Di Twitter, ocehan ala-ala "Dari perkawinan artis anu kita bisa
belajar bla-bla-bla" hampir selalu viral. Sebelas dua belas dengan
ocehan ala-ala "Menikah akan membuatmu bahagia dan bla-bla-bla".
Apa artinya itu? Khayalan dan keyakinan kita
menumpulkan akal sehat dan kesadaran.
Selalu ada hal-hal tak terduga yang muncul di timeline Twitter. Seperti suatu malam, sekian waktu lalu, saya mendapati ada tweet yang di-quote seseorang. Tweet itu berbunyi, “Meski miskin, hidup terasa tenang jika punya agama.”
Tweet itu lalu di-quote oleh seseorang, dalam bahasa Inggris, dengan bunyi, “Berhentilah meromantisasi kemiskinan!”
Saya tertarik pada istilah itu—meromantisasi kemiskinan—karena, kalau diingat-ingat, saya juga pernah melakukannya.
Sekian tahun lalu, saya pernah berusaha “ngadem-ngademi diri sendiri” dengan meromantisasi kemiskinan, bahkan pernah saya tulis di blog ini. Waktu menulis catatan itu, saya begitu yakin dengan yang saya pikirkan, bahwa kemiskinan itu baik, dan seterusnya, dan seterusnya. Tetapi, sekarang, saya menyadari bahwa yang saya lakukan waktu itu adalah meromantisasi kemiskinan, sebentuk upaya “ngadem-ngademi diri sendiri”.
Apakah orang miskin memang dapat menjalani kehidupan tenang jika punya agama, sebagaimana isi tweet yang dituduh meromantisasi kemiskinan di atas?
Saya tidak tahu, karena bisa jadi hal itu—dan ini terdengar klise—berpulang pada masing-masing orang.
Yang saya tahu, orang tua saya sangat religius, dan kami—anak-anaknya—juga dibesarkan dengan sama religius. Sebagai gambaran, di rumah almarhum kakek saya dulu ada pengajian rutin tiap malam Selasa, mengkaji kitab-kitab salaf. Pengajian itu berlangsung sejak saya masih bayi sampai saya dewasa, dari bakda isya sampai tengah malam. Belakangan, pengajian itu berhenti setelah ayah saya wafat.
Di waktu kecil dulu, saya dekat dengan ayah. Jadi, sejak kecil, saya selalu dibawa ayah dalam pengajian tersebut, dan biasanya saya tertidur di sana, sementara pengajian terus berlangsung. Seiring usia yang makin bertambah, dan nalar saya mulai jalan, saya tidak hanya ikut ayah dan “numpang tidur” di sana, tapi juga ikut menyerap pelajaran-pelajaran terkait agama yang dibahas.
Karena pengajian rutin itu berlangsung puluhan tahun, topik yang dibahas pun sangat luas dan dalam, merentang dari persoalan-persoalan umum sampai hal-hal yang sangat spesifik. Dan saya mulai menyerap semua itu, bahkan ketika masih balita, hingga saya besar dan dewasa.
Itu sekadar gambaran bagaimana religiusnya keluarga saya dalam menjalani kehidupan. Kami menjalani kehidupan beragama tidak sekadar melaksanakan hal-hal yang memang diwajibkan, tapi juga mendalami agama dengan baik.
Dan apakah saya menjalani kehidupan damai, tenteram, bahagia, karena hidup di keluarga yang sangat dekat dengan agama—meski dalam kemiskinan?
Ini mungkin ironis, dan saya merasa pahit mengatakannya. Kenyataan yang saya hadapi sejak kecil sama sekali jauh dari kebahagiaan, apalagi ketenteraman. Yang saya hadapi sejak kecil adalah petaka, luka, dan penderitaan, yang belakangan “merusak” diri saya ketika dewasa.
Tentu yang saya alami tidak bisa digunakan sebagai standar untuk menilai kehidupan orang lain. Karena di luar sana tentu ada orang-orang yang tenteram dan bahagia meski menjalani kemiskinan. Tetapi, karena saya mengalami dan menjalani latar belakang seperti itu, saya pun mudah sinis pada segala bentuk romantisasi, khususnya romantisasi kemiskinan dan semacamnya.
Ketika melihat film ala Keluarga Cemara, misalnya, saya merasa “dibohongi”, karena realitas kemiskinan yang saya alami tidak begitu. Kemiskinan, dalam perspektif saya, hanya indah ketika digambarkan dalam film, atau ketika diceritakan dalam novel. Dalam realitas atau kenyataan, kemiskinan adalah kondisi yang sangat mengerikan. Saya tahu betul yang saya katakan, karena saya menjalaninya, bahkan menjadi korbannya!
Tapi kita, umumnya manusia, tampaknya memang punya kecenderungan untuk meromantisasi hal-hal yang sebenarnya tidak romantis sama sekali. Karena nyatanya kita memang senang ngadem-ngademi diri sendiri. Dalam bahasa yang lugas, kita sangat ahli membohongi diri sendiri.
Kita tentu pernah, atau bahkan sering, mendengar orang mengatakan, kira-kira seperti ini, “Kalau dipikir-pikir, gaji atau penghasilanku sebenarnya tidak akan mencukupi kebutuhan keluargaku. Tapi ndilalah ada saja rezeki yang datang, sehingga aku bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga, termasuk biaya sekolah anak-anakku.”
Pernah mendengar kalimat semacam itu? Saya yakin, kalian bahkan sering mendengarnya! Kalimat itu—atau variannya—biasanya diucapkan orang yang telah menikah dan berumah tangga, tapi kehidupannya kembang kempis, sementara anak-anaknya sudah besar dan bersekolah, dan butuh banyak biaya.
Dulu, waktu masih ingusan, saya benar-benar percaya kalimat itu. Dengan segala kenaifan, waktu itu, saya percaya bahwa dunia menyuguhkan banyak keajaiban.
Belakangan, setelah dewasa, saya menyadari, kalimat-kalimat semacam itu hanya bentuk romantisasi, ngadem-ngademi diri sendiri. Atau, menggunakan istilah lugas, kalimat itu sebenarnya dusta!
Orang tua saya juga dulu kerap mengatakan kalimat semacam itu, sebagaimana orang-orang lain juga sangat fasih mengatakannya. Tapi apakah kenyataannya memang semudah yang mereka katakan?
Saya tahu betul, orang tua saya sering frustrasi menjalani kehidupan kami yang serba kekurangan, sebagaimana saya sering malu karena terus menunggak SPP di sekolah, dan tertekan karena merasa tak bisa seperti teman-teman yang lain. Keajaiban keparat apa yang melemparkan kami ke jurang nestapa semacam itu?
Karenanya, setelah dewasa, saya pun menyadari—benar-benar menyadari—bahwa ocehan semacam itu hanyalah bentuk romantisasi, ngadem-ngademi diri sendiri, karena manusia memang punya bakat luar biasa dalam membohongi diri sendiri.
Begitu pula ucapan-ucapan senada, semisal, “Tidak perlu khawatir menikah. Nanti, setelah menikah, rezeki akan datang sendiri,” dan seterusnya, dan seterusnya. Terus terang, saya ingin muntah setiap kali mendengar ocehan semacam itu. Bahwa menikah akan membuatmu kaya, bahwa punya anak-anak akan melancarkan rezeki, dan seterusnya dan seterusnya.
Kalau kau menikah dengan Nabi Sulaiman, mungkin ocehan itu benar. Atau, setidaknya, kalau kau menikah dengan ahli waris Wal-Mart!
Orang sering mengingatkan, “Mbok yang realistis!” Menikah dan beranak-pinak tidak memberi jaminan siapa pun jadi kaya. Kalau ingin membuktikan, caranya mudah. Lihat saja sekeliling kita!
Ada anak-anak tetangga kita yang diam-diam menangis karena kemiskinan yang mereka jalani. Ada teman-teman kita yang saat ini sudah berumah tangga, yang diam-diam menyesal karena merasa tertipu. Ada saudara dan famili kita yang montang-manting menjalani kehidupan dengan lingkaran masalah tanpa ujung. Ada orang-orang di sudut dunia mana pun yang kelaparan, kebingungan mencari uang, bahkan sampai terjerat utang, meski mereka menikah dan beranak-pinak.
Silakan saja lempar angan idealismu ke puncak langit, tapi ya tetaplah memijakkan kaki pada realitas bumi. Kemiskinan mungkin tampak indah saat digambarkan dalam film atau novel, tapi ia petaka ketika benar-benar dijalani. Pernikahan mungkin tampak menyenangkan saat diocehkan atau diceritakan, tapi bisa jadi pelakunya menangis diam-diam saat sendiri.
Kita meromantisasi kemiskinan... kenapa? Jawabannya sangat gamblang, karena kemiskinan tidak romantis sama sekali! Begitu pula, kita meromantisasi pernikahan... kenapa? Jawabannya sama!
Apa pun yang diromantisasi adalah hal yang sama sekali tidak romantis.
Saya telah menjalani kemiskinan selama belasan tahun, dan saya tahu betul apa arti kemiskinan. Jika sekarang ada orang menemui saya dan bertanya apakah kemiskinan memang seindah gambaran dalam film, saya akan menjawab, “Tidak! Kenyataannya sama sekali tidak begitu!”
Sekarang, cobalah temui teman-temanmu yang telah menikah, face to face, hanya berdua, dan tanyakan dengan serius, “Apakah perkawinan memang seindah yang dikatakan orang-orang?” Dan minta mereka menjawab secara jujur!
Saya telah menemui puluhan orang yang telah menikah, dan mengajukan pertanyaan serupa. Dan semuanya menjawab dengan jujur—kau tahu jawabannya.