Selasa, 24 Desember 2019

Percakapan Sunyi Dua Lelaki

Yang paling bertanggung jawab atas kerusakan bumi bukan hanya mereka
yang memperkosa alam, tapi juga mereka yang "jualan dusta perkawinan".
@noffret


“Pernikahan akan menjadi kejahatan, jika kulakukan. Kejahatan pada diriku sendiri, kejahatan pada pasanganku, juga kejahatan pada anak yang mungkin kumiliki.” Setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan, “Aku telah menjadi korban pernikahan, dan aku tidak mungkin melakukan hal serupa pada orang lain—pasangan, dan anak yang mungkin kumiliki.”

Fandi adalah salah satu teman saya, dan kami telah menjalin pertemanan sejak bertahun lalu. Dulu, kami pernah bekerja bersama, di tempat ini. Seperti saya, dia berasal dari keluarga miskin. Ketika dulu saya sering bekerja lembur sampai pukul 02.00 dini hari, Fandi juga ikut lembur sampai dini hari.

Selama beberapa tahun, kami menikmati kebersamaan dari pagi sampai dini hari. Itu bukan hanya kebersamaan dua orang yang bekerja di tempat sama, tapi juga kebersamaan yang mengeratkan kami sebagai teman. Setiap hari, seiring bekerja, kami saling bercakap, bercanda, saling curhat, menikmati tawa dan kesedihan bersama. Dia tahu semua hal tentang saya, sebagaimana saya tahu semua hal tentang dirinya.

Perjalanan hidup kemudian memisahkan kami. Saya mengejar mimpi-mimpi saya, dan tak lama kemudian Fandi juga keluar dari sana, untuk mencoba peruntungan nasib di tempat lain.

Ada waktu-waktu yang sangat lama, ketika kami sama sekali tidak pernah bertemu—karena waktu itu kami terpisah di tempat yang saling berjauhan—namun kemudian kami pulang. Setelah itu, kami kembali menjalin pertemanan, menyambung tali yang dulu pernah kami miliki. Dalam waktu singkat, kami kembali akrab dan dekat. Sejak itu, saya sering dolan ke rumahnya, mengobrol panjang, tentang banyak hal.

Dulu, waktu saya mulai sering dolan ke rumahnya, dia pernah bertanya, “Apakah kamu juga mengunjungi teman-teman yang lain?” (Maksudnya, teman-teman yang dulu pernah bekerja bersama kami).

Saya menggeleng. “Sebenarnya, aku ingin dolan ke rumah mereka, menjalin kedekatan seperti dulu. Tapi mereka telah menikah, dan aku selalu khawatir kedatanganku akan mengganggu. Bagaimana pun, orang yang sudah berkeluarga menjalani kehidupan yang berbeda dengan orang yang masih lajang seperti kita.”

Fandi berkata dengan pahit, “Aku memahami maksudmu. Jangankan cuma teman, bahkan adik pun bisa berubah setelah menikah. Ketika adik-adikku menikah, aku bukan hanya kehilangan mereka, karena kini hidup dengan keluarga masing-masing, tapi juga karena merasa mereka telah menjadi orang lain.”

Fandi tinggal bersama ibunya yang sudah tua, dan seorang adik perempuan yang invalid. Fandi punya dua adik lain—laki-laki dan perempuan—namun keduanya telah menikah, dan tinggal bersama keluarga masing-masing. Secara terang-terangan, khususnya kepada saya, Fandi mengaku tidak berniat menikah. Karena menikah, sebagaimana yang ia katakan, “adalah sebentuk kejahatan yang tidak mungkin kulakukan.”

Fandi adalah anak pertama dari empat bersaudara. Latar belakang kemiskinan tidak hanya membuatnya menghadapi hidup yang pahit, tapi juga kenyataan yang sangat menyakitkan. Kedua orang tuanya pemarah, dan sejak kecil Fandi telah kenyang dengan segala bentuk kekerasaan dari mereka.

Dulu, bertahun lalu, kami pernah membincangkan hal itu, suatu hari, saat jam istirahat kerja, dan saya berkata kepadanya, “Aku bisa merasakan amarah dan luka yang kamu rasakan. Mungkin, orang tua kita pemarah bahkan kejam karena terlalu frustrasi menghadapi kenyataan hidup. Dan kitalah yang menjadi korbannya.”

Bertahun kemudian, ketika kami bercakap-cakap di rumahnya, Fandi mengatakan, “Sekarang aku memahami maksudmu bertahun lalu. Keras dan kejam bisa jadi sifat atau pembawaan orang per orang. Tetapi, bagaimana pun, kenyataan hidup yang sangat menekan bisa mengubah kepribadian orang, hingga menjadi keras dan kejam. Itulah yang terjadi pada orang tuaku. Mereka tak mampu melawan tekanan hidup. Dan sebagai akibatnya, aku menjadi korban frustrasi mereka.”

Malam itu, ketika kami bercakap-cakap sambil menikmati teh hangat dan udud, Fandi menyatakan, “Hidup bisa begitu mengerikan, kalau dipikir-pikir. Orang tuaku miskin—dan mereka sadar kalau mereka hidup serba kekurangan—tapi mereka memiliki lima anak! Apakah mereka tidak pernah berpikir bahwa menghidupi lima anak bisa membuat mereka frustrasi? Rumah kami yang sempit bahkan tidak mampu menampung keluarga kami, sementara penghasilan mereka yang pas-pasan tidak sanggup menghidupi kami!”

Saya bertanya hati-hati, “Kamu pernah bertanya pada orang tuamu, kenapa mereka punya lima anak, padahal mereka sadar hidup berkekurangan?”

Di luar dugaan, Fandi tersenyum. “Bahkan tanpa bertanya, aku sudah tahu jawabannya. Seperti yang sering kamu tulis di blog, orang tuaku—juga jutaan orang lain—adalah korban doktrinasi terkutuk yang menipu mereka. Mereka ditipu bahwa penikahan akan membuat bahagia, dan mereka pun menikah tanpa persiapan dan kesadaran. Mereka ditipu bahwa punya anak-anak akan melapangkan rezeki, dan mereka pun punya banyak anak tanpa pikir panjang lagi. Hasilnya adalah keluarga kami yang miskin, anak-anak tanpa masa depan, dan luka serta penderitaan yang kualami.”

Sesaat, kami terdiam. Kemudian Fandi meneruskan, perlahan, “Aku senang bisa mengatakan ini kepadamu, tanpa khawatir dihakimi, tanpa khawatir diceramahi macam-macam, yang lagi-lagi cuma doktrin tak masuk akal.”

Saya jadi tertarik, “Kamu pernah mengatakan yang barusan kamu katakan kepada orang lain?”

“Pernah,” jawab Fandi. “Ada tetanggaku yang suka menyuruh-nyuruhku cepat kawin, dengan segala macam alasan; karena aku telah dewasa, karena adik-adikku sudah kawin, dan segala macam provokasi lain. Karena muak dan bosan, aku pernah berkata kepadanya bahwa aku tidak berniat kawin, dan kukatakan sesuatu yang tadi kukatakan kepadamu. Lalu dia berceramah macam-macam—khas orang-orang sok pintar. Dia mengatakan bahwa menikah akan melancarkan rezeki, bahwa aku tidak perlu khawatir punya anak, karena setiap anak membawa rezeki sendiri. Ironisnya, dia pede mengatakan semua itu, padahal hidupnya sendiri menyedihkan.”

Setelah mengisap rokoknya, Fandi kembali berkata, “Aku benar-benar tidak berminat menikah, karena menyadari bahwa pernikahan akan mendatangkan lebih banyak mudarat daripada manfaat bagiku. Aku harus merawat ibu dan adikku, karena adik-adikku yang lain sudah sibuk dengan keluarga serta urusan masing-masing. Aku juga menyadari kehidupanku masih berat. Jika aku menikah, aku hanya akan mengulang kejahatan yang dilakukan orang tuaku. Jika aku menikah, aku hanya akan melahirkan anak-anak terluka seperti yang kualami dulu.”

Yang dikatakan Fandi memang benar. Konsep pernikahan di lingkungan kita memiliki arti “menciptakan keluarga baru”. Artinya, ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah, mereka akan dituntut untuk punya anak. Jika tidak, setumpuk tuduhan bisa dilemparkan untuk mereka. Dari tuduhan impoten (hingga tidak bisa membuahi), sampai tuduhan mandul (hingga tidak bisa hamil).

Karenanya, meski sepasang suami istri bisa saling menyadari bahwa mereka belum mampu menghidupi anak, bisa jadi lingkungan—termasuk orang tua masing-masing—akan menekan. Dibutuhkan mental yang sangat kuat untuk mampu bertahan dari tekanan semacam itu, dan banyak pasangan suami istri terpaksa punya anak, demi membungkam cocot-cocot terkutuk di sekitarnya.

“Tidak menikah adalah pilihan terbaik bagiku,” ujar Fandi. “Saat ini, dengan memilih tidak menikah, aku hanya menghadapi orang-orang yang menyuruhku menikah. Dan aku mampu menghadapinya, karena hanya melibatkanku sendirian. Jika aku menikah, yang artinya aku punya pasangan, akan datang berbagai tuntutan lain, khususnya tuntutan agar punya anak. Mungkin aku sanggup bertahan, tapi bagaimana dengan pasanganku?”

Saya bertanya, “Ibumu... pernah menyuruhmu agar menikah?”

“Dulu, ya,” jawab Fandi. “Tapi sekarang tidak lagi. Dia tentu sadar. Kalau aku menikah, tidak ada lagi yang akan merawatnya. Sekarang dia telah melihat. Bahwa ketika anak-anaknya menikah, mereka akan sibuk sendiri dengan keluarganya.”

Sesaat kami terdiam.

Fandi kemudian berkata, dengan nada amarah yang jelas terdengar, “Tragis, kalau dipikir-pikir. Orang menikah, lalu punya anak-anak, dan berharap anak-anaknya segera menikah, juga berharap kelak akan ada yang merawat ketika mereka tua. Tentu tidak masalah, jika kita memang bisa menghidupi anak secara baik, dan anak-anak kita bisa hidup secara layak. Tapi bagaimana jika tidak? Bukankah itu perilaku egois? Kita punya anak, dengan harapan agar kelak ada yang merawat. Sementara kita tidak bisa menghidupi anak secara layak. Apa namanya jika bukan sikap egois, eksploitasi, bahkan kejahatan?”

“Karena itulah aku tidak berminat menikah,” lanjut Fandi. “Karena, jika aku menikah, artinya aku akan melanjutkan kejahatan yang dilakukan orang tua kepadaku. Aku menyadari hidupku belum jelas, dan aku tidak akan berspekulasi, khususnya untuk keputusan yang melibatkan orang lain, seperti menikah. Jika aku menikah dan harus menjalani kehidupan seperti orang tuaku, aku hanya akan mewariskan kejahatan pada anak-anakku. Mereka akan mengulangi kehidupan penuh luka seperti yang kualami, mereka akan mengutuk hidupnya seperti yang kulakukan. Aku akan merasa sangat jahat jika sampai melakukannya.”

Saya berkata perlahan, “Sayangnya, masyarakat kita tidak berpikir seperti itu...”

“Itulah yang membuatku heran,” sahut Fandi. “Mereka telah melihat dan mengalami sendiri, bahwa penikahan—dan kehidupan yang mereka jalani—meleset dari doktrin-doktrin yang telah menipu mereka. Tapi mereka justru mengulang doktrin-doktrin itu kepada orang lain, menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah dan punya anak. Kenapa mereka tidak introspeksi—bertanya pada diri sendiri, kenapa kehidupan mereka tidak sesuai dengan doktrin-doktrin yang pernah mereka dengar?”

Saya mengisap rokok, lalu berkata, “Sebenarnya, bisa jadi mereka tahu. Mereka tahu telah tertipu. Mereka tahu bahwa pernikahan tidak seindah doktrin yang biasa mereka dengar. Mereka tahu bahwa punya anak-anak mendatangkan beban luar biasa besar, khususnya kalau hidup mereka pas-pasan.”

“Kalau mereka tahu, kenapa mereka malah berusaha menipuku?”

Dengan senyum getir, saya menjawab, “Karena begitulah Homo sapiens.”

....
....

Kemampuan memahami mungkin terdengar bijaksana. Tetapi, pada satu titik, “kemampuan memahami” akan melemparkan kita pada kesadaran yang mengerikan. Misalnya, “memahami” kenapa Hitler melakukan genosida pada Yahudi. Atau “memahami” kenapa ada orang-orang yang ingin melenyapkan separo isi bumi.

“Manusia” dan “bukan manusia” adalah konsep paling tua dalam sejarah manusia. Konsep itu pula yang melahirkan tokoh-tokoh sejarah dengan jejak panjang penuh darah. Mungkin mereka memang jahat, sebagaimana yang ditulis tinta sejarah. Tapi bagaimana kalau, ternyata, mereka sudah terlalu muak menghadapi orang-orang yang “belum menjadi manusia”—dari sudut pandang atau perspektif mereka?

Seperti kita, di zaman ini. Sebagian orang saat ini telah sampai pada kesadaran bahwa menikah adalah soal pilihan, bahwa punya anak-anak adalah soal pilihan. Kesadaran itu secara tak langsung akan menafikan—untuk tidak menyebut menihilkan—konsep-konsep doktrinasi terkait perkawinan dan kepemilikan anak.

Konsekuensinya, mereka akan muak setiap kali diprovokasi cepat menikah dan punya anak, dan mereka akan menilai orang-orang yang memprovokasi mereka sebagai “makhluk lain” yang tidak seperti mereka.

Bisa melihat yang saya maksud?

Karenanya, kemampuan memahami—dan berempati—mestinya tidak hanya dimiliki oleh satu pihak, tapi harus dari dua pihak.

Yang menikah dan punya anak harus bisa memahami orang lain yang memilih tidak menikah atau tidak punya anak, dan begitu pula sebaliknya. Karena, jika tidak, kita sedang berusaha menjadikan sebagian kita sebagai bukan manusia. Dan jika kenyataan semacam itu telah terjadi... kita sedang mengundang petaka.

Evolusi Pecah Ndase

Beberapa orang, mungkin karena merasa sangat pintar, kadang berkata dengan songong, “Kalau memang manusia adalah hasil evolusi, kenapa kita sekarang tidak berevolusi?”

Pertanyaannya saja sudah salah!

Fakta bahwa kau ngebet kawin dan ngebet beranak-pinak, dengan jelas membuktikan bahwa kau berevolusi. Fakta bahwa kau suka nyinyir pada orang lain agar cepat kawin dan cepat beranak-pinak, dengan gamblang menunjukkan kalau kau berevolusi.

Tujuan evolusi adalah mempertahankan spesies agar tidak punah, sekaligus memperbaiki spesies agar berkembang. Sesederhana itu. Dan untuk tujuan tersebut, evolusi menggunakan segala cara agar kau terus mempertahankan spesiesmu, salah satunya dengan iming-iming selangkangan... dan kau terjebak! Sudah paham?

Lalu kau ngebet kawin. Oh, well, tentu saja kau bisa mengajukan setumpuk alasan yang terdengar mulia sebagai alasan kawinmu. Dari alasan “tak perlu nunggu mapan untuk kawin” sampai alasan klise yang terdengar ndakik-ndakik. Tapi apa pun alasanmu, evolusi sudah menang. Kau terjebak, kawin, dan beranak-pinak.

Dan, omong-omong, apa yang biasa kaukatakan pada orang-orang? “Tidak masalah kalau aku menderita, asal anak-anakku menjadi orang sukses.”

Kedengarannya mulia sekali... tapi itulah tujuan evolusi! Pertama, agar kau beranak-pinak, demi mempertahankan spesies—atau keturunan, menurut istilahmu. Kedua, agar spesies keturunanmu lebih baik darimu. Ini bahkan terdengar lebih biologis daripada filosofis, dan kau masih bertanya-tanya di mana bukti evolusi.

Pecah ndase!

Noffret’s Note: Jumat Berkah

Dari dulu aku bertanya-tanya, orang-orang yang nge-tweet tagar #JumatBerkah itu Jumatnya seperti apa? Karena Jumat yang kualami selama ini biasa-biasa saja, bahkan sering ada masalah yang muncul di hari Jumat. Aku ingin sekali menikmati "Jumat Berkah", tapi entah kapan datangnya.

Mungkin ini tak jauh beda dengan orang-orang yang naik haji, lalu pulang & menceritakan "pengalaman menakjubkan" selama berhaji, sampai kemudian muncul seorang bocah yang mencoba membuktikan pengalaman itu. Dan inilah hasilnya: Teman Saya Kapok Naik Haji » http://bit.ly/2flPP5N

Selain eufemisme, hal lain yang lekat dengan masyarakat umum di Indonesia memang konformitas—upaya untuk sama dengan kebanyakan orang. Sebagian pihak mengartikan konformitas sebagai “kemunafikan sosial”. Jika mayoritas mengatakan A, kita merasa perlu untuk juga mengatakan A.

Orang tidak mungkin mengatakan "kapok naik haji" terang-terangan, karena mayoritas yang lain mengatakan naik haji begitu "menakjubkan". Sama halnya, orang tak mungkin mengatakan "menikah membuatnya menyesal", karena mayoritas mengatakan "menikah begitu indah". Itulah konformitas.

Tentu saja banyak orang naik haji yang memang mengalami hal-hal menakjubkan, tapi tentu tidak semua. Begitu pula, banyak orang yang menikah dan bahagia, tapi—sekali lagi—tentu tidak semua. Sayangnya, tidak semua orang punya keberanian untuk mengatakan kejujuran secara apa adanya.

Menabung bertahun-tahun demi bisa naik haji, mengumpulkan uang sampai puluhan juta, lalu harus menunggu lagi bertahun-tahun. Ketika berangkat, diantar orang sekampung, lalu pulang disambut meriah. Dalam kenyataan semacam itu, mungkinkah orang berani mengatakan "kapok naik haji"?

Sama saja, orang montang-manting cari pasangan, menabung bertahun-tahun demi bisa menikah. Prosesnya lama, dari lamaran sampai resepsi. Ketika menikah, orang sekampung ikut merayakan. Setelah itu, mungkinkah orang berani mengatakan "menikah ternyata tak seindah yang kubayangkan"?

Aku sadar, mengatakan semua ini akan menempatkanku pada posisi yang berseberangan dengan (keyakinan) mayoritas. Tetapi harus ada yang mengatakannya!

Dan begitu kau memahami bahwa aku berseberangan dengan mayoritas, setidaknya kau mulai menyadari adanya fasisme dalam konformitas.

NN (Nambah Ngoceh):

Kadang, saat baru ngepost catatan baru di blog, aku menerima e-mail yang kira-kira isinya, "Maaf, saya tidak setuju dengan tulisanmu yang baru."

Biasanya, sambil tersenyum, aku menulis jawabannya, "Tak perlu khawatir. Saya juga tidak meminta persetujuanmu."

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Maret 2019.

Mapan Sebelum Menikah

Jadi gini. Kalau ada lelaki yang mengatakan kepadamu agar segera menikah tanpa menunggu mapan... maka inilah saranku: Jangan menikah dengannya!

"Mapan" untuk menikah itu relatif. Tidak harus kaya-raya. Intinya adalah bisa menghidupi keluarga secara layak dan tidak berkekurangan, serta tidak merepotkan orang lain (orangtua, saudara, mertua, dan seterusnya).

Cara mudah untuk mengetahui kita sudah mapan atau belum adalah dengan melihat diri sendiri. Jika kita belum bisa menghidupi diri sendiri secara layak, artinya belum mapan. Sesederhana itu. Kalau menghidupi diri sendiri saja masih kepayahan, ngapain sok mau menghidupi anak orang?

"Tapi menikah itu kan diwajibkan agama!"

Tolong tidak usah ngotot! Kalau mau ngemeng agama (Islam), hukum menikah ada lima. Wajib, sunah, makruh, mubah, dan haram. Hukum menikah tergantung pada pelakunya, bukan pada pernikahannya.

Yang selama ini tidak pernah dikatakan adalah hukum yang haram. Jika perkawinanmu berpotensi mendatangkan lebih banyak mudarat daripada manfaat, maka kau tergolong orang yang haram menikah. Jadi tidak usah sok hanya karena menikah!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Februari 2018.

Bebernya

Oh... bebernya.

Senin, 16 Desember 2019

Bidadari Bersayap Darah

“Kau tidak bisa menegakkan keadilan, Pak Hakim.
Biar aku saja.”
Riley North, Peppermint


Karier Hakim James Stevens berakhir mengerikan. Wajahnya babak belur dan berdarah, kedua tangannya dipaku pada meja, mulutnya tertutup lakban, sementara tubuhnya terlilit kabel yang terhubung dengan bom.

Di hadapannya, Riley North berdiri, menatapnya, dan berkata perlahan, “Berapa kali kau mengkhianati sumpahmu, Pak Hakim? Kau sangat korup, dan membuatku muak.”

Hakim James Stevens tak bisa menjawab, selain hanya menatap Riley North, dengan pandangan penuh amarah dan ketakutan.

Riley North melanjutkan, “Begini saja. Kalau kau bisa menyebutkan namaku, akan kubiarkan kau hidup. Kau bisa makan lewat selang selama hidupmu, tapi kau masih hidup. So, kau masih ingat namaku?”

Ekspresi Hakim Stevens bercampur antara tangis, amarah, dan ketakutan, tapi dia tidak bisa mengingat siapa nama wanita di hadapannya. Ada terlalu banyak nama, banyak kasus, banyak vonis, dan dia tidak ingat siapa wanita ini—salah satu orang yang pernah duduk di persidangannya—entah apa kasusnya. Persetan, Hakim James Stevens tidak ingat!

Riley North habis kesabaran. Maka dia pun pergi, dan membiarkan Hakim Stevens tetap terikat di kursinya, dengan kedua tangan masih terpantek pada meja, dan kabel bom masih melilit tubuhnya. Seratus meter dari rumah sang Hakim, Riley North meledakkan bom yang ia pasang di sana, dan tubuh Hakim James Stevens hancur bersama rumahnya yang meledak.

Pembantaian yang merupakan pembalasan dendam mengerikan itu berawal dari peristiwa lima tahun sebelumnya.

Lima tahun sebelumnya, Riley North adalah wanita bahagia, dengan sebuah keluarga. Hidupnya tidak mewah, tapi dia memiliki suami dan anak perempuan yang dicintainya. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang nyaman. Chris North, suaminya, punya usaha bengkel, sementara Riley bekerja kantoran. Anak mereka masih kecil, dan baru sekolah di SD.

Chris North memiliki teman, bernama Mickey. Suatu hari, Mickey mendengar akan ada transaksi narkoba yang akan dilakukan anak buah Diego Garcia. Mickey mengajak Chris untuk merampok transaksi itu, agar bisa mendapat uang banyak dalam waktu singkat.

Semula, Chris sempat tertarik dengan tawaran itu, tapi belakangan ia membatalkan. “Aku tidak mau, risikonya tak sepadan,” ujar Chris lewat ponsel.

Kabar mengenai rencana Mickey untuk merampok ternyata terdengar oleh Diego Garcia, bos mafia yang dijuluki “Si Pemenggal” karena kekejamannya. Dia senang memenggal kepala siapa pun yang dianggapnya layak, dan dia tidak punya maaf. Termasuk pada Mickey... dan Chris North.

Mickey memang batal merampok. Tapi Diego Garcia tak punya maaf. Jadi, Mickey lalu diculik dan dipenggal, karena “punya rencana merampok Diego Garcia”. Kalau kau berurusan dengan Si Pemenggal, bahkan baru berencana saja bisa membuatmu terbunuh.

Nasib serupa dialami Chris North, suami Riley. Meski dia sudah membatalkan dan tidak mau terlibat, tapi Diego Garcia juga tidak punya maaf untuknya. Bos mafia itu bahkan mengirim tiga anak buahnya untuk membantai keluarga Chris di hadapan umum, agar “menjadi pelajaran bagi yang lain”.

Dan itulah yang lalu terjadi.

Malam itu, Chris dan Riley sedang berusaha menggembirakan anak perempuan mereka, yang sedang berulang tahun. Mereka ada di tempat karnaval, dan mereka berfoto-foto, juga menikmati es krim. Di tengah keramaian, tiba-tiba, senjata memberondong tubuh ketiganya.

Riley North, yang berjalan terpisah dari suami dan anaknya, sempat melihat wajah orang-orang yang memberondongkan senjata dari dalam mobil. Tapi dia ikut tertembak. Bedanya, dia mampu bertahan hidup, sementara suami dan anaknya tewas.

Sejak itu, kehidupan Riley North menjadi jejak darah dan kenangan penuh luka.

Setelah sembuh dari perawatan di rumah sakit, Riley North diminta datang ke kantor polisi, untuk mengenali para tersangka yang membunuh suami dan anaknya. Riley bisa mengenali mereka, dan tiga penjahat itu pun diajukan ke pengadilan.

Seiring bergulirnya kasus, seorang pengacara—yang menjadi pembela anak buah Diego Garcia—mendatangi rumah Riley North, dan menawarkan uang suap. Ia meminta agar Riley tidak melanjutkan penuntutan, “dan kau bisa melanjutkan hidup baru dengan kenangan baru,” kata sang Pengacara.

Riley North marah, dan mengusir pengacara itu. Tapi sang Pengacara menantang, “Kaupikir bisa mendapatkan keadilan? Tidak akan! Kami telah membayar semuanya!”

Ucapan itu terbukti di pengadilan. Ketiga tersangka diajukan ke muka Hakim, dan Riley North menjadi saksi. Tapi pengacara bisa membela kliennya dengan meyakinkan, sementara hakim telah disuap. Hasil akhirnya, pengadilan yang dipimpin Hakim James Stevens itu memutuskan ketiga tersangka tidak bersalah.

Riley North marah, mengamuk, dan Hakim Stevens memutuskan untuk mengirim wanita itu ke Program Kesehatan Mental—semacam karantina untuk orang-orang yang dianggap tidak waras.

Seharusnya semua sandiwara itu berakhir dengan tenang. Pengacara telah menang membela klien-kliennya, Hakim James Stevens telah berhasil menyelesaikan pengadilan dan mengantongi uang suap, Riley North akan menghabiskan hidupnya di tempat pengasingan, dan Diego Garcia tetap menjadi bos mafia yang tak tersentuh. Dia tidak cuma mencengkeramkan kuku di pengadilan, tapi juga di kepolisian.

Sayangnya, Riley North berhasil kabur... dan perjalanan menuju pembalasan dendam mengerikan dimulai.

Waktu itu, Riley North sudah tak punya apa pun. Suami dan anaknya telah tewas, dan dia juga diusir dari rumah kontrakannya karena tak bisa membayar. Sejak itu, orang-orang melupakannya, dan Diego Garcia—beserta semua yang terlibat dalam kasusnya—melanjutkan hidup dengan tenang.

Lima tahun kemudian, Riley North kembali muncul, dan kali ini telah menjadi pribadi yang jauh berbeda. Rupanya, selama menghilang, dia melatih kemampuan fisiknya habis-habisan, dari perkelahian di jalanan sampai pertarungan di atas ring. Dan perempuan yang semula lemah itu kini berubah menjadi petarung tangguh yang mematikan.

Tepat lima tahun sejak menghilang, Riley North mendatangi para pembunuh suami dan anaknya, dan membantai mereka satu per satu. Kemudian, ia menggantung ketiga mayat penjahat itu dengan tubuh terbalik di tempat karnaval, tempat dulu suami dan anaknya terbunuh.

Setelah itu, ia mendatangi pengacara yang dulu mencoba menyuapnya, dan si pengacara belakangan ditemukan tewas di kolam renang rumahnya. Lalu Hakim Stevens tewas dengan tubuh terlilit bom, dan jasadnya tercerai-berai tak karuan.

Tapi dendam Riley North belum selesai. Ia tahu, akar kejahatan yang menimpanya adalah Diego Garcia, sang bos mafia yang tak tersentuh hukum. Karenanya, seperti yang ia katakan pada Hakim Stevens, “Kau tidak bisa menegakkan keadilan, Pak Hakim. Biar aku saja.”

Riley North memulai pembalasan dendamnya dengan mengacaukan bisnis narkoba Diego Garcia. Ketika upaya itu dianggapnya kurang memuaskan, ia pun langsung mendatangi markas Diego Garcia, dan mengamuk serta membantai semua yang ada di sana.

Kali ini, sang bos mafia harus berhadapan dengan bidadari bersayap darah, dengan amarah dari neraka, yang tak bisa dihentikan apa pun... sebelum dendamnya terbalas.

....
....

Hollywood sangat tahu cara membuat film tentang balas dendam, dan menempatkan penontonnya pada posisi dilematis. Seperti dalam Peppermint, yang kisahnya saya uraikan tadi. Kita tahu, yang dilakukan Riley North adalah kesalahan, tapi kita juga seperti dipaksa untuk memaklumi—bahkan memaafkan—yang ia lakukan.

Kita bisa membayangkan posisi Riley North—seorang wanita lemah yang harus berhadapan dengan pengadilan korup, hakim korup, pengacara korup—yang menghasilkan ketidakadilan baginya. Suami dan anaknya tewas, sementara penjahat yang jelas membunuh mereka dibiarkan lepas begitu saja, karena uang membungkam keadilan. Apa yang harus dilakukannya?

Mungkin Riley North bisa pasrah menerima kenyataan, dan menyabarkan diri bahwa semua itu cobaan, ujian, atau sebut apa pun. Lalu dia berusaha melupakan yang telah terjadi, dan berusaha meneruskan kehidupan dengan luka hati yang entah kapan akan sembuh.

Tapi Riley North juga punya pilihan lain—setidaknya, Hollywood memungkinkannya begitu. Alih-alih pasrah dan menerima nasib ketidakadilan yang menikam hidupnya, Riley North memilih untuk membalas dendam. Bukan hanya membalas dendam pada para pembunuh suami dan anaknya, tapi juga membalas dendam pada pengadilan yang korup dan sistem yang korup.

Itulah yang dia lakukan, dan dia benar-benar melakukannya. Setelah semua bajingan tewas bersimbah darah, dia ditangkap, dan tentu akan diajukan ke pengadilan, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tetapi, seorang polisi yang baik hati menemuinya, dan berbisik, “Kau membunuh banyak sekali orang jahat. Kau memberangus bandar narkoba raksasa, dan mengungkap pengkhianat di kantorku. Tak ada polisi yang kukenal yang bisa melakukan semua yang kaulakukan. Well... mari kita katakan saja, sebagian kita tidak ingin keadaan jadi seperti ini.” Lalu, diam-diam, dia menyerahkan kunci borgol yang mengikat tangan Riley North.

Riley North lepas. Ia kembali hilang. Tak ada yang tahu ke mana dan di mana dia sekarang.

Hidup yang Penuh Kegemesan

Emmmeessssshhhh...

Apppeuuuuhhh...

Bocah di Tengah Malam

Bersama seorang bocah, saya duduk di kegelapan tengah malam, berhadapan dengan sebuah tambak—atau mungkin harus saya katakan, bekas tambak.

Jadi, di hadapan kami ada sebuah tambak yang kini tidak aktif. Semula, tambak itu merupakan tambak udang. Namun, setelah wabah rob melanda Pantura, tambak udang itu mengalami masalah. Ketika rob datang dan air membeludak hingga menenggelamkan tambak, udang-udang yang ada di tambak lepas ke mana-mana. Akhirnya, tambak udang itu dinonaktifkan.

Di sebelah tambak adalah jalan kecil, seperti umumnya jalan di perkampungan, dan di sebelah jalan kecil itu ada kebun pisang. Di kebun itu ada beberapa tumpukan batu, yang biasa dijadikan untuk tempat duduk.

Malam itu, saya bersama bocah pemilik tambak udang tadi, duduk-duduk di batu yang ada di kebun pisang. Kami berdua duduk berdampingan, sambil udud di kegelapan, dan mengobrol dengan asyik—seperti umumnya bocah.

Jalan kecil di hadapan kami diterangi lampu yang berdiri di beberapa bagian, sehingga cukup terang. Orang-orang yang berlalu lalang—bersepeda, bermotor, atau berjalan kaki—dapat kami lihat dengan jelas. Tapi orang-orang itu mungkin tidak melihat kami, karena kami ada di kebun pisang remang-remang.

Sekitar pukul 01.00, seorang bocah tampak berjalan kaki sendirian, melangkah di jalan di depan kami. Bocah itu jelas tidak melihat kami, karena dia melangkah begitu saja, menatap lurus ke depan.

Ketika sampai di depan tambak udang, bocah itu tampak berhenti. Kemudian, sambil menatap tambak udang di depannya, bocah itu berkata, “Hei tambak, tambak udang, asu kabeh sak ndunyo!”

Saya dan pemilik tambak seketika bengong sambil menahan tawa.

Ketika bocah tadi sudah pergi dan tak terlihat, saya penasaran ingin mencoba yang tadi ia lakukan. Jadi, saya pun keluar dari kegelapan, mendekati tambak, lalu berkata seperti bocah tadi, “Hei tambak, tambak udang, asu kabeh sak ndunyo!”

Setelah itu, bocah pemilik tambak ikut melakukan.

Entah kenapa, kami merasa senang.

Bahkan Pun

Oh... bahkan pun.

Rabu, 11 Desember 2019

Urusan Menantu dan Mertua

"Mapan" untuk menikah itu relatif. Tidak harus kaya-raya.
Intinya adalah bisa menghidupi keluarga secara layak
dan tidak berkekurangan, serta tidak merepotkan orang lain
(orangtua, saudara, mertua, dan seterusnya).
@noffret


Salah satu “humor dewasa” yang populer di Amerika adalah tentang Nabi Adam. Humor itu sederhana, dan bunyinya cuma seperti ini, “Pria paling beruntung di dunia adalah Nabi Adam, karena dia tidak punya mertua.”

Dulu, pertama kali mendengar humor itu, saya sama sekali tidak paham maksudnya. Boro-boro paham maksudnya, saya bahkan tidak paham di mana lucunya. Kenyataannya, itu “humor untuk orang dewasa”, dalam arti hanya dapat dimengerti orang yang benar-benar telah dewasa. Lebih spesifik, orang dewasa yang telah menikah.

Karena saya belum menikah, saya pun tidak terlalu mengerti bagaimana hubungan antara menantu dan mertua. Namun, gara-gara terpicu oleh “humor” tersebut, saya pun tertarik untuk mengetahui lebih mendalam urusan menantu dan mertua. Karena banyak teman saya yang telah menikah, saya pun banyak belajar dari mereka, dan perlahan-lahan saya memahami kenapa Nabi Adam adalah pria paling beruntung di dunia.

Urusan menantu-mertua adalah urusan rumit, kata teman-teman saya yang telah menikah. Tingkat “kerumitan” yang terjadi bahkan kadang lebih rumit dibanding teori relativitas atau Big Bang. Teori relativitas atau Big Bang setidaknya bisa diuraikan dengan cukup mudah. Tapi urusan menantu dengan mertua tidak sesederhana itu.

Yang disebut “menantu” bisa pria dan bisa wanita, karena ada orangtua yang punya menantu pria, dan ada pula orangtua yang punya menantu wanita. Begitu pula istilah “mertua” bisa merujuk pada orangtua pihak suami maupun orangtua pihak istri. Yang aneh, banyak orang—pria maupun wanita—tidak cocok dengan mertuanya. Padahal mereka menikah dengan anak mertua. Kalau sama anaknya cocok, kenapa sama orangtuanya tidak cocok?

Dari pembelajaran selama ini, saya mulai menyadari sesuatu yang sebelumnya tidak saya pahami. Hal-hal semacam ini jarang—bahkan nyaris tidak pernah—ditulis dengan gamblang di buku mana pun. Karenanya, saya mempelajari hal ini melalui kehidupan langsung yang saya amati, yang saya dengar, yang saya perhatikan.

Hampir semua orangtua sangat membanggakan anaknya, pria maupun wanita. Orangtua mana pun senang membangga-banggakan putra atau putri mereka, terlepas apakah anak-anak yang mereka banggakan itu memang layak dibanggakan. Yang menjadi masalah, orangtua sering kali terjebak pada ilusinya sendiri. Hal itu mulai tampak jelas, ketika sang anak akan menikah.

Ketika seorang anak akan menikah dengan orang yang dipilihnya, orangtua akan memastikan bahwa calon menantunya benar-benar layak. Tentu saja itu perlu dilakukan, karena bagaimana pun mereka ingin anaknya mendapat pasangan yang tepat. Yang menjadi masalah, orangtua kadang menetapkan tingkat “kelayakan” yang tak masuk akal untuk calon menantu, akibat terjebak ilusinya sendiri terhadap anaknya.

Yang punya anak laki-laki, menginginkan dapat menantu cantik, pintar masak, pintar dandan, dan sebagainya, dan sebagainya, dan lain-lain, dan lain-lain. Yang punya anak perempuan, menginginkan dapat menantu ganteng, kaya, dapat dibanggakan, dan sebagainya, dan sebagainya, dan lain-lain, dan lain-lain. Jika sang menantu ternyata tidak seperti itu, mereka akan mengharapkan menantunya seperti itu.

Itulah, pikir saya, akar dan awal mula hubungan tidak sehat antara mertua dan menantu.

Bisa jadi, sang menantu adalah wanita baik budi, yang sangat menghormati suami, yang penuh kasih pada sesama, seorang mbakyu yang dirindukan pria mana pun. Tetapi, jika sang menantu tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan si mertua, tetap saja sang menantu dianggap “tidak cukup layak”. Alasannya bisa macam-macam, dari tidak bisa berdandan sampai tidak bisa memasak. Kalau mertua mau mencari kekuranganmu, itu sangat mudah bagi mereka.

Atau, bisa jadi, sang menantu adalah pria baik budi, yang sangat menyayangi istri, dan memiliki kepribadian mulia serta bijaksana. Tetapi, jika sang menantu tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan si mertua, tetap saja sang menantu dianggap “tidak cukup layak”. Alasannya pun bisa macam-macam, dari belum punya rumah, tidak punya mobil, penghasilan kurang memadai, sebut apa pun. Kalau mertua mau mencari kelemahanmu, itu sangat gampang bagi mereka.

Ada cerita teman saya, sebut saja Adrian, yang layak diceritakan. Dia punya kakak perempuan, sebut saja Dewi. Dewi menikah dengan seorang pria baik, sebut saja Diki. Adrian menghormati Diki sebagai kakak ipar, juga karena kepribadian Diki yang memang baik. Adrian bahkan bersyukur kakak perempuannya menikah dengan pria seperti Diki. Tetapi, rupanya, ibu Adrian tidak berpikir seperti itu.

Ketika menikah, Diki belum punya rumah. Dewi tidak mempersoalkan hal itu, toh nyatanya Diki waktu itu sedang berusaha mendapatkan rumah yang cocok. Setelah menikah, Dewi mengikuti Diki ke luar kota, di tempat kerja Diki, dan hidup di sebuah rumah kontrakan. Mereka pasangan bahagia, yang saling mencintai.

Sesekali, Dewi pulang ke rumah orangtuanya, bersama Diki sang suami, kalau pas Diki libur kerja karena tanggal merah. Berdasarkan cerita Adrian yang dituturkan ke saya, orangtuanya (yang artinya juga mertua Diki) kerap menyindir soal rumah setiap kali anak dan menantunya datang. Biasanya, Diki atau Dewi akan menjawab, kalau mereka sedang berusaha mencari rumah yang lokasinya cocok, dekat dengan tempat kerja.

Lalu, suatu hari, pasangan itu memperoleh rumah yang diinginkan, sehingga tidak mengontrak seperti sebelumnya. Apakah masalah kemudian selesai? Terkait dengan mertua, urusannya belum selesai!

Setiap kali lebaran, Dewi pulang ke rumah orangtuanya, bersama Diki sang suami. Biasanya, Diki membawa mobil kantor, dan dengan mobil itu ia mengantarkan keluarga istrinya bersilaturrahmi ke tempat para famili (dalam hal ini famili dari pihak istri). Adrian juga ikut bergabung menumpang mobil yang dibawa Diki, dan dia bersyukur Diki mau melakukan hal itu—meminjam mobil kantor, demi memudahkan urusan keluarga Adrian bersilaturrahmi. Tetapi, rupanya, bagi ibu Adrian (yang artinya mertua Diki), itu belum cukup.

Adrian kadang-kadang mendapati ibunya menyindir Diki agar punya mobil sendiri, agar setiap lebaran tidak perlu meminjam mobil kantor, dan sebagainya, dan sebagainya. Sindiran itu memang sangat halus, kata Adrian, tapi ia tahu itu sindiran, dan bisa jadi membuat Diki tertekan.

Adrian mengatakan kepada saya, “Terus terang, aku sangat tidak nyaman dengan sikap ibuku terhadap Diki. Mungkin Diki bukan lelaki kaya-raya, tapi setidaknya dia telah membuktikan sebagai orang baik, bertanggung jawab, dan menyayangi keluarga. Saat lebaran, dia meminjam mobil kantornya, membantu mengantarkan kami ke mana-mana, bagiku itu sudah cukup. Tidak semua menantu mau melakukan hal itu untuk keluarga istrinya. Tidak seharusnya ibuku membebani Diki dengan sindiran-sindiran semacam itu.”

Sebenarnya, Adrian ingin menegur ibunya, tapi dia juga bingung bagaimana caranya. Kenyataannya Adrian belum menikah, hingga tidak yakin bagaimana menangani urusan semacam itu dengan baik.

Selain kisah Adrian, saya juga pernah mendapatkan kisah yang terkait dengan urusan semacam itu. Kali ini tentang seorang teman lelaki, sebut saja Gani.

Dulu, Gani pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan, sebut saja Irma. Sesekali, Irma menemui Gani di rumah, dan artinya bertemu dengan ibu Gani. Sebenarnya, menurut Gani, Irma adalah perempuan yang baik, dan sangat mengasihinya. Orangtua Irma juga sangat menyayangi Gani. Fakta bahwa Gani jatuh cinta kepada Irma, karena mengetahui kalau Irma adalah pilihan yang tepat. Tapi ternyata tidak begitu bagi ibu Gani.

Meski tidak menunjukkan sikap terang-terangan, Gani tahu ibunya tidak menyukai sosok Irma. Apa penyebabnya? Tidak jelas, tidak pernah jelas. Setiap kali membahas Irma, ibu Gani kadang mengatakan kepada Gani bahwa Irma begini, bahwa Irma begitu, dan seterusnya, dan lain-lain, yang intinya dia tidak suka kepada Irma.

Sampai kemudian, Gani dan Irma putus.

Sampai bertahun-tahun setelah itu, Gani belum juga mendapatkan pengganti Irma. Kenyataannya dia memang belum menemukan perempuan lain yang bisa membuatnya jatuh cinta. Jadi, meski sering ditanya “kapan kawin” oleh lingkungannya, Gani tetap bergeming, karena kenyataannya dia memang belum menemukan pasangan yang tepat.

Suatu hari, Gani bertemu seorang perempuan yang membuatnya jatuh cinta—sosok sederhana yang bisa dibilang berbeda dengan Irma. Jika Irma suka berpakaian terbuka, perempuan yang ini berbusana tertutup. Jika Irma senang bicara, perempuan yang ini tampak kalem. Jika Irma terlihat lincah, perempuan yang ini terkesan pemalu. Bagi Gani, dia perempuan yang tepat.

Tapi rupanya ibu Gani masih belum sepakat dengan pilihan anaknya. Dia tetap menunjukkan sikap tidak suka pada perempuan itu, meski alasannya juga tidak jelas; seperti dulu dia tidak menyukai Irma. Intinya, ibu Gani tidak suka!

Gani berkata kepada saya, “Mungkin ibuku terlalu tinggi menilaiku, sehingga dia menginginkan menantu yang istimewa, yang ia pikir benar-benar tepat untukku yang ia anggap istimewa. Yang tidak pernah dilakukan ibuku adalah mempertanyakan pada dirinya sendiri; apakah aku benar-benar istimewa, ataukah hanya istimewa dalam bayangannya?”

“Aku mengakui, aku memiliki banyak kekurangan,” lanjut Gani. “Karena kesadaran itu pula yang menjadikanku tidak berharap macam-macam mengenai calon pasanganku. Selama aku jatuh cinta kepadanya, dan dia mau hidup bersamaku, dalam suka maupun dalam duka, bagiku sudah cukup. Tapi ternyata ibuku tidak berpikir seperti itu. Mungkin dia menginginkan menantu yang bisa dibanggakan, tanpa menyadari apakah anaknya sendiri memang layak dibanggakan.”

Saya terdiam lama mendengar penuturan jujur itu.

Sebagai lajang, Gani memang tergolong mapan. Dia sudah punya rumah sendiri, dan pekerjaannya pun memberi penghasilan yang mencukupi. Dengan penghasilannya pula, Gani membiayai urusan rumahtangga ibunya, dari bayar listrik sampai tetek bengek lainnya. Mungkin, karena hal itu, ibu Gani terlalu tinggi menilai anaknya sendiri, sehingga terjebak dalam ilusi yang ia ciptakan sendiri.

Sampai sekarang, Gani belum menikah. Untuk hal itu, dia mengatakan, “Jika aku menikah dengan perempuan yang tidak disukai ibuku, aku khawatir istriku akan terbebani dengan hal itu. Memang aku telah punya rumah sendiri, dan kami bisa hidup sendiri tanpa bersentuhan langsung dengan ibuku. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau kelak ibuku tidak akan mencampuri urusan rumah tangga kami?”

....
....

Dua cerita di atas hanya sebagian kecil dari yang pernah saya dengar dan ketahui mengenai urusan menantu dan mertua. Di luar dua kisah itu, ada banyak cerita lain, yang juga dituturkan langsung para pelakunya, namun saya terlalu risih untuk menuliskannya di sini. Yang jelas, terkait dengan hal ini, ada seorang teman yang telah menikah, dan dia memberi nasihat yang mungkin layak kita dengar.

Berikut ini nasihatnya, “Kalau kau menikah, usahakan untuk hidup terpisah dari orangtua. Jangan hidup seatap dengan mereka. Bahkan, kalau bisa, hiduplah di tempat yang relatif jauh dari orangtuamu maupun orangtua pasanganmu. Bangunlah rumah tangga sendiri dengan pasanganmu.

“Jika rumah tanggamu menyenangkan, ceritakan dan tunjukkan pada orangtua kalian, agar mereka ikut senang. Tetapi jika sebaliknya, diam saja, dan jangan ceritakan apa pun pada mereka. Urusan rumah tanggamu adalah urusanmu dengan pasanganmu, bukan dengan orangtuamu atau orangtua pasanganmu. Fakta bahkan kalian menikah, artinya kalian memang telah siap menanggung apa pun yang terjadi dalam pernikahan, dan itu urusanmu dengan pasanganmu.”

....
....

Memang, tidak semua mertua pasti “jahat” pada menantunya, sebagaimana tidak semua menantu “tidak cocok” dengan mertua. Tetapi bahwa hal-hal semacam itu ada, itu fakta. Sebagaimana perkawinan. Bahwa ada pasangan yang bahagia dalam perkawinan, itu jelas. Tetapi bahwa ada pula pasangan yang menderita dalam perkawinan, itu juga fakta.

Ada mertua-mertua yang sangat baik pada menantu mereka. Sebegitu baik, hingga kasih sayang mereka bisa dibilang seperti kepada anak kandung sendiri. Beruntunglah orang-orang yang memiliki mertua seperti itu, karena artinya mereka memiliki dua orangtua, dua ayah, dan dua ibu.

Karenanya, mungkin, orang paling beruntung di dunia bukan Nabi Adam, melainkan orang yang dicintai pasangannya setengah mati, dan disayangi mertua sepenuh hati.

Catatan-Catatan Seputar Lagu Malaysia

Beberapa waktu terakhir, ada orang yang terus menerus membuka catatan-catatan yang membahas kisah/lagu Malaysia, di blog ini. Agak konyol, sebenarnya. Mencari-cari masalah, tapi jadi kebingungan ketika masalah benar-benar datang.

So, untuk membantunya, berikut ini adalah daftar catatan yang bisa ia buka-buka dengan mudah. Tolong dibantu ya guys, bantu buka halaman-halaman ini.

Oh, ya, dan catatan ini juga: Kenikmatan Menulis di Blog yang Tidak Bisa Didapatkan di Tempat Lain

Kangen Keponakan

Zaman keponakan saya masih kecil dulu, dia tidak bisa mengatakan hal-hal dengan jelas karena masih cadel. Kalau ketemu, kami bermain-main dengan gembira. Saat saya sedang berbaring, misalnya, dia kadang menjatuhkan badannya ke tubuh saya. Biasanya, saya akan mendekapnya dengan erat, dan dia akan tertawa-tawa.

Karena saya mendekapnya erat, dia pun meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. Saat tidak juga bisa lepas, dia akan berteriak-teriak meminta tolong. Karena masih cadel, dia tidak bisa mengatakan “Tolong.” Saat bermaksud meminta tolong—agar bisa lepas dari dekapan saya—yang dia katakan, “Payuuung!”

Saya sering tertawa sendiri setiap kali teringat hal itu.

Kini keponakan saya sudah besar, dan bisa berbicara dengan jelas. Kalau ketemu, kami masih suka bermain-main seperti dulu. Dan saya sering kangen dengan masa-masa cadelnya dulu, saat dia berteriak “payung” ketika dalam dekapan saya.

No Hijab Day

#NoHijabDay mendadak viral dan membuat geger publik. Aksi ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap aturan-aturan yang memaksa perempuan untuk mengenakan hijab. Bagaimana menurutmu? http://bit.ly/2C2ta8U

—@kumparan, 6 Februari 2018

Baru tahu ada gerakan NoHijabDay. Tentu bukan hal baik. Tapi paksaan dan tekanan tanpa empati memang kerap melahirkan pelawanan dan pemberontakan. Termasuk, tentu saja, paksaan untuk menikah, dan tekanan untuk beranak-pinak.

Karena bahkan semut pun menggigitmu, jika ia terinjak.

—@noffret, 6 Februari 2018

Tutupnya

Oh... tutupnya.

Rabu, 04 Desember 2019

Di Balik Kelambu Pernikahan

PRIA:
Ya = Ya
Tidak = Tidak
Terserah = Terserah

WANITA:
YA = Bisa ya, bisa tidak
Tidak = Bisa tidak, bisa ya
Terserah = Hanya Tuhan yang tahu artinya

PRIA:
Mari ubah hal-hal sulit agar lebih mudah.

WANITA:
Mari ubah hal-hal mudah agar lebih sulit.

Begitu terus sampai kiamat.

Fakta yang tak bisa dibantah siapa pun: Pria dan wanita adalah makhluk berbeda, baik dalam fisik maupun cara berpikir. Ketika dua makhluk berbeda itu disatukan di bawah satu atap bernama pernikahan, sejuta kemungkinan bisa dan pasti terjadi.

Tidak ada rumus pasti mengenai kemungkinan yang terjadi dalam pernikahan. Keduanya (suami-istri) bisa jadi saling mendominasi, atau bisa saling berkompromi, atau salah satunya yang mendominasi. Faktor inilah, salah satunya, yang lalu melahirkan sistem patriarki.

Ribuan tahun lalu, ada orang yang cukup pintar untuk memahami "reaksi" yang terjadi jika pria dan wanita disatukan. Dia paham, ketika pria dan wanita disatukan, sejuta kemungkinan bisa dan pasti terjadi. Karenanya, dia lalu merancang konsep yang sekarang kita sebut patriarki.

Cara berpikir yang melatari konsep patriarki sebenarnya primitif: Manusia adalah serigala bagi manusia lain, remember? "Jadi, sebelum mereka (wanita) menindas, kita (pria) harus terlebih dulu menindas mereka." Konsep itu lalu diadopsi dan dilembagakan dari generasi ke generasi.

Konsep patriarki telah ada jauh-jauh hari sebelum manusia menyebutnya "patriarki". Istilah atau sebutan "patriarki" muncul di zaman modern, sementara konsepnya berasal dari zaman purba. Dan manusia mulai mengenal konsep itu, seiring mereka mulai mengenal konsep pernikahan!

Ketika pria dan wanita bertemu dan berkumpul sewaktu-waktu, masalah belum muncul. Kalau pun muncul, masalahnya mudah diatasi. Tapi ketika pria dan wanita disatukan untuk hidup bersama sampai bertahun-tahun, masalah pasti muncul! Homo sapiens sudah paham hal ini sejak zaman purba!

Karenanya, ketika mereka mulai mengenal konsep hidup bersama (pernikahan), mereka pun melengkapinya dengan instrumen yang memungkinkan masalah (dalam pernikahan) bisa diminimalkan. Dengan latar kehidupan mereka di zaman purba, konsep patriarki menjawab kebutuhan mereka.

Jadi, sejak awal, manusia sudah memahami bahwa setiap pernikahan berpotensi memunculkan masalah! Di masa lalu, ketika sistem patriarki mengakar kuat, masalah dalam pernikahan bisa ditutupi dengan mudah, karena istri selalu kalah dan mengalah. Itulah sebenarnya tujuan patriarki!

Sistem patriarki memungkinkan pernikahan di zaman purba (atau kuno) untuk terlihat baik-baik saja, dan masyarakat bisa hidup dengan tenteram.

Belakangan, zaman berubah, dan sebagian wanita mulai sadar kalau selama ini mereka diam-diam ditindas, dan perlahan-lahan mereka bangkit.

Kesadaran dan kebangkitan para wanita tidak hanya memunculkan istilah "patriarki" yang lalu dikenal sebagai konsep dalam relasi pria-wanita, tapi juga menguak tabir mengerikan di balik kelambu pernikahan. Bahwa ternyata, selama ini, keindahan pernikahan hanya ngapusi.

Perlahan tapi pasti, orang-orang mulai memahami bahwa pernikahan tidak seindah yang terlihat di permukaan. Para pelaku pernikahan mulai berani buka suara, mengungkapkan apa sesungguhnya yang terjadi dalam pernikahan mereka, dan kesadaran yang mengerikan mulai terbuka.

Sebagian manusia kalang kabut. Sistem peradaban (khususnya perkawinan) yang mereka bangun mulai runtuh dan tercabik-cabik. Kebohongan yang disembunyikan di balik tirai perkawinan telah mulai terbuka, dan mereka harus menemukan cara agar manusia tetap percaya pada perkawinan.

Maka lahirlah aksi ngibul paling legendaris sepanjang masa, yang menandai dimulainya Abad Dusta. Aksi ngibul itu biasanya berbunyi, "Menikah akan membuatmu bahagia," atau, "Menikah akan melancarkan rezeki," serta doktrin-doktrin dusta lainnya yang terdengar seperti angin sorga.

Doktrin-doktrin itu jelas dusta, bahkan sudah cacat sejak awal. Karena, bahkan ribuan tahun yang lalu, manusia purba sudah paham. Bahwa ketika pria dan wanita disatukan di bawah satu atap bernama perkawinan, masalah pasti akan terjadi! Masalah keparat apa yang membuatmu bahagia?

Ingat kembali fakta tak terbantah ini: Pria dan wanita adalah makhluk berbeda. Dan ketika dua makhluk yang jelas berbeda disatukan di bawah satu atap selama bertahun-tahun, masalah pasti akan terjadi! Omong kosong kalau perkawinan PASTI bahagia. Bahagia hanya satu kemungkinan.

Bahkan, dalam pikiranku, kebahagiaan perkawinan itu "kecelakaan" (accident). Jika menggunakan perspektif biologi, psikologi, fisiologi, filsafat dan matematika digabung jadi satu, orang lebih mungkin tertekan dalam perkawinan daripada bahagia. Kemungkinannya satu banding sejuta!

Karena latar belakang itulah, aku berani menulis catatan berisi tantangan ini, dan selama bertahun-tahun, meski telah dibaca ribuan orang, tidak ada satu orang pun yang berani menjawab tantanganku: Ikrar Suci » http://bit.ly/1UKSzWq


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Maret 2019.

What The Hell...

Terus terang aku iri sama cowok yang rela mengumpulkan ribuan RT di Twitter demi bisa ketemuan dengan cewek. Aku tidak punya kesabaran semacam itu. Aku hanya menerima jawaban Ya atau Tidak. Jelas, padat, ringkas, tanpa bertele-tele, dan tanpa banyak drama yang buang-buang waktu.

Cewek katanya tidak suka cowok yang bertele-tele. Tapi nyatanya cewek senang bertele-tele dengan banyak drama yang cuma buang waktu. Kabar buruknya, tidak semua cowok punya waktu untuk dibuang-buang. Lebih baik menggunakan waktu untuk kerja daripada ngurusin drama tidak jelas.

Cewek mungkin khawatir akan dianggap "gampangan" kalau mempermudah urusan. Biar kuberitahu, gampangan atau tidak bukan tergantung pada bagaimana sikapmu, tapi pada bagaimana dirimu. Kalau nyatanya kamu memang gampangan, mau dipersulit seperti apa pun kamu tetap gampangan.

Cowok, khususnya yang sudah dewasa, tidak setolol yang mungkin kamu kira. Kami bisa membedakan mana sikap ramah dan sikap murahan. Sejujurnya, aku justru menghargai cewek yang menunjukkan sikap proaktif—kamu paham maksudnya—dan tidak sedetik pun aku menganggap mereka gampangan.

Jangankan pakai syarat ribuan RT, bahkan membalas chat sengaja lama-lama saja sudah membuatku kehilangan selera. Kalau cewek membalas chat 1 jam kemudian, aku akan membalasnya lagi 1 tahun kemudian. Kalau dia menganggapku tidak penting, aku juga akan menganggapnya tidak penting.

Sebagai cowok, aku sering mikir, "Kalau untuk ketemu saja sudah dibikin menjengkelkan, siapa yang bisa menjamin pertemuan yang akan terjadi bisa menyenangkan?"

Kalau kita sama-sama ingin ketemu, tapi kamu mempersulitku, silakan pergi ke neraka. Aku tidak sudi membuang waktu!

Agar tidak terjadi kesalahpahaman, aku perlu ngasih tambahan.

Aku tidak punya keinginan bertemu siapa pun di dunia maya. Tapi kalau 2 ORANG sama-sama ingin ketemu, maka itu membutuhkan usaha DUA ORANG. So, tidak perlu khawatir (dan tidak perlu ngarep) aku akan mengejar-ngejarmu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 April 2018.

Percakapan Tidak Ilmiah Soal Gerobak

Saya duduk bersama seorang bocah, dan tak jauh dari tempat kami ada sebuah gerobak—entah gerobak apa.

Bocah di samping saya berkata, “Gerobak itu adalah gerobak petuah.”

“Gerobak petuah?” tanya saya. “Kenapa itu gerobak petuah?”

“Karena orang-orang mengatakannya begitu.”

“Dan kau setuju?”

Dia tersenyum. “Entahlah. Tapi menurutku, gerobak itu hanyalah gerobak.”

Kegagalan Resolusi

Kegagalan resolusi kadang tidak hanya disebabkan oleh diri kita, tapi juga oleh hal-hal di luar kita.

Awal Januari lalu, aku menulis resolusi yang sederhana. Namun, sampai jelang akhir tahun, tetap belum mampu mewujudkannya.

Resolusi untuk 2018 » https://bit.ly/2KI975x


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 November 2018.

Itu

Oh... itu.

Jumat, 29 November 2019

Selamat Ulang Tahun, Karin Novilda

Kayiiiiin, Kayin. Senang melihatmu kembali ceria.
@noffret


Kapan pertama kali saya mengenalnya? Mungkin sama seperti orang-orang lain, ketika dia menangis karena putus dengan pacarnya, dan video yang merekam kisah itu viral. Seperti orang-orang lain, saya pun menonton video itu di YouTube, dan saat itulah saya pertama kali mengenal Karin Novilda; perempuan belasan tahun yang kelak akan sangat fenomenal di Indonesia, dengan nama Awkarin.

Mungkin video itu akan berlalu begitu saja dari ingatan, kalau saja tidak ada sesuatu yang menarik perhatian saya. Ketika menyaksikan Karin menangis di video, saya tahu tangisan itu terjadi secara alami, atau secara spontan. Dan dalam spontanitas itu, bersama tangisnya yang pilu, Karin mengatakan beberapa hal yang kelak sangat membekas dalam memori saya.

“Dia perempuan yang baik,” batin saya waktu itu.

Impresi itu pula yang kemudian membuat saya penasaran ingin melihat video-videonya yang lain, yang mudah ditemukan di YouTube. Saya menemukan beberapa video yang membuat saya tersenyum sendiri selama menonton—itu video-video yang dibuat jauh-jauh hari sebelum Karin terkenal seperti sekarang.

Ada video saat dia menunggu kedatangan pacarnya—lalu dia iseng joget-joget di kamar—dan membuat saya cekikikan, ada pula video saat dia bermobil bersama beberapa temannya, dan berteriak, “Kuontoooool!” Benar-benar khas perempuan belasan tahun.

Ketertarikan saya menonton video-video Awkarin, karena video-video itu mampu membuat saya tersenyum dan terhibur. Mungkin sama seperti orang-orang lain yang menggemari video Awkarin di YouTube. Saya selalu senang saat melihat Awkarin tertawa. Menikmati celotehnya, mendengar tawanya yang lepas, seperti terapi bagi pikiran saya agar rileks sejenak.

Jadi, saya pun senang menonton video-video Awkarin di YouTube. Belakangan, seiring waktu, saya menyadari bahwa saya telah menyaksikan metamorfosis seorang gadis remaja yang nangis-nangis karena putus dengan pacarnya sekian tahun lalu, menjadi sosok perempuan yang kuat dan berpengaruh.

Seiring sosok dan namanya kian populer, Awkarin terus bersinggungan dengan kontroversi. Dari penampilannya yang dinilai “tidak sesuai budaya ketimuran”, gaya hidupnya yang dianggap “terlalu bebas”, sampai proklamasinya yang terang-terangan, “Kalian semua suci, aku penuh dosa.” Persekutuannya dengan Young Lex, waktu itu, seperti menguatkan image-nya yang “bad”.

Seiring dengan itu, saya membaca dan menonton wawancara-wawancara Karin dengan berbagai media, dan saya mendapati dia sangat cerdas. Dia bukan perempuan tolol yang tidak tahu apa yang dilakukannya—dia tahu. Dia tahu apa yang dilakukannya, dan dia memang sengaja melakukannya!

Lalu, suatu hari, Awkarin kembali bermetamorfosis, meninggalkan dirinya yang lama (yang dianggap buruk), menjadi dirinya yang baru (yang lebih baik). Dan dia benar-benar melakukannya. Bersama tim Sekolah Relawan, dia mendatangi lokasi bencana di Palu, mengumpulkan sumbangan lewat KitaBisa, membawakan bantuan, dan menghasilkan video yang mampu menyentuh dan mempengaruhi nurani penontonnya.

Saya ingin mengakui, bahwa dalam video itulah saya menyaksikan sosok Awkarin yang tercantik—jauh lebih cantik dibanding penampilannya di foto/video lain. Sejak itu pula, Awkarin tidak hanya menjadi selebgram dan seleb YouTube, tapi juga aktivis sosial dan kemanusiaan.

Lalu segalanya seperti berlangsung dengan cepat. Awkarin seperti ada di mana-mana, tidak hanya di dunia maya, tapi juga di dunia nyata. Dia ada di catwalk, di lokasi bencana, menyanyi di panggung, berbicara di hadapan mahasiswa di kampus, di tengah para penggemarnya, juga ada di tengah lautan manusia saat demonstrasi tempo hari. Dia selebritas media sosial, influencer, penyanyi, pengusaha, CEO, aktivis sosial, sebut lainnya.

Yang paling mengagumkan dari semua itu, dia membangun semuanya semata-mata dengan personalitasnya. Awkarin sangat terkenal bukan karena main film yang disutradarai orang lain, bukan karena menjadi bintang iklan yang diproduseri orang lain, bukan karena melakukan hal-hal yang digerakkan atau dikendalikan orang lain. Dia meraih popularitas dan kesuksesan, dengan dan melalui dirinya sendiri.

Bagi saya, itu yang membedakan Awkarin dengan kebanyakan selebritas lain, khususnya di Indonesia. Dan untuk ukuran perempuan berusia 20 tahun, dia telah membangun pengaruh yang sangat besar, sekaligus melakukan pencapaian yang sulit ditandingi orang lain. Karenanya, kalau sewaktu-waktu dia kadang nakal dan arogan, saya pikir itu manusiawi—kita tidak bisa mengharapkan perempuan 20 tahun selalu bersikap seperti nabi.

Hal lain yang membuat saya makin tertarik pada Awkarin, dia satu-satunya wanita di Indonesia yang tampil percaya diri dengan bikini, sekaligus mampu tampil elegan saat berjilbab! Dan tidak ada orang yang meributkannya!

Karena itulah, saya tiba pada satu kesimpulan penting, “Aku jatuh cinta pada perempuan ini!”

Dan bagaimana tidak? Awkarin adalah perempuan yang lengkap, dengan kecantikan, kecerdasan, pesona, bahkan dengan kenakalan sekaligus kembakyuan—kalau boleh disebut begitu. Bahkan mendengar suaranya yang serak-serak lembut saja, saya sudah senang.

Tetapi, tentu saja, saya cukup tahu diri terkait hal-hal semacam itu. Karenanya, kalau mungkin di antara kalian ada yang mengira saya berharap menjadi pacar Awkarin, kalian keliru! Saya tidak punya keinginan menjadi pacar Awkarin! Bahkan umpama Awkarin bersedia menjadi pacar saya, tetap saja saya tidak akan bersedia. Saya akan menyarankan kepadanya agar mencari laki-laki lain yang lebih baik—dia layak mendapatkannya.

Bagi saya, jatuh cinta kepadanya sudah cukup, dan saya tidak mengharap apa pun, selain—tentu saja—berharap dia mendapat yang terbaik.

Karenanya, hari ini, saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Bersama doa dan harapan yang baik untuknya. Semoga panjang umur, dan selalu dikaruniai kesehatan, agar bisa melakukan hal-hal baik yang ingin dilakukan, agar bisa mencapai impian-impian baik yang diinginkan.

Selamat ulang tahun, Karin Novilda.

Tandasnya

Oh... tandasnya.

Minggu, 24 November 2019

Lelaki Tua dan Bocah

Ada orang tua berjiwa muda,
aku orang muda berjiwa bocah.
@noffret


Seharusnya saya tidur lebih lama, tapi pagi itu telah terbangun, ketika matahari baru saja terbit. Usai mandi dan melakukan beberapa hal yang perlu dilakukan, saya menuju tempat sarapan. Waktu itu pukul 8.00 pagi, dan saya punya janji dengan seseorang pukul 11.00. Artinya ada tiga jam yang kosong menuju waktu pertemuan.

Usai sarapan, saya mendekati seorang pelayan, dan berkata, “Saya ada janji pukul sebelas, dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk menunggu waktu pertemuan. Anda bisa menyarankan tempat yang bagus untuk saya kunjungi?”

Dia menjawab ramah, “Sekitar dua ratus meter dari sini, ada taman yang asri. Mungkin Anda ingin menikmati pemandangan dan udara segar sambil duduk santai?”

Saya mengangguk. “Perfect!”

Berjalan kaki dengan santai, saya menuju ke taman yang dimaksud. Jalanan tidak terlalu ramai, karena waktu itu hari libur. Saya terus melangkah di trotoar, seiring toko-toko yang mulai buka.

Sesaat kemudian, saya sudah sampai di taman yang dimaksud pelayan tadi. Saya pasti tidak akan tahu di sana ada taman, kalau saja tidak diberi tahu. Tidak ada papan petunjuk apa pun di bagian gerbang, selain hanya dua pilar besar yang tampak digerogoti waktu. Tidak ada portal, tidak ada penjaga, tidak ada apa pun.

Saya melangkah masuk, dan seketika suasana perkotaan seperti lenyap. Sekitar sepuluh langkah memasuki taman, saya disambut pohon-pohon besar di kanan kiri, yang memberikan suasana asri. Semakin dalam saya masuk, saya juga mendapati tempat-tempat duduk yang tampak nyaman. Sepertinya ini taman untuk rekreasi keluarga, pikir saya.

Semakin dalam saya masuk, suasana semakin asri. Pohon-pohon besar di sana-sini memberikan suasana adem. Di tempat parkir, tampak jejeran mobil—mungkin milik orang-orang yang datang—dan beberapa penjaga terlihat duduk-duduk santai sambil merokok. Sementara di bagian lebih dalam tampak orang-orang yang sedang asyik menikmati suasana taman. Suara-suara mereka tidak terlalu terdengar dari tempat saya berada.

Merasakan kaki mulai lelah, saya memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang ada di sana—sebuah kursi panjang berwarna putih yang nyaman—tidak jauh dari tempat parkir. Saya duduk dengan nyaman, merasakan adem yang sama nyaman, lalu menyulut rokok.

Selama beberapa menit, saya duduk dengan tenang, menikmati keheningan yang sangat nyaman. Angin berembus perlahan, menyejukkan, menenangkan. Setiap kota seharusnya memiliki taman seperti ini, pikir saya.

Rokok saya tinggal setengah, ketika sebuah Prius hitam memasuki lokasi parkir, dan berhenti. Sebuah keluarga turun dari mobil, dengan suasana yang jelas penuh kegembiraan. Sepertinya mereka sebuah keluarga yang utuh—orang tua, anak-anak, serta para cucu. Ada sepasang pria-wanita lanjut usia, sepasang pria-wanita yang lebih muda, serta dua anak kecil. Mungkin mereka ingin menikmati suasana taman, dan kenyataannya mereka segera menjauh dari mobil untuk memasuki kawasan taman di bagian dalam.

Tapi salah satu dari mereka melihat saya duduk sendirian di kursi, dan terdengar berkata, “Biar saya duduk-duduk di sana saja.” Lalu dia melangkah mendekati tempat saya berada.

Laki-laki itu mungkin berusia 60-an, berambut kelabu, paling tua di antara yang lain, dan dia benar-benar mendekati tempat saya duduk, melangkah dengan perlahan. Dengan senyum ramah yang menyenangkan, dia menyapa, “Sendirian?”

Saya membalas keramahannya, “Seperti yang Anda lihat.”

Dia lalu duduk di kursi samping saya, dan tampak santai. “Keluarga saya sering ke sini,” ujarnya, “dan saya sering kelelahan kalau menemani mereka.”

“Anda sepertinya memiliki keluarga yang menyenangkan.”

“Harta saya yang paling berharga,” sahutnya. “Setelah setua ini, saya tahu, merekalah yang paling penting bagi hidup saya.”

“Anda orang beruntung, kalau begitu.”

Kami pun lalu bercakap-cakap santai, dan saya mendapat kesan dia orang berpendidikan. Dia santun, tapi bisa menjelaskan maksudnya dengan baik, tanpa membosankan lawan bicara. Seiring percakapan, rokok saya makin habis, dan saya membuangnya ke tempat sampah di dekat tempat duduk kami.

“Berapa usiamu, Nak?” dia bertanya.

Saya tersenyum. “Berapa, menurut Anda?”

“Ah... tiga puluh tahun?”

“Sekitar itu.”

Dia tersenyum puas, lalu berkata, “Saya telah menjalani hidup, jauh lebih lama darimu. Usia saya sekarang enam puluh delapan tahun. Kau tahu apa yang saya miliki, yang belum kaumiliki?”

Saya menjawab perlahan, “Kebijaksanaan seorang pria tua?”

“Kau mengatakannya dengan baik.” Dia terkekeh dengan nada menyenangkan. “Saya pernah muda, seusiamu, dan pikiran saya di masa itu penuh hal-hal besar, dari membangun kehidupan pribadi sampai membangun dunia yang saya inginkan. Tetapi, seiring usia yang makin menua, semua keinginan itu sirna. Saat tubuh makin tua dan rapuh, yang saya inginkan hanya tetap sehat, dan menjalani sisa hidup dengan baik.”

“Maafkan saya. Bagaimana rasanya menjadi tua?”

“Mungkin tidak seburuk yang kaubayangkan. Tapi jelas ada banyak hal dari masa muda yang akan hilang saat usiamu menua. Kekuatan fisikmu menghilang—tulang-tulangmu, gigimu, bahkan jari-jarimu—seperti mesin tua yang kelelahan. Karena itulah, seperti yang saya katakan tadi, yang diharapkan orang tua seperti saya hanya tetap sehat, agar dapat menjalani sisa hidup dengan baik.”

“Dan Anda sepertinya mendapatkan yang Anda inginkan. Anda tampak sehat, dan Anda memiliki keluarga yang sempurna.”

Dia mengangguk. “Anak sulung saya, yang tadi mungkin kaulihat, dia seorang dokter. Begitu pula istrinya. Mereka merawat kami—istri dan saya—dengan baik, dan kami benar-benar beruntung hingga bisa menjalani kehidupan tenteram sampai setua sekarang. Karenanya, kadang saya membayangkan, bagaimana dengan orang-orang lain yang mungkin tidak seberuntung kami? Maksud saya, ada orang-orang yang tidak seberuntung keluarga kami—mereka hidup terpisah-pisah, berjauhan, dengan masalah dan kesibukan sendiri-sendiri. Saya kadang mendapati ada laki-laki setua saya yang masih harus bekerja keras. Hidup tampaknya tidak adil, eh?”

Saya mencoba tersenyum. “Hidup tampaknya tidak dibuat untuk adil.”

“Bagaimana denganmu, Nak? Sepertinya kau tidak menikah?”

“Saya belum menikah,” saya menjawab. “Ada banyak hal yang harus saya kerjakan, dan saya pikir pernikahan akan menghambat langkah saya.”

Dia tersenyum menggoda, “Membangun dunia yang lebih baik?”

“Something like that.”

Dia lalu berkata dengan serius, “Saya tidak ingin berceramah yang akan membuatmu bosan. Saya hanya bisa menyarankan, kejarlah apa pun yang ingin kau raih. Bangunlah dunia seperti yang kauinginkan. Saya pernah mengimpikan hal sama, tapi saya gagal. Mungkin kau lebih beruntung dari saya. Kau masih muda, waktumu masih banyak, dan kau punya tenaga untuk mewujudkannya. Kelak, setelah kau setua saya, semua keinginan itu akan lenyap tanpa bekas, dan kau akan lebih sering menyesali hal-hal yang tidak kaulakukan, daripada hal-hal yang kaulakukan.”

Percakapan kami terhenti sejenak, ketika seorang pria mendatangi tempat duduk kami—dia anak lelaki tua yang bercakap-cakap dengan saya.

Pria itu mungkin sedikit lebih tua dari saya. Dia berkata kepada saya dengan nada ramah yang menyenangkan, mirip ayahnya, “Terima kasih telah menemani ayah saya.”

Saya menjawab keramahannya, “Sebenarnya, ayah Anda yang telah menemani saya.”

Dia lalu berkata kepada ayahnya, menawari apakah ingin ikut ke dalam bersama keluarga yang lain, namun si ayah menolak, dan memutuskan untuk tetap bersama saya.

Kemudian dia kembali berkata pada saya, “Sepertinya ayah saya menemukan teman bercakap yang menyenangkan. Saya harap Anda tidak bosan.”

“Sebaliknya,” saya menjawab, “saya sangat menikmati.”

Dia pun berlalu, dan kembali ke tempat keluarganya yang lain.

Saya berkata pada lelaki tua di samping saya, “Benar-benar cermin Anda.”

Dia terkekeh. “Keajaiban penciptaan, eh?” ujarnya. “Dia memang benar-benar mirip saya, dan saya masih sering takjub saat menyadari bagaimana dia tersenyum, berbicara, sampai menggerakkan tangan, dengan gaya persis seperti saya.”

“Bagaimana rasanya memiliki anak seperti itu? Maksud saya, apa yang Anda rasakan menyaksikan sosok yang benar-benar mirip Anda, dengan sikap, kebiasaan, dan keramahan yang sama?”

“Tentu saja saya bangga, dan bersyukur.” Dia terdiam sesaat, lalu melanjutkan, “Orang tua cenderung membanggakan anaknya, dan bisa jadi kau akan bosan. Tapi biar saya katakan. Saya bersyukur telah berusaha menjadi pribadi yang baik, karena ternyata hal itu menurun pada anak yang saya miliki. Saat kau punya anak, kelak, kau akan mendapati anakmu tidak hanya akan mewarisi ciri fisik dan kebiasaanmu, tapi juga sifat, kepribadian, karaktermu. Kau akan melihat kebaikanmu pada sosok anakmu, sebagaimana—mungkin—kau juga akan melihat keburukanmu pada sosok anakmu.”

“Anda membuat saya khawatir punya anak.”

Dia terkekeh. “Tentu saja kau tidak seburuk yang kaubayangkan—kalau itu yang kaumaksud.”

Percakapan kami masih panjang, dan menyenangkan.

Ketika kemudian kami berpisah, saya merasa telah mengenalnya bertahun-tahun, meski saya tetap tidak tahu siapa namanya, sebagaimana dia tidak tahu siapa saya.

Pelajaran Dasar Feminisme

Ada gejala kesalahpahaman akhir-akhir ini, terkait wanita dan kemampuan memasak. Sebagian wanita kadang ngamuk kalau nemu pria yang menginginkan wanita yang bisa masak. Padahal, keinginan semacam itu adalah hak. Sama seperti wanita yang juga punya hak terkait kriteria tertentu.

Kalau seorang pria menyatakan bahwa dia ingin punya pasangan wanita yang bisa masak, itu hak dia, dan tentu saja tidak salah. Yang salah adalah jika pria menyatakan bahwa SEMUA WANITA harus bisa masak.

Kriteria pasangan adalah hak individu, dan itu dimiliki pria maupun wanita.

Sama saja, ada wanita menginginkan pasangan pria yang sudah punya rumah, misalnya. Ya tidak apa-apa, wong itu hak dia. Menjadi masalah kalau si wanita berpikir bahwa SEMUA PRIA harus punya rumah.

Sebagaimana kriteria bisa berbeda, kemampuan orang per orang juga bisa berbeda.

Kesalahpahaman serupa kadang tidak hanya terjadi antara pria dan wanita, tapi juga wanita dengan wanita.

Sebagian wanita, berdalih kesetaraan, menginginkan SEMUA WANITA harus aktif bekerja di luar rumah, dan menyalahkan wanita yang memilih aktif jadi ibu rumah tangga di rumah.

Semangat feminisme adalah KESETARAAN, dan kesetaraan memungkinkan setiap orang punya PILIHAN. Karena pilihan, tentu setiap orang bisa berbeda, termasuk pilihan wanita dalam menjalani kehidupan mereka. Ada yang memilih aktif di luar rumah, ada pula yang memilih aktif di rumah.

Feminisme tidak bermaksud agar SEMUA WANITA aktif bekerja di luar rumah. Esensi feminisme adalah memungkinkan wanita punya hak dan pilihan yang SETARA dengan pria. Sekali lagi, karena namanya pilihan, tentu setiap orang (dalam hal ini wanita) bisa berbeda, dan itu bukan masalah.

Sungguh lucu kalau ada wanita, berdalih feminisme, menyalahkan wanita lain yang menjadi ibu rumah tangga dan aktif di rumah.

Kalau seorang wanita memang MEMILIH untuk aktif di rumah, dan dia SADAR DENGAN PILIHAN YANG DIAMBILNYA, itu hak dia, dan itulah semangat feminisme.

Mengharapkan semua wanita harus punya pilihan yang sama itu mustahil. Sama mustahilnya mengharapkan semua pria harus punya pilihan yang sama. Kenyataannya, semua orang pasti berbeda, termasuk dalam pilihan-pilihan hidupnya.

Dan inti masalah kita bukan pilihan, tapi kesadaran.

Setiap orang berhak memilih yang terbaik bagi diri dan hidupnya. Selama dia menyadari pilihannya, serta bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya, bahkan iblis di neraka tidak punya hak meributkan pilihannya.

Hidup adalah soal pilihan, dan itu pula yang diusung feminisme.

Dulu, wanita menghadapi banyak "harus". Harus gini, harus gitu—hal-hal yang belum tentu dia inginkan. Feminisme ada untuk menghilangkan "harus-harus" itu, dan memberi ruang serta keleluasaan bagi wanita, agar mereka juga punya hak dan pilihan sebagaimana yang dimiliki pria.

Jadi, feminisme tidak dimaksudkan agar wanita lebih tinggi dari pria, atau wanita harus meninggalkan hal-hal yang dulu lekat dengan wanita (seperti memasak dan semacamnya). Feminisme hanya ingin menyadarkan wanita bahwa mereka sebenarnya punya hak/pilihan yang SETARA dengan pria.

So, kalau ada wanita hobi masak, dan bermimpi jadi ibu rumah tangga yang saban hari menyiapkan masakan bagi keluarganya, ya ITU HAK DIA, dan kita patut menghormati pilihannya.

Feminisme bukan berarti semua wanita harus meninggalkan aktivitas memasak. Mosok ngene wae ora paham?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Maret 2018.

Jualan Selangkangan Bertopeng Agama

Tampaknya, jualan yang paling mudah laku memang jualan selangkangan. Sebagian menjualnya dalam isu perkawinan, sebagian lagi menjualnya dalam isu poligami. Sama-sama sesat dan merusak, karena mengeksploitasi selangkangan untuk mencari keuntungan, tapi menggunakan topeng agama.

Yang jualan selangkangan dengan isu pernikahan, berkoar-koar, "Menikah adalah ibadah." Padahal, mereka cuma ingin bilang, "Gue tahu elu ingin ngeseks. Nih, gue jualan cara mudah ngeseks tanpa disalahkan, karena ibadah." Maka mereka pun terkenal, dan "dagangan" mereka laris.

Sama saja, yang jualan selangkangan dengan isu poligami, berkoar-koar, "Poligami adalah sunah nabi." Padahal, mereka sebelas dua belas dengan yang jualan selangkangan dengan isu pernikahan. Sama-sama jualan, sama-sama ingin terkenal, sama-sama ingin keuntungan dari jualan mereka.

Yang jualan selangkangan dengan isu pernikahan maupun poligami itu sama-sama merusak. Pernikahan berimplikasi pada anak-anak yang mereka lahirkan, sementara poligami berimplikasi pada kemungkinan terjadinya eksploitasi. Ngurus diri sendiri saja belum tentu bener, ngurus 4 istri.

Daripada menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah, jauh lebih baik memberitahu konsekuensi menikah yang berat, yang jarang diketahui orang yang belum menikah. Begitu pula dengan poligami. Menunjukkan konsekuensi atas sesuatu jauh lebih baik, sebelum menyuruh melakukan sesuatu.

Jika bumi makin rusak karena populasi yang semakin padat, dan jika kehidupan manusia makin buruk hingga setaraf binatang karena harus sikut-sikutan demi bisa makan... maka orang pertama yang patut disalahkan adalah mereka yang jualan selangkangan dengan isu pernikahan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Juli 2018.

Macet Gila di São Paulo

Munculnya helikopter sebagai sarana transportasi baru di Jakarta mungkin terkesan hebat. Tapi sebenarnya juga mengkhawatirkan. Karena bisa jadi Jakarta akan jauh lebih buruk dibanding sekarang, baik dalam kemacetan maupun kekacauan. Kisah ini persis São Paulo di Brasil.

Yang pernah ke São Paulo tentu tahu bagaimana kacaunya kota itu. Kekacauan tidak hanya terjadi di jalan darat, tapi juga di udara. Di darat, kemacetan terjadi sangat parah. Di udara, helikopter memenuhi langit. Dan itu terjadi setiap hari. Awal mulanya persis seperti Jakarta.

São Paulo terkenal sebagai kota terbesar, termaju, dan paling modern di Brasil. Tapi São Paulo juga terkenal sebagai Kota Paling Umbrus di Dunia. Bayangkan kekacauan sepuluh Jakarta digabung jadi satu, dan itulah São Paulo. Macet parah sepanjang 150 KM adalah hal biasa di sana.

Mengapa São Paulo bisa sedemikian kacau? Tata kota yang buruk. Orang-orang kaya dibawa ke pusat kota, orang-orang miskin dan menengah dipinggirkan. Padahal, kalangan miskin dan menengah bekerja di pusat kota. Hasilnya, setiap pagi dan sore adalah kemacetan parah. Persis Jakarta.

Saat ini, São Paulo memiliki armada pesawat helikopter terbanyak per kapita. Hebat, huh? Tidak! Karena bahkan di udara pun, helikopter-helikopter itu terjebak macet, persis di jalan darat! Kehebatan macam apa yang membuat orang ditikam stres setiap hari, dan tak bisa apa-apa?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Des 2017

Pungkasnya

Oh... pungkasnya.

Jumat, 15 November 2019

Sepuluh Tahun Ngeblog

Tempat berekspresi paling ideal di dunia maya memang blog.
Bebas ngoceh apa pun, sepanjang apa pun, segila apa pun.
@noffret


Sepuluh tahun yang lalu, pada 15 November 2009, saya menulis catatan pertama di blog ini. Dan sekarang, tepat sepuluh tahun kemudian, saya masih menulis di sini. Tidak ada yang berubah, selain bahwa saya masih terus menulis. Entah sampai kapan.

Pada era 2000-an, dunia blogging di Indonesia begitu semarak. Hampir semua orang yang kenal internet pada masa itu punya blog. Bukan hanya satu—sebagian mereka bahkan ada yang punya beberapa blog sekaligus. Waktu itu, para blogger tidak hanya aktif menulis di blog, tapi juga saling berinteraksi dengan para blogger lain. Pada masa itu, lahir para seleb blog.

Sebegitu populer blogging di masa itu, sampai ada buku berjudul—saya kutip seutuhnya—“Hari Gini Belum Ngeblog? Ke Mana Aja Lo?”

Di masa-masa itu pula, saya menjalin pertemanan dengan cukup banyak blogger yang waktu itu aktif ngeblog. Belakangan, ketika satu per satu mereka menghilang, saya merasa kehilangan.

Di antara teman blogger yang sampai kini tetap menjalin pertemanan dengan saya adalah Iskandar—dia termasuk blogger seangkatan saya—dan sampai sekarang kami sering berinteraksi lewat japri, membicarakan berbagai hal, dan saya banyak belajar darinya. Seperti saya, Iskandar masih eksis ngeblog sampai sekarang, dan kalian bisa mengunjungi blog Iskandar di sini.

Selain Iskandar, dulu saya juga sering ngobrol lewat japri dengan blogger lain, bernama Yus Yulianto. Sayang, dia kemudian menghilang dari blogsphere, dan saya benar-benar kangen ngobrol dengannya seperti dulu.

Well, gegap gempita blogging di masa itu perlahan-lahan mengalami masa surut. Satu per satu dari mereka menghilang, dan blognya tidak lagi aktif. Sebagian ada yang menghilang tiba-tiba, sebagian lain menghilang perlahan-lahan. Jumlah blogger aktif di Indonesia, yang semula mungkin ribuan, kini bisa dihitung jari.

Ada beragam alasan kenapa orang-orang yang dulu aktif ngeblog kini menghilang. Ada yang karena menikah, dan mungkin waktunya makin sempit untuk menulis blog. Ada yang makin sibuk di dunia nyata, hingga tidak sempat lagi menulis di blog. Ada yang bosan, ada pula yang kehilangan motivasi, dan lain-lain. Sementara yang aktif sampai kini pun sebagian besar mengubah haluan—dari blog personal menjadi blog komersial.

Dinamika, perubahan, memang bisa terjadi di mana saja, dan itu hal biasa, termasuk dalam aktivitas blogging.

Sebagian orang mungkin heran mendapati saya mampu konsisten menulis di blog hingga sepuluh tahun, dan bertanya-tanya apa motivasi yang menggerakkan saya.

Jawabannya, bisa jadi, justru tidak ada motivasi!

Kalau saya bertanya pada diri sendiri, kenapa mampu konsisten melakukan sesuatu yang sama terus menerus—menulis di blog—selama sepuluh tahun, saya tahu bahwa yang menggerakkan saya hanya cinta. Saya hanya melakukan sesuatu yang saya cintai. Menulis. Jadi saya melakukannya. Dan terus melakukannya.

Menulis di buku diary telah menjadi aktivitas saya sejak SMP. Saya senang menuliskan kegiatan harian saya, meski yang remeh-temeh sekali pun. Saya menikmati saat bercerita pada diary mengenai kegiatan saya, atau apa yang saya pikirkan, yang saya cemaskan, atau yang membuat saya bahagia.

Saat menulis di buku diary di masa-masa itu, saya tidak punya motivasi apa pun, selain hanya ingin melakukannya! Namanya diary pribadi, tentu hanya untuk dibaca sendiri. Dan itu membuat saya senang.

Pada waktu saya SMA, ada stasiun radio lokal yang punya acara bernama Pink Diary. Acara itu dimulai pukul 21.00 sampai 22.00. Sebagaimana namanya, Pink Diary adalah acara membacakan catatan-catatan diary yang dikirim oleh para pendengar. Itu salah satu acara radio yang sangat digemari, khususnya di kota saya.

Setiap pukul 21.00, ribuan remaja di kota saya akan khusyuk mendengarkan Pink Diary, terhanyut oleh kisah-kisah yang dibacakan penyiarnya. Saya termasuk salah satu pendengar yang ikut menikmati acara itu.

Acara itu dipandu dua penyiar, laki-laki dan perempuan. Setiap malam, ada empat catatan diary yang dibacakan, yang dikirim para pendengar laki-laki dan perempuan. Catatan diary perempuan dibacakan penyiar perempuan, dan catatan diary laki-laki dibacakan penyiar laki-laki. Setiap satu catatan diary yang dibacakan, ada satu lagu khusus yang akan diputar, sesuai keinginan/permintaan si pengirim catatan diary.

Karena sangat menikmati acara itu, saya terpikir untuk ikut mengirimkan catatan diary ke stasiun radio tersebut. Saya pun mulai menulisnya. Berbeda dengan kebanyakan diary yang sering dibacakan—yang isinya seputar cinta-cintaan—saya menulis catatan-catatan seputar kehidupan, dan berbagai realitas sosial yang saya alami.

Waktu mengirim tulisan ke radio itu, saya menggunakan nama Hoeda Manis, dengan tujuan agar teman-teman saya di sekolah tahu kalau tulisan itu dikirim oleh saya. Omong-omong, nama Hoeda Manis sebenarnya bukan saya yang menciptakan. Nama itu diciptakan oleh teman saya di SMA, bernama Rini Amalia (kalau Rini mungkin membaca catatan ini, saya ingin dia tahu bahwa saya sangat merindukannya).

Di SMA, orang satu sekolahan lebih tahu nama Hoeda Manis daripada nama asli saya. Itulah kenapa, saya memakai nama itu saat mengirim catatan diary ke stasiun radio tadi. Itu semacam “colekan” pada teman-teman sekolah, yang memberi tahu mereka bahwa saya mengirim catatan diary ke acara tersebut.

Belakangan, saya menyadari, itu “kesalahan yang fatal”.

Ketika catatan-catatan saya mulai dibacakan di acara radio itu, “kegemparan” tidak hanya terjadi di kalangan teman-teman sekolah, tapi secara luas.

Di SMA, saya termasuk murid populer. Karenanya, ketika nama saya muncul di acara Pink Diary, bocah-bocah satu sekolah pun langsung ramai membicarakan—mereka semua penggemar acara itu. Dan mereka meminta agar saya terus mengirim catatan-catatan lain. Saya senang-senang saja melakukannya.

Yang tidak saya duga, “kegemparan” itu ternyata tidak hanya terjadi di sekolah saya, tapi juga di tempat-tempat lain secara luas. Sejak itu, tiba-tiba, semua orang seperti penasaran dengan Hoeda Manis—sesuatu yang tak pernah saya perkirakan sebelumnya!

Bagaimana saya tahu?

Jawabannya mudah. Sejak itu, setiap hari, nama saya muncul di radio, dari pagi sampai pagi lagi, mendapat salam dari banyak orang yang tidak saya kenal, dan menciptakan histeria seisi kota! Mereka ingin ketemu, mereka ingin melihat saya, mereka ingin berbicara langsung dengan saya... dan saya benar-benar kebingungan.

Well, itu cerita lampau, tentang kecintaan saya menulis diary—dari catatan di buku yang saya baca sendiri, sampai catatan yang dikirim ke radio dan dinikmati ribuan orang. Ketika kemudian internet dapat diakses dengan mudah dan lahir blog sebagai “diary online”, saya pun melihat keasyikan yang sejak dulu saya kenali. Maka saya pun menulis di blog.

Blog ini adalah upaya saya melanggengkan kebiasaan menulis diary. Karena medianya berubah, cara saya menulisnya pun ikut berubah. Saat menulis di buku diary yang akan saya baca sendiri, saya menulis seenaknya, tanpa aturan, dan suka-suka. Wong hanya akan saya baca sendiri!

Ketika menulis diary untuk dibacakan di radio, saya pun mengusahakan agar tulisan saya enak saat dibacakan, dan asyik saat didengarkan.

Kini, ketika menulis diary di blog, yang artinya bisa ditemukan siapa pun, saya mengusahakan agar catatan-catatan saya tidak hanya enak dibaca, tapi juga—setidaknya—memberi manfaat pada orang yang membacanya, meski mungkin tak seberapa. Meski juga, di banyak halaman, saya masih suka menulis seenaknya.

Cara melakukan sesuatu bisa berubah, tapi latar belakang melakukan sesuatu tak pernah berubah. Cinta. Saya mencintai yang saya lakukan, dan karena itulah saya terus melakukan... sampai sekarang.

Kini, sepuluh tahun telah lewat, dan blog ini tetap memakai subdomain blogspot, dan saya tidak punya niat untuk mengubahnya ke nama domain pribadi. Karena saya sudah menganggap blog ini sebagai catatan diary kehidupan saya, dan berharap catatan-catatan yang terkumpul di blog ini tetap abadi, dapat terus ada di dunia, meski kelak saya sudah mati. Saat itu terjadi, saya tentu tidak bisa menulis lagi.

Berabad-abad dari sekarang, mungkin, orang akan tetap menemukan catatan-catatan di blog ini, dan mereka akan membacanya sebagaimana yang kalian lakukan pada saat ini.

Dan ketika itu terjadi, mungkin saya akan tersenyum di alam kubur, karena menyadari telah meninggalkan sesuatu untuk dunia... meski tak seberapa.

Setidaknya

Setidaknya aku tahu.

Setidaknya ada waktu.

Setidaknya aku belajar sesuatu.

Urusan Selangkangan di Hyderabad

Di bandara Hyderabad, India, ada fenomena yang populer bagi sebagian kalangan. Di bandara itu, sebagaimana umumnya di bandara lain, ada beberapa pria yang tampak menunggu seseorang, lalu mereka memperhatikan dan mendekati orang-orang yang turun dari pesawat.

Para pria yang menunggu di bandara, dan para pria yang mereka temui setelah turun dari pesawat, semuanya memiliki penampilan khas serupa—semoga kalian paham yang saya maksud. Orang-orang lain pasti mengira para pria yang bertemu di bandara itu famili, padahal bukan. (Jika masih bingung dengan yang saya maksudkan, lihatlah fenomena yang terjadi di Puncak, Bogor).

Para pria yang “menjemput” dan para pria yang “dijemput” sering kali tidak saling kenal—kecuali jika pria yang “dijemput” pernah datang ke India sebelumnya. Dan pertemuan mereka di sana bukan untuk melepas kangen atau semacamnya, tapi untuk transaksi perkawinan!

Jadi, para pria yang “menjemput” itu semacam calo yang menawarkan gadis-gadis India untuk dikawini oleh para pria yang “dijemput”. Jika transaksi deal, si calo akan mempertemukan kliennya dengan si gadis, dan mereka pun lalu menikah secara agama, dengan sejumlah mahar.

Dalam perkawinan itu, si gadis dapat mahar atau maskawin (yang biasanya relatif besar), sementara si calo dapat komisi. Dan si klien? Oh, well, tentu saja kita tahu jawabannya. (Si klien ini rata-rata pria tua yang kaya, dan mereka sudah punya anak istri di negaranya sendiri).

Lalu sampai kapan perkawinan mereka? Tergantung si klien—bisa beberapa hari sampai seminggu. Intinya, jika si klien akan balik ke negaranya, perkawinan pun selesai, dengan talak. Fenomena semacam ini marak di India juga di Pakistan, dan seperti gunung es.

Yang lebih “asoy”, praktik perkawinan mereka tidak cukup “satu lawan satu”. Kalau mau, si klien bisa mengawini dua, tiga, atau empat gadis sekaligus dalam satu waktu, dan lalu menceraikannya dalam satu waktu pula. Asal ada mahar yang cukup, semua bisa diatur si calo.

Di India, ada banyak keluarga miskin yang merelakan anak gadisnya “dijual” dengan dalih perkawinan, dan mahar yang didapat bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki rumah, atau setidaknya menyambung hidup. Sementara para calo hidup mewah dari komisi yang didapat.

Yang miris di sini, para gadis yang dikawinkan itu kebanyakan tidak tahu bahwa mereka menjadi korban perdagangan manusia. Usia mereka masih belasan, pendidikan sangat rendah, dan para gadis tetangganya juga melakukan hal serupa.

Kasus ini bahkan pernah terkuak, gara-gara “kepolosan” para gadis itu. Pada 2004, ada gadis belasan tahun yang dinikahi pria tua—sebut saja si bandot. Mereka kawin beberapa hari, lalu cerai. Si gadis berpikir bahwa yang ia lakukan adalah hal benar, dan dia pun baik-baik saja.

Beberapa waktu kemudian, si gadis mendapati si bandot mengawini gadis tetangganya, dan dia mungkin cemburu. Dengan kenaifannya sebagai gadis belasan tahun, dia melaporkan hal itu ke polisi... dan kasus “jual beli perempuan berdalih perkawinan” itu pun terbongkar.

Tapi bukan berarti kasus itu lalu hilang. Karena selalu ada bandot tua yang ingin meniduri gadis belasan tahun, selalu ada calo-calo rakus, dan selalu ada gadis-gadis yang dibelit kemiskinan dan kebodohan, hingga bisa dimanipulasi dengan dalih perkawinan.

Well, saya teringat pada kasus di India, karena fenomena serupa juga terjadi di Indonesia, meski dalam versi berbeda. Di Indonesia, yang marak terjadi adalah “kampanye perkawinan”, “seminar mendapat 4 istri”, dan semacamnya. Modusnya sama, cuma caranya berbeda.

Dalam fenomena semacam itu, siapakah yang paling diuntungkan? Tentu saja si calo—mereka yang gembar-gembor indahnya perkawinan, dan semacamnya, dan semacamnya. Terlepas perkawinanmu ternyata keblangsak dan kau menyesal, itu bukan urusan mereka.

Selangkangan memang selalu laku dijual, terlepas kau menjajakannya di etalase atau di pinggir jalan, terlepas kau membungkusnya dengan istilah vulgar atau dengan istilah ndakik-ndakik. Rumusnya sama: Hs = S + E (Homo sapiens = Selangkangan + Evolusi).

Imbuhnya

Oh... imbuhnya.

Kamis, 07 November 2019

Tak Terlihat, tapi Mengubah Kehidupan

Punya perut rata itu butuh latihan.
Termasuk latihan menahan (ke)lapar(an).
@noffret


Bayangkan kita punya berat badan 50 kg, yang membuat kita merasa ideal—tidak kurus, juga tidak gemuk. Suatu hari, saat bangun tidur, tiba-tiba kita mendapati tubuh kita sangat gemuk. Kita pun langsung menuju ke timbangan, dan mendapati berat badan telah naik menjadi 100 kg. Apa kira-kira yang akan menjadi reaksi kita?

Mungkin bingung. Atau terkejut. Atau bahkan panik.

Karena penambahan berat badan itu terjadi tiba-tiba—dari 50 kg menjadi 100 kg dalam semalam—alarm dalam diri kita pun berdering sangat keras, dan kita panik, ketakutan, bertanya-tanya, “Bagaimana ini bisa terjadi?”

Manusia tidak terbiasa dengan sesuatu yang tiba-tiba, dan, kenyataannya, kehidupan memang tidak berjalan secara tiba-tiba.

Bagaimana cara berat badan kita naik? Tidak tiba-tiba, tapi perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit. Sebegitu perlahan dan sedikit penambahan berat badan yang terjadi, kita tidak merasakannya, dan terlena. Setelah waktu berjalan lama, dan kita terbiasa dengan perubahan yang terjadi pada tubuh kita, suatu hari kita menimbang berat badan dan mendapati telah ada tambahan berat sekian puluh kilo.

Kita tidak panik, dan tidak bertanya-tanya bagaimana penambahan berat badan itu terjadi. Karena prosesnya perlahan. Sehari demi sehari. Lalu hari berubah menjadi minggu, lalu bulan, dan tumpukan lemak tumbuh sedikit demi sedikit. Kita tidak sadar ketika semua itu—pengumpulan lemak di tubuh—terjadi, karena prosesnya memang tidak tiba-tiba. Dan ketika mulai sadar, penambahan berat badan sekian puluh kilo sudah terjadi.

Sama seperti penambahan berat badan yang berlangsung perlahan-lahan dan membutuhkan waktu lama, upaya kita untuk menurunkan berat badan juga tidak bisa instan. Kita butuh waktu yang juga lama untuk bisa mengembalikan berat badan seperti semula—bahkan kadang lebih lama dan lebih sulit. Menumpuk lemak di tubuh itu mudah, tapi menghilangkannya butuh kerja keras dan kesabaran.

Sering kali, kehidupan kita, dan hal-hal yang kita lakukan sehari-hari, juga seperti itu. Semuanya berlangsung perlahan-lahan, biasanya juga sedikit demi sedikit, sampai suatu hari kita mendapati jumlahnya sangat banyak.

Kalau punya akun di Twitter, coba sesekali perhatikan akun yang kita miliki. Di masing-masing akun Twitter, ada jumlah tweet yang telah ditulis orang per orang. Jika sudah aktif di Twitter selama beberapa tahun, jumlah tweet biasanya sudah mencapai angka di atas 10.000. Artinya, kita sudah ngoceh di Twitter—dalam apa pun bentuknya—sebanyak sepuluh ribu kali lebih!

Sepuluh ribu jelas angka yang banyak, khususnya untuk ocehan. Kita pasti kelelahan setengah mati kalau nekat ngoceh sepuluh ribu kali dalam satu waktu. Tapi sepuluh ribu ocehan itu kita lakukan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, hari demi hari, hingga tidak terasa. Tahu-tahu, kita sudah ngoceh seribu kali. Tahu-tahu, kita sudah ngoceh sepuluh ribu kali. Dan kelak, tahu-tahu, kita sudah ngoceh seratus ribu kali.

Begitulah kehidupan kita berjalan. Tak terasa. Tahu-tahu sudah banyak. Tahu-tahu sudah besar. Kita yang kemarin masih remaja, tahu-tahu sekarang sudah dewasa. Dan kelak, tahu-tahu sudah tua. Kita mengatakan hidup berjalan sangat cepat. Padahal, yang terjadi, hidup justru berjalan lambat. Sebegitu lambat, hingga kita tidak merasakannya.

Teman saya, Safik, punya pabrik yang mempekerjakan banyak orang. Suatu hari, Safik merenovasi pabriknya. Bangunan pabrik yang lama diruntuhkan, lalu dibangun kembali hingga benar-benar baru. Hasilnya, ada tumpukan bekas bangunan yang menggunung, dari dinding-dinding pabrik yang dirobohkan. Setidaknya dibutuhkan lima truk untuk mengangkut bekas bangunan yang tak terpakai itu.

Safik menawari para pekerjanya, siapa tahu mereka membutuhkan bekas bangunan tersebut, dan dia mempersilakan siapa pun untuk mengambilnya. Beberapa pekerja tertarik dengan tawaran itu, dan mereka pun menyatakan akan membawa bekas bangunan yang kini menggunung tersebut. Reruntuhan bangunan itu bisa mereka pakai untuk meninggikan lantai rumah atau halaman rumah.

Lalu bagaimana para pekerja akan mengangkut bekas bangunan yang jumlahnya sangat banyak itu? Pakai truk? Tidak! Pakai pikap? Gerobak? Juga tidak! Mereka membawanya sekilo demi sekilo, setiap hari!

Ada lima pekerja yang menyatakan akan mengambil reruntuhan bekas bangunan itu, dan mereka semua biasa berangkat kerja naik sepeda. Setiap hari, mereka membawa karung kecil atau tas plastik tebal ke tempat kerja. Usai kerja, mereka memasukkan reruntuhan bangunan yang menggunung di sana ke dalam karung atau tas plastik yang mereka bawa, lalu buntalan itu diikat di boncengan sepeda mereka. Jumlahnya tidak banyak, hanya sekilo atau dua kilo, dalam satu kali angkut.

Tapi mereka melakukannya setiap hari, sekilo demi sekilo, hari demi hari, dan, suatu hari, reruntuhan bangunan yang semula menggunung di depan pabrik lenyap tanpa bekas! Lima orang, dengan sepeda mereka, masing-masing telah mengangkut reruntuhan bangunan yang semula banyaknya mencapai lima truk. Artinya, masing-masing dari mereka, dengan sepeda, telah mengangkut satu truk!

Keajaiban dikerjakan melalui proses. Sedikit demi sedikit. Kadang perlahan. Tapi yang sedikit dan perlahan itu, bagaimana pun, mengubah sesuatu.

Piramida Giza dibangun bertahun-tahun, oleh ribuan orang, begitu pula Taj Mahal, Makam Terakota, Burj Khalifa, Taman Gantung Babilonia, Perpustakaan Alexandria, sampai jumlah ocehan kita di linimasa. Semuanya melewati proses, perlahan, setahap demi setahap, dari waktu ke waktu. Hingga membentuk sesuatu.

“Roma tidak dibangun dalam semalam,” kata pepatah. Begitu pula kehidupan kita, atau hal-hal besar yang kita kerjakan.

Pernah, suatu waktu ketika selo, saya iseng menghitung berapa total uang yang telah saya belanjakan untuk mengumpulkan ribuan buku yang saat ini saya miliki. Namanya orang iseng, saya telaten mengambil satu per satu buku dari rak, menuliskan judulnya di komputer, lengkap dengan harganya ketika saya beli. Jika saya tidak ingat harga pastinya, saya akan menggunakan perkiraan.

Butuh waktu berbulan-bulan untuk melakukan kerjaan iseng itu, karena saya memang melakukannya kalau pas selo. Ketika akhirnya semua buku telah terinventarisasi, saya mulai menghitung total harganya. Boleh percaya boleh tidak, total uang yang telah saya keluarkan untuk membeli ribuan buku itu bisa digunakan untuk membeli Honda Jazz seri terbaru, bahkan lebih! Nilainya sekitar Rp300 jutaan.

Ketika mendapati angka itu, saya benar-benar terkejut. Jika saya harus mengeluarkan uang Rp300 juta sekaligus untuk membeli buku dalam satu waktu, kemungkinan besar saya akan kesulitan.

Tapi nyatanya, sekarang, saya memiliki buku yang total nilainya sebesar itu. Bagaimana bisa terjadi? Karena saya melakukannya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu, sampai bertahun-tahun. Tidak terasa, sejuta demi sejuta, setumpuk demi setumpuk, sampai akhirnya terbangun perpustakaan.

Begitulah hidup berjalan, dan begitulah kehidupan kita dibangun. Hari demi hari, waktu demi waktu, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, sampai kita tidak merasakannya. Dan kenyataan semacam itu tidak hanya untuk hal-hal yang mungkin akan membuat kita senang, tapi juga untuk hal-hal yang mungkin membuat kita menyesal.

Seperti berat badan, misalnya. Kita tidak mengumpulkan lemak sekian puluh kilo dalam sehari, hingga perut kita membuncit tiba-tiba. Yang kita lakukan hanyalah makan tiga kali sehari, di sela-sela mengunyah kentang, melahap burger, menikmati keripik, menyesap es krim dan aneka makanan lain, sambil ketawa-ketiwi karena hidup begitu mudah sejak ada layanan pesan antar online.

Malam hari, sambil leyeh-leyeh, kita iseng buka ponsel, melihat-lihat deretan menu yang tampak menggiurkan, lalu pesan makanan, dan kita menikmatinya sambil menonton teve. Tidak terasa. Kalau pun terasa, kita senang-senang saja, wong rasanya enak. Persetan, siapa pun setuju kalau ngemil sambil nonton teve itu enak. Apalagi diakhiri dengan ndusel.

Sayangnya, kenikmatan itu bisa berbuah penyesalan. Karena, seiring kenikmatan yang kita kunyah, lemak mengumpul perlahan-lahan, dan berat badan bertambah ons demi ons. Di perut, di paha, di lengan, di leher, lalu kita sok kaget, “Kok sekarang berat badanku naik lima puluh kilo? Tidak masuk akal!”

Saat itu terjadi, kita mungkin menyesali yang telah kita lakukan, dan mengutuk kentang, burger, es krim, atau apa pun yang kita santap hari demi hari. Dan jika ingin menghilangkan tumpukan lemak dari tubuh agar ideal seperti semula, kita pun butuh upaya dan kerja keras, yang bisa jadi lebih lama dari saat kita menimbunnya.

Kita perlu mengingat semua ini, saat ingin mengerjakan sesuatu, atau sedang menuju sesuatu. Karena bangunan sebesar apa pun membutuhkan fondasi pertama, perjalanan sejauh apa pun dimulai langkah awal, dan kehidupan berjalan perlahan-lahan.

 
;