Kamis, 11 April 2019

Siomay dari Abad Kegelapan

Jajan siomay dulu, biar tidak stres.
@noffret


Seperti di mana pun, di tempat saya tinggal ada beberapa penjual siomay yang lewat di kampung-kampung. Mereka biasanya muncul di siang hari. Karenanya, orang-orang yang kebetulan sedang lapar tapi malas makan, biasanya akan menghentikan penjual siomay yang lewat di depan rumah. Dalam hal ini, saya salah satunya.

Bertahun-tahun lalu, penjual siomay di tempat tinggal saya cuma satu. Dia biasa lewat di depan rumah saya sekitar jam 1 atau 2 siang. Waktu itu, karena dia satu-satunya penjual siomay yang ada, orang-orang pun mengandalkannya dalam urusan siomay. Kalau kebetulan dia tidak lewat, kami merasa kehilangan.

Siomay orang itu sama dengan siomay-siomay di tempat lain. Ada tahu, kol, bulatan siomay, telur, juga kentang, dengan tambahan bumbu atau sambal, sehingga aktivitas menyantap siomay jadi terasa maknyus. Kalau soal rasa, mungkin relatif. Bagi saya, siomay orang itu biasa-biasa. Enak ya tidak, tidak enak juga tidak. Biasa-biasa saja—cukup untuk mengganjal perut kosong di siang bolong.

Yang agak menjengkelkan dari penjual siomay itu adalah kebiasaannya yang selalu memberi sambal atau bumbu sangat sedikit. Akibatnya, sering kali kami—para konsumen siomay—harus kecewa saat menyantapnya. Siomay di piring masih banyak, tapi sambalnya sudah habis.

Jika diperhatikan, penjual siomay itu punya kebiasaan khas, yang mungkin kurang sesuai prinsip-prinsip environmentalisme—apa pun artinya. Jadi, setelah semua irisan siomay tertata di piring, dia akan menyendok bumbu/sambal sedikit-sedikit, dan meratakannya ke irisan siomay di piring. Intinya, dia berusaha memberi sambal sesedikit mungkin, asal merata dan menutup semua bagian siomay di piring.

Saat disajikan ke pembeli, siomay di piring itu memang tampak tertutup sambal. Tapi sangat sedikit, karena hanya menutup bagian permukaan. Ketika mulai disantap, pembeli siomay mulai menyadari, bahwa sambal itu hanya ada di permukaan, sangat tipis, dan tidak cukup. Akibatnya itu tadi, siomay masih ada di piring, tapi sambalnya keburu habis.

Karena hal itu terus terulang, para pembeli siomay pun mengingatkan si penjual, “Bumbunya yang banyak, ya, Pak.”

Biasanya, setelah diingatkan, penjual siomay akan memperbanyak bumbu atau sambalnya. Setelah beberapa hari diingatkan, pembeli biasanya akan berhenti mengingatkan, karena berpikir si penjual siomay masih ingat dan paham sendiri. Tapi ternyata tidak. Begitu kami berhenti mengingatkan, dia pun kembali ke kebiasaannya semula; hanya memberi sedikit bumbu.

Kenyataan yang mungkin konyol tapi menjengkelkan itu terjadi berulang-ulang, dan menimpa semua orang yang saban hari membeli siomay. Karena itu pula, saya pernah mendapati ibu-ibu tetangga yang protes dengan jengkel, “Saban hari sudah diingatkan, bumbunya yang banyak, tapi masih juga sedikit!”

Kalau mendapat protes semacam itu, si penjual siomay biasanya akan ngeles, “Kalau memang kurang, silakan minta lagi, nanti saya tambahi.”

Kenyataannya, kalau ada pembeli yang minta tambahan bumbu, dia memang akan menambahkan bumbu, bahkan cukup banyak, hingga kali ini giliran bumbunya yang akan sisa di piring.

Meski si penjual bersedia menambah bumbu kalau diminta lagi, tapi sepertinya tawaran itu kurang menarik bagi rata-rata pembeli. Mereka ingin menikmati siomay dengan tenang, tanpa khawatir kehabisan bumbu, dan tanpa repot-repot meminta tambahan bumbu.

Saya termasuk yang merasakan hal semacam itu. Ketika menikmati sepiring siomay, saya ingin menikmatinya dengan tenang, tanpa khawatir kehabisan bumbu, hingga piring benar-benar bersih sebelum akhirnya saya kembalikan kepada si penjual. Ini remeh, sepele, tapi sangat environmental—maksud saya, urusan meminta tambahan bumbu bisa merusak kenikmatan makan siomay.

Beberapa kali, saya makan siomay, dan mendapati bumbunya kurang. Akibatnya, masih ada beberapa irisan siomay di piring yang sisa. Mau saya makan, rasanya tidak enak, karena tidak ada bumbunya. Sementara saya juga malas meminta tambahan bumbu. Jadi, biasanya, saya pun mengembalikan piring dengan sisa beberapa iris siomay di atasnya, yang kehabisan bumbu.

Mestinya, penjual siomay itu menyadari saat melihat hal tersebut. Fakta bahwa ada pembeli yang mengembalikan piring dengan beberapa iris siomay tanpa bumbu, artinya bumbunya kurang. Kalau dia mau sedikit sadar, dia bisa mengingat hal itu, dan besoknya memperbanyak bumbu, agar pembeli tidak perlu menyisakan siomay yang dinikmatinya.

Dan apakah dia sadar? Tidak!

Sampai beberapa tahun, orang-orang di tempat tinggal saya saban hari menghadapi realitas yang membingungkan; siomay yang tidak environmental.

Kami harus menghadapi kenyataan atas kebutuhan terhadap siomay, tapi kami juga harus menghadapi kondisi yang menjengkelkan, yaitu siomay yang selalu, selalu, selalu, kurang bumbu. Tidak ada pilihan lain, mau tak mau kami harus menyantap siomay yang tidak envionmental itu, karena nyatanya tidak ada alternatif pilihan.

Dalam perspektif saya, masa-masa itu layak disebut Abad Kegelapan.

Hingga suatu hari, masa Renaissance tiba, setidaknya di tempat tinggal saya. Jika sebelumnya hanya ada satu penjual siomay, akhirnya muncul penjual siomay lain. Penjual siomay baru ini juga muncul di waktu-waktu sama dengan penjual siomay sebelumnya. Sama-sama menyediakan siomay, dan enaknya juga relatif sama dengan siomay sebelumnya. Namun, kali ini, si penjual siomay memberi banyak bumbu tanpa diminta.

Apa yang terjadi kemudian? Kalian sudah bisa membayangkan. Begitu penjual siomay yang baru itu muncul, seketika orang-orang berpindah ke siomay yang baru, dan meninggalkan penjual siomay yang lama. Bukan karena lebih enak, tapi semata-mata karena kami bisa menikmati siomay dengan tenang, tanpa khawatir kehabisan bumbu di tengah makan.

Sepele? Sangat! Tapi yang sepele itu mampu mengubah peradaban—setidaknya peradaban (kebiasaan) orang-orang di tempat saya tinggal.

Sewaktu-waktu, kadang dua penjual siomay muncul bersamaan. Dan pemandangan yang membingungkan terjadi di depan rumah saya. Orang-orang—tetangga kanan kiri—keluar rumah untuk menghentikan penjual siomay yang baru, dan seketika gerobaknya dikerubungi orang-orang. Sementara penjual siomay yang lama terus lewat, tanpa ada satu pun yang menghentikan.

Saat menghadapi pemandangan semacam itu, kadang saya berhenti di pintu rumah, dan sejenak membayangkan hari-hari lalu, saat kami tidak punya pilihan lain selain menyantap siomay yang tidak enviromental. Apakah penjual siomay yang lama pernah membayangkan itu?

Apakah penjual siomay yang lama pernah memikirkan, bahwa jika dia tidak mau mengubah kebiasaannya, dia bisa ditinggalkan? Mungkin tidak pernah. Karena nyatanya dia terus dan terus dan terus melakukan kebiasaannya—hanya memberi sedikit bumbu, hingga orang-orang terus kecewa dan kecewa. Mungkin dia tidak pernah membayangkan ada penjual siomay baru yang akan mendobrak kebekuan hidup, dan memperbarui kebiasaan lama.

Kini, takdir itu benar-benar datang. Penjual siomay baru muncul dengan tawaran yang lebih relevan, dengan sesuatu yang diam-diam dirindukan oleh banyak orang... tapi selama ini hanya disimpan di lubuk hati karena ditekan oleh keadaan.

Selalu ada Masa Pencerahan, seremeh apa pun, sesederhana apa pun—dan ia memang harus diupayakan—agar manusia tidak terus berkubang di Abad Kegelapan.

 
;