Sabtu, 20 April 2019

Percakapan Pagi Hari

Aku tidak pernah menentang pernikahan, karena itu soal pilihan.
Yang aku tentang adalah orang-orang yang hobi berdusta
atas nama pernikahan.
@noffret


“Asli saya menyesal,” dia berkata. “Kalau saja saya tahu menikah ternyata seberat ini, saya tidak akan buru-buru menikah.”

Kalimat itu diucapkan seorang pria sebaya saya—seseorang yang sebenarnya tidak saya kenal—di suatu pagi, saat kami duduk berhadapan di samping rumah.

Seperti yang telah diceritakan di sini, saya mengundang para tukang batu untuk memperluas dan memperbarui ruangan penyimpanan buku di rumah. Sejak itu, ada 5 tukang batu yang setiap hari datang ke rumah untuk mengerjakan yang saya inginkan.

Setiap pagi, saya pun bersiap menyambut mereka—menyiapkan minum, jajan, dan lain-lain. Lima tukang batu itu rata-rata seusia saya, hanya satu yang terlihat sudah berumur 50-an.

Biasanya, setiap hari, para tukang batu sampai di rumah saya pukul 8 pagi, dan pulang pukul 4 sore. Namun, ada satu yang selalu datang saat masih pukul 7 pagi. Dia salah satu tukang batu yang sebaya dengan saya. Semula, saat pertama kali bekerja di tempat saya, dia datang pukul 8 seperti teman-temannya. Tapi pas hari kedua dan seterusnya, dia selalu datang pukul 7.

Ketika pertama kali mendapati dia datang pagi sekali, saya agak kaget. Saya menyapa ramah, “Kok sudah sampai sini, Mas?”

Dia cuma tersenyum.

Sejak itulah, dia selalu sampai di rumah saya pukul 7, sejam lebih awal dibanding teman-temannya. Biasanya, dia akan duduk di samping rumah saya yang kosong, menunggu teman-temannya datang.

Hari keempat, saya baru akan menyeduh kopi, saat dia datang pukul 7 seperti biasa. Saya pun menawarinya kopi. Dia menolak, tapi saya tetap membuatkan kopi untuknya. Saya bawakan cangkir kopi ke tempatnya duduk, dan dia menerima. Lalu kami menyeruput kopi bersama di samping rumah yang waktu itu terasa sejuk, karena masih pagi.

Saya menyulut rokok, menawarinya, tapi dia tidak merokok.

Karena semula saya tidak kenal dia, saya pun bertanya dia tinggal di mana, dan dia menyebutkan alamatnya. Lalu percakapan pun terjadi, dan kami bercakap-cakap seperti umumnya orang normal.

Dia bertanya, “Kok rumahnya sepi terus, Mas? Memang tinggal sendirian, atau keluarganya sedang pergi semua?”

Saya menjawab, hanya tinggal sendirian.

“Berarti belum menikah, Mas?” tanyanya.

“Belum,” saya menjawab.

Lalu hening menggantung.

Saya bertanya, “Sampeyan sudah menikah, Mas?”

“Sudah,” dia menjawab. “Malah sudah punya satu anak.”

Sekali lagi, hening menggantung.

Dia menatap sekeliling, lalu berkata ragu-ragu, “Pasti senang ya, Mas, tinggal sendirian, tidak ada yang mengganggu.”

Saya tersenyum. “Bukannya lebih senang punya pasangan, karena ada yang menemani, bisa saling curhat kalau pas ada beban pikiran?”

Dia tersenyum malu-malu. “Ah, kata siapa?”

Saya mengisap rokok, dan menyahut, “Saya sering mendengar orang mengatakan begitu. Malah banyak orang yang menyuruh-nyuruh saya agar cepat menikah, karena katanya menikah akan membuat saya bahagia, dan berbagai alasan lain yang terdengar menyenangkan.”

Dia menyahut cepat, “Sebaiknya jangan buru-buru percaya, Mas.”

“Kenapa?”

Dia terdiam sejenak, lalu berkata, “Dulu, saya juga berpikir seperti itu. Waktu belum menikah, saya juga sering mendengar orang mengatakan hal-hal indah tentang pernikahan, saat mereka menyuruh atau menyindir saya agar cepat menikah. Saya pun, seperti umumnya orang lain yang belum menikah, percaya dan terpengaruh omongan mereka. Sebenarnya, saya juga membayangkan menikah memang indah. Sepertinya, semua laki-laki pasti berpikir begitu, kan?”

Saya mengangguk.

“Tapi sebaiknya jangan buru-buru percaya,” dia melanjutkan. “Karena kenyataannya belum tentu seindah yang dibayangkan. Malah bisa jadi berbeda jauh dari yang kita bayangkan. Saya sudah mengalaminya, Mas, jadi saya berani mengatakan. Asli saya menyesal. Kalau saja saya tahu menikah ternyata seberat ini, saya tidak akan buru-buru menikah.”

“Waktu awal menikah, memang menyenangkan,” sambungnya. “Tapi seiring waktu, saya mulai menyadari, kesenangan dan keindahan itu menghilang, dan berganti beban serta kewajiban. Sejak itu pula, yang saya alami adalah tekanan demi tekanan. Adaaa saja kebutuhan yang harus dipenuhi, dari kebutuhan rumah tangga sampai kebutuhan anak dan istri.”

Dia menyeruput kopinya, lalu seperti tersenyum kecut, dan berkata, “Dulu, waktu belum menikah, saya membayangkan banyak hal indah—ya seperti yang dibayangkan orang lain umumnya. Tapi setelah menikah, saya sadar bayangan saya keliru. Dulu, saya berpikir pasti menyenangkan kalau ada seseorang yang menemani kita siang dan malam, hingga saya betah di rumah. Tapi kini, saya justru tertekan, karena selalu saja ada masalah, atau hal-hal yang memberati pikiran saya. Sebegitu tertekan, hingga saya merasa lebih tenang kalau di luar rumah. Karena itulah, saya sengaja keluar rumah pagi-pagi sekali.”

Mendengar tuturan itu, saya pun akhirnya memahami kenapa dia selalu datang pukul 7, meski pekerjaan di rumah saya dimulai pukul 8.

Saya bertanya, “Tapi, Mas, kalau memang pernikahan seperti itu—seperti yang sampeyan katakan—kenapa banyak orang suka menyuruh-nyuruh saya menikah, menjanjikan kebahagiaan dan segala macam?”

Dia kembali tersenyum kecut. “Saya tidak tahu,” jawabnya. “Sebenarnya, saya pun dulu menghadapi hal semacam itu. Ada tetangga sekampung yang dulu suka menyindir saya agar segera menikah. Dia juga mengiming-imingi aneka hal yang terdengar menggiurkan. Lalu saya menikah. Belakangan, kalau kami pas ngobrol, dan saya bilang padanya kalau pernikahan tidak seindah yang ia katakan dulu, dia cuma mengatakan, ‘yah, namanya menikah ya begitu’.”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu bertanya, “Tetangga yang suka menyindir sampeyan itu... dia tentu sudah berkeluarga, ya?”

“Ya,” dia menjawab. “Dia sudah berkeluarga. Dia sudah menikah bertahun-tahun lalu, dan sudah punya tiga anak.”

“Menurut sampeyan, apakah hidupnya bahagia?”

Dia menatap saya sesaat, lalu menjawab ragu-ragu, “Sepertinya tidak. Karena, sebagai tetangga, saya tahu bagaimana kehidupannya.”

Sambil menahan senyum, saya berkata, “Jadi, tetangga sampeyan sudah menikah dan menjalani hidup yang tidak bahagia, dan dia menyuruh sampeyan cepat menikah agar bahagia?”

Kembali dia menatap saya, dan, mungkin, mulai memahami maksud saya. Lalu dia berkata dengan serbasalah, “Saya benar-benar tidak menyadari itu...”

Begitu pula orang-orang lain, pikir saya.

Percakapan itu mungkin masih akan berlanjut, tapi kemudian para tukang batu lain berdatangan, karena sudah pukul 8 pagi. Saya membawa cangkir-cangkir kopi ke dapur, sementara lawan bicara saya bergabung dengan teman-temannya.

Hari baru dimulai.

 
;