Selasa, 29 Maret 2011

Fredy S dan Novel-novelnya

Tidak ada buku bermoral dan tidak bermoral.
Yang ada, buku itu ditulis dengan baik atau buruk. Itu saja.
Oscar Wilde


Mungkin nama Fredy S bukan nama asing—khususnya bagi yang suka membaca novel-novel hot. Ya, ya, setiap kali mendengar nama Fredy S, yang langsung terbayang dalam benak kita adalah novel-novel asoi berisi kisah-kisah panas yang membuat jantung berdebar lebih kencang.

Saya sendiri pernah mengoleksi novel Fredy S. Dulu, pada era 1990-an, novel-novel Fredy S nyaris dapat ditemukan di setiap toko koran, bahkan di lapak-lapak pinggir jalan yang menyediakan buku-buku bekas. Yang membuat novel-novel Fredy S banyak diburu orang bukan hanya karena isinya yang asyik, tetapi juga harganya yang relatif murah. Dulu, waktu saya mengoleksinya, harga per eksemplar novel Fredy S cuma dua ribu rupiah.

Sebagai penulis novel, Fredy S termasuk penulis yang sangat produktif. Dia telah menulis sekitar 500-an novel. Itu jumlah yang sulit ditandingi oleh penulis novel mana pun di negeri ini. Dulu saya sempat mengoleksi sekitar 200-an novelnya, tetapi banjir besar pada akhir 90-an menenggelamkan koleksi novel itu. Jujur saja, saya sampai nangis campur mimisan ketika mengetahui “koleksi berharga” itu hancur karena kebanjiran, dan saya tidak sempat menyelamatkan novel-novel itu.

Siapakah sebenarnya Fredy S…?

Yang diketahui banyak orang, Fredy S adalah penulis novel—khususnya lagi novel esek-esek. Tetapi, sebenarnya, Fredy S bukan hanya menulis. Dia juga seorang pelukis, sutradara, penerbit, dan penulis skenario film. Dia sosok multitalenta yang sangat produktif, terlepas seperti apa novel karyanya.

Well, seperti yang saya bilang tadi, setiap kali kita mendengar nama Fredy S, setiap kali pula yang terbayang dalam benak adalah novel-novel seks. Sepertinya, nama Fredy S sudah identik dengan novel esek-esek, sehingga mungkin para penggemarnya akan terkena serangan jantung kalau menemukan Fredy S menulis novel religi.

Nah, sekarang, jika saya katakan bahwa Fredy S juga menulis novel yang “bersih”, apakah kau akan percaya? Rasanya sulit! Rasanya sulit membayangkan Fredy S menulis novel yang tidak melibatkan unsur seks—karena nama Fredy S sudah telanjur diidentikkan dengan novel seks. Ini kenyataan pahit yang harus ditelan Fredy S—juga penulis-penulis lain yang telanjur diidentikkan dengan sesuatu.

Tetapi, sebenarnya, tidak semua novel karya Fredy S berisi kisah esek-esek. Beberapa novelnya ada yang sama sekali tidak melibatkan unsur seks di dalamnya. Salah satu novelnya yang bagus, berjudul “Mentari di Lubuk Hati”. Isi novel ini ‘bersih’, dalam arti sama sekali tidak ada adegan seks, dan murni menceritakan kisah cinta. Bagi saya, ini adalah novel Fredy S yang terbaik, bahkan tidak kalah jika diadu dengan novel-novel karya Mira W.

(Catatan: saya telah membaca sekitar 40-an novel Mira W., jadi setidaknya saya punya skala perbandingan yang cukup adil).

Yang ingin saya ungkapkan dari ilustasi mengenai Fredy S ini, adalah kenyataan bahwa sekali kita diidentikkan dengan sesuatu, maka kita akan sulit lepas dari sesuatu itu. Dan kenyataan semacam itu sering kali mengikuti para pekerja kreatif, termasuk para penulis.

Ingat Mulan Kwok? Ketika dia akan menyanyikan lagu bernuansa Arabian (Makhluk Tuhan Paling Seksi), dia terpaksa mengganti namanya menjadi Mulan Jameela, demi untuk bisa mengubah image di mata penggemarnya. Nah, kenyataan semacam itu juga terjadi pada kerja kepenulisan, pada para penulis.

Susahnya, para penulis tidak bisa mudah mengubah namanya sebagaimana artis Mulan Kwok mengubah nama menjadi Mulan Jameela. Meski Mulan mengganti nama, para penggemarnya tetap tahu bahwa itu si Mulan. Hal ini berbeda dengan penulis. Jika penulis mengubah namanya, para penggemarnya tidak tahu bahwa itu adalah orang yang sama.

Di Indonesia, ada beberapa nama penulis yang telah diidentikkan dengan karya-karya tertentu. S. Mara GD., misalnya, telah diidentikkan dengan novel detektif. Atau Hilman yang identik dengan novel remaja (Lupus dan lainnya). Nah, pengidentikan nama dengan suatu genre karya tertentu semacam itu bisa saja menguntungkan, tetapi juga bisa merugikan.

Menguntungkan—jika karya-karyanya memang terus disukai para pembaca, karena si penulis terus mengeksplorasi dan berinovasi dalam karya-karyanya. Tetapi juga dapat merugikan—jika para penggemarnya telah mencapai titik jenuh, karena si penulis tidak mampu mengeksplorasi atau melakukan inovasi dalam berkarya. Ingatlah selalu fakta ini; senikmat apa pun, suatu makanan yang terus berulang akan menimbulkan kejenuhan.

Karenanya, musuh besar para pekerja kreatif—termasuk penulis—adalah rasa puas diri. Kapan pun seorang penulis telah merasa puas, dia mati. Kapan pun seorang penulis telah puas dengan karyanya, maka pembaca akan segera meninggalkannya.

Agar pemaparan ini lebih mudah dipahami, kita gunakan contoh saja. Lihatlah novel-novel John Grisham. Nama Grisham telah diidentikkan dengan novel-novel berlatar hukum, yang diperankan pengacara. Tetapi para penggemarnya selalu menunggu novel-novel terbaru Grisham. Mengapa? Karena Grisham selalu menyodorkan eksplorasi di dalam setiap novelnya.

Meski semua novelnya menggunakan tokoh pengacara, Grisham menawarkan kisah berbeda, latar berbeda, karakter berbeda, setting berbeda, bahkan ending yang berbeda. Semua novel Grisham menawarkan petualangan membaca yang sama-sama mengasyikkan, karena meski menokohkan kisah pengacara, Grisham selalu memberikan hal berbeda dalam setiap novelnya. Karenanya pula, para penggemarnya selalu menebak-nebak apa lagi yang dikisahkannya, sehingga tertarik untuk kembali membaca novelnya.

Sekarang bayangkan kalau Grisham tidak pernah melakukan eksplorasi dan inovasi dalam karya-karyanya. Apa yang akan terjadi? Para penggemarnya akan segera bosan! Beberapa kali mungkin mereka masih akan tetap membaca novel Grisham, tetapi pada akhirnya mereka akan sampai pada kesimpulan, “Yeah, lagi-lagi seperti ini!” Ketika sampai pada tahap semacam itu, novel-novel Grisham pun tidak akan menarik lagi, karena para penggemarnya sudah dapat menebak apa isinya.

Jadi, pengidentikan nama penulis dengan suatu genre tertentu bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan, namun juga dapat merugikan. Dan masing-masing penulis dapat memilih kondisi ini—memilih untuk diidentikkan dengan sesuatu, atau memilih agar pembacanya tidak mengidentikkan namanya dengan sesuatu.

Kalau kita ingin pembaca mengidentikkan nama kita dengan suatu genre tertentu, tulislah buku dalam genre itu terus-menerus. Hanya diperlukan beberapa buku, dan pembaca akan langsung mengidentikkan namamu dengan genre buku yang kautulis. Sekali image itu terbentuk, kau akan menanggung seluruh konsekuensinya. Jika kau bisa terus bereksplorasi dan berinovasi dalam memanjakan pembacamu, kau selamat. Sebaliknya, jika kau telah merasa puas diri, kau mati.

Begitu pun, kalau kita tidak ingin diidentikkan dengan sesuatu, tulislah buku dalam genre yang berbeda. Atau buku dalam genre yang sama, tapi dengan cara yang berbeda. Intinya, jadilah spesialis dalam suatu genre tertentu, tetapi jangan terjebak pada satu gaya tertentu.

Ini memang soal pilihan—dan masing-masing orang (penulis) berhak memilih. Tentu saja tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk dalam hal ini.

Intinya, jangan pernah puas diri dengan karya yang sudah kita capai. Meminjam istilah Ayu Utami, menulis adalah pekerjaan gelisah. Para penulis harus terus menemukan cara dan gaya baru dalam memberikan keasyikan kepada para pembacanya. Karenanya, setiap penulis tidak boleh berhenti belajar, harus terus mengasah diri, memperbaiki teknik menulisnya, sekaligus terus melakukan eksplorasi dan inovasi.

Pelajarilah banyak hal, agar tulisan kita tidak membosankan. Buatlah pembaca terus-menerus penasaran dan menebak-nebak apa lagi yang kita tulis, sehingga mereka terus mengikuti tulisan kita. Sodorkan menu yang terus-menerus berbeda, agar pembaca terus-menerus puas melahapnya. Berikan hal-hal baru untuk mereka, agar pembaca terus asyik mengikutinya. Persembahkan yang terbaik untuk pembaca, agar mereka terus jatuh cinta. Karena...

...ketika pembaca merasa ‘cukup’, saat itulah penulis mati.

Beautiful Hand

Berbuat baik memang tidak perlu terburu-buru,
tetapi... kita juga tidak pernah tahu kapan itu akan terlambat.
 —@noffret


Meskipun kita hidup dari yang kita dapatkan, tetapi ganjaran sejati yang kita peroleh berasal dari yang kita berikan. Kita tidak dapat menikmati hari-hari yang memuaskan, bahkan meskipun kita mungkin tergolong sukses menurut tolak ukur yang berlaku di masyarakat, kecuali bila kita telah berbuat sesuatu bagi seseorang yang tidak akan pernah mampu membalas perbuatan baik kita.

Tujuan hidup ini bukan sekadar untuk menang. Kita hidup agar berkembang dan saling berbagi. Kita akan memperoleh kepuasan lebih banyak dari kebahagiaan yang kita datangkan ke dalam hidup orang lain, daripada sekadar yang akan kita dapatkan.

Selain itu, apa pun yang kita berikan kepada orang lain akan kita dapatkan kembali, yang kita kirimkan kepada mereka akan kembali kepada kita, seperti juga apa pun yang kita tanam kelak kita pun akan menuai hasilnya. Dengan kata lain, apabila kita mengulurkan tangan untuk orang lain, maka kehidupan pun akan mengulurkan tangannya untuk hidup kita.

The Power of Dream (2)



Orang-orang yang tak memiliki impian ini seperti robot yang digerakkan oleh mesin waktu, dan mau tak mau mereka harus patuh pada ‘jadwal rutin’ hidupnya. Pagi hari mereka bangun dari tidur, lalu menjalani ‘rutinitas pagi’, dari mandi sampai makan pagi. Kemudian berangkat sekolah, kuliah, atau bekerja.

Sepulang dari kegiatan rutin sehari-hari itu, mereka pun kembali menjalani rutinitas yang lainnya; makan siang, tidur siang, atau… menonton televisi. Dan kegiatan terakhir inilah yang sering kali membuat banyak orang terlena hingga rela duduk berjam-jam bersimpuh di depan pesawat televisi, seperti seorang hamba yang setia mendengarkan petuah-petuah dari tuannya.

Sementara waktu terus berlalu, hari berganti menjelang senja, dan malam pun kemudian datang. Saat malam semakin larut, mereka pun menuju ke peraduan untuk tidur, untuk kembali bangun keesokan harinya, untuk menjalani ritualitas yang biasa, untuk menjalani rutinitas yang dari itu ke itu tanpa ujung tanpa pangkal, tanpa ada sesuatu yang diperjuangkan, tanpa ada sesuatu yang ingin dicapai, selain hanya keinginan bahwa esok pagi masih hidup dan masih dapat menjalaninya seperti biasa.

Jauh-jauh hari, Dr. Sidney Newton Bremer sudah menyatakan, “Mereka sebenarnya tidak hidup sama sekali dalam arti kehidupan yang luas. Mereka sudah puas dengan bisa bernapas seperti biasa, makan, minum, serta melakukan kegiatan rutin untuk mengisi keperluan hidup. Siang dan malam sama saja sehingga mereka menghembuskan napas yang terakhir…”

Apakah kehidupan diciptakan Tuhan hanya untuk dijalani dengan rutinitas yang membosankan semacam itu?

Saya meyakini bahwa ada suatu misi mulia yang dititipkan Tuhan dalam diri setiap manusia, agar menjadikan hidup ini sebagai bagian dari karunia keindahan. Dan tugas kita adalah memang untuk menjadikan hidup ini menjadi lebih indah, lebih berarti, lebih bermakna untuk dijalani. Dan… memiliki tujuan dalam hidup, memiliki suatu impian yang ingin diwujudkan, adalah salah satu jalan untuk menjadikan hidup ini lebih indah, lebih menggairahkan, sekaligus lebih bermakna untuk dijalani.

Sayangnya, pada hari-hari ini, orang yang tidak memiliki impian, tidak memiliki tujuan, jumlahnya sangat mengherankan. Sayangnya pula, orang yang tidak memiliki arah dan tujuan dalam hidupnya kelihatannya bukan semakin berkurang, tetapi semakin bertambah.

Penulis pemenang Pulitzer Prize, Katherine Anne Porter, memperhatikan, “Saya terkejut dengan banyaknya orang yang hidup tanpa tujuan. Lima puluh persen dari mereka tidak peduli kemana mereka akan pergi; empat puluh persen belum memutuskan kemana akan menuju, dan sisanya akan pergi kemana saja. Hanya sepuluh persen yang tahu apa yang mereka inginkan (memiliki impian dan tujuan dalam hidup), namun tidak semuanya pergi ke situ.”

Bukankah itu kenyataan yang cukup menyedihkan?

Di daerah dekat saya tinggal, ada pantai yang sering dikunjungi orang-orang, khususnya pada hari-hari libur. Pada musim liburan, pengelola pantai biasanya mengadakan suatu acara pantai yang biasa disebut ‘pelayaran tanpa tujuan’. Mereka menyewakan beberapa perahu berukuran sedang, dan orang-orang yang tengah menikmati liburan itu pun naik ke kapal itu, untuk kemudian berlayar sampai ke tengah lautan.

Namun tak ada tempat yang akan mereka datangi, tak ada pulau yang akan mereka tuju. Mereka hanya berputar-putar di tengah lautan, menikmati debur ombak dan bercanda, tertawa, sambil menikmati makanan kecil yang telah mereka persiapkan untuk acara itu. Hingga beberapa jam kemudian mereka kembali lagi ke pantai, turun dari kapal, dan kembali menjejakkan kaki di daratan.

Orang-orang yang hidup tanpa tujuan tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang menikmati liburan dengan menyewa perahu itu. Mereka pergi tanpa tujuan tertentu. Mereka berada dalam rangka yang tak jelas, dan mengisi waktu dengan mengejar kesenangan atau terlibat dalam aktivitas yang manfaatnya masih diragukan, atau hanya bersifat sementara. Dan sementara hidup terus berjalan, mereka hanya berputar-putar tanpa tujuan yang jelas. Pada akhirnya, akhir mereka tidak lebih baik daripada ketika mereka mulai.

Sungguh, pelayaran tanpa tujuan mungkin cara yang cukup bagus untuk menikmati hari libur, tetapi itu jelas bukan cara yang bagus untuk menghabiskan hidup kita.


The Power of Dream (1)



Tak akan ada yang terjadi kecuali diawali dengan impian.
(Carl Sandburg)

Dapatkah kau membayangkan kehidupan ini
akan seperti apa jadinya jika kita tidak bisa bermimpi?
(Bob Urichuck)


Apakah kekuatan terbesar di muka bumi ini yang telah mampu mewujudkan banyak hal yang sebelumnya telah dimustahilkan?

Impian.

Impianlah yang telah menggerakkan manusia hingga menjadi pekerja mukjizat, impianlah yang telah menyelesaikan begitu banyak persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan. Impianlah yang menjadi gerak denyut nadi dan detak jantung hidup dan kehidupan umat manusia.

Apa yang bisa dilahirkan dalam hidup ini tanpa impian…?

Semua pencapaian dan prestasi yang pernah diukir manusia di muka bumi semuanya berawal dari impian. Tidak ada yang terjadi tanpa adanya impian. Dan memang selalu berbeda antara orang yang memiliki impian dan yang tidak. Ingat, impian bukanlah angan-angan kosong sebagaimana orang memandangi asap rokok yang kemudian lenyap dari pandangannya. Impian adalah suatu refleksi ke depan tentang sesuatu yang dituju, sesuatu yang ingin dilakukan, sesuatu yang ingin diraih.

Orang yang memiliki impian selalu memandang hidup sebagai petualangan mengasyikkan, seperti seorang pendaki yang tahu meski gunung itu tinggi namun ia yakin akan mampu mencapai puncaknya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa mencapai puncak sukses dalam kehidupan bukan pekerjaan ringan sebagaimana mencapai puncak gunung juga bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Selalu ada hambatan. Selalu ada rintangan. Selalu ada jalan setapak yang setiap saat bisa menggelincirkan langkahnya, dan bahkan melemparkan tubuhnya ke jurang menganga.

Namun seorang pemimpi tahu bahwa segala hambatan dan rintangan pasti bisa dilaluinya dengan tegar, sebagaimana seorang pendaki tahu bahwa setiap hambatan menuju puncak dapat ditaklukkan.

Lebih dari itu, seorang yang memiliki impian meyakini bahwa semua cobaan, rintangan, dan halangan, yang mencoba menghambat kehidupannya tidak akan lagi terasa sebagai penderitaan ketika impian telah mewujud menjadi kenyataan, sebagaimana juga pendaki sangat yakin bahwa semua lelah dan perjuangan mendaki tidak akan terasa lagi begitu sampai di puncak gunung dan memandang ke bawah, dan melihat betapa tingginya mereka telah mendaki…

Kebahagiaan saat berhasil menaklukkan puncak gunung menjadikan semua rasa lelah dan kepayahan saat mendaki menjadi terlupa, dan kebahagiaan saat berhasil mewujudkan impian menjadi kenyataan juga menjadikan semua rasa letih perjuangan dan kerja keras siang malam menjadi terlupa. Tak ada yang lebih indah di dunia ini selain ketika melihat impian kita terwujud menjadi kenyataan.

Sebaliknya, orang yang tidak memiliki impian apa pun dalam hidupnya cenderung statis dalam menjalani kehidupan. Kehidupan bagi mereka tidak lebih hanya sebagai ritualitas, rutinitas yang terkadang menjadi sangat membosankan.

Mereka tak memiliki tujuan apa pun selain hanya menjalani hidup, mereka tak memiliki impian apa pun yang ingin diwujudkan, hingga hari demi hari mereka lalui tanpa ada apa pun yang ingin dicapai. Semuanya begitu rutin, semuanya berjalan tanpa gairah sebagaimana yang dirasakan orang-orang yang memiliki impian.


Minggu, 20 Maret 2011

Rahasia Karya Shakespeare (3)

So, yang kemungkinan terjadi seperti ini. Bacon membutuhkan sarana komunikasi untuk menyusupkan pesan-pesan rahasia yang ingin ia sampaikan kepada seseorang atau beberapa orang dengan aman, tanpa diketahui orang lain yang tidak dituju. Karena dia sangat hebat dalam metode penyembunyian pesan melalui teks atau tulisan, maka Bacon pun kemudian menyusupkan pesan-pesan serta sandi-sandi rahasia itu ke dalam naskah-naskah drama—dengan cara yang sangat acak, tetapi tetap dapat dipahami oleh orang yang memiliki kunci pemecahannya.

Nah, mungkin, Bacon berpikir, kalau naskah-naskah drama tersebut menggunakan namanya sebagai pengarang, maka orang masih akan mencurigai naskah-naskah tersebut, dan bisa saja pesan-pesan rahasia di dalamnya akan terbongkar. Untuk lebih amannya, maka Bacon kemudian menghubungi Shakespeare secara rahasia, dan memintanya untuk mengakui naskah-naskah itu sebagai karyanya.

Singkat cerita, Shakespeare menyetujui permintaan Bacon, dan sejak itulah nama Shakespeare mulai dikenal sebagai pujangga. Naskah-naskah drama tersebut kemudian terkenal (karena memang ditulis dengan hebat), dan Shakespeare-lah yang kemudian disanjung puja karena dianggap sebagai pengarang aslinya.

Karena hal inilah, menurut saya, yang menjadikan karya-karya Shakespeare sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain (selain Inggris). Seperti yang pernah saya tulis di sini, orang harus menguasai bahasa Inggris jika ingin menikmati karya-karya Shakespeare, sebab isi karya-karya itu akan “rusak” ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain.

Mengapa? Salah satu jawaban yang paling masuk akal adalah karena terdapatnya sandi dan pesan rahasia yang ditanamkan dan bertebaran di dalam naskah-naskah drama tersebut, yang akan berubah menjadi “aneh dan kacau” apabila diterjemahkan ke dalam bahasa lain—meski tampak wajar ketika digunakan dalam bahasa Inggris.

Mungkin ada yang berpikir, apakah Francis Bacon tidak menyesal memberikan naskah itu untuk nama Shakespeare, ketika akhirnya naskah-naskah itu menjadi terkenal, bahkan abadi?

Para pakar menyimpulkan bahwa Francis Bacon tidak memburu popularitas atas karya-karya tersebut—misinya adalah menyusupkan pesan-pesan rahasia untuk orang-orang yang ditujunya. Jangan lupa, Bacon memiliki karya sendiri yang menggunakan namanya, dan dia pun seorang tokoh terkenal.

Sejak naskah pertama, nama Shakespeare sudah langsung dikenal orang. Tetapi Bacon terus menulis naskah lain dan tetap menggunakan nama Shakespeare sebagai pengarangnya, karena tujuan utamanya bukanlah popularitas, melainkan untuk menyusupkan sandi rahasia dan pesan tersembunyi sebanyak-banyaknya ke dalam naskah-naskah itu.

Lalu, apakah Shakespeare tahu kenyataan ini? Sayangnya, pertanyaan itu sulit dijawab. Yang jelas, alasan mengapa para pakar berkeyakinan bahwa Francis Bacon-lah penulis asli naskah-naskah drama tersebut adalah karena… Francis Bacon memiliki kuncinya.

Seperti yang telah saya singgung di atas, Bacon menulis sebuah buku berjudul “The Advancement of Learning”—dan buku inilah yang mendeskripsikan dengan detail tentang cara-cara menyembunyikan sandi dan pesan-pesan rahasia ke dalam teks-teks yang tampak utuh ketika dibaca.

Pada masa ketika Bacon dan Shakespeare masih hidup, orang-orang (mungkin) belum mencurigai hubungan atau keterkaitan antara Francis Bacon dengan William Shakespeare—sehingga mereka pun tidak menghubung-hubungkan dua orang itu atau karya-karya keduanya.

Tetapi, pada tahun 1850-an, masalah ini telah menjadi bahan pembicaraan banyak pakar—dan banyak dari mereka yang mulai melacak keterkaitan keduanya. Salah seorang yang ikut aktif dalam mencari “pesan-pesan rahasia” yang terdapat dalam naskah Shakespeare adalah Ignatius Donnelly.

Ignatius Donnelly adalah senator dari Minnesota dari tahun 1874 sampai 1878. Selama periode itu pula, dia menggunakan berbagai fasilitas Perpustakaan Kongres untuk memperdalam studinya atas topik ini. Kemudian, ketika dia meninggalkan karir politiknya, Donelly menghabiskan waktunya untuk melacak serta memecahkan misteri dalam karya-karya Shakespeare.

Nah, di dalam upaya memecahkan misteri itulah, Donelly menggunakan metode yang ditulis Bacon dalam buku “The Advancement of Learning”, untuk membongkar pesan-pesan rahasia yang disusupkan Bacon ke dalam karya-karya Shakespeare. Hasilnya kemudian ia tulis dalam sebuah buku berjudul “The Great Cryptogram”. Buku ini terbit pada tahun 1888, dengan jumlah halaman mencapai 1.000 lembar.

Di dalam buku karyanya tersebut, Donelly mengklaim berhasil menemukan pesan-pesan tersembunyi yang disusupkan Bacon dalam naskah karya Shakespeare, juga pola angka yang memberikan pesan terselubung itu, “Seas ill said that More low or Shak’st spur never writ a word of them.” (Coba tebak apa maksud artinya).

Sampai di sini, saya harus menegaskan bahwa semua pemaparan ini didasarkan pada spekulasi para pakar—tetapi tidak terkonfirmasi. Artinya, bisa saja semua ini benar, namun bisa pula semua ini keliru. Betapa pun juga, Shakespeare atau pun Bacon sudah meninggal, dan mereka tidak bisa mengkonfirmasi semua pemaparan di atas. Karenanya, kita boleh percaya, tetapi juga boleh tidak.

Meskipun pemaparan ini sudah cukup panjang lebar, tetapi penjelasan ini masih terlalu sedikit. Masih sangat banyak rahasia lain menyangkut kedua bocah di atas (Francis Bacon dan William Shakespeare), atas sumber-sumber literatur lainnya—khususnya dimana Shakespeare ikut andil di dalamnya.

Tetapi, saya tidak mungkin menjelaskan semuanya di sini. Pertama, karena post ini sudah sangat panjang. Kedua, penjelasan atas hal tersebut akan dapat menimbulkan masalah, karena berhubungan dengan hal-hal yang amat sensitif.

Karenanya, sebagai penutup post ini, saya hanya bisa merekomendasikan beberapa buku yang bisa kamu gunakan untuk memuaskan rasa penasaranmu. Selain judul-judul buku yang telah saya sebutkan dalam penjelasan di atas, berikut ini adalah beberapa buku yang dapat kamu cari dan pelajari. Hanya saja, semua buku ini belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia, jadi kamu harus mempelajarinya dalam bahasa aslinya.

(Note: Kata yang ditebalkan adalah judul bukunya).

B. P. Copenhaver, Hermetica: The Greek Corpus Hermeticum and the Latin Aslepius in a New English Translation, with Notes and Introduction, Cambridge University Press, 1995.

C. Knight & R. Lomas, Uriel’s Machine: The Ancient Origins of Science, Arrow, 2000.

Francis Bacon, The Essays, Dodo Press, 2006.

H. Bayley, The Lost Language of Symbolism, Dover Publications, 2006.

I. Robertson & Rall’s-MacLeod, The Quest for the Celtic Key, Amorc, 2005.

J. F. Bierlein, Parallel Myths, Ballantine Books, 1994.

M. P. Hall, Lectures on Ancient Philosophy, Tarcher, 2005.

M. P. Hall, The Secret Teachings of All Ages, Tarcher, 2006.

M. Stavish, The Path of Alchemy: Energetic Healing and the World of Natural Magic, Llewellyn Publications, 2006.

O. Grabar, The Dome of The Rock, Belknap Press of Harvard University Press, 2006.

R. Bauval, Secret Chamber: The Quest for the Hell of Records, Arrow Books Ltd., 2000.

R. Bauval & G. Hancock, Keeper of Genesis: A Quest for the Hidden Legacy of Mankind, Arrow Books Ltd., 1997.

R. Lomas, The Invisible College, Corgi Books, 2009.

T. De Witte Peake, Symbolism of King Solomon’s Temple, Kessinger Publishing, 2003.


Cukup itu dulu ya. Selamat berburu, dan selamat belajar!

Rahasia Karya Shakespeare (2)

Kita mulai dari awal. Bagaimana awal munculnya tuduhan bahwa Shakespeare bukanlah penulis atas tulisan-tulisan yang diklaim sebagai karyanya?

Sebenarnya, ketidakpercayaan itu sudah muncul sejak lama sekali—meskipun secara diam-diam. Sumber ketidakpercayaan tersebut karena sosok Shakespeare tidak “match” dengan tulisan-tulisannya.

Jika kita membaca tulisan-tulisan Shakespeare, kita seperti berhadapan dengan sebuah karya yang ditulis oleh orang yang tahu kehidupan dunia luas, serta mengetahui seluk-beluk keluarga bangsawan, bahkan detail-detail dalam dunia hukum, politik tingkat tinggi, serta hal-hal berat lainnya.

Padahal, Shakespeare adalah “anak dusun”—dia tinggal di Stratford-upon-Avon, sebuah desa kecil tak terkenal di Inggris. Dia tidak berpendidikan tinggi, tidak memiliki hubungan dengan para bangsawan, tidak pernah ke luar negeri, pendeknya dia anak desa sejati. Di sinilah awal ketidakpercayaan banyak pakar atas karya-karya Shakespeare, karena orang ini bisa menulis dengan wawasan serta pengetahuan yang amat luas, sekaligus detail.

Jika Shakespeare hidup pada masa sekarang, mungkin hal semacam itu tidak akan dianggap aneh, karena internet dan distribusi buku serta ilmu pengetahuan sudah menjangkau batas-batas teritorial, sehingga orang di pelosok dunia mana pun dapat mengetahui apa pun yang ingin diketahuinya. Tetapi pada zaman ketika Shakespeare hidup, hal semacam itu bisa dibilang tidak memungkinkan.

Ambil contoh, misalnya, karyanya yang paling terkenal—‘Romeo and Juliet’. Dalam naskah asli yang ditulisnya, Shakespeare dengan fasih menceritakan kehidupan para bangsawan dengan sangat mendalam, dengan standar pengetahuan atas detail-detail yang rasanya sulit diketahui oleh orang yang tidak hidup dalam kelas bangsawan.

Pertanyaannya, bagaimana cara Shakespeare bisa mengetahui semua hal yang ditulisnya itu? Pertanyaan ini tak pernah terjawab, sehingga ketidakpercayaan di atas pun semakin menguat, sampai timbul bermacam spekulasi.

Nah, karena pertanyaan di atas tak bisa dijawab, karena Shakespeare juga sudah meninggal sehingga tak bisa memberikan konfirmasi, maka para pakar pun kemudian beralih pada pertanyaan berikutnya. Jika karya-karya hebat itu sesungguhnya tidak ditulis oleh Shakespeare, lalu siapa orang yang menulisnya?

Dalam hal ini, ada beberapa orang yang “dicurigai”—dan beberapa dari mereka yang disebut-sebut sebagai orang di balik karya Shakespeare di antaranya adalah Sir Francis Bacon, Christopher Marlowe, dan para Earl dari Oxford.

Di antara banyak nama yang “dicurigai” tersebut, Sir Francis Bacon merupakan “tertuduh paling kuat”. Orang ini memiliki “ciri-ciri” penulis asli di balik karya-karya Shakespeare.

Bacon pernah melakukan perjalanan ke Benua Eropa, dan ia paham berbagai intrik politik serta pergaulan para bangsawan. Selain itu, Bacon juga mendapatkan pendidikan sebagai pengacara, sehingga ia tahu dunia hukum secara luas, bahkan detail. Terakhir, dan yang paling penting, Bacon juga memiliki keahlian diplomatis, filosofis, serta linguistik—sesuatu yang khas dalam karya-karya Shakespeare.

Intinya, tulisan-tulisan yang disebut sebagai karya Shakespeare akan lebih tepat dan lebih “match” jika disebut sebagai karya Francis Bacon daripada Shakespeare, karena Bacon lebih memiliki kualifikasi yang sesuai dengan isi karya-karya tersebut.

Sampai di sini, pertanyaan yang pasti muncul adalah, “Kalau memang Bacon-lah yang menulis karya-karya itu, kenapa harus menggunakan nama Shakespeare?”

Francis Bacon sendiri juga menulis beberapa buku yang menggunakan namanya sebagai pengarang. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah “The Advancement of Learning”. Jadi, mengapa selain itu dia juga menulis karya-karya lain yang menggunakan nama Shakespeare (dengan asumsi kalau Bacon-lah yang memang menulis karya-karya itu)?

Jawabannya, menurut para pakar yang meneliti masalah ini, adalah karena Francis Bacon menggunakan karya-karya tersebut untuk “menyusupkan pesan dan sandi rahasia”.

Pada waktu itu, Bacon bekerja di pemerintahan, dan dia diduga membutuhkan sarana pengiriman pesan secara aman. Selain itu, Bacon sendiri juga pakar dalam metode penyembunyian pesan yang disusupkan ke dalam susunan teks. (Metode ini dikenal dengan nama Cipher Bacon).

Lanjut ke sini.

Rahasia Karya Shakespeare (1)

Ini post soal buku, dan secara khusus membahas tentang karya pujangga Inggris, William Shakespeare. Email berikut ini dikirim Afrizal Setyawan. Karena pembahasan topik ini akan cukup panjang lebar, maka hanya email Afrizal yang diposting kali ini. Untuk email teman-teman lain yang belum muncul, seperti biasa, tunggu di post yang akan datang.

***

Saya mahasiswa Sastra Inggris, dan sangat mengagumi karya-karya Shakespeare. Saya menemukan blogmu, juga karena seringnya kamu meng-quote Shakespeare dalam tulisan-tulisanmu, sehingga Uncle Google menggiring saya ke blogmu, waktu saya searching. Dan setahu saya, kamulah orang pertama yang berani mengubah pandangan orang banyak atas tafsir tulisan Shakespeare (dalam posting Apalah Arti Sebuah Shakespeare).

Nah, saya punya sedikit masalah menyangkut Shakespeare, dan saya pikir tak ada salahnya menanyakannya ke kamu, dengan harapan kamu bisa menolong dan menjawab kebingungan saya. Sekadar catatan, saya sudah mencari-cari jawaban atas kebingungan saya ini melalui Google, tetapi belantara internet pun tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan.

Satu tahun yang lalu, tanpa sengaja saya menemukan sebuah buku di perpustakaan kampus. Buku itu sudah kumal, rusak, bahkan sampulnya sudah hilang. Satu-satunya alasan kenapa saya mau membaca buku itu hanyalah karena isinya membahas Shakespeare. Tetapi buku itulah yang kemudian menjadi awal kebingungan saya.

Buku itu ditulis dalam bahasa Inggris (sori, judul ataupun nama penulisnya tidak saya ketahui, karena sampul dan bagian depan halamannya sudah raib). Yang jelas, buku itu memaparkan sesuatu yang menurut saya tidak masuk akal—yaitu tuduhan bahwa tulisan-tulisan Shakespeare sebenarnya bukanlah karya Shakespeare.

Menurut buku itu, Shakespeare bukanlah penulis/pujangga hebat sebagaimana yang kita tahu—ada orang lain yang menulis karya-karya itu, dan kemudian menggunakan nama Shakespeare sebagai nama penulis/pengarangnya, atas persetujuan bersama antara si penulis tersebut dengan Shakespeare.

Bagi saya ini tidak masuk akal, tetapi saya jadi penasaran setengah mati. Saya telah membawa buku itu pada dosen saya, tapi dosen saya pun tidak mempercayai isi buku itu. Dia malah menyatakan kalau buku itu hanya mengada-ada, dan tetap yakin kalau karya-karya Shakespeare memang ditulis Shakespeare.

Sejak itulah saya mencoba searching di internet untuk mencari topik yang aneh ini, hingga kemudian menemukan blogmu. Tetapi, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, tidak ada website mana pun yang bisa menjelaskan persoalan aneh tersebut. Karenanya, saya mengirim email ini sebagai langkah terakhir untuk dapat meredakan rasa penasaran saya—kalau-kalau kamu tahu jawabannya, dan bisa menjelaskan dengan cukup gamblang.

Namun, kalau pun ternyata kamu juga tidak mengetahui masalah ini, tidak apa-apa. Saya hanya ingin tahu, apakah kamu juga pernah membaca buku seperti yang saya baca di atas? Kalau ya, setidaknya saya tahu ada orang lain yang juga mengetahui hal ini, dan itu sudah cukup melegakan.


Salut untuk rasa penasaranmu! Dan semoga uraian berikut ini akan cukup menjawab rasa penasaranmu.

Saya tidak tahu pasti buku apa yang telah kamu baca, tetapi yang jelas memang ada sebagian pakar yang meragukan tulisan-tulisan yang disebut sebagai karya Shakespeare. Maksudnya, sebagaimana yang ditulis dalam buku yang kamu baca tersebut, Shakespeare “dicurigai” hanya pasang nama atas tulisan-tulisan itu, padahal ada orang lain yang menulisnya.

Bagaimana hal yang aneh semacam ini bisa terjadi? Sepertinya, untuk menjawab pertanyaan ini secara gamblang, kita perlu membongkar cukup banyak hal menyangkut sejarah—khususnya kehidupan di era ketika Shakespeare masih hidup.

Lanjut ke sini.

Rabu, 16 Maret 2011

Bugil di Depan Kamera

Tugas seorang intelektual bukan untuk mengubah dunia,
tetapi untuk tetap setia kepada cita-cita yang perlu dipertahankan
demi moralitas umat manusia.
Julien Benda

Dua hal memenuhi pikiranku dengan rasa takjub
dan terkesima; angkasa yang penuh bintang di atas sana,
dan hukum moral dalam diri manusia.
Immanuel Kant


Sony Adi Setyawan, alias Sony Set, menggalakkan kampanye agar tidak bugil di depan kamera. Kampanyenya itu dilengkapi dengan sebuah buku yang diterbitkan secara khusus untuk tujuan itu, berjudul 500+ Gelombang Video Porno Indonesia. Saat ini, sebagaimana yang ditulisnya dalam buku itu, ada lebih dari lima ratus potongan video porno yang diperankan anak-anak muda Indonesia.

Padahal fenomena video porno itu seperti gunung es, kata Sony, dan kita pun setuju. Bahwa keberadaan video porno yang dibuat secara amatir dan kemudian muncul di internet itu, hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan jumlah video porno yang mungkin ada. Artinya, masih ada sekian banyak video porno lainnya yang pernah dibuat, tetapi kita tidak tahu atau belum pernah melihatnya.

Karena keprihatinan itulah kemudian Sony Set menggalakkan kampanye agar “jangan bugil di depan kamera”. Sebuah kampanye yang tentunya layak kita apresiasi dan kita dukung, sebagai upaya perbaikan moral anak-anak muda di negeri kita, meski upaya itu mungkin tidak akan memberikan hasil yang banyak—karena ukuran moral tentunya tak bisa disandarkan pada keberanian bugil di depan kamera semata-mata.

Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat saya pada upaya luhur Bang Sony, saya berpikir bahwa inti masalah dalam fenomena banyaknya video porno yang dibuat secara amatir itu sebenarnya bukan pada video pornonya semata-mata, tetapi lebih pada tanggung jawabnya.

Maksud saya, bugil di depan kamera adalah hak setiap orang. Karenanya, melarang orang bugil di depan kamera sama saja melanggar hak asasinya. Tolong jangan ambil kalimat ini secara parsial. Ada banyak alasan mengapa seseorang sampai bugil di depan kamera—dari alasan narsis karena pemujaan terhadap keindahan tubuhnya sendiri, sampai alasan-alasan psikologis yang melibatkan teori-teori kelas berat.

Karenanya, melarang semua orang agar tidak bugil di depan kamera sama saja nggebyah uyah—tanpa mempedulikan latar belakang alasannya. Padahal, kalau si X merasa dirinya cantik dan seksi, dan kemudian berpikir ingin mengabadikan keindahan tubuhnya dengan foto atau video, lalu berpose bugil di depan kameranya dengan tujuan agar punya dokumentasi pribadi atas keindahan tubuhnya, maka dia punya hak untuk itu.

Apa yang dilakukan si X dalam ilustrasi di atas adalah hak asasinya. Dia punya hak dan kebebasan penuh untuk melakukan hal semacam itu (bugil di depan kamera), dan tentunya kita telah melanggar hak asasinya jika melarang seseorang untuk melakukan hal semacam itu. Dia tidak merugikan atau melakukan kejahatan kepada orang lain, dia pun tidak melanggar nilai moral masyarakat, karena foto bugil di depan kamera itu hanya untuk dokumentasi pribadi, yang dilakukannya di ruangan miliknya sendiri.

Ada batasan serta perbedaan penting antara ‘ruang privat’ dan ‘ruang publik’ di sini.

Persoalan ‘jangan bugil di depan kamera’ ini mengingatkan kita pada kontroversi undang-undang antipornografi beberapa waktu yang lalu. Para penentang undang-undang antipornografi tidak menyetujui undang-undang itu, karena dinilai melanggar hak privat masing-masing orang. Misalnya, di dalam undang-undang itu disebutkan bahwa setiap orang (sekali lagi, setiap orang) dilarang menonton film biru.

Ini sama saja nggebyah uyah tanpa mempedulikan siapa orang yang terlibat dalam acara menonton film biru itu. Kalau sepasang suami istri duduk berdua di dalam kamar mereka sambil menonton film biru dengan tujuan untuk foreplay, apakah negara harus menindak mereka?

Kalau menggunakan kata-kata Ayu Utami, “Yang lebih berbahaya dari itu adalah sikap dasarnya, yaitu tidak membedakan ruang privat dan publik. Sikap dasar ini sama dengan larangan untuk beriman sesuai agama masing-masing. Iman, seperti juga seks, memiliki dimensi yang sangat privat. Apa yang dilakukan manusia di kamar masing-masing, berdoa atau bersetubuh, atau berdoa sambil bersetubuh, sejauh tidak menyangkut penganiayaan dan pembunuhan, adalah hak pribadi orang tersebut.”

Nah, hal semacam itulah yang sekarang menjadi bahan pikiran saya menyangkut kampanye ‘jangan bugil di depan kamera’. Sebenarnya, bugilnya semata-mata itu tidak penting. Yang lebih penting adalah tanggung jawab seseorang dalam aktivitas bugilnya. Bahkan, kalau mau menggunakan logika yang mudah, bugil di depan kamera itu tak ada bedanya dengan bugil di kamar mandi.

Setiap orang mempunyai kecenderungan untuk narsis—dan itu sah. Naluri untuk narsis itu bisa disalurkan melalui foto dan video yang paling beradab sampai yang bugil ala manusia zaman prasejarah. Sekali lagi itu sah, karena itu hak setiap orang. Yang jadi intinya kemudian adalah tanggung jawab mereka atas perbuatan narsis yang telah mereka lakukan. Selama mereka bertanggung jawab dengan hal itu, dalam arti menyimpannya dengan baik sebagaimana dokumentasi pribadi lainnya, maka kita tidak bisa melarangnya.

Saya menyadari ini terdengar mudah dalam teori, tetapi sulit dalam praktiknya. Mengajarkan orang agar bertanggung jawab atas video bugilnya, sama sulitnya dengan mengkampanyekan agar jangan bugil di depan kamera. Dan tujuan saya menulis catatan ini pun bukan untuk mengajak agar orang-orang bugil di depan kamera, atau membela mereka yang telah bugil di depan kamera. Dasar pikiran saya menulis catatan ini hanya untuk menunjukkan adanya batasan antara ruang privat dan ruang publik, khususnya menyangkut aktivitas bugil di depan kamera.

Memang, seperti yang kita tahu, video-video mesum Indonesia yang banyak beredar itu diperankan (dan dibuat) oleh anak-anak remaja—dari anak-anak SMA sampai mahasiswa—yang mengambil objek diri mereka sendiri. Artinya, perilaku aktivitas mesum yang diabadikan lewat kamera itu sebagian besar melibatkan aktivitas pacaran yang dilakukan muda-mudi.

Ini, menurut saya, tidak semata-mata menunjukkan distorsi moral anak-anak muda, tetapi juga menunjukkan bahwa kita (guru, orang tua, dan pihak-pihak yang bersangkutan) kurang menanamkan pelajaran dan arti penting tanggung jawab.

Video bugil itu kebanyakan dibuat dengan menggunakan kamera ponsel—sedang kamera ponsel baru populer beberapa tahun yang lalu. Artinya, perilaku mesum seperti itu bisa saja telah terjadi bertahun-tahun sebelumnya, hanya saja mulai terkuak setelah adanya ponsel yang memudahkan orang menggunakan kamera. Dengan ditunjang mudahnya akses internet, maka gelombang video porno pun semakin mudah mengalir kemana-mana.

Jadi, yang menjadi inti sebenarnya, menurut saya, bukan perilakunya semata-mata, tetapi juga perlunya kita semua mengajarkan arti pentingnya tanggung jawab. Tanggung jawab atas perbuatan diri sendiri, tanggung jawab atas penggunaan teknologi, sampai tanggung jawab dalam hubungan pacaran. Teknologi, dari kamera, ponsel, sampai internet, hanyalah sarana. Bahkan tanpa semua teknologi itu pun manusia akan tetap dapat melakukan kemesuman di ruang publik jika tidak memiliki tanggung jawab.

Di Amerika, ada suatu aturan yang disebut National Dating Violence Abuse Protocol. Ini semacam MoU (Memorandum of Understanding) antara orang tua dengan orang yang menjadi pacar anaknya. Peraturan ini diberlakukan untuk semua remaja yang telah menginjak usia 14 tahun ke atas. Melalui aturan ini pula, orang tua dapat meminta identitas pacar anaknya, semisal meminta fotokopi KTP, sampai membuat perjanjian mengenai hal-hal yang dianggap perlu, semisal keseriusan dalam hubungan pacaran, dan lain-lain.

Dengan adanya peraturan itu, maka orang tua dapat mengadakan perjanjian dengan pacar anak gadisnya, mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam aktivitas pacaran mereka. Karenanya, jika kemudian diketahui bahwa aturan itu dilanggar, maka orang tua si gadis dapat menuntut tanggung jawab si laki-laki berdasarkan aturan itu.

Nah, aturan semacam itulah yang konon sedang diusahakan oleh Sonny Set, sehubungan upayanya dalam membendung arus video porno anak-anak muda Indonesia, dan kita semua berharap semoga upaya itu akan berhasil.

Jika aturan semacam itu sudah disepakati pemerintah, maka setidaknya aktivitas pacaran akan lebih bertanggung jawab, sekaligus lebih bermoral. Dan aturan semacam itu tentunya jauh lebih baik daripada sekadar melarang bugil di depan kamera, sekaligus lebih menanamkan nilai-nilai tanggung jawab.

Tetapi, persoalannya, apakah pemerintah kita yang sudah amat sibuk dengan dirinya sendiri itu masih memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap moral anak-anak muda negerinya…?

Selamat berjuang, Bang Sony!

Pelajaran di Atas Rakit



Pernah mendengar kisah tentang Eddie Rickenbaker? Ini adalah kisah tentang orang yang terapung-apung di atas lautan selama hampir satu bulan, namun akhirnya selamat kembali ke daratan.

Eddie Rickenbaker bersama beberapa kawannya selamat dari kapal yang mereka tumpangi ketika kapal itu tenggelam. Mereka menyelamatkan diri dengan sebuah papan rakit, dan dengan rakit itulah kemudian mereka terkatung-katung tak tentu arah di atas lautan luas selama dua puluh satu hari.

Selama dua puluh satu hari itu, mereka tidak makan karena tak ada makanan, dan hanya minum jika hujan turun. Tak bisa lagi dibayangkan bagaimana susahnya mereka saat itu. Lapar, haus, letih, lelah, frustrasi, semuanya bercampur menjadi satu. Tetapi akhirnya mereka selamat ketika tertolong oleh kapal lain, dan mereka pun kembali bernapas wajar setelah diberi makan dan minum.

Ketika sampai kembali ke daratan, Eddie Rickenbaker diwawancarai tentang hikmah apa yang ia peroleh selama terkatung-katung di atas lautan selama dua puluh satu hari itu. Eddie Rickenbaker mengatakan, “Pelajaran paling berharga yang dapat saya petik dari pengalaman tersebut adalah; jika Anda dapat mempunyai cukup air tawar untuk diminum dan mempunyai makanan untuk dimakan, Anda tidak perlu mengeluh atau menuntut sesuatu yang lain.”

Jika kita dapat mempunyai cukup air tawar untuk diminum dan mempunyai makanan untuk dimakan, kita tidak perlu mengeluh. Apakah kita setuju? Saya setuju, meski saya belum pernah terkatung-katung di atas lautan selama dua puluh satu hari tanpa punya makanan dan air untuk diminum!


Pengharapan



Apakah kita pernah berpikir tentang apa sebenarnya yang membuat kita berjalan terus dari hari ke hari? Apa yang membuat kita sanggup merintis jalan melalui masa-masa putus asa atau depresi? Apa yang membuat kita percaya bahwa cepat atau lambat masa-masa sulit akan berlalu?

Penyebabnya hanya satu kata yang mempunyai kekuatan luar biasa. Kekuatan untuk membuat kegagalan menjadi kesuksesan, kekuatan yang membuat orang sakit menjadi pulih kesehatannya, kekuatan yang memberikan tenaga bagi yang lemah. Kekuatan itu adalah pengharapan.

Pengharapanlah yang membuat manusia tetap bisa survive menghadapi kesulitan dan kepahitan yang seperti apa pun dalam kehidupannya. Karena itu pulalah orang kemudian menyukai legenda Yunani tentang Kotak Pandora. Ini adalah legenda tentang sebuah kotak yang terbang dan melepaskan segala wabah dan sengsara yang menimpa umat manusia, dan jiwa yang terakhir terbang dari dalam kotak itu adalah harapan, dengan sayap-sayap yang berwarna-warni.

“Harapan,” kata para filsuf, “adalah kata yang tertulis di setiap kening manusia.”


Baru Sadar



Iya, ya… kalau dipikir-pikir, ini benar-benar tidak masuk akal.


The Door

Menghentikan langkah, merasa melihat sesuatu, dan menunduk untuk melihat. Tapi ternyata keliru. Dan melanjutkan langkah. Begitulah awalnya. Dan itulah pintu pembukanya.

….
….

“So, pelajaran penting apa yang pernah kausaksikan di dalam kehidupan manusia, Nak?”

“Kebanyakan manusia sering kali lupa, bahwa bumi berputar, dan hidup adalah rotasi. Seperti roda pedati, seseorang akan tiba di atas, tapi tidak pernah tertutup kemungkinan untuk turun ke bawah. Seseorang di bawah, tapi alam selalu punya cara untuk membawanya ke atas. Tetapi kebanyakan mereka sering lupa. Pada waktu di bawah, mereka rela mengemis dan menggadaikan harga diri. Pada waktu di atas, mereka lupa pada pengemis dan terlalu tinggi menilai diri.”

“Itu kisah klise manusia.”

“Tentu, karena bahkan Adam pun kehilangan rasionya, dan Sulaiman kehilangan cincinnya. Dan Ali yang bijaksana menyatakan bahwa kawan adalah yang menemani di dalam kesusahan. Manusia adalah produk klise—ego yang klise.”

“Kapan kau menemukan hal ini?”

“Bertahun-tahun lalu—ketika saya harus berjalan kaki berkilo meter hanya untuk bisa mengganjal perut yang kelaparan, dan tiba-tiba mendapati semua malaikat yang saya kenali berubah menjadi iblis. Pada waktu itu, saya tahu kenapa orang sampai menjadi jahat, saya tahu kenapa orang sampai mencuri, merampok, bahkan membunuh sesamanya. Tidak setiap orang mampu menahan kesabaran ketika menyaksikan orang yang pernah kita tolong berubah menjadi musuh hanya karena kita terjatuh. Manusia tak pernah berubah. Diri kitalah yang berubah.”

“Kau mau mendengarkan sebuah rahasia?”

“Tentu.”

“Ada pintu yang tidak bisa kaumasuki. Tetapi, setelah kau memasukinya, kau akan seorang diri.”

….
….

Begitulah awalnya. Itulah pintu pembukanya. Dan perjalanan pun dimulai. Sebuah pintu yang tak bisa kaumasuki. Tetapi setelah kau masuk ke dalamnya, kau seorang diri.

Lagu Burung Hantu



Kau seperti aku
Seperti aku

Tetaplah di situ
Hanya bersamaku

Kau lihat?
Tiada jawab
Selalu tiada

Sudahlah,
bahkan sesuatu pun

Sudahlah, hoho,
Hoho, hoho…

Kau seperti aku
Yakin kau sepertiku

Oh, tolong!
Tolong berhentilah!

Aku ingin pergi
Aku tak ingin pergi

Mimpi itu kembali
Dia kembali… kembali…
Tolong aku!

Kau seperti aku
Besok ataupun dulu

Oh, tolong!
Tolonglah aku…!


Selasa, 15 Maret 2011

Curhat Novel (2)

Post ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, saat ini saya bisa bernapas agak lega karena semua naskah yang dikejar deadline sudah beres, dan itu artinya saya bisa mengerjakan kembali novel drama tadi. Tetapi, ya ampuuuuuuun, novel ini benar-benar bikin saya frustrasi! Sekarang yang menjadi masalah bukan lagi ketebalan naskahnya, tetapi isi ceritanya! Saat ini, naskah novel itu tinggal 350-an halaman, tetapi saya tidak juga puas dengan isi ceritanya.

Berkali-kali saya membacanya, membacanya lagi, dan membacanya lagi, tapi selaluuuuuu saja ada yang sepertinya kurang beres.

Setiap kali membacanya, saya selalu saja menemukan kejanggalan atau hal-hal tak masuk akal yang dilakukan tokoh-tokoh yang saya ciptakan dalam novel itu. Jika tokoh-tokohnya sudah beres, maka jalan ceritanya yang saya rasa aneh. Lalu saya ubah lagi, revisi lagi, benahi lagi. Dan begitu terus-menerus. Sampai saat ini, mungkin saya sudah membaca naskah novel itu lebih dari seratus kali—tapi tetap belum merasa tenang.

Jujur, ini pertama kalinya saya mengalami kenyataan semacam ini. Ketika menggarap buku-buku yang lain, terkadang saya juga mengalami rasa frustrasi saat menulis dan menyempurnakannya. Tapi novel ini tidak hanya membuat saya frustrasi, melainkan juga membuat saya merasa hampir gila!

Yang susah, novel drama harus digarap dengan hati yang benar-benar tenang, agar jalan ceritanya bisa mengalir dengan sama tenangnya. Sialnya, setiap kali mulai membaca kembali naskah ini, hati saya tak bisa tenang karena luar biasa dongkol. Tidak jarang saya mengembuskan asap rokok di depan layar monitor dengan jengkel, lalu berteriak pada tokoh-tokoh yang saya ciptakan dalam novel itu, “Kenapa kamu berbuat hal-hal konyol seperti itu???”

Lalu saya perbaiki. Hal-hal yang terasa konyol saya ubah atau hilangkan. Lalu saya baca kembali, dari awal lagi, dan menemukan kejanggalan-kejanggalan lagi, kemudian dongkol lagi, mengubahnya lagi, lalu saya merasa ingin bunuh diri karena frustrasi.

Untuk menghilangkan niat bunuh diri, saya pun biasanya menutup naskah itu dari layar monitor. Lalu meneguk minuman dan menyulut rokok. Setelah mengembuskan asap rokok dan terlupa pada niat bunuh diri, saya pun membuka naskah novel itu lagi. Lalu… frustrasi lagi…!!!

Ya ampuuuuuuuuuun, pikir saya. Kapan novel ini akan selesai…???

Kalau kau berpikir menulis novel itu gampang, kau keliru. Orang kadang berpikir menulis novel lebih mudah dibanding menulis buku ilmiah atau nonfiksi, karena novel hanya berdasar imajinasi. Faktanya, bagi saya, menulis novel sama sulitnya—bahkan terkadang lebih sulit—dibanding menulis buku ilmiah atau nonfiksi.

Ketika menulis buku nonfiksi (ilmiah) dan kemudian terbentur pada fakta-fakta yang terasa janggal, si penulis bisa melacak dan menelusuri hal itu melalui literatur dan referensi. Dari situ biasanya masalah pun akan selesai—yang keliru dapat dibetulkan, yang janggal dapat diluruskan—dan si penulis pun bisa tenang kembali.

Nah, berbeda dengan menulis novel. Benar, menulis novel adalah kerja imajinasi karena novel memang cerita fiksi. Tetapi, justru di situlah letak masalahnya. Ketika alur cerita terasa tidak wajar, atau tokoh/karakternya terasa janggal, atau ada hal-hal lain yang tak masuk akal, si penulis harus meluruskannya dengan berdasar pada imajinasinya sendiri. Dialah yang harus mereka-reka sepenuhnya semua cara dan upaya agar cerita yang dibangun benar-benar tepat dan wajar serta masuk akal—dan kenyataan semacam itulah yang sekarang saya alami.

Seperti yang sudah saya katakan di atas, saya telah membaca naskah novel ini lebih dari seratus kali, tapi tetap merasa belum tenang. Kadang-kadang, ketika sudah merasa sangat frustrasi, saya pun berkata pada diri sendiri, “Ya sudahlah, mungkin novel ini memang tak ditakdirkan terbit.”

Tetapi, ya Tuhan, saya sudah telanjur sayang pada tokoh-tokoh yang saya ciptakan dalam novel itu, dan saya pun ingin melihat mereka “hidup” dalam sebuah buku. Maka, dengan menahan frustrasi dan keinginan untuk bunuh diri, saya pun—mau tak mau—kembali menggarap naskah novel itu, dan hari-hari berganti, sementara novel itu tak juga bisa dianggap selesai.

Di antara semua novel yang pernah saya tulis, novel ini saya rasa paling berat dalam penggarapannya. Dan saya tak pernah menyangkanya sama sekali! Ketika merancangnya dalam pikiran, saya membayangkan menggarap novel ini tak akan terlalu sulit. Tetapi, seperti yang saya bilang tadi, ternyata kenyataannya jauh berbeda.

Sialnya, bila sedang terjebak dalam penulisan yang bikin frustrasi seperti itu, saya jadi seperti orang tidak waras. Pertama, saya akan lupa mandi (sebenarnya sih malas!). Kedua, rumah saya akan berantakan sekali. Ketiga, puntung rokok akan memenuhi semua ruangan, dan asbak-asbak akan menggunung.

Sebenarnya ada hal keempat dan kelima, tapi saya malu menuliskannya. :D

Nah, kadang-kadang, untuk menghibur diri, saya pun membuka email-email yang masuk ke inbox sambil berharap menemukan email-email yang lucu. Tapi sialnya, yang saya dapati malah kata-kata, “Hei Hoeda, kamu pasti orang jenius, ya?”

Jenius apanya…??? Kalau saja kalian melihat isi rumah saya sekarang, kalian pasti akan berkata, “Hei Hoeda, kamu pasti tidak waras, ya?”

Curhat Novel (1)

Saya sering terharu sekaligus dongkol saat membaca email dari para pembaca buku saya. Terharu, karena email mereka membuat saya merasa yang saya lakukan itu berharga, bahwa buku-buku yang saya tulis memberikan sesuatu untuk pembacanya. Tetapi juga dongkol, karena email-email itu kadang isinya tak masuk akal—khususnya menurut saya.

Sering sekali saya mendapati varian kalimat seperti ini dalam email-email yang saya terima, “Hei Hoeda, kamu hebat sekali ya, bisa menulis terus-menerus tanpa henti, di blog, buku, novel… Bagaimana caramu menulis sampai bisa produktif seperti itu? Apa kamu tidak stres menulis sebanyak itu? Kamu pasti orang jenius, ya?”

Saya orang jenius…??? Yang benar saja!

Kalian tidak tahu bagaimana kerja saya, jadi tidak bisa melihat bagaimana kacau dan gilanya saya selama mengerjakan buku-buku dan novel itu. Dan sekarang saya mau curhat pada kalian semua, karena saat ini kepala saya mau pecah. Benar, rasanya kepala saya mau pecah gara-gara mengerjakan sebuah novel yang tak juga selesai, dan saya berharap semoga curhat ini bisa cukup menjawab siapa pun yang telah salah sangka dan berpikir saya orang jenius.

Sekitar empat tahun yang lalu (dengarkan curhatkuuu…!!!) saya menulis sebuah novel. Sejak awal merancangnya, saya sudah berencana untuk membuatnya dalam genre drama (romance). Tetapi, agar novel itu punya ciri yang berbeda, saya membuat plot kisahnya berjalan cepat, dengan akhir cerita agak sulit ditebak. Sewaktu menuliskan jalan ceritanya, saya sama sekali tak menyangka kalau novel itu akan jadi tebal sekali. Saat selesai, tebal naskahnya mencapai 600 halaman.

Kenapa bisa setebal itu? Biar saya ceritakan.

Dalam kisah novel itu, saya mengangkat cerita tentang gemerlap dunia artis, yang saya “benturkan” dengan kehidupan idealis di kampus. Dua hal itu—gemerlapnya dunia artis dan idealisnya dunia kampus—diikat dengan sebuah kisah cinta. Setting lokasinya di tiga kota—Semarang, Jakarta, dan Bogor. Dan, seperti biasa yang terjadi pada novel-novel saya, novel ini pun menggunakan multi-plot dan multi-karakter.

Untuk menghidupkan kisah itu, saya pun melakukan riset cukup panjang untuk mendalami kehidupan artis dan segala macam kesibukannya—dari aktivitas syuting, proses kasting, perjalanan dari skenario hingga tercipta menjadi tontonan di televisi, sampai pada hal-hal keseharian yang biasa dijalani para artis dan selebriti. Sedang untuk mengetahui dunia kampus, saya tidak kesulitan, karena pernah menjalaninya sendiri.

Nah, agar pembaca nantinya bisa merasa “masuk” ke dalam kisah novel itu, saya pun menuliskan deskripsi atas riset di atas dengan cukup detail—sehingga pembaca akan tahu seperti apa sebenarnya kehidupan di balik gemerlapnya para artis, serta bagaimana kehidupan sesungguhnya yang ada di balik dinding-dinding kampus. Pemaparan tentang hal inilah yang kemudian menyita cukup banyak halaman naskah novel tersebut—hampir sepertiga dari keseluruhan halaman naskah—sehingga total tebalnya mencapai 600 halaman.

Terlalu tebal untuk sebuah drama, pikir saya waktu itu. Maka saya pun berencana untuk merevisi, dan mengedit serta memangkas bagian-bagian yang kurang perlu, agar halamannya tak terlalu tebal. Tetapi rencana itu sempat tertunda lama karena kemudian saya mengerjakan naskah-naskah lain. Selama satu tahun kemudian, naskah novel itu pun hanya mengendap dalam harddisk komputer tanpa pernah saya sentuh.

Sewaktu ingat pada naskah novel itu, saya pun mulai menggarapnya kembali. Seperti yang sudah saya rencanakan semula, saya mulai memangkas bagian-bagian yang tidak terlalu penting, dan jumlah halamannya pun menipis. Sekarang menjadi 500 halaman. Saya baca kembali, saya edit lagi, dan halamannya terus berkurang. Tetapi penggarapan novel itu terhenti kembali ketika saya mulai mengerjakan naskah lain lagi, yang sudah dikejar deadline penerbit.

Lanjut ke sini.

Selasa, 08 Maret 2011

Dua Perempuan (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, jika saya memikirkan kembali kasus itu, saya kadang berpikir, mungkin saja persaingan tidak masuk akal semacam itu terjadi karena waktu itu mereka masih sama-sama “anak kecil”. Ya maklumlah, siswa SMA kan belum bisa dibilang sudah “matang”. Karenanya, kalau kemudian mereka bermusuhan hanya karena hal sepele semacam itu, sepertinya saya perlu memaklumi. Tapi ternyata saya keliru!

Pada waktu saya kuliah, kisah yang tak jauh berbeda kembali terjadi. Kali ini, kisah ini “diperankan” oleh dua mahasiswi bernama Maria dan Icha (keduanya juga nama samaran).

Sebagaimana Vina dan Liany dalam kisah di atas, Maria dan Icha juga dua mahasiswi yang paling menarik perhatian di kampus karena sangat cantik. Kami semua satu semester, dan kebetulan saya akrab dengan mereka—hingga saya cukup tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sama seperti kisah di atas, kisah ini pun sama-sama tidak masuk akal.

Semenjak kami semester satu, saya belum pernah melihat Maria dan Icha saling bicara atau sekadar saling menyapa. Saya menganggap hal ini aneh, karena semester awal itu kami sekelas, sehingga bisa dikatakan mereka pasti saling mengenal. Lebih dari itu, saya mengenal keduanya sebagai cewek-cewek yang cukup ramah. Tetapi, hingga kami semua sampai di semester tiga, kedua cewek itu tak pernah saling bertegur sapa.

Sampai kemudian, saya tahu kalau keduanya ternyata saling “bermusuhan”, dan akar permusuhan mereka benar-benar tidak jelas sekaligus tidak masuk akal. Ironisnya, saya termasuk cowok yang “terlambat ngerti”.

Jadi, suatu hari, sepulang kuliah, Icha meminta saya untuk mengantarkan pulang ke rumahnya. Saya bersedia. Kebetulan, waktu itu, saya sudah berencana untuk ke tempat kost Maria, untuk meminjam buku catatan kuliah. Jadi, saya pun bilang pada Icha, “Kita ke kosan Maria dulu ya, ntar dari sana kita ke rumahmu.”

Di luar dugaan, Icha marah. “Kalau gitu nggak usah aja!” katanya dengan wajah yang tidak enak dilihat.

Dasar tolol, saya bertanya dengan tolol, “Nggak usah apa?”

“Kalau jadi nganter, kita nggak usah ke kosan dia!” ujarnya dengan benci. “Kalau kamu mau ke kosan dia, aku mau pulang sendiri aja!”

Bahkan Icha tidak mau menyebut nama Maria, pikir saya dengan bingung.

Akhirnya saya mengalah. Saya mengantarkannya pulang, dan menunda acara saya ke tempat kost Maria. Dalam perjalanan siang itu, saya mencoba bertanya pada Icha, ada masalah apa antara dia dengan Maria. Tapi Icha hanya menjawab dengan suara tidak jelas, bahasa tidak jelas, dan isyarat tidak jelas. Intinya, dia tidak mau menjawab.

Malam harinya, saya pergi ke tempat kost Maria untuk meminjam buku catatan kuliah, sebagaimana yang sudah kami janjikan. Sewaktu kami mengobrol di tempat kostnya, saya mencoba menanyakan juga kepadanya, ada masalah apa dengan Icha. Sama seperti Icha, Maria langsung pasang muka jutek ketika mendengar pertanyaan itu. Akhirnya, setelah saya cukup mendesak karena penasaran, Icha bersabda, “Tanya aja sama dia!”

Seiring bergantinya semester, Icha dan Maria masih terus saling mendiamkan, tak pernah tegur sapa, apalagi sampai akrab. Saya sudah mencoba mencari tahu apa sebenarnya akar masalah mereka, tapi tidak ada yang bisa menjawab apalagi menerangkan. Sampai kemudian, saya ngobrol berdua dengan Risti (juga nama samaran) di kantin kampus, ketika kami sama-sama bolos kuliah.

Risti adalah sohib akrab Icha. Di kantin itulah, tanpa sengaja obrolan kami nyambung ke topik Icha dan Maria. Saya pun memberanikan diri untuk bertanya pada Risti soal akar masalah kedua cewek tadi, dan reaksi Risti benar-benar mengejutkan. Dia tertawa! Ingat, Risti adalah sahabat dekat Icha, jadi dia pasti tahu masalahnya.

“So, kenapa kamu ketawa?” tanya saya dengan bingung.

“Masak sih kamu nggak tahu?” tanyanya dengan nada tidak percaya.

“Apa yang harus aku tahu? Jadi, kenapa mereka bermusuhan?”

“Ya ampun!” serunya sambil kembali tertawa. “Kamu kan akrab dengan mereka. Masak kamu nggak tahu apa masalahnya?”

Saya jadi makin bingung. “Sumpah, aku nggak tahu. Dan, tolong jawab aja deh, nggak usah bikin aku penasaran gitu.”

Dan Risti pun kemudian menjelaskan—setelah dia yakin kalau saya benar-benar tidak tahu. Saya masih ingat, caranya menjelaskan waktu itu seolah-olah saya adalah cowok paling tolol sedunia.

Jadi, ternyata akar masalah yang menjadikan Icha dan Maria saling mendiamkan dan seperti bermusuhan itu, tidak jauh beda dengan akar masalah yang terjadi antara Vina dan Liany di SMA saya dulu. Mereka berkompetisi, karena keduanya sama-sama menyadari diri mereka cantik, dan karena keduanya sama-sama menjadi pusat perhatian terbesar di kampus kami.

Ini aneh, pikir saya. Dan tak masuk akal. Dan ketika hal itu saya lontarkan kepada Risti, dia kembali tertawa. Menurutnya, “Ya begitulah cewek.”

Ya begitulah cewek. Bagi Risti, yang seorang perempuan, itu sudah menjadi semacam kesimpulan yang menjelaskan segala-galanya. Tetapi, bagi saya, itu adalah hal paling tak masuk akal yang tetap juga belum saya pahami hingga hari ini.

Saya tidak tahu apakah setiap perempuan cantik memiliki “masalah” sebagaimana yang saya ceritakan di atas. Tetapi, yang jelas, Icha dan Maria tetap tak pernah akrab hingga mereka wisuda.

Hari ini, setiap kali saya mengenang Vina dan Liany, atau teringat pada Icha dan Maria, saya sering geleng-geleng kepala sendiri, karena menyadari bahwa saya mungkin masih butuh waktu untuk dapat memahami mereka.

Hari ini, Liany telah menjadi model iklan, dan saya kadang mendapati foto-fotonya di majalah. Dia masih secantik yang dulu, dengan hidung yang mancung dan mata sipitnya yang indah. Dan setiap kali saya mendapati foto dirinya di majalah, tanpa sadar saya tersenyum sendiri, dan membatin, “Ah, perempuan…”

Dua Perempuan (1)

Ini kisah “aneh dan tak masuk akal” tentang dua perempuan, yang sampai sekarang belum juga dapat saya pahami.

Bertahun-tahun lalu, ketika masih SMA, saya berkawan dengan Liany dan Vina (semua nama samaran). Kami ada dalam satu kelas. Dua cewek itu—Liany dan Vina—adalah dua cewek yang paling menyedot perhatian semua bocah di SMA kami. Keduanya sangat cantik, dan—entah disengaja atau tidak—mereka duduk di satu meja. Karenanya, para guru lelaki biasanya akan sering memandang ke arah meja mereka sewaktu mengajar—mungkin sekadar mengagumi kecantikan mereka.

Nah, suatu hari terjadi insiden yang tak masuk akal.

Pada waktu itu internet belum ada, apalagi Friendster dan Facebook. Jadi, cewek-cewek yang narsis pada waktu itu menggunakan album foto sebagai sarana narsis mereka. Yang waktu itu menjadi tren adalah berfoto untuk koleksi satu album. Jadi, waktu itu, cewek-cewek yang tergolong narsis biasanya akan menghubungi studio foto atau fotografer profesional untuk membuat foto-foto bagus, kemudian memajang koleksi foto itu dalam sebuah album.

Nah, hal semacam itu pula yang dilakukan Liany dan Vina waktu itu. Seperti cewek-cewek lain, Liany dan Vina menghubungi seorang fotografer profesional, dan mereka membuat foto-foto outdoor yang hasilnya memang sangat mengagumkan. Kecantikan mereka seperti bertambah sepuluh kali lipat dalam foto-foto itu! Dan karena dibuat oleh fotografer profesional, kualitas fotonya pun bisa dibilang setara dengan foto-foto artis yang biasa kita lihat di majalah.

Foto-foto kedua cewek itu dilihat oleh teman-teman dekat, khususnya teman sekelas. Kemudian, karena foto-foto itu memang mengesankan, beritanya pun menyebar dari mulut ke mulut, sehingga banyak orang yang penasaran. Jadi, perlahan namun pasti, kawan di sekolah kami yang menyaksikan foto-foto itu pun semakin banyak—meski kedua cewek di atas tidak sembarangan memperlihatkan foto mereka.

Kemudian, dalam obrolan, mereka yang telah menyaksikan foto-foto itu pun saling melontarkan pendapatnya. Misalnya, “Eh, menurutmu, foto Liany dan Vina tuh cantik mana?” Lalu terjadi silang pendapat. Sebagian orang menganggap Vina lebih cantik. Sebagian lagi menyebut Liany yang lebih cantik.

Selentingan soal masing-masing pendapat itu kemudian sampai ke telinga Vina dan Liany—dan hal yang paling tidak masuk akal mulai terjadi.

Semenjak itu, Vina dan Liany seperti mulai saling berkompetisi untuk meyakinkan diri bahwa dialah yang lebih cantik. Dan di dalam kompetisi itu, keduanya mulai saling mendiamkan. Lalu Vina pindah tempat duduk, sehingga tak lagi berdampingan dengan Liany di satu meja. Setelah itu, kompetisi itu pun berubah menjadi semacam persaingan terang-terangan. Masing-masing cewek itu seperti berupaya sekeras yang mereka bisa untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih cantik dibanding saingannya.

Peristiwa itu terjadi ketika kami masih kelas satu. “Hebatnya”, persaingan itu tetap belum berhenti ketika kami telah sama-sama naik ke kelas tiga. Jadi, kedua cewek yang amat cantik itu saling mendiamkan selama tiga tahun, saling bersaing selama tiga tahun, dan “permusuhan” mereka tetap belum selesai hingga kami semua lulus dari SMA.

Menurut saya, ini benar-benar tidak masuk akal. Akar masalah mereka hanyalah soal pendapat orang yang didasarkan pada foto-foto mereka. Tetapi hanya karena masalah yang amat sangat super duper sepele itu, keduanya saling mendiamkan, bersaing dan bermusuhan, sampai tiga tahun, bahkan sampai mereka lulus dari SMA!

Lanjut ke sini.

Daur Hidup, Alur Waktu

Hidup itu seperti koin. Kau bisa membelanjakannya
seperti yang kau inginkan, tetapi ingat, itu hanya sekali saja.
Lillian Dickson


“Alangkah indahnya kehidupanku,” kata Sidonie Gabrielle Colette, novelis Prancis, “aku hanya menyayangkan mengapa aku tidak menyadarinya lebih dini.”

Kehidupan ini begitu indah, dan menyenangkan. Alasan mengapa Tuhan memberikan kehidupan kepada kita, salah satunya untuk menyadarkan kita bahwa hidup ini indah. Namun sayangnya, kita sering kali tak mampu memahami keindahannya.

Saat masih anak-anak, kita berharap agar cepat besar dan menjadi remaja. Saat berangkat remaja, kita ingin cepat matang untuk menjadi dewasa. Ketika dewasa, kita buru-buru menjadi orang tua. Dan setelah menjadi orang tua... kita ingin kembali menjadi remaja, bahkan anak-anak.

Waktu berlalu, dan memang mudah sekali untuk menyia-nyiakan hidup; hari-hari kita, jam-jam kita, menit-menit kita. Mudah sekali untuk sekadar ada dibanding untuk benar-benar hidup. Padahal misi kita di dunia ini, kalau kita mau menerimanya, adalah untuk tidak sekadar ada, melainkan untuk hidup.

Syair Sanskerta menyanyikan, “Setiap hari ini yang dijalani dengan baik, membuat hari kemarin bagai mimpi yang membahagiakan, dan hari esok penuh harapan. Karena itu, jagalah satu hari ini, karena dia dan hanya dialah kehidupan.”

Apakah kita mencintai kehidupan? Kalau ya, dengarkan nasihat George Bernard Shaw yang bijak itu, “Jangan menyia-nyiakan waktu, karena waktulah yang menciptakan kehidupan.”

Apakah kita ingin mengetahui nilai waktu satu tahun? Tanyakan pada seorang siswa yang gagal dalam ujian kenaikan kelasnya.

Untuk mengetahui nilai waktu satu bulan? Tanyakan pada seorang ibu yang melahirkan bayi prematur.

Untuk mengetahui nilai waktu satu minggu? Tanyakan pada editor majalah mingguan.

Untuk mengetahui nilai waktu satu hari? Tanyakan pada seorang buruh harian yang punya enam anak untuk diberi makan.

Untuk mengetahui nilai waktu satu jam? Tanyakan pada kekasih yang tengah menantikan waktu bertemu.

Untuk mengetahui nilai waktu satu menit? Tanyakan pada seseorang yang ketinggalan pesawat.

Untuk mengetahui nilai waktu satu detik? Tanyakan pada orang yang selamat dari kecelakaan.

Untuk mengetahui nilai waktu satu milidetik? Tanyakan pada seorang yang memenangkan medali di Olimpiade.

....
....

“Manusia yang berani membuang satu jam waktunya,” kata Charles Darwin, “berarti ia belum menemukan nilai kehidupan.”

Setelah Badai Berlalu



Suatu penelitian medis melaporkan bahwa kira-kira satu dari setiap 400.000 bayi yang dilahirkan setiap tahun di dunia ini ditakdirkan berumur pendek dan menyedihkan, sehingga tidak ada seorang pun yang menginginkannya. Apabila bayi itu telah tumbuh, ia akan sering cedera, kadang-kadang sampai parah, tetapi dia tidak menyadarinya karena sama sekali tak merasa sakit apa-apa.

Anak itu mengidap penyakit familial disautonomia. Ia tidak merasa sakit, meski terluka, terbakar, atau terjatuh lalu patah tulangnya. Ia juga tidak pernah mengalami sakit kepala atau sakit perut, dan orangtuanya tidak pernah tahu bila ia sedang sakit, hingga kemudian kematian pun datang menjemput karena segala usaha pertolongan telah sia-sia karena terlambat.

Maukah kita menjadi orang yang tidak pernah sakit seperti itu? Memang tidak pernah sakit, tapi juga tidak pernah sembuh! Rasa sakit adalah bagian dari hidup. Ia memang terasa tidak menyenangkan, tetapi bagaimana pun juga, kita memerlukannya.

Segala sesuatu ada hikmahnya, begitu pula rasa sakit.

Apa yang akan terjadi jika kita dijemur cahaya matahari setiap hari? Kita akan terbakar sinar matahari atau mungkin terkena kanker kulit! Apa yang akan terjadi jika kita terkena air hujan setiap hari? Kita akan menderita pneumonia atau mungkin mati kedinginan! Sekilas, tampaknya dua hal itu membawa akibat yang menakutkan, tetapi kita juga tahu dua hal itu memberikan manfaat yang luar biasa besar untuk kehidupan.

Hal itu juga berlaku pada hal lain dalan hidup ini; sesuatu yang sekilas tampaknya menakutkan dan memberikan efek yang tidak mengenakkan, sebenarnya juga membawa manfaat dalam diri kita

So, marilah kita menempatkan sesuatu yang terjadi dalam hidup kita dalam perspektif yang positif, dan marilah kita memahaminya dengan pikiran yang positif. Berulang-ulang kali hidup ini membawakan sesuatu kepada kita, dan kita buru-buru memandang bahkan memvonisnya sebagai sesuatu yang negatif karena kita menempatkannya secara salah, dan memandang serta menilainya secara salah pula.

Kehidupan di dunia ini tidak selalu berjalan dengan lemah-lembut tanpa gejolak. Kehidupan juga terkadang berisi gelombang dan badai yang menerjang diri kita.

Kadang gelombang itu kecil dan kita masih bisa bertahan, tetapi terkadang juga badai itu begitu besar hingga kita merasa kewalahan menghadapinya. Tetapi satu hal yang pasti; kehidupan terus berjalan, dan setelah angin serta badai mengguntur, musim semi selalu menanti. Setelah melalui malam yang paling gelap, kita pasti menjemput pagi.

Heart Warrior Chosa menulis, “Dalam saat tergelap, jiwa diisi kembali dan diberi kekuatan untuk meneruskan dan bertahan.” Jadi, teruslah bertahan dan teruslah berjalan meskipun cuaca begitu buruk, karena matahari tetap bersinar cerah setelah badai berlalu.


Miskin, Bodoh, Kuper, tapi Sukses (5)



Tetapi sekarang Honda menghadapi tantangan baru; ia harus bisa membuktikan kepada dunia bahwa Jepang mampu membuat sepeda motor yang tidak kalah dengan produksi Eropa, baik dalam kecepatannya maupun dalam keandalannya. Maka Honda pun pergi ke Eropa, membeli sebuah sepeda motor terbaik yang ada di sana, membawanya kembali ke Jepang, dan mempretelinya untuk diteliti. Sesudah itu, ia pun menciptakan motor balapnya sendiri.

Motor balap itu kemudian diikutkan dalam perlombaan, dan hasilnya sangat memuaskan. Dalam beberapa tahun semenjak itu, reputasi Honda menyebar kemana-mana, dan berbagai model motor produksinya, dari model skuter sampai model balap, membanjiri pasar dunia. Dari tahun ke tahun, cabang-cabang Honda bermunculan di negeri-negeri di seluruh dunia, termasuk Brasil, Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Peru, Perancis, Thailand, Inggris, Swiss, Belgia dan Australia.

Dalam buku hariannya, Honda menulis, “Kinilah waktunya untuk mulai mewujudkan impianku yang lain; memenangkan turnamen Formula Satu. Ini mungkin impian yang mustahil. Tetapi aku akan menghabiskan waktu, tenaga dan pikiranku untuk impian itu. Aku tahu impianku akan terwujud, dan aku akan menang dalam turnamen itu, cepat ataupun lambat.”

Setelah sukses dalam sepeda motor, Honda melebarkan sayapnya pada industri mobil. Pada tahun 1962, Honda Motor Company secara resmi menyatakan diri memasuki dunia pembuatan mobil. Tugas Honda tidaklah mudah. Keputusannya itu berarti menghadapi saingan dari Amerika Serikat yang waktu itu telah merajai industri mobil.

Sekali lagi Honda menguji impiannya pada persaingan untuk menembus pasar ini. Dan pelan namun pasti, impian Honda untuk bisa memproduksi mobil pun tercapai. Ia kemudian memasukkan mobil buatannya ke perlombaan Formula Satu yang bergengsi itu.

Walaupun pada mulanya banyak menghadapi masalah, namun impian besar Honda terwujud pada tanggal 24 Oktober 1962, ketika salah satu mobil buatannya menang dalam kompetisi penting itu, dengan mengalahkan mobil-mobil terkenal seperti Ferrari dan Lotus, hasil produksi pabrik-pabrik yang telah berpengalaman selama bertahun-tahun dalam perlombaan dan riset.

Karena dorongan kemenangan-kemenangan ini, Honda memutuskan untuk mulai membuat mobil untuk kepentingan umum pada tahun 1967. Ia mengkonsep sebuah mobil yang hemat bahan bakar, dan karenanya ia memutuskan untuk membuat mobil-mobil yang ukurannya tidak terlalu besar.

Ternyata keputusan Honda benar-benar tepat. Krisis minyak yang terjadi pada tahun 1970-an, yang pada waktu itu sama sekali tidak diduga akan terjadi, membuat mobil-mobil ciptaannya lebih disukai orang dibanding mobil-mobil lain yang boros bahan bakar dan kurang ekonomis.

Karena dampak krisis minyak ini pulalah, para produsen mobil lainnya terpaksa mendesain ulang mobil produksi mereka untuk mengurangi pemakaian bahan bakar. Industri mobil Amerika membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk merebut kembali posisinya di pasar dunia.

Sementara para pesaing masih bingung memutuskan untuk mendesain ulang mobil-mobil produksinya, Honda membanjiri pasar dengan mobil berukuran kecil yang dicintai konsumen; Honda Civic.

Lebih dari itu, Honda adalah pabrik pertama yang memasang alat anti polusi pada mobilnya. Karena itu, ketika pemerintah mulai memberlakukan undang-undang anti polusi, Honda Motor Company sudah siap memenuhi standar baru tersebut, sementara para pesaingnya masih bergelut untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang baru. Faktor lain yang menunjang sukses Honda adalah penggunaan alat-alat robot dalam pabriknya, sesuatu yang waktu itu belum dikenal di pabrik-pabrik para pesaingnya.

Kisah keberhasilan Soichiro Honda merupakan contoh yang baik sekali untuk membuktikan bahwa impian mungkin saja dicapai seseorang yang mulai dengan modal seadanya, bahkan dalam keadaan yang sangat sulit sekalipun.

Selama masa-masa perang, Jepang adalah negeri yang hancur. Gaji rata-rata rakyatnya hanya 600 dolar setahun. Apa yang kemudian disebut sebagai “Keajaiban Jepang” itu terjadi berkat orang-orang yang berani bermimpi dan berani mewujudkan impiannya seperti Soichiro Honda. Ingatlah dia setiap kali kita mengeluh bahwa situasi ekonomi menghambat kita untuk bisa meraih impian.

Dan besok, setiap kali kita melihat motor atau mobil produksi Honda yang pasti akan kita temui di jalanan mana pun, ingatlah tentang seorang bocah lelaki miskin yang merasa dirinya jelek, dianggap bodoh, dan rendah diri, namun berhasil mencapai impiannya yang gemilang...


Miskin, Bodoh, Kuper, tapi Sukses (4)



Setelah Perang Dunia usai, Honda terus merenung dan berpikir untuk kembali membangun impiannya yang telah hancur. Ia tahu saat itu situasi ekonomi negerinya sangat menyedihkan bagi para industrialis.

Namun Honda memiliki suatu pikiran lain; waktu itu angkutan umum sama sekali hancur akibat pemboman besar-besaran selama masa perang. Yang ada hanya kereta api dan bus. Mobil dan bahan-bahan bakarnya sama-sama langka. Orang Jepang kembali ke zaman sepeda, dan inilah alat angkutan yang paling populer waktu itu.

Honda memiliki ide yang sederhana sekali, tetapi cemerlang, dan sangat sesuai dengan kebutuhan orang banyak waktu itu; dia memasang mesin motor pada sepeda, dan menghasilkan sepeda bermotor dengan harga murah.

Mula-mula, dia hanya mengubah motor-motor bekas yang dibelinya dengan harga murah dari angkatan perang yang sudah tidak dipakai lagi. Dalam waktu yang tak terlalu lama, sepeda bermotor buatannya segera menjadi barang kegunaan banyak orang. Karena makin banyaknya permintaan, sedang persediaan motor bekas dari angkatan perang sudah habis, Honda pun terpaksa membuat sendiri motornya. Maka lahirlah motor pertama yang ia namai: Honda Model A.

Motor inilah yang pertama kali mulai disebut sebagai “sepeda motor”. Dan gambar “sepeda motor” ini pulalah yang terdapat dalam iklan di koran, yang saya ceritakan dalam awal tulisan ini.

Sepeda motor pertama buatan Honda itu terjual dalam jumlah yang sangat banyak. Suksesnya sepeda motor ini karena Honda secara pintar telah menemukan cara menghemat bahan bakar dengan cara mencampurkan damar pada bahan bakar, dan dengan menciptakan karburator yang cocok.

Terpacu oleh kelahiran kembali bisnisnya, Honda pun membuka suatu pabrik perakitan sepeda motor pada bulan Februari 1948. Tetapi ia tidak mau berhenti di situ saja. Ia tahu ia harus mampu menghasilkan produksi yang lebih baik, ia harus bisa menciptakan sepeda motor yang sebenarnya!

Rencananya ini terdengar gila-gilaan, karena sejak hancur leburnya Jepang karena bom atom Amerika, di Jepang sama sekali tak ada sepeda motor yang sebenarnya. Tetapi impian Honda adalah impian besar yang tidak dapat dihancurkan oleh apa pun. Tekadnya sekeras baja, dan ia siap mewujudkan impian itu, apapun risikonya!

Maka tepat pada tanggal 24 September 1948, Honda mendirikan Honda Motor Company, perusahaan pertamanya yang memproduksi “sepeda motor yang sebenarnya”. Produksi pertamanya kurang berhasil, sebab bodi sepeda yang diproduksinya tidak cukup kuat untuk menyangga beban motor. Tetapi setelah melalui kerja keras dan penelitian tanpa henti, Honda berhasil memperbaiki kekurangan itu.

Pada bulan Agustus 1949, lahirlah model pertama sepeda motor produksinya. Sepeda motor ini ia namakan ‘Dream’ (Impian). Sepeda motor ini hanya berkapasitas 98 cc dan 3 tenaga kuda.

Setelah menghasilkan sepeda motor model ‘Dream’, Honda mengembangkan sepeda motor model baru yang revolusioner; lebih cepat dan dengan suara mesin yang lebih halus. Hampir sepuluh tahun kemudian, model ini ditiru habis-habisan oleh produsen-produsen sepeda motor di seluruh dunia.

Sepeda motor Honda pun mencapai sukses yang belum pernah dicapai sebelumnya. Segera saja 900 unit sepeda motor tiap bulan keluar dari jalur perakitan pabriknya. Honda menghadapi kebutuhan untuk segera memperluas produksinya, memodernisasi pabriknya, bahkan juga mendirikan pabrik-pabrik baru.

Ia menghubungi bank dan menerima bantuan dana yang kemudian ia gunakan untuk membangun kembali pabriknya secara modern, dan mulai menghasilkan 25.000 unit sepeda motor setiap bulannya. Distributornya membengkak menjadi 13.000 di segala penjuru. Pabrik-pabriknya terus bertambah, dan Soichiro Honda pun menjadi jutawan.


Miskin, Bodoh, Kuper, tapi Sukses (3)



Honda bukan saja bekerja dengan keras dan tekun, tetapi ia juga kreatif. Pada zaman itu, jari-jari roda mobil terbuat dari kayu, dan tidak terlalu baik dalam meredam guncangan. Honda memiliki gagasan untuk menggantikan jari-jari itu dengan logam agar lebih kuat. Dan itulah yang kemudian dilakukannya. Pada usia 30 tahun, Honda menandatangani hak patennya yang pertama terhadap jari-jari roda yang terbuat dari logam. Ruji-ruji logam buatannya pun segera laku keras dan diekspor ke seluruh dunia.

Sedikit demi sedikit tumbuh pikiran dalam diri Honda untuk mulai melepaskan diri dari bosnya, dan mulai mendirikan perusahaan sendiri. Teman-temannya meminta agar ia mengurungkan niat gila itu, tetapi Honda tetap memilih untuk keluar dari pekerjaannya. Ia tetap berniat untuk memiliki perusahaan sendiri.

Apa spesialisasi yang akan diambilnya? Ia melihat ring piston akan memiliki prospek yang baik. Maka Honda pun nekat. Meski teman-temannya tidak terlalu mendukung gagasannya, Honda menanamkan seluruh tabungan yang dimilikinya dan membangun sebuah pabrik ring piston sendiri.

Tes produk pertamanya gagal. Ring buatannya terlalu lentur, dan tidak laku dijual. Honda ingat bagaimana reaksi teman-temannya yang mencibir kegagalannya dan menyalahkan tekadnya untuk membuka perusahaan sendiri. Karena tekanan itu dan karena kegagalan yang parah itu, Honda sampai jatuh sakit cukup serius. Tetapi karena tekadnya yang membaja, ia segera bangun kembali setelah dua bulan terkapar di atas tempat tidur, dan kembali membangun puing-puing impiannya.

Honda berpikir bagaimana caranya agar bisa memperoleh pengetahuan membuat ring piston yang baik, agar perusahaannya dapat berjalan. Ia mencoba menanyakan hal itu pada perusahaan lain yang memproduksi ring piston, namun mereka tutup mulut dan tak membukakan rahasianya. Untuk orang lain, mungkin mereka akan angkat tangan dan menyerah kalah, namun untuk Soichiro Honda, tidak!

Honda pun mengambil keputusan; ia akan mendaftar masuk kuliah dan mengambil jurusan mesin!

Maka begitulah; hidup baru dimulai. Setiap pagi, Honda berangkat ke kampusnya untuk kuliah, dan setelah itu ia bergegas kembali ke bengkelnya untuk mempraktikkan pengetahuan baru yang diterimanya. Selama dua tahun ia tekun kuliah dan mempelajari permesinan, namun sesudah itu ia dipecat dari universitasnya.

Masalahnya, Honda tidak mau mengikuti kuliah-kuliah lain selain yang berhubungan dengan pembuatan suku cadang! Untuk hal ini ia mengatakan, “Saya merasa bagaikan seorang yang tengah sekarat karena kelaparan, dan bukannya diberi makan, saya malah dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan segala pengaruhnya!”

Dia kecewa dengan pemecatan itu, dan mencoba menjelaskan kepada rektor universitasnya bahwa ia kuliah bukan untuk mencari ijazah melainkan untuk mencari pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap sebagai penghinaan!

Honda pun akhirnya benar-benar berhenti kuliah, dan kembali menghabiskan waktu di bengkelnya. Namun kali ini, ia telah menguasai pengetahuan yang dibutuhkannya. Pabriknya mulai bisa menghasilkan ring piston yang lebih baik. Ia telah bangkit. Perusahaannya mulai memperkuat posisi pasarnya, dan mulai dikenal sebagai penghasil barang yang baik dan berkualitas.

Tetapi kemudian Perang Dunia II meletus dan menghentikan semua kegiatan perusahaannya. Tepat pada bulan Juni 1945, bom yang dijatuhkan pesawat Amerika di Nagasaki dan Hiroshima menghancurleburkan pabrik-pabriknya. Impian besar yang telah dibangun Honda dengan susah-payah musnah dalam waktu sekejap!


Miskin, Bodoh, Kuper, tapi Sukses (2)



Karena bukan anak yang pintar, Honda hanya membaca buku dan bacaan-bacaan yang membahas satu bidang saja, yakni bidang mesin. Pada suatu hari ia membaca majalah dan melihat iklan lowongan kerja, dan merasa sangat tertarik. Lowongan kerja yang diiklankan itu adalah magang menjadi pegawai di garasi perusahaan Hart Shokai Company, sebuah pabrik mesin kendaraan. Ia sangat tertarik dengan pekerjaan itu, dan ia pun mengirimkan surat lamaran ke sana.

Beberapa hari kemudian, lamarannya diterima, dan saat itu juga Honda pun nekat meninggalkan desanya untuk pergi ke Tokyo. Waktu itu usianya baru 15 tahun.

Ketika sampai di perusahaan yang dituju, bos perusahaan itu terkejut melihat Honda yang ternyata masih terlalu kecil untuk dipekerjakan sebagai pegawai di pabriknya. Tetapi karena tidak tega untuk memulangkannya kembali, maka Honda pun diserahi pekerjaan lain; mengasuh anak bungsu bos perusahaan itu.

Honda kecewa, namun ia tak patah semangat. Ia rela menerima pekerjaan itu, sambil berpikir suatu saat nanti ia pasti akan memperoleh kesempatan bekerja di pabrik itu jika waktunya sudah tepat.

Maka begitulah, sambil menggendong anak bosnya yang masih kecil itu kesana-kemari, Honda pun bebas berkeliaran ke setiap sudut bengkel reparasi pabrik milik bosnya dan mengamati dengan cermat segala pekerjaan yang sedang ditangani orang. Karena ketekunannya memperhatikan, Honda pun merasa sudah bisa melakukan segala sesuatu yang dilakukan orang-orang yang bekerja di pabrik itu.

Waktu itu bisnis sedang tumbuh pesat, permintaan pasar begitu besar, sementara jumlah produksi terus kurang memadai. Majikan Honda pun kemudian berpikir bahwa mungkin inilah saat yang tepat untuk mempekerjakan Honda untuk menambah jumlah tenaga kerja agar bisa memperbanyak produksi.

Hari ketika pertama kali menerima pakaian kerjanya dirasakan Honda sebagai hari besar; akhirnya ia bisa bekerja di dunia permesinan yang selama ini amat mempesonakannya! Bocah lelaki ini segera saja memperlihatkan bahwa ia akan bisa menjadi ahli mesin yang baik. Setiap suara mesin yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, setiap karburator yang tidak beres, tak pernah luput dari perhatiannya.

Enam tahun lamanya ia bekerja di sebuah tempat yang baginya sangat menyenangkan itu.

Melihat hasil kerja Honda yang memuaskan, bosnya kemudian memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepadanya. Honda diminta untuk kembali ke kotanya, dan diminta membuka cabang perusahaan di sana. Tidak perlu dikatakan, Honda sangat bersemangat menerima tawaran ini, terutama karena ia akan bisa berkumpul lagi dengan keluarganya yang selama ini telah ia tinggalkan.

Rupanya, kota kelahiran yang telah ditinggalkan Honda selama bertahun-tahun itu telah mengalami banyak perubahan. Honda mengira dialah satu-satunya yang akan membuka bengkel mesin di kotanya, tetapi rupanya sebelum itu sudah ada dua bengkel besar yang telah beroperasi di kotanya.

Honda kemudian mencari cara terbaik untuk bisa tetap membuka bengkelnya, sekaligus mengalahkan saingan-saingannya. Ia segera menemukan dua cara. Pertama; ia harus bersedia melakukan pekerjaan-pekerjaan reparasi yang ditolak oleh bengkel-bengkel lain, dan kedua; ia harus bisa bekerja secepat mungkin dengan hasil yang sebaik mungkin agar si pemilik mobil bisa segera memakai mobilnya kembali.

Dengan dua resep sukses semacam itu, dalam waktu singkat bengkel milik Honda segera memperoleh cap yang baik dari para pelanggannya. Tentu saja, ia seringkali terpaksa bekerja sampai semalam suntuk agar besok pagi mobil yang direparasinya sudah bisa diambil oleh pemiliknya. Tetapi ia suka melakukan pengorbanan semacam itu, karena ia tahu bahwa masa depan yang baik menuntut bukan saja perjuangan, tetapi juga pengorbanan.


Miskin, Bodoh, Kuper, tapi Sukses (1)



Sepuluh tahun yang lalu, saya mendapati sebuah iklan berukuran besar di harian Kompas. Itu iklan perusahaan motor Honda. Iklan itu sangat menarik, hingga saya sampai mengguntingnya dan menempelkannya di ruang perpustakaan pribadi saya.

Isi iklan itu bukan tawaran untuk membeli motor Honda, tetapi sebuah inspirasi yang luar biasa. Iklan itu berlatar belakang warna yang menarik dengan tulisan besar ‘The Power of Dream’. Kemudian, di bawah tulisan itu ada gambar sepeda model kuno yang dipasangi mesin. Di bawahnya, dengan tulisan yang lebih kecil, iklan itu memuat tulisan tentang kekuatan sebuah impian, betapa sepeda model kuno yang dipasangi mesin sederhana itu kini telah menghasilkan kendaraan-kendaraan paling modern... karena kekuatan sebuah impian!

Ya, sepeda motor dan mobil produksi Honda yang hari ini memenuhi jalan-jalan raya, baik di desa maupun di kota di seluruh dunia, berawal dari sebuah impian seorang bocah lelaki miskin yang rendah diri, yang dianggap bodoh di sekolahnya, kuper sekaligus cupu, bernama Soichiro Honda. Tanpa bocah lelaki ini, kita tak akan mengenal Civic, Jazz, City, Supra, Kharisma, MegaPro, ataupun Nova Sonic.

Inilah salah satu bukti bahwa setiap orang berhak untuk memiliki impian, dan berhak mewujudkannya menjadi kenyataan, meski ia tidak cakep, meski ia miskin, meski ia dianggap bodoh oleh gurunya, meski ia rendah diri, meski ia hidup ketika negaranya porak-poranda karena dibom ketika Perang Dunia!

Soichiro Honda lahir pada tahun 1906 di sebuah desa kecil di Jepang. Pada usia yang masih sangat muda, Honda sudah sangat tertarik dengan mesin. Dalam buku biografinya, Honda menulis, bahwa pada usia dua atau tiga tahun, ia sudah merasa terkesan oleh bunyi mesin penggilingan yang tak jauh dari rumahnya.

Soichiro Honda mewarisi kesenangannya pada mesin dari ayahnya yang memiliki sebuah bengkel reparasi mesin-mesin pertanian, dan juga reparasi sepeda. Sementara orang-orang di desanya mencurahkan perhatian mereka pada pertanian, ayah Honda lebih memfokuskan hidupnya pada mesin dan teknologi. Akibatnya, keluarga Honda pun dianggap aneh, dan orang-orang di kampung mereka sering mengatakan bahwa mereka tak akan bisa hidup dengan mengandalkan bengkel mesin semacam itu.

Di sekolah, Honda bukan murid yang pandai. Ia sering merasa tidak paham dengan pelajaran-pelajaran yang disampaikan gurunya. Karenanya, ia lebih memilih untuk selalu duduk di bangku yang tak terlihat oleh gurunya, dan di sana ia duduk melamun sambil merancang gambar-gambar mesin yang terbayang dalam otaknya.

Sesungguhnya, Honda memang tidak menyukai sekolah. Ketidaksukaannya kepada sekolah itu mungkin karena ia selalu merasa rendah diri dikarenakan fisiknya. Ia mengaku kalau ia tidak tampan, memiliki tubuh yang lemah, dan juga miskin. Selama masa-masa sekolah itu, Honda benar-benar menderita karena perasaan rendah dirinya. Ia tak pernah percaya pada penampilan fisiknya sendiri. Karenanya, ia selalu menghindari acara-acara yang mengharuskannya tampil dengan alasan sakit atau dalih apa saja.

Tetapi Honda berpikir secara konstruktif. Ia tidak mau dihancurkan oleh rasa rendah dirinya. Ia ingin tetap bisa tampil percaya diri. Karena itulah dia kemudian mencari dari dirinya, sesuatu yang dapat ia banggakan, agar ia bisa tampil sedikit percaya diri.

Honda merasa bahwa satu-satunya hal yang diminati dan dikuasainya dengan baik hanyalah soal mesin. Karenanya, dia pun semakin memfokuskan diri pada hal itu, dan ia bertekad untuk menjadi yang terbaik dalam hal itu, mengalahkan siapa saja, agar dia bisa tampil dengan sedikit percaya diri!


Rabu, 02 Maret 2011

Kata Dessy Ratnasari, Takdir Memang Kejam

Tidak ada fakta, hanya interpretasi.
Friedrich Nietszche

Tidak ada sesuatu pun yang baik atau buruk,
hanya pikiranlah yang membedakannya.
William Shakespeare


Pada pertengahan 1990-an, Dessy Ratnasari menyanyikan sebuah lagu berjudul Takdir—ciptaan Chossy Pratama—dan lagu itu sempat menjadi polemik. Pasalnya, di dalam lagu itu ada kalimat yang berbunyi, “Takdir memang kejam”—di bagian reffrain.

Pada mulanya, lagu itu ‘baik-baik saja’—dalam arti tidak ada orang yang meributkannya, meski waktu itu sudah cukup populer. Tetapi karena lagu itu juga menjadi soundtrack untuk sinetron yang tayang hampir setiap malam, maka bocah-bocah kecil di kampung pun jadi cepat hafal—dan ada orang-orang tertentu yang kemudian merasa terusik.

Orang-orang-tertentu-yang-merasa-terusik itu lalu melayangkan protes terhadap pencipta dan penyanyi lagu tersebut, agar kalimat “takdir memang kejam” di atas diganti dengan kalimat lain. Mengapa? Karena, menurut mereka yang protes, kalimat tersebut tidak layak dan tidak benar, karena seolah-olah kita sedang menyalahkan takdir Tuhan.

Jika takdir dianggap kejam—mungkin begitu pikir mereka yang protes—maka berarti Tuhan juga kejam, karena Dialah si pemilik dan penentu takdir. Karenanya, menyebut takdir itu kejam sungguh tidak elok, khususnya lagi jika dinyanyikan dalam sebuah lagu.

Untungnya, Dessy si penyanyi dan Chossy si pencipta lagu, sangat kooperatif. Mereka tidak meributkan protes itu atau mengajukan argumentasi untuk melawan, tetapi segera mengganti kalimat “takdir memang kejam” menjadi kalimat lain. Setelah itu, lirik lagu itu pun jadi terdengar ‘aneh’—karena sebelumnya orang-orang sudah biasa menyanyikan, “Taaakdiiir memang kejam…”

Lalu benarkah takdir tidak kejam, sebagaimana yang diklaim orang-orang yang memprotes lirik lagu tersebut? Ataukah memang kejam sebagaimana yang dinyanyikan Dessy Ratnasari? Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya teringat salah satu mata kuliah di kampus dulu, yaitu Masa’ilul Fiqhiyah.

Masa’ilul Fiqhiyah adalah kuliah tentang cara menggunakan sumber hukum agama (al-Qur’an dan hadist) untuk menilai sesuatu apakah halal atau haram, benar atau salah. Materi mata kuliah ini adalah memperdebatkan suatu topik tertentu, dengan mendasarkan perspektif dari sumber ayat dan hadist yang berbeda.

Jadi, model kuliah Masa’ilul Fiqhiyah dibuat dalam bentuk diskusi yang mengarah pada perdebatan. Untuk setiap topik yang dipelajari, akan ada dua kelompok mahasiswa yang ditugaskan untuk mencari dan menggali sumber-sumber yang berbeda. Jadi, umpama hari ini Topik A akan dipelajari, maka sebagian mahasiswa akan mendasarkan perspektifnya pada hukum yang halal, sedang sebagian lagi akan mendasarkan perspektifnya pada hukum yang haram.

Setelah diberi waktu satu minggu untuk mempersiapkan semua materi yang dibutuhkan, acara kuliah yang sangat panas dan menegangkan pun dimulai. Sang dosen akan melemparkan topik itu ke tengah-tengah kelas dalam bentuk netral, dan kemudian dua kelompok mahasiswa yang sudah siap dengan setumpuk kitabnya akan memulai ‘peperangan’—untuk menentukan hukum atas topik itu, apakah halal atau haram, berdasarkan perspektif fiqih.

Selama berpuluh kali mengikuti mata kuliah ini, saya takjub menyaksikan betapa suatu topik tertentu selalu dapat dipandang dengan sudut pandang yang berbeda, dapat dihukumi dengan perspektif yang berbeda, dan kita selalu bisa menemukan sumber yang sahih untuk menilai apakah topik tertentu merupakan halal ataukah haram, benar atau salah.

Jadi, dalam setiap kuliah ini, masing-masing kelompok mahasiswa selalu mampu mengajukan argumentasinya yang kuat, dapat diverifikasi kesahihannya, berdasarkan hukum yang dapat diterima bersama—baik untuk penghukuman halal, ataupun untuk penghukuman haram. Ini sesuatu yang tak pernah terbayangkan bagi saya sebelumnya.

Bagi saya sendiri, Masa’ilul Figh adalah salah satu kuliah favorit, karena di dalam kuliah inilah saya tahu bahwa kita selalu dapat mengambil sudut pandang berbeda untuk menilai sesuatu yang sama.

Begitu pula cara memandang soal ‘takdir memang kejam’ yang dinyanyikan Dessy Ratnasari. Saya membayangkan, kalau saja topik ini dibawa ke kelas Masa’ilul Figh, maka hampir bisa dipastikan akan ada dua kubu yang sama-sama kuat dalam penilaiannya, dan mereka akan bisa sama-sama memiliki dasar hukum yang sahih untuk menilainya.

Jika diringkas dalam bahasa yang mudah, perspektif Masa’ilul Figh adalah soal pendapat. Karena sifatnya pendapat, maka masing-masing orang akan mengajukan pendapatnya berdasarkan apa yang telah dan pernah dipelajarinya, apa yang pernah dilalui dan dijalaninya. Karenanya pula, sungguh wajar dan masuk akal jika kemudian orang sering berbeda pendapat, karena memang begitulah kehidupan manusia; berwarna-warni, penuh dinamika, dan tidak seragam.

Karenanya, jika Dessy Ratnasari menyatakan, “Takdir memang kejam,” itu adalah pendapatnya. Jika itu adalah kesimpulan, maka artinya kesimpulan itu didasarkan pada apa saja yang dipelajari dan dipahami Dessy (atau orang lainnya) dalam hidup mereka. Dan jika kita memang memiliki pendapat sendiri, mengapa harus repot-repot meralat dan menyalahkan pendapat orang lainnya…?

“Tak ada yang benar atau salah,” kata Nietsczhe, “yang ada hanya interpretasi.”

Mungkin Nietsczhe terlalu skeptis. Tetapi interpretasi adalah memang sifat manusia. Bagaimana ia menilai dan menjalani hidupnya, juga bagaimana ia berpendapat atas sesuatu, selalu didasarkan pada interpretasi—karena manusia bukanlah Tuhan yang Maha Tahu. Interpretasi adalah cara manusia dalam memahami sesuatu. Karena pikiran manusia berbeda-beda, maka interpretasi tiap orang pun akan berbeda, begitu pula pendapatnya.

Jadi, apakah takdir memang kejam, sebagaimana yang dinyanyikan Dessy Ratnasari? Kita harus kembali pada interpretasi untuk menilainya secara arif.

Sekali lagi, ini adalah soal pendapat. Jika ada orang yang hidup penuh kesengsaraan, penderitaan, kemiskinan dan kelaparan, dan sepanjang hidupnya terus-menerus dizalimi orang lain, dan kemudian dia berkata, “Takdir memang kejam…” apakah kita harus meralat dan menyalahkan pendapatnya?

Mungkin saya hidup berkelimpahan dan penuh kebahagiaan, sehingga saya pun meyakini bahwa “takdir memang asoy”. Tetapi, saya pikir, bukanlah hak saya untuk menyalahkan orang lain jika mereka menyatakan pendapat yang berbeda atas takdir manusia. Saya menilai sesuatu berdasarkan pendapat saya, dan orang lain pun menilai sesuatu berdasarkan pendapatnya. Tak ada yang berbeda di sini. Semua hanya soal interpretasi.

Kata para filsuf, “Apakah kau memandang hidupmu sebagai surga atau sebagai neraka, kau benar.”

Karenanya, jika Dessy Ratnasari menyatakan bahwa takdir itu kejam, saya lebih memilih untuk tidak menyalahkannya. Lebih dari itu, tugas kita bukanlah menyalahkan mereka yang menyatakan bahwa takdir memang kejam, tetapi menunjukkan kepada mereka bahwa sesungguhnya takdir tidaklah sekejam yang mereka bayangkan.

 
;