Selasa, 10 November 2020

Urusan Tolol di Twitter

 Melanjutkan ocehan kemarin, sekarang aku akan membahas tweet ini.



Ketika menulis tweet tersebut, sebenarnya aku hanya menujukannya pada satu-dua orang, bukan untuk semua orang. Tapi namanya Twitter, kita ngetwit sesuatu untuk satu orang, bisa jadi ada banyak orang lain yang ikut merasa. So, sori untuk ketidaknyamanan itu.

Jadi, ceritanya, sekian waktu lalu, aku mem-follow sebuah akun, karena kupikir tweet-nya menarik. Si pemilik akun itu laki-laki, tipe aktivis, dan biasa ngetwit hal-hal berwawasan, bahkan akademis. Aku mem-follow akun dia, semata-mata karena tertarik pada tweet-nya.

Karena itu pula, aku me-retweet beberapa tweet milik dia, agar orang lain ikut membaca. 

Ternyata, sesuatu kemudian terjadi. Ada “pihak ketiga” yang menghubungi si aktivis tadi, dan memintanya agar menjalin interaksi denganku. Hal itu sangat tampak pada tweet-tweet-nya kemudian.

Sejak itu, si aktivis menulis tweet-tweet ala nomention yang dimaksudkan untuk menarik perhatianku, mungkin dengan maksud agar aku merespons, agar terjadi komunikasi atau interaksi. Finalnya jelas, “menggiringku” agar nantinya terhubung dengan si “pihak ketiga” yang mengontaknya.

Sayangnya, yang dilakukan si aktivis ini sangat tolol dan naif. Bukannya menarik perhatianku dengan cara santun, tapi justru menjengkelkan—oh, dia tipe orang yang terlalu percaya diri! Dan aku jadi tergelitik untuk mencari tahu “kenapa dia mau melakukannya”. 

*Nyulut udud dulu*

Andai dia mendekatiku secara wajar dan baik-baik, misal menyapa dengan santun dan santai, mungkin kami dapat berkomunikasi dengan menyenangkan. Sayangnya, dia justru menggunakan cara menyinggung dan menjengkelkan, jauh dari sikap berpendidikan.

*Ududku mati*

*Nyalain lagi*

Perlu kujelaskan di sini, aku mem-follow akun dia, dan dia tidak mem-follow akunku. Dia tidak mengenalku, selain tahu tentang aku dari “pihak ketiga” yang memberikan brief kepadanya. 

Akhirnya, daripada TL tidak nyaman, aku pun unfollow akun dia, dan dia boleh pergi ke neraka.

Kasus si aktivis tersebut sama dengan kasus ini. Kali ini terkait seorang wanita. 


Jadi, aku mem-follow akun wanita ini, karena dia cerdas dan sering berbagi wawasan agama yang sangat mendalam. Aku bahkan sempat berinteraksi dengannya, meski tidak sering.

Dan interaksi itu rupanya ditindaklanjuti oleh “pihak ketiga” yang sama; si wanita diberi “brief” agar melakukan sesuatu, kali ini diminta me-retweet akun-akun tertentu, dengan harapan aku tertarik. Ujung-ujungnya sama; “menggiringku” agar terhubung dengan si “pihak ketiga”.

Lama-lama, aktivitas retweet/favorit yang dilakukan wanita itu makin membuat TL tidak nyaman. Aku mem-follow dia karena tertarik dengan tweet-tweet-nya, tapi kini dia lebih banyak me-retweet tweet-tweet “pesanan”. Akhirnya, dengan berat hati, aku pun unfollow akunnya.

So, itulah latar belakang kenapa aku menulis tweet ini, hingga kusematkan di TL-ku. Hanya untuk orang(-orang) tadi, bukan untuk semua orang. 

Dan sekarang, karena aku telah mengklarifikasi, tweet ini tidak perlu kusematkan lagi.



Dua orang tadi, si aktivis dan si wanita, hanyalah dua di antara selusin orang lain yang terlibat dalam urusan memuakkan ini. Mereka semua melakukan aneka cara, dari yang baik dan santun sampai yang tolol dan norak, dan semuanya digerakkan oleh satu pihak yang sama.

Sekarang aku mau ngomong ke semua orang yang aku follow. 

Aku mem-follow akunmu, semata-mata karena menyukai tweet-mu. Karena setiap orang berbeda, tentu wajar kalau tweet masing-masing orang juga berbeda, dan itu bukan masalah. Jadi, tetaplah ngetwit seperti biasa.

Jika sewaktu-waktu ada “pihak ketiga” yang memintamu agar memancing interaksi/komunikasi denganku, apa pun alasannya, sebaiknya tolak saja—KECUALI KALAU KAMU DIBAYAR SANGAT BANYAK. Karena bisa jadi kamu akan menghadapi risiko yang tidak menyenangkan.

Aku bisa membedakan mana tweet dan interaksi yang tulus dari orang per orang, dan mana tweet dan interaksi yang digerakkan pihak lain. Jadi percuma kamu mencobanya. Bahkan, kalau kamu masih nekat mencoba, aku akan “menghabisimu” di sini—dan percayalah, aku tidak akan keliru!

Kalau kamu memang ingin berkomunikasi dengan orang lain—termasuk denganku—lakukanlah secara wajar dan baik-baik, sebagaimana mestinya orang normal berinteraksi. Bukan dengan cara memancing-mancing, tapi dengan keramahan yang saling membuat nyaman.

Kalau kita ingin berkomunikasi dengan seseorang, bebannya ada di pundak kita, bukan di pundak orang lain. Artinya, kitalah yang harus memulai, bukan malah mengharap orang lain memulai komunikasi. Wong kita yang ingin, tapi malah berharap orang lain yang memulai.

Semua orang, sekeras atau bahkan sebrutal apa pun, sebenarnya punya kecenderungan manusiawi yang sama; mereka senang mendapati keramahan dan itikad baik. Aku tidak mungkin marah pada orang yang menunjukkan keramahan dan itikad baik, dan orang lain pun begitu.

Akhirnya, kalau kalian bertanya-tanya siapa “pihak ketiga” yang kumaksud di ocehan ini, akan kujelaskan besok. Kalau selo, tentu saja.

Penutup, seperti biasa.

Hal Sepele tapi Dibikin Rumit » https://bit.ly/2SIcrT1


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Oktober 2020.

 
;