran. Sejauh ini, saya belum menemukan media lain yang lebih tepat untuk menjadi tempat “memuntahkan pikiran”, selain blog. Coba kita lihat beberapa kelebihan blog berikut ini, yang membuat saya sulit berhenti ngeblog.

Pertama, blog memungkinkan saya menulis sebanyak apa pun, dengan kalimat-kalimat sepanjang apa pun. Blog juga memungkinkan tulisan-tulisan terarsip dengan baik dan rapi, sehingga dapat ditemukan dengan mudah. Itu sesuatu yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Di Twitter, misalnya, tempat yang disediakan hanya 140 karakter. Dengan tempat sesempit itu, saya tidak bisa apa-apa. Twitter hanya cukup untuk “menempelkan upil”, bukan untuk “memuntahkan pikiran”.

Di Twitter, saya harus berhati-hati setiap akan menulis sesuatu, karena bisa jadi ada orang yang salah paham, lalu merespons secara keliru. Hal semacam itu tidak terjadi di blog. Karena tempat yang disediakan sangat luas, saya bisa menulis dengan bebas di blog, dan menjelaskan apa pun secara leluasa dan panjang lebar, sehingga kemungkinan salah paham bisa diminimalkan. Blog juga memungkinkan saya untuk membuat tulisan dengan cetak tebal, cetak miring, dan lain-lain, sehingga tulisan benar-benar “utuh”.

Di Twitter, kita juga sulit mengakses tulisan-tulisan lama, karena tidak ada sistem pengarsipan yang rapi sebagaimana di blog. Itu pula yang menjadikan saya rajin mengarsipkan tulisan (cuitan) saya di Twitter ke blog, dengan tujuan agar tulisan-tulisan itu terarsip secara rapi, dan mudah ditemukan.

Kedua, inti terpenting di blog adalah tulisan, bukan yang lain. Blog juga memungkinkan orang mengunggah gambar/foto atau video, tetapi inti pentingnya tetap tulisan. Jika ingin mengunggah gambar atau foto, Instagram lebih tepat. Jika ingin mengunggah video, YouTube lebih tepat. Jika ingin menjalin pertemanan, Facebook juga lebih tepat. Di blog, yang paling penting adalah tulisan. Itu benar-benar cocok bagi saya.

Di blog, saya hanya menulis. Minim gambar, minim foto, dan hanya penuh tulisan. Karena memang itulah tujuan saya—menulis, menumpahkan beban dan kegelisahan pikiran.

Orang bilang, tulisan di blog akan lebih SEO jika panjangnya di atas 500 kata. Saya bilang, “Persetan dengan SEO!” Kalau ingin menulis panjang, saya akan menulis sepanjang apa pun. Sebaliknya, kalau mau menulis singkat, saya akan menulis sesingkat apa pun. Saya tidak menulis untuk SEO atau tetek bengek semacamnya. Saya menulis untuk bersenang-senang, dan menyegarkan pikiran.

Orang bilang, tulisan di blog akan lebih menarik jika dilengkapi gambar dan foto. Saya bilang, “Menarik buat siapa?” Blog ini memang terbuka, dan bisa diakses siapa pun. Artinya, orang lain bisa menemukan dan membaca isinya. Tapi kalau pun mereka tidak tertarik—karena tulisan saya tidak dilengkapi gambar atau foto—ya tidak apa-apa! Wong umpama tidak ada satu orang pun yang membaca, juga tidak apa-apa. Saya tidak akan bunuh diri hanya karena hal-hal semacam itu.

Ketiga, blog memungkinkan saya menulis secara bebas, dengan gaya apa pun, dengan kata-kata apa pun, bahkan memungkinkan saya menulis sambil marah-marah. Itu sesuatu yang benar-benar saya suka! Tidak ada tempat lain yang memungkinkan saya menikmati “kemewahan” semacam itu, selain di blog. Menulis dengan asyik dan mengekspresikan diri secara bebas—setidaknya bagi saya—adalah kenikmatan yang tidak bisa digantikan apa pun.

Faktor ketiga itulah yang tampaknya membuat saya sulit melepas blog, dan ingin terus menulis di blog. Saya butuh menulis dan mengekspresikan diri, blog menyediakan sarana. Saya butuh menumpahkan beban dan kegelisahan pikiran, blog menyediakan tempat. Saya butuh marah-marah secara elegan, blog memungkinkan saya melakukannya. Oh, well, apa yang lebih hebat dari itu?

Di blog tidak ada editor. Tidak ada redaktur. Tidak ada guru, juga tidak ada dosen pembimbing! Saya bebas menulis apa saja di blog, dengan cara dan gaya apa pun, hingga saya benar-benar bisa mengekspresikan diri seutuhnya. Di blog, saya bisa menulis kata-kata indah dan lembut saat senang atau tersentuh, di lain waktu saya bisa memaki saat sedang marah. Bebas! Itu kemewahan yang tidak bisa saya dapatkan di tempat lain!

Jika umumnya blogger berusaha sok jaim atau bahkan sok alim saat menulis di blog, saya ingin menjadi diri sendiri seutuhnya, apa adanya. Saat sedang senang, saya akan menulis dengan senang. Saat sedang kangen, saya akan bilang kangen. Saat sedang marah, saya juga akan menulis sambil marah. Di mana lagi saya bisa menemukan tempat sesempurna itu selain di blog?

Intinya, sebagai penulis, saya menulis di blog untuk memuntahkan sesuatu yang tidak terakomodasi oleh media konvensional. Ketika menulis naskah untuk menjadi buku yang diterbitkan oleh perusahaan penerbit, misalnya, saya tentu harus “tahu diri”, yang salah satunya menyesuaikan tulisan agar layak terbit. Ketika menulis naskah untuk buku, saya tidak mungkin menulis sambil marah-marah!

Begitu pula ketika menulis untuk media lain, yang dalam hal itu saya mendapat honor atas tulisan yang saya kirimkan, saya juga harus menyesuaikan tulisan agar layak terbit. Dalam hal itu, saya tentu tidak bisa menulis sambil misuh-misuh seenaknya! Bagaimana pun, sebagai profesional, saya harus sadar dan tahu diri bagaimana menyuguhkan tulisan yang tepat, untuk media yang tepat, untuk pembaca yang tepat.

So, ketika menulis di blog pribadi, saya tidak dibikin ribet oleh hal-hal semacam itu, karena tujuan saya memang untuk bersenang-senang. Karenanya, saya merasa bebas menulis apa pun, dengan gaya apa pun, yang saya inginkan.

Memang, sebagian tulisan saya di blog ini dibukukan, di antaranya dalam seri Notes from Heart, yang diterbitkan Elex Media. Saat ini sudah dua jilid, dan jilid ketiga akan segera menyusul.

Ketika mengumpulkan tulisan-tulisan itu untuk disatukan menjadi naskah, saya melakukan swasensor. Artinya, saya tidak mentranskrip tulisan-tulisan di blog secara utuh ke dalam naskah. Bagaimana pun, saya harus selektif memilih tulisan yang bisa disatukan, dan saya pun melakukan editing terhadap tulisan-tulisan itu, agar hasilnya tidak “sefrontal” seperti di blog.

Makian atau ucapan kasar dalam tulisan, misalnya, semuanya saya hapus, atau saya ganti dengan kata-kata yang lebih baik. Kemudian, adegan-adegan ketika saya merokok—yang kadang muncul dalam tulisan di blog—juga saya hilangkan saat tulisan itu masuk ke naskah. Dalam hal ini, pihak Elex Media, selaku penerbit, tidak pernah meminta saya melakukan hal itu. Tetapi, sebagai profesional, saya tahu diri, dan memahami apa yang harus saya lakukan terhadap tulisan-tulisan saya, agar layak terbit.

Hasilnya, tulisan-tulisan di blog ini, yang kemudian terbit menjadi buku, lebih manis dan lebih bisa diterima kalangan mana pun. Di buku, tidak ada lagi makian saya yang frontal. Di buku, juga tidak ada adegan-adegan ketika saya menyulut dan mengisap rokok.

Lain soal kalau pihak penerbit (siapa pun) berpesan, “Biarkan makianmu tetap utuh, dan jangan hapus adeganmu saat merokok!” Maka saya pun akan membiarkan bagian-bagian itu tetap ada dalam tulisan.

Well, tempo hari, saya menerima e-mail dari seorang wanita, bernama Ayu Rienda. Isi e-mail-nya sopan, dan ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun wajar dan tidak berlebihan. Saya senang menerima e-mail semacam itu. Berikut sebagian isi e-mail Ayu Rienda, yang membuat saya tersenyum.

Dear Hoeda,

Saya termasuk salah satu orang yang terinspirasi dengan buku Gapailah Impianmu (saya baca sekitar 10 tahun lalu). Buku itu menemani masa-masa sulit di masa sekolah, dan hingga kini kadang masih saya buka untuk mengenang perjalanan masa itu, hahaha...

Setelah itu saya rajin membaca blogmu, yang beberapa kisahnya menggetarkan dan inspiratif. Kisah-kisah itu, terus terang, turut serta membantu saya melewati masa-masa labil dengan cukup baik. Terima kasih sudah menjadi seorang penulis yang benar-benar berprinsip, dan menyebarkan kebaikan untuk kita-kita.


Dia telah membaca tulisan saya sepuluh tahun yang lalu, dan masih terus membaca tulisan saya sampai saat ini. Apa yang lebih diinginkan seorang penulis daripada karunia semacam itu?

Dan, akhirnya, apa yang bisa dipelajari dari ocehan ini?

Pertama, ingatlah selalu, bahwa hal paling penting bagi seorang penulis adalah kemampuan menulis. Bukan popularitas, atau apa pun! Karenanya, syarat untuk bisa menjadi penulis adalah bisa menulis dengan baik! Ketika saya menerbitkan buku pertama, tidak ada penerbit yang mengenal nama saya. Tapi buku saya terbit. Tentu bukan karena saya populer, melainkan karena memang layak terbit.

Kedua, blog bisa menjadi sarana yang baik untuk berlatih menulis, khususnya bagi yang belum jadi penulis. Bagi yang sudah menjadi penulis—khususnya yang sering stres seperti saya—blog bisa menjadi sarana bersenang-senang, sekaligus mendekatkan diri dengan pembaca.

Karenanya, saat ngeblog, tidak usah mikir SEO, atau berharap banyak komentar, atau ingin terkenal, dan lain-lain. Menulis sajalah, dan tidak usah membebani diri dengan hal lain. Yang penting rajin menulis, melatih disiplin diri, dan terus belajar sambil jalan.

Ketiga, menulislah secara jujur, dan refleksikanlah diri kita apa adanya. Percaya atau tidak, itu faktor terpenting jika ingin cepat dikenal, bahkan menarik banyak orang. Jangan meniru orang lain, jangan berusaha sama dengan orang lain, jadilah diri sendiri. Dengan kata lain, jadilah orisinal dan berbeda! Siapa pun yang bisa melakukan ini, mau tak mau akan terkenal, meski mati-matian berusaha tidak terkenal!

Ingatlah selalu, tidak ada satu pun manusia yang sama dengan kita. Semua orang berbeda, dengan latar belakang berbeda, dengan jalan hidup berbeda, dengan isi pikiran berbeda. Jika kita menjadi diri sendiri, kita akan tampak berbeda. Kalau kita tampak berbeda, orang akan melihat. Tapi kalau kita berusaha meniru orang lain... apa beda kita dengan orang lain? Kalau kita tidak berbeda dengan orang lain, bagaimana orang akan tertarik?

Keempat, jika kita mampu berdisiplin menulis sampai bertahun-tahun, tanpa mendapat komentar atau pujian, dan kita mampu terus melakukannya tanpa bosan, maka artinya kita benar-benar mencintai menulis. Jika kita mencintai menulis, dan terus melakukannya bertahun-tahun, mau tak mau tulisan kita akan membaik. Jika tulisan kita terus membaik dan semakin berkualitas, jalan menuju penerbit terbentang luas.

Dan, well... begitulah cara penulis dilahirkan.

Rabu, 09 Maret 2016

Noffret’s Note: Menulis

Penulis yang baik adalah penulis yang terus mengasah diri. Tetapi bukan
cuma penulis yang punya kewajiban itu. Editor juga. Yang lain juga.
—Twitter, 21 Desember 2014

Sangat sedih mengetahui orang yang bekerja di dunia penerbitan, tapi
masih menggunakan aturan-aturan lama yang telah ketinggalan zaman.
—Twitter, 21 Desember 2014

“Tetapi” atau “namun” di awal kalimat harus ditambahi koma
. Tidak harus!
Memang boleh dan bisa, tapi tidak harus. Perhatikan perbedaannya.
—Twitter, 21 Desember 2014

“Dan” di awal kalimat harus ditambahi koma. “Lalu” di awal kalimat
harus ditambahi koma
. Itu aturan-aturan yang sudah ketinggalan zaman.
—Twitter, 21 Desember 2014

Kita menyadari perubahan ejaan lama ke ejaan baru. Sayangnya, kita
kadang tidak menyadari perubahan itu juga mencakup teknik penulisan.
—Twitter, 21 Desember 2014

Hanya karena kita mengerjakan sesuatu, atau karena sering
mengerjakan sesuatu, bukan berarti kita pasti memang ahli dalam hal itu.
—Twitter, 21 Desember 2014

Apa perbedaan penulis amatir dan penulis profesional? Sama-sama
menulis, tapi penulis profesional tidak hanya sekadar menulis.
—Twitter, 21 Desember 2014

Apa perbedaan pembalap amatir dan pembalap profesional? Sama-sama
memacu kecepatan, tapi pembalap profesional terjun ke sirkuit.
—Twitter, 21 Desember 2014

Ada aturan-aturan lama yang sudah diganti aturan-aturan baru,
termasuk dalam bahasa tulis. Memperbarui pengetahuan adalah kewajiban.
—Twitter, 21 Desember 2014

Terlalu sedikit pembubuhan koma menjadikan pembaca kehabisan napas.
Terlalu banyak meletakkan koma menjadikan pembacaan tersendat-sendat.
—Twitter, 21 Desember 2014

“Kata ‘Dan’ di awal kalimat harus diikuti koma.” | Aturan itu sudah usang! Semestinya kita memperbarui pengetahuan, agar tidak ketinggalan.
—Twitter, 21 Desember 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

 
;