Senin, 01 April 2019

Andai Kunyatakan Cinta

Pekerjaan pertama dalam cinta bukan mencari cinta
yang layak dan tepat, tapi melayakkan diri
agar bisa mendapatkan cinta yang tepat.
@noffret


Di Stasiun Bogor, Jawa Barat, ada sebuah benda mirip cermin berukuran besar. Benda aneh yang dilapisi alumunium itu mungkin dimaksudkan sebagai hiasan atau seni, yang ditempatkan di sarana publik. Namun karena bentuknya menyerupai cermin, orang-orang pun menganggapnya sebagai cermin. Yang unik, pada benda mirip cermin itu terdapat tulisan, “Jangan lupa ngaca. Mungkin jodohmu di kereta.”

Meski bukan cermin, benda itu memang bisa digunakan untuk bercermin. Setidaknya, jika berdiri di depannya, orang akan bisa melihat bayangannya sendiri di sana. Ditambah tulisan yang melekat pada benda itu, orang-orang pun makin menganggap benda tersebut memang cermin, dan—seiring waktu—terkenal dengan sebutan Cermin Jomblo.

Terkait jodoh, kita memang tidak pernah tahu di mana jodoh atau calon pasangan kita. Oh, jangankan kita, bahkan orang tua kita yang sudah jelas menikah puluhan tahun pun, mungkin dulu tidak menyangka siapa yang akan jadi pasangan. Selalu ada jalan cerita. Selalu ada lika-liku seseorang menemukan orang yang tepat, hingga merasa saling nyaman, dan menjalin hubungan.

Orang bisa menemukan jodohnya di bioskop, saat antre di depan loket. Orang bisa menemukan jodohnya di kafe atau restoran, saat kehabisan meja dan terpaksa duduk di samping orang asing. Orang bisa menemukan jodohnya di rumah sakit, saat sedang menjenguk teman yang dirawat. Orang bahkan bisa menemukan jodohnya di kantor polisi, saat melaporkan motornya yang hilang, dan polisi yang menerima kebetulan ramah dan baik hati.

Begitu pun, orang bisa menemukan jodohnya di kereta api atau commuter line. Mungkin karena kesadaran itu pula, pengelola stasiun kereta api di Bogor memasang benda mirip cermin, dan menempelkan kalimat, “Jangan lupa ngaca. Mungkin jodohmu di kereta.”

Ya, jangan lupa ngaca. Jangan lupa bercermin. Agar kita tampak lebih baik, lebih rapi, lebih enak dilihat. Karena kita tidak tahu di mana akan ketemu jodoh. Siapa tahu di dalam kereta. Saat seseorang melihatmu begitu rapi, dia terkesan, lalu mengajak bercakap dengan sopan, dan kau tertarik, lalu berkenalan, saling tukar nomor ponsel, saling menghubungi, lalu ketemuan, jadian, sampai menikah, dan... well, kalian pun bahagia selama-lamanya.

Siapa tahu?

Jauh-jauh hari sebelum Stasiun Bogor memasang cermin, ada humor yang mungkin pararel, terkait jodoh dan cermin. Humor itu menyatakan, orang yang sulit mendapat/menemukan jodoh, membutuhkan sarana yang disebut 3B. Yaitu Berusaha, Berdoa, dan Bercermin.

Mungkin humor itu cenderung sarkas. Kenyataannya, meski sudah puluhan kali membaca atau mendengar humor tersebut, saya tidak pernah mampu tertawa. Meski begitu, saya mengakui kebenaran humor tersebut. Bahwa untuk mendapatkan sesuatu, dalam hal ini jodoh, kita perlu berusaha, berdoa, sekaligus bercermin.

Bercermin, dalam perspektif saya, adalah proses dua arah. Pertama, bercermin memungkinkan kita untuk memperbaiki diri—merapikan rambut, membenahi pakaian yang tampak semrawut, mengurangi asesoris yang terlalu mencolok, atau pula memperbarui dan meningkatkan wawasan. Artinya, bercermin membantu kita untuk mengeluarkan atau menunjukkan pesona dan kelebihan kita.

Kedua, bercermin juga memungkinkan kita untuk introspeksi. Setelah membantu kita menunjukkan kelebihan dan pesona yang kita miliki, proses bercermin juga membantu kita mengenali diri sendiri, beserta kekurangan atau kelemahan yang mungkin kita miliki. Karena bercermin artinya bersikap jujur pada diri sendiri. Kita tidak pernah berusaha membohongi cermin, karena kita tahu cermin pun tak pernah bohong.

Kapan pun saya berdiri di depan cermin, bayangan yang saya tangkap adalah sosok yang ramping dan cenderung kurus. Karena kenyataannya saya memang begitu. Saya tidak bisa—dan sepertinya tidak perlu—membohongi cermin dengan memakai baju berlapis busa agar tampak gemuk, karena saya sadar tak ada gunanya. Kapan pun saya membohongi cermin, di waktu yang sama saya sedang membohongi diri.

Jadi, saya berusaha menerima kenyataan itu. Bahwa meski membayangkan punya tubuh seperti Captain America terasa hebat, kenyataannya saya bukan Captain America. Yang benar, saya Magneto!

Oke, saya ngawur!

Dulu, waktu masih kuliah, saya pernah jatuh cinta pada seorang senior di kampus, bernama Lily. Lengkapnya Lily Maulidya. Waktu itu saya semester empat, dan Lily semester enam. Yang membuat saya jatuh hati, Lily memiliki tampilan fisik yang sangat mirip dengan Nadia, wanita yang sebelumnya telah membuat saya jatuh cinta, sebagaimana yang pernah saya ceritakan di sini.

Jadi, waktu itu, melalui bantuan seorang teman, saya dan Lily saling kenal. Singkat cerita, kami kemudian akrab, dan kadang saya datang ke rumahnya, kadang pula dia datang ke rumah saya. Hubungan kami waktu itu bisa dibilang sudah sama-sama nyaman. Di kampus maupun di luar kampus, kami bisa asyik—mengobrol, bercanda, dan tertawa-tawa. Saya nyaman bersamanya, dan dia juga nyaman bersama saya.

Lily tahu saya jatuh cinta kepadanya. Dan, berdasarkan hubungan yang kami jalani waktu itu, saya pun tahu Lily akan menerima saya... andai saya menyatakan cinta. Tetapi, ada satu masalah waktu itu.

Saya tahu, Lily pernah pacaran dengan dua cowok sebelumnya. Kedua cowok itu bukan mahasiswa di kampus kami, tapi saya tahu siapa mereka. Bagi saya, dua cowok yang menjadi mantan Lily memiliki kualitas yang jauh lebih unggul dari saya. Ini bukan bentuk kerendahdirian, ini bentuk objektivitas dan kesadaran. Karena objektivitas dan kesadaran itu pula, saya pun menahan diri.

Saya tidak tahu bagaimana kesan Lily seutuhnya terhadap diri saya. Waktu itu, saya khawatir, dia mengenali saya lebih tinggi dari diri saya yang sebenarnya. Dengan kata lain, Lily kemungkinan besar hanya mengenali saya dari sisi luar, dan—mungkin—dia mengira saya seperti dua cowok yang telah menjadi mantannya.

Kesadaran mengenai hal itu sempat membuat saya ragu. Di satu sisi, saya mengakui jatuh cinta kepadanya. Tetapi, di sisi lain, saya takut mengecewakannya, karena bisa jadi saya tidak setinggi atau sehebat yang mungkin ia bayangkan. Cukup lama saya memikirkan hal itu, untuk mencari dan menemukan sikap terbaik yang sebaiknya saya lakukan terhadap Lily.

Sampai suatu siang, saat dia ada di rumah saya, dan kami bercakap-cakap santai di sofa, saya pun membuka diri terhadapnya. Karena hubungan kami waktu itu memang sudah saling nyaman, saya pun bisa cukup santai—tidak terlalu tegang—saat akhirnya harus jujur kepadanya.

Saya katakan kepada Lily, bahwa saya jatuh cinta kepadanya. Tapi saya tidak pernah menyatakan perasaan itu, karena takut mengecewakannya. Waktu itu, saya berkata kepada Lily, “Aku tahu siapa dua mantanmu, meski kamu tidak pernah menceritakan.” Setelah itu, saya katakan dengan jujur bagaimana perasaan saya, dan alasan kenapa saya selalu menahan diri untuk tidak menyatakan cinta. “Aku takut mengecewakanmu, karena aku tidak sebaik mereka.”

Keheningan menggantung, waktu itu.

Ketika akhirnya Lily akan membuka suara, saya berkata, “Tak perlu katakan apa pun. Aku hanya ingin kamu tahu.”

Sejak itu, hubungan kami tidak berubah. Kami tetap asyik saat bertemu di kampus atau pun di luar kampus. Kami bahkan terus berhubungan baik, saat akhirnya Lily lulus kuliah, dan wisuda.

Sekitar setahun setelah wisuda, Lily menikah. Beberapa hari sebelum pernikahan, saya datang ke rumah Lily, dan bercakap-cakap seperti biasa. Lily mengatakan bahwa ada kemungkinan kami tidak akan bisa bertemu seperti biasa, karena—setelah menikah nanti—dia harus mengikuti suaminya ke kota lain. Di akhir percakapan, Lily berkata kepada saya, “Aku pasti akan sangat kehilanganmu. Kamu cowok terbaik yang pernah kukenal.”

Itulah kalimat terakhir yang saya dengar saat bersama Lily.

Beberapa hari setelah itu, dia menikah.

Sejak itu, saya tidak pernah lagi bertemu apalagi bercakap dengan Lily. Kabar terakhir yang saya dengar, Lily dan suaminya telah dikaruniai seorang anak.

Hari ini, saat menulis catatan ini, saya kadang membayangkan... andai dulu saya menyatakan cinta kepada Lily, ada kemungkinan dia akan menerima. Lalu kami menjalin hubungan sebagai pasangan. Karena telah sama-sama nyaman, kami pun mungkin akan menikah, dan, bisa jadi, saat ini kami telah memiliki anak.

Andai dulu saya menyatakan cinta kepada Lily, mungkin jalan hidup saya akan jauh berbeda dengan yang sekarang saya jalani. Bukan sebagai lajang, tapi sebagai suami. Bukan sebagai bocah, tetapi seorang ayah.

Tapi saya tidak menyatakan cinta kepadanya, meski saya tahu mungkin dia akan menerima.

Jika kalian bertanya apakah saya menyesal, terus terang saya tidak menyesal.

Kehilangan Lily tentu meninggalkan kesedihan di batin saya. Merelakan dia menikah dengan orang lain tentu membuat saya patah hati. Tetapi, meski begitu, saya tidak menyesal atas langkah yang telah saya lakukan. Karena, bagi saya, itu jauh lebih baik daripada Lily menikah dengan saya, dan kemudian dia menyesal. Bagaimana pun, saya tidak sebaik dan setinggi yang mungkin dia bayangkan.

Well, omong-omong, itulah fungsi dan refleksi bercermin. Yaitu kesadaran untuk objektif menilai diri sendiri, dan secara jujur mengakui kekurangan serta kelemahan yang mungkin kita miliki. Bukan untuk ditutupi dan disembunyikan, melainkan untuk diakui agar kita hidup dengan kesadaran.

Terkait hubungan saya dengan Lily, sebenarnya inti masalahnya sepele. Saya sadar memiliki nilai 7, sementara Lily mengira saya memiliki nilai 9. Kira-kira seperti itulah gambarannya. Itulah kenapa, saya khawatir mengecewakannya, karena tidak setinggi yang ia bayangkan.

Sebagian kalian, yang membaca catatan ini, mungkin ada yang ingin ngemeng, “Ah, kamu mungkin terlalu sensitif.”

Mungkin, ya.

Dan kalian tahu, kenapa saya begitu sensitif? Karena saya rajin bercermin. Di hadapan cermin yang merefleksikan diri saya apa adanya, saya mengakui bukan makhluk sempurna—oh, well, saya bahkan memiliki begitu banyak kekurangan. Sebegitu banyak, hingga saya tidak berani mengimpikan pasangan yang macam-macam, karena saya tahu, dan menyadari, siapa diri saya.

Dalam bayangan saya sebagai bocah, saya hanya mengimpikan sosok sederhana, yang menilai saya secara sederhana, sehingga saya tidak khawatir mengecewakannya. Karena, di hadapan Cermin, kenyataannya saya bukan siapa-siapa.

 
;