Tuhan, Kau telah menciptakan makhluk seindah
dan selucu dia, dan aku jatuh cinta kepadanya.
Tolong tanggung jawab dong, Tuhan...
—@noffret
dan selucu dia, dan aku jatuh cinta kepadanya.
Tolong tanggung jawab dong, Tuhan...
—@noffret
Banyak orang percaya bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, selain rezeki dan usia. Dalam tiga hal itu—jodoh, mati, dan rezeki—konon manusia harus percaya pada ketentuan Tuhan, karena memang manusia tak bisa menentukan apalagi memastikan.
Dalam rezeki, misalnya, kita bisa banting tulang dan berpanas-hujan, bekerja siang malam. Tapi jika memang belum rezeki, tetap saja uang susah didapatkan. Di lain waktu, kita sedang enak-enakan di rumah, tiba-tiba rezeki datang sendiri dalam bentuk tak terduga. Rezeki itu misteri, karenanya manusia pun percaya rezeki ada di tangan Tuhan. Tugas kita mencarinya, dan Tuhan yang menentukan.
Begitu pula usia dan kematian. Kita tak pernah tahu berapa umur kita di dunia ini, dan kapan atau di mana akan mati.
Kadang ada orang yang tiba-tiba mati tanpa sakit sama sekali. Ada pula yang sudah sakit bertahun-tahun tapi tetap bertahan hidup. Lainnya lagi jatuh sakit dan telah diupayakan berobat kemana-mana, menghabiskan banyak biaya, melibatkan dokter-dokter tingkat dunia, tapi tetap tak tertolong. Usia dan kematian menjadi ketentuan Tuhan, dan manusia tak berdaya dalam ketentuan itu. Kalau waktunya mati, berusaha bagaimana pun tetap saja mati.
Lalu jodoh. Bisakah kita yakin siapa yang kelak akan menjadi jodoh kita? Saya tidak bisa. Dan sepertinya masing-masing orang juga tidak memiliki kemampuan untuk memastikan siapa yang akan menjadi jodohnya. Ada orang yang telah pacaran bertahun-tahun, dan tampaknya mereka akan bersama hingga menikah. Tapi kemudian putus di tengah jalan. Lalu kita menyimpulkan, “Yah, memang belum jodoh.”
Di lain waktu, kita mendengar ada orang yang tidak pernah keluar rumah, lalu sekalinya keluar menemukan orang yang tepat, lalu pacaran, lalu nyebar undangan pernikahan, lalu teman-temannya kaget bukan kepalang. Dan kita pun tersenyum sambil berucap, “Yah, jodoh memang aneh dan misterius.”
Karena aneh dan misterius itulah kita menganggap jodoh sebagai hal yang tak pasti, dan karenanya kita menggantungkan pada ketentuan Tuhan. Kita meyakini, jika memang Tuhan tidak berkehendak, dua manusia yang telah bersama bertahun-tahun sekalipun bisa terpisah. Sebaliknya, jika Tuhan memang berkehendak, orang yang terpisah bermil-mil jauhnya bisa berjumpa dan menikah. Seperti kata pepatah, asam di gunung dan garam di laut pun bisa bertemu jika memang berjodoh.
Jadi, dalam hal jodoh—sebagaimana dalam rezeki dan usia—manusia hanya bisa berusaha, namun tidak bisa memastikan. Kita hanya bisa mencari pacar, mencari jodoh, mencari pasangan, namun ketentuan tetap di tangan Tuhan.
Nah, di dalam upaya pencarian itu, kita biasanya tidak hanya menggantungkan sepenuhnya pada takdir Tuhan, namun juga memasang setumpuk kriteria yang kita inginkan—dari penampilan fisik, tingkat usia, latar belakang, hingga pandangan hidup. Meski kita percaya jodoh ada di tangan Tuhan, namun kita tetap selektif.
Di antara kriteria yang biasa kita gunakan untuk memilih jodoh, kesamaan agama adalah satu di antaranya. Tidak sedikit di antara kita yang memandang perbedaan agama antar suami-istri bisa mendatangkan masalah di kemudian hari. Misalnya bagaimana menentukan agama bagi anak-anak kelak. Memang ada pasangan yang “nekat” kawin meski beda agama, namun lebih banyak yang tidak.
Mungkin, kita yang termasuk generasi masa kini bisa berpandangan cukup liberal, misalnya tidak terlalu merisaukan perbedaan agama untuk sebuah perkawinan. Artinya, jika pacar kita beda agama, bisa jadi kita tidak terlalu merisaukan dan tetap akan menikah dengannya. Tapi bagaimana dengan orang tua kita? Mereka belum tentu seliberal kita, dan belum tentu merestui pernikahan kita jika calon pasangan beda agama. Di negeri ini, kesamaan agama bahkan menempati peringkat atas dalam hal memilih jodoh.
Selain itu, sebagai orang yang hidup dengan menganut budaya ketimuran, kita pun membutuhkan restu orang tua dalam perkawinan yang kita jalani—baik restu formal maupun informal. Kita tentu menginginkan orang tua dan keluarga bisa menerima pasangan kita, menjadikan suami atau istri kita sebagai bagian dari mereka. Dan untuk diterima itu, kesamaan agama sering kali menjadi salah satu syarat.
Banyak teman yang menyatakan bahwa penerimaan keluarga adalah hal penting dalam memilih pasangan. Meski kita merasa cocok dengan pasangan yang kita pilih sekali pun, rasanya belum paripurna jika keluarga—khususnya orang tua kita—tidak bisa menerima kehadirannya. Dan saya pun setuju. Jika kelak saya menikah, saya tentu ingin orang tua dan keluarga bisa menerima pasangan saya, sebagaimana saya ingin keluarga pasangan menerima saya.
Dan untuk bisa diterima itu, sepertinya, saya harus memenuhi kriteria yang ditetapkan orang tua, yang salah satunya adalah persamaan agama. Semodern atau bahkan seliberal apa pun diri saya, tetap saja saya memiliki keluarga dan orang tua yang harus dihormati. Artinya, jika suatu hari menemukan seseorang yang saya anggap jodoh, namun ternyata berbeda agama, saya harus memikirkan kembali, dan memikirkan kembali, dan memikirkan kembali, untuk menikahinya.
Cinta dan agama, dalam budaya kita, sepertinya memang tidak ditakdirkan seiring sejalan. Cinta dan agama, sepertinya, memang tidak berjodoh, sehingga jika dua orang berbeda agama memutuskan untuk menikah, biasanya timbul berbagai polemik. Jangankan di dunia nyata, bahkan dalam kisah film pun cinta dan agama sering sulit mendapat restu.
Jadi, kita percaya jodoh ada di tangan Tuhan. Tapi kita juga menentukan syarat bahwa jodoh harus seagama. Di atas semua itu, jodoh tetap misteri, karena kita tak tahu siapa yang akan menjadi jodoh kita. Pertanyaannya, bagaimana kalau jodoh yang ditentukan Tuhan untuk kita ternyata berbeda agama...?
Sebagai lajang, saya kadang membayangkan. Suatu hari saya bertemu dengan seorang perempuan yang membuat saya jatuh cinta, bahkan mabuk kepayang. Dia memenuhi semua kriteria yang saya inginkan, dan lebih penting lagi dia menerima cinta saya, serta bersedia diajak menikah. Saya meyakini dialah jodoh saya, karena bersamanya saya merasa tenang, tenteram, dan bahagia. Saya bersyukur menemukannya, sebagaimana dia bahagia bersama saya.
Tapi kemudian kami tahu, ternyata kami berbeda agama. Sebesar apa pun cinta saya kepadanya, seyakin apa pun dia jodoh saya, orang tua kami belum tentu setuju dan memberi restu, dan keluarga pun belum tentu bisa menerima pernikahan kami. Bagi keluarga saya maupun keluarga perempuan itu, syarat penting untuk pernikahan adalah kesamaan keyakinan. Keluarga saya tidak bisa menerimanya, dan keluarganya juga tidak bisa menerima saya.
Jalan tengah yang kompromistis mungkin salah satu di antara kami pindah keyakinan, agar agama kami sama. Tapi kami sama-sama idealis, dan lebih memilih berpisah daripada pindah agama. Maka dua orang yang telah yakin sama-sama berjodoh pun kemudian berpisah karena perbedaan keyakinan.
Setelah itu—masih dalam bayangan saya—di hari-hari selanjutnya saya tidak bisa jatuh cinta lagi. Saya masih terus teringat pada perempuan itu, tetap jatuh cinta kepadanya, dan tak pernah mampu jatuh cinta kepada perempuan lain. Saya ingin jatuh cinta lagi, saya ingin menemukan perempuan yang akan menjadi pendamping saya sampai mati, namun takdir tak juga mempertemukan jodoh yang tepat. Hingga kemudian saya mati, saya tetap melajang.
Sampai di sini, bayangan saya mulai nakal. Saya membayangkan, di akhirat kelak, Tuhan bertanya kepada saya, “Hei, Hamba-Ku, kenapa kau melajang seumur hidup?”
“Tuhan,” saya menjawab, “sebenarnya saya ingin menikah dengan perempuan yang telah Kau-ciptakan. Dulu, saat masih hidup di dunia, saya pernah bertemu dengan seorang hamba-Mu yang membuat saya jatuh cinta. Saya ingin menikah dengannya, ingin menjadikannya pendamping seumur hidup. Kami sama-sama jatuh cinta dan yakin berjodoh. Tapi kemudian kami memilih berpisah, karena perbedaan agama. Sejak itu saya tak pernah bisa jatuh cinta lagi, hingga tetap melajang ketika mati.”
“Kau percaya jodoh ada di tangan-Ku?”
“Tentu saya percaya, Tuhan.”
Dan Tuhan menegaskan, “Kau percaya jodoh adalah ketentuan-Ku. Tapi ketika Ku-berikan jodoh untukmu, kau menolak karena perbedaan agama. Jadi, apa arti kepercayaan dan imanmu kepada-Ku?”
Saya tak mampu menjawab. Bahkan setelah bertahun-tahun memikirkannya pun, saya tetap tak mampu menjawab.