Tidak ada buku bermoral dan tidak bermoral.
Yang ada, buku itu ditulis dengan baik atau buruk. Itu saja.
—Oscar Wilde
Yang ada, buku itu ditulis dengan baik atau buruk. Itu saja.
—Oscar Wilde
Mungkin nama Fredy S bukan nama asing—khususnya bagi yang suka membaca novel-novel hot. Ya, ya, setiap kali mendengar nama Fredy S, yang langsung terbayang dalam benak kita adalah novel-novel asoi berisi kisah-kisah panas yang membuat jantung berdebar lebih kencang.
Saya sendiri pernah mengoleksi novel Fredy S. Dulu, pada era 1990-an, novel-novel Fredy S nyaris dapat ditemukan di setiap toko koran, bahkan di lapak-lapak pinggir jalan yang menyediakan buku-buku bekas. Yang membuat novel-novel Fredy S banyak diburu orang bukan hanya karena isinya yang asyik, tetapi juga harganya yang relatif murah. Dulu, waktu saya mengoleksinya, harga per eksemplar novel Fredy S cuma dua ribu rupiah.
Sebagai penulis novel, Fredy S termasuk penulis yang sangat produktif. Dia telah menulis sekitar 500-an novel. Itu jumlah yang sulit ditandingi oleh penulis novel mana pun di negeri ini. Dulu saya sempat mengoleksi sekitar 200-an novelnya, tetapi banjir besar pada akhir 90-an menenggelamkan koleksi novel itu. Jujur saja, saya sampai nangis campur mimisan ketika mengetahui “koleksi berharga” itu hancur karena kebanjiran, dan saya tidak sempat menyelamatkan novel-novel itu.
Siapakah sebenarnya Fredy S…?
Yang diketahui banyak orang, Fredy S adalah penulis novel—khususnya lagi novel esek-esek. Tetapi, sebenarnya, Fredy S bukan hanya menulis. Dia juga seorang pelukis, sutradara, penerbit, dan penulis skenario film. Dia sosok multitalenta yang sangat produktif, terlepas seperti apa novel karyanya.
Well, seperti yang saya bilang tadi, setiap kali kita mendengar nama Fredy S, setiap kali pula yang terbayang dalam benak adalah novel-novel seks. Sepertinya, nama Fredy S sudah identik dengan novel esek-esek, sehingga mungkin para penggemarnya akan terkena serangan jantung kalau menemukan Fredy S menulis novel religi.
Nah, sekarang, jika saya katakan bahwa Fredy S juga menulis novel yang “bersih”, apakah kau akan percaya? Rasanya sulit! Rasanya sulit membayangkan Fredy S menulis novel yang tidak melibatkan unsur seks—karena nama Fredy S sudah telanjur diidentikkan dengan novel seks. Ini kenyataan pahit yang harus ditelan Fredy S—juga penulis-penulis lain yang telanjur diidentikkan dengan sesuatu.
Tetapi, sebenarnya, tidak semua novel karya Fredy S berisi kisah esek-esek. Beberapa novelnya ada yang sama sekali tidak melibatkan unsur seks di dalamnya. Salah satu novelnya yang bagus, berjudul “Mentari di Lubuk Hati”. Isi novel ini ‘bersih’, dalam arti sama sekali tidak ada adegan seks, dan murni menceritakan kisah cinta. Bagi saya, ini adalah novel Fredy S yang terbaik, bahkan tidak kalah jika diadu dengan novel-novel karya Mira W.
(Catatan: saya telah membaca sekitar 40-an novel Mira W., jadi setidaknya saya punya skala perbandingan yang cukup adil).
Yang ingin saya ungkapkan dari ilustasi mengenai Fredy S ini, adalah kenyataan bahwa sekali kita diidentikkan dengan sesuatu, maka kita akan sulit lepas dari sesuatu itu. Dan kenyataan semacam itu sering kali mengikuti para pekerja kreatif, termasuk para penulis.
Ingat Mulan Kwok? Ketika dia akan menyanyikan lagu bernuansa Arabian (Makhluk Tuhan Paling Seksi), dia terpaksa mengganti namanya menjadi Mulan Jameela, demi untuk bisa mengubah image di mata penggemarnya. Nah, kenyataan semacam itu juga terjadi pada kerja kepenulisan, pada para penulis.
Susahnya, para penulis tidak bisa mudah mengubah namanya sebagaimana artis Mulan Kwok mengubah nama menjadi Mulan Jameela. Meski Mulan mengganti nama, para penggemarnya tetap tahu bahwa itu si Mulan. Hal ini berbeda dengan penulis. Jika penulis mengubah namanya, para penggemarnya tidak tahu bahwa itu adalah orang yang sama.
Di Indonesia, ada beberapa nama penulis yang telah diidentikkan dengan karya-karya tertentu. S. Mara GD., misalnya, telah diidentikkan dengan novel detektif. Atau Hilman yang identik dengan novel remaja (Lupus dan lainnya). Nah, pengidentikan nama dengan suatu genre karya tertentu semacam itu bisa saja menguntungkan, tetapi juga bisa merugikan.
Menguntungkan—jika karya-karyanya memang terus disukai para pembaca, karena si penulis terus mengeksplorasi dan berinovasi dalam karya-karyanya. Tetapi juga dapat merugikan—jika para penggemarnya telah mencapai titik jenuh, karena si penulis tidak mampu mengeksplorasi atau melakukan inovasi dalam berkarya. Ingatlah selalu fakta ini; senikmat apa pun, suatu makanan yang terus berulang akan menimbulkan kejenuhan.
Karenanya, musuh besar para pekerja kreatif—termasuk penulis—adalah rasa puas diri. Kapan pun seorang penulis telah merasa puas, dia mati. Kapan pun seorang penulis telah puas dengan karyanya, maka pembaca akan segera meninggalkannya.
Agar pemaparan ini lebih mudah dipahami, kita gunakan contoh saja. Lihatlah novel-novel John Grisham. Nama Grisham telah diidentikkan dengan novel-novel berlatar hukum, yang diperankan pengacara. Tetapi para penggemarnya selalu menunggu novel-novel terbaru Grisham. Mengapa? Karena Grisham selalu menyodorkan eksplorasi di dalam setiap novelnya.
Meski semua novelnya menggunakan tokoh pengacara, Grisham menawarkan kisah berbeda, latar berbeda, karakter berbeda, setting berbeda, bahkan ending yang berbeda. Semua novel Grisham menawarkan petualangan membaca yang sama-sama mengasyikkan, karena meski menokohkan kisah pengacara, Grisham selalu memberikan hal berbeda dalam setiap novelnya. Karenanya pula, para penggemarnya selalu menebak-nebak apa lagi yang dikisahkannya, sehingga tertarik untuk kembali membaca novelnya.
Sekarang bayangkan kalau Grisham tidak pernah melakukan eksplorasi dan inovasi dalam karya-karyanya. Apa yang akan terjadi? Para penggemarnya akan segera bosan! Beberapa kali mungkin mereka masih akan tetap membaca novel Grisham, tetapi pada akhirnya mereka akan sampai pada kesimpulan, “Yeah, lagi-lagi seperti ini!” Ketika sampai pada tahap semacam itu, novel-novel Grisham pun tidak akan menarik lagi, karena para penggemarnya sudah dapat menebak apa isinya.
Jadi, pengidentikan nama penulis dengan suatu genre tertentu bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan, namun juga dapat merugikan. Dan masing-masing penulis dapat memilih kondisi ini—memilih untuk diidentikkan dengan sesuatu, atau memilih agar pembacanya tidak mengidentikkan namanya dengan sesuatu.
Kalau kita ingin pembaca mengidentikkan nama kita dengan suatu genre tertentu, tulislah buku dalam genre itu terus-menerus. Hanya diperlukan beberapa buku, dan pembaca akan langsung mengidentikkan namamu dengan genre buku yang kautulis. Sekali image itu terbentuk, kau akan menanggung seluruh konsekuensinya. Jika kau bisa terus bereksplorasi dan berinovasi dalam memanjakan pembacamu, kau selamat. Sebaliknya, jika kau telah merasa puas diri, kau mati.
Begitu pun, kalau kita tidak ingin diidentikkan dengan sesuatu, tulislah buku dalam genre yang berbeda. Atau buku dalam genre yang sama, tapi dengan cara yang berbeda. Intinya, jadilah spesialis dalam suatu genre tertentu, tetapi jangan terjebak pada satu gaya tertentu.
Ini memang soal pilihan—dan masing-masing orang (penulis) berhak memilih. Tentu saja tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk dalam hal ini.
Intinya, jangan pernah puas diri dengan karya yang sudah kita capai. Meminjam istilah Ayu Utami, menulis adalah pekerjaan gelisah. Para penulis harus terus menemukan cara dan gaya baru dalam memberikan keasyikan kepada para pembacanya. Karenanya, setiap penulis tidak boleh berhenti belajar, harus terus mengasah diri, memperbaiki teknik menulisnya, sekaligus terus melakukan eksplorasi dan inovasi.
Pelajarilah banyak hal, agar tulisan kita tidak membosankan. Buatlah pembaca terus-menerus penasaran dan menebak-nebak apa lagi yang kita tulis, sehingga mereka terus mengikuti tulisan kita. Sodorkan menu yang terus-menerus berbeda, agar pembaca terus-menerus puas melahapnya. Berikan hal-hal baru untuk mereka, agar pembaca terus asyik mengikutinya. Persembahkan yang terbaik untuk pembaca, agar mereka terus jatuh cinta. Karena...
...ketika pembaca merasa ‘cukup’, saat itulah penulis mati.