Ukuran kecerdasan kita adalah kemampuan
untuk berubah, menerima kenyataan baru.
—Albert Einstein
untuk berubah, menerima kenyataan baru.
—Albert Einstein
Saya kadang tersenyum sekaligus mengerutkan kening kalau membayangkan, mungkinkah kakek nenek kita—lima puluh sampai seratus tahun yang lalu—tahu atau mengenal istilah orgasme?
Kemungkinan besar tidak. Saya lebih yakin kalau lima puluh sampai seratus tahun yang lalu, kakek nenek kita tidak mengenal atau tak peduli dengan maksud atau definisi orgasme. Mungkin—sekali lagi, mungkin—hubungan seks lima puluh tahun lalu ke belakang hanyalah penyatuan dua tubuh an sich dan kemudian selesai.
Tetapi, sekarang—terlepas dari budaya emansipasi dan kesadaran gender—wanita tahu bahwa hubungan seks tidak sekadar bakti seorang istri kepada suami, bukan sekadar sarana untuk memperoleh keturunan semata, namun wanita juga tahu bahwa sebagai istri, dia juga punya hak untuk mendapatkan kenikmatan yang setimpal dari hubungan seks, yakni orgasme itu tadi.
Yang mengejutkan, menurut hasil penelitian di negara mana pun selama bertahun-tahun, di antara 100 persen wanita yang menjadi responden penelitian, selalu didapatkan fakta yang menunjukkan bahwa hanya ada 30 persen yang pernah (pernah—bukan selalu) mengalami orgasme! Apakah itu tidak mengejutkan?
Bagi saya, itu mengejutkan. Jadi, di dunia ini, ada 70 persen wanita yang tidak pernah tahu dan tak pernah merasakan apa itu orgasme. Kalau di bumi ini ada satu milyar wanita yang telah memiliki pasangan hidup, maka tujuh ratus juta banyaknya di antara mereka belum pernah merasakan kenikmatan sesungguhnya dari hubungan seks yang mereka lakukan! Sekali lagi, ini sungguh mengejutkan.
Nah, wacana tentang orgasme itu belum selesai dipahami oleh masyarakat umum, sudah muncul lagi sesuatu yang lebih ‘tinggi’ daripada sekadar orgasme, yakni multi-orgasme.
Saya membayangkan bahwa setiap pasangan suami istri belum tentu sudah tahu—dan mampu mempraktikkan—bagaimana menghasilkan orgasme dalam setiap making love mereka, apalagi multi-orgasme.
Ribut-ribut soal multi-orgasme itu belum juga mampu dipelajari seutuhnya, sudah muncul lagi sesuatu yang lebih dahsyat dari itu, yakni ditemukannya suatu zona dalam tubuh wanita yang disebut G-Spot—Grafenberg Spot—mengacu pada nama penemunya. Konon, inilah titik kenikmatan dan penemuan paling dahsyat menyangkut seksualitas manusia, dan inilah titik balik yang mengubah cara kita bercinta.
Oh, ini yang ngomong bukan saya, karena sejujurnya saya sendiri belum pernah mempraktikkannya. Apa yang saya tulis ini mengacu pada buku yang telah membuat kepala saya pening memikirkannya, sebuah buku yang ditulis Alice Kahn, Beverly Whipple, dan John D. Perry, berjudul The G-Spot and Other Recent Discoveries about Human Sexuality.
Yang ingin saya kemukakan melalui uraian di atas, adalah betapa kompleksnya hidup kita sekarang ini. Ada begitu banyak hal yang memaksa untuk masuk semua ke dalam hidup kita yang terbatas, dan kita—mau tak mau—terus-menerus dipaksa menerimanya.
Seperti orgasme atau multi-orgasme itu tadi. Atau G-Spot. Itu hal-hal yang belum masuk di dalam kehidupan orang-orang pada lima puluh atau seratus tahun lalu ke belakang, namun sekarang sudah masuk ke dalam hidup kita. Dan fungsinya tentu—sebagaimana penemuan ilmiah yang lain—adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Karena orgasme dan G-Spot merupakan wacana seksualitas, maka tentu maksud, tujuan dan fungsinya adalah untuk meningkatkan kualitas hubungan seksual manusia—bahwa ada begitu banyak hal baru yang perlu kita pelajari dalam hal satu itu, untuk memperbarui apa yang telah kita lakukan—juga untuk meningkatkan apa yang pernah kita capai.
Lanjut ke sini.