Saya sering terharu sekaligus dongkol saat membaca email dari para pembaca buku saya. Terharu, karena email mereka membuat saya merasa yang saya lakukan itu berharga, bahwa buku-buku yang saya tulis memberikan sesuatu untuk pembacanya. Tetapi juga dongkol, karena email-email itu kadang isinya tak masuk akal—khususnya menurut saya.
Sering sekali saya mendapati varian kalimat seperti ini dalam email-email yang saya terima, “Hei Hoeda, kamu hebat sekali ya, bisa menulis terus-menerus tanpa henti, di blog, buku, novel… Bagaimana caramu menulis sampai bisa produktif seperti itu? Apa kamu tidak stres menulis sebanyak itu? Kamu pasti orang jenius, ya?”
Saya orang jenius…??? Yang benar saja!
Kalian tidak tahu bagaimana kerja saya, jadi tidak bisa melihat bagaimana kacau dan gilanya saya selama mengerjakan buku-buku dan novel itu. Dan sekarang saya mau curhat pada kalian semua, karena saat ini kepala saya mau pecah. Benar, rasanya kepala saya mau pecah gara-gara mengerjakan sebuah novel yang tak juga selesai, dan saya berharap semoga curhat ini bisa cukup menjawab siapa pun yang telah salah sangka dan berpikir saya orang jenius.
Sekitar empat tahun yang lalu (dengarkan curhatkuuu…!!!) saya menulis sebuah novel. Sejak awal merancangnya, saya sudah berencana untuk membuatnya dalam genre drama (romance). Tetapi, agar novel itu punya ciri yang berbeda, saya membuat plot kisahnya berjalan cepat, dengan akhir cerita agak sulit ditebak. Sewaktu menuliskan jalan ceritanya, saya sama sekali tak menyangka kalau novel itu akan jadi tebal sekali. Saat selesai, tebal naskahnya mencapai 600 halaman.
Kenapa bisa setebal itu? Biar saya ceritakan.
Dalam kisah novel itu, saya mengangkat cerita tentang gemerlap dunia artis, yang saya “benturkan” dengan kehidupan idealis di kampus. Dua hal itu—gemerlapnya dunia artis dan idealisnya dunia kampus—diikat dengan sebuah kisah cinta. Setting lokasinya di tiga kota—Semarang, Jakarta, dan Bogor. Dan, seperti biasa yang terjadi pada novel-novel saya, novel ini pun menggunakan multi-plot dan multi-karakter.
Untuk menghidupkan kisah itu, saya pun melakukan riset cukup panjang untuk mendalami kehidupan artis dan segala macam kesibukannya—dari aktivitas syuting, proses kasting, perjalanan dari skenario hingga tercipta menjadi tontonan di televisi, sampai pada hal-hal keseharian yang biasa dijalani para artis dan selebriti. Sedang untuk mengetahui dunia kampus, saya tidak kesulitan, karena pernah menjalaninya sendiri.
Nah, agar pembaca nantinya bisa merasa “masuk” ke dalam kisah novel itu, saya pun menuliskan deskripsi atas riset di atas dengan cukup detail—sehingga pembaca akan tahu seperti apa sebenarnya kehidupan di balik gemerlapnya para artis, serta bagaimana kehidupan sesungguhnya yang ada di balik dinding-dinding kampus. Pemaparan tentang hal inilah yang kemudian menyita cukup banyak halaman naskah novel tersebut—hampir sepertiga dari keseluruhan halaman naskah—sehingga total tebalnya mencapai 600 halaman.
Terlalu tebal untuk sebuah drama, pikir saya waktu itu. Maka saya pun berencana untuk merevisi, dan mengedit serta memangkas bagian-bagian yang kurang perlu, agar halamannya tak terlalu tebal. Tetapi rencana itu sempat tertunda lama karena kemudian saya mengerjakan naskah-naskah lain. Selama satu tahun kemudian, naskah novel itu pun hanya mengendap dalam harddisk komputer tanpa pernah saya sentuh.
Sewaktu ingat pada naskah novel itu, saya pun mulai menggarapnya kembali. Seperti yang sudah saya rencanakan semula, saya mulai memangkas bagian-bagian yang tidak terlalu penting, dan jumlah halamannya pun menipis. Sekarang menjadi 500 halaman. Saya baca kembali, saya edit lagi, dan halamannya terus berkurang. Tetapi penggarapan novel itu terhenti kembali ketika saya mulai mengerjakan naskah lain lagi, yang sudah dikejar deadline penerbit.
Lanjut ke sini.
Sering sekali saya mendapati varian kalimat seperti ini dalam email-email yang saya terima, “Hei Hoeda, kamu hebat sekali ya, bisa menulis terus-menerus tanpa henti, di blog, buku, novel… Bagaimana caramu menulis sampai bisa produktif seperti itu? Apa kamu tidak stres menulis sebanyak itu? Kamu pasti orang jenius, ya?”
Saya orang jenius…??? Yang benar saja!
Kalian tidak tahu bagaimana kerja saya, jadi tidak bisa melihat bagaimana kacau dan gilanya saya selama mengerjakan buku-buku dan novel itu. Dan sekarang saya mau curhat pada kalian semua, karena saat ini kepala saya mau pecah. Benar, rasanya kepala saya mau pecah gara-gara mengerjakan sebuah novel yang tak juga selesai, dan saya berharap semoga curhat ini bisa cukup menjawab siapa pun yang telah salah sangka dan berpikir saya orang jenius.
Sekitar empat tahun yang lalu (dengarkan curhatkuuu…!!!) saya menulis sebuah novel. Sejak awal merancangnya, saya sudah berencana untuk membuatnya dalam genre drama (romance). Tetapi, agar novel itu punya ciri yang berbeda, saya membuat plot kisahnya berjalan cepat, dengan akhir cerita agak sulit ditebak. Sewaktu menuliskan jalan ceritanya, saya sama sekali tak menyangka kalau novel itu akan jadi tebal sekali. Saat selesai, tebal naskahnya mencapai 600 halaman.
Kenapa bisa setebal itu? Biar saya ceritakan.
Dalam kisah novel itu, saya mengangkat cerita tentang gemerlap dunia artis, yang saya “benturkan” dengan kehidupan idealis di kampus. Dua hal itu—gemerlapnya dunia artis dan idealisnya dunia kampus—diikat dengan sebuah kisah cinta. Setting lokasinya di tiga kota—Semarang, Jakarta, dan Bogor. Dan, seperti biasa yang terjadi pada novel-novel saya, novel ini pun menggunakan multi-plot dan multi-karakter.
Untuk menghidupkan kisah itu, saya pun melakukan riset cukup panjang untuk mendalami kehidupan artis dan segala macam kesibukannya—dari aktivitas syuting, proses kasting, perjalanan dari skenario hingga tercipta menjadi tontonan di televisi, sampai pada hal-hal keseharian yang biasa dijalani para artis dan selebriti. Sedang untuk mengetahui dunia kampus, saya tidak kesulitan, karena pernah menjalaninya sendiri.
Nah, agar pembaca nantinya bisa merasa “masuk” ke dalam kisah novel itu, saya pun menuliskan deskripsi atas riset di atas dengan cukup detail—sehingga pembaca akan tahu seperti apa sebenarnya kehidupan di balik gemerlapnya para artis, serta bagaimana kehidupan sesungguhnya yang ada di balik dinding-dinding kampus. Pemaparan tentang hal inilah yang kemudian menyita cukup banyak halaman naskah novel tersebut—hampir sepertiga dari keseluruhan halaman naskah—sehingga total tebalnya mencapai 600 halaman.
Terlalu tebal untuk sebuah drama, pikir saya waktu itu. Maka saya pun berencana untuk merevisi, dan mengedit serta memangkas bagian-bagian yang kurang perlu, agar halamannya tak terlalu tebal. Tetapi rencana itu sempat tertunda lama karena kemudian saya mengerjakan naskah-naskah lain. Selama satu tahun kemudian, naskah novel itu pun hanya mengendap dalam harddisk komputer tanpa pernah saya sentuh.
Sewaktu ingat pada naskah novel itu, saya pun mulai menggarapnya kembali. Seperti yang sudah saya rencanakan semula, saya mulai memangkas bagian-bagian yang tidak terlalu penting, dan jumlah halamannya pun menipis. Sekarang menjadi 500 halaman. Saya baca kembali, saya edit lagi, dan halamannya terus berkurang. Tetapi penggarapan novel itu terhenti kembali ketika saya mulai mengerjakan naskah lain lagi, yang sudah dikejar deadline penerbit.
Lanjut ke sini.