Selasa, 08 Maret 2011

Dua Perempuan (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, jika saya memikirkan kembali kasus itu, saya kadang berpikir, mungkin saja persaingan tidak masuk akal semacam itu terjadi karena waktu itu mereka masih sama-sama “anak kecil”. Ya maklumlah, siswa SMA kan belum bisa dibilang sudah “matang”. Karenanya, kalau kemudian mereka bermusuhan hanya karena hal sepele semacam itu, sepertinya saya perlu memaklumi. Tapi ternyata saya keliru!

Pada waktu saya kuliah, kisah yang tak jauh berbeda kembali terjadi. Kali ini, kisah ini “diperankan” oleh dua mahasiswi bernama Maria dan Icha (keduanya juga nama samaran).

Sebagaimana Vina dan Liany dalam kisah di atas, Maria dan Icha juga dua mahasiswi yang paling menarik perhatian di kampus karena sangat cantik. Kami semua satu semester, dan kebetulan saya akrab dengan mereka—hingga saya cukup tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sama seperti kisah di atas, kisah ini pun sama-sama tidak masuk akal.

Semenjak kami semester satu, saya belum pernah melihat Maria dan Icha saling bicara atau sekadar saling menyapa. Saya menganggap hal ini aneh, karena semester awal itu kami sekelas, sehingga bisa dikatakan mereka pasti saling mengenal. Lebih dari itu, saya mengenal keduanya sebagai cewek-cewek yang cukup ramah. Tetapi, hingga kami semua sampai di semester tiga, kedua cewek itu tak pernah saling bertegur sapa.

Sampai kemudian, saya tahu kalau keduanya ternyata saling “bermusuhan”, dan akar permusuhan mereka benar-benar tidak jelas sekaligus tidak masuk akal. Ironisnya, saya termasuk cowok yang “terlambat ngerti”.

Jadi, suatu hari, sepulang kuliah, Icha meminta saya untuk mengantarkan pulang ke rumahnya. Saya bersedia. Kebetulan, waktu itu, saya sudah berencana untuk ke tempat kost Maria, untuk meminjam buku catatan kuliah. Jadi, saya pun bilang pada Icha, “Kita ke kosan Maria dulu ya, ntar dari sana kita ke rumahmu.”

Di luar dugaan, Icha marah. “Kalau gitu nggak usah aja!” katanya dengan wajah yang tidak enak dilihat.

Dasar tolol, saya bertanya dengan tolol, “Nggak usah apa?”

“Kalau jadi nganter, kita nggak usah ke kosan dia!” ujarnya dengan benci. “Kalau kamu mau ke kosan dia, aku mau pulang sendiri aja!”

Bahkan Icha tidak mau menyebut nama Maria, pikir saya dengan bingung.

Akhirnya saya mengalah. Saya mengantarkannya pulang, dan menunda acara saya ke tempat kost Maria. Dalam perjalanan siang itu, saya mencoba bertanya pada Icha, ada masalah apa antara dia dengan Maria. Tapi Icha hanya menjawab dengan suara tidak jelas, bahasa tidak jelas, dan isyarat tidak jelas. Intinya, dia tidak mau menjawab.

Malam harinya, saya pergi ke tempat kost Maria untuk meminjam buku catatan kuliah, sebagaimana yang sudah kami janjikan. Sewaktu kami mengobrol di tempat kostnya, saya mencoba menanyakan juga kepadanya, ada masalah apa dengan Icha. Sama seperti Icha, Maria langsung pasang muka jutek ketika mendengar pertanyaan itu. Akhirnya, setelah saya cukup mendesak karena penasaran, Icha bersabda, “Tanya aja sama dia!”

Seiring bergantinya semester, Icha dan Maria masih terus saling mendiamkan, tak pernah tegur sapa, apalagi sampai akrab. Saya sudah mencoba mencari tahu apa sebenarnya akar masalah mereka, tapi tidak ada yang bisa menjawab apalagi menerangkan. Sampai kemudian, saya ngobrol berdua dengan Risti (juga nama samaran) di kantin kampus, ketika kami sama-sama bolos kuliah.

Risti adalah sohib akrab Icha. Di kantin itulah, tanpa sengaja obrolan kami nyambung ke topik Icha dan Maria. Saya pun memberanikan diri untuk bertanya pada Risti soal akar masalah kedua cewek tadi, dan reaksi Risti benar-benar mengejutkan. Dia tertawa! Ingat, Risti adalah sahabat dekat Icha, jadi dia pasti tahu masalahnya.

“So, kenapa kamu ketawa?” tanya saya dengan bingung.

“Masak sih kamu nggak tahu?” tanyanya dengan nada tidak percaya.

“Apa yang harus aku tahu? Jadi, kenapa mereka bermusuhan?”

“Ya ampun!” serunya sambil kembali tertawa. “Kamu kan akrab dengan mereka. Masak kamu nggak tahu apa masalahnya?”

Saya jadi makin bingung. “Sumpah, aku nggak tahu. Dan, tolong jawab aja deh, nggak usah bikin aku penasaran gitu.”

Dan Risti pun kemudian menjelaskan—setelah dia yakin kalau saya benar-benar tidak tahu. Saya masih ingat, caranya menjelaskan waktu itu seolah-olah saya adalah cowok paling tolol sedunia.

Jadi, ternyata akar masalah yang menjadikan Icha dan Maria saling mendiamkan dan seperti bermusuhan itu, tidak jauh beda dengan akar masalah yang terjadi antara Vina dan Liany di SMA saya dulu. Mereka berkompetisi, karena keduanya sama-sama menyadari diri mereka cantik, dan karena keduanya sama-sama menjadi pusat perhatian terbesar di kampus kami.

Ini aneh, pikir saya. Dan tak masuk akal. Dan ketika hal itu saya lontarkan kepada Risti, dia kembali tertawa. Menurutnya, “Ya begitulah cewek.”

Ya begitulah cewek. Bagi Risti, yang seorang perempuan, itu sudah menjadi semacam kesimpulan yang menjelaskan segala-galanya. Tetapi, bagi saya, itu adalah hal paling tak masuk akal yang tetap juga belum saya pahami hingga hari ini.

Saya tidak tahu apakah setiap perempuan cantik memiliki “masalah” sebagaimana yang saya ceritakan di atas. Tetapi, yang jelas, Icha dan Maria tetap tak pernah akrab hingga mereka wisuda.

Hari ini, setiap kali saya mengenang Vina dan Liany, atau teringat pada Icha dan Maria, saya sering geleng-geleng kepala sendiri, karena menyadari bahwa saya mungkin masih butuh waktu untuk dapat memahami mereka.

Hari ini, Liany telah menjadi model iklan, dan saya kadang mendapati foto-fotonya di majalah. Dia masih secantik yang dulu, dengan hidung yang mancung dan mata sipitnya yang indah. Dan setiap kali saya mendapati foto dirinya di majalah, tanpa sadar saya tersenyum sendiri, dan membatin, “Ah, perempuan…”

 
;