Coba ya, ada yang kultwit soal kultwit.
—@noffret
—@noffret
Di dunia Twitter, ada aktivitas nge-tweet dengan tema yang saling tersambung atau berhubungan, yang lazim disebut kultwit. Kalau tidak keliru, kultwit adalah singkatan kuliah Twitter. Berbeda dengan tweet biasa—yang umumnya hanya celoteh sekilas dan mungkin akan segera dilupakan penulis/pembacanya—kultwit lebih panjang, karena terdiri dari puluhan tweet yang saling terhubung atau bersambung.
Karena itu, kultwit tentu dianggap lebih penting dari sekadar tweet biasa. Karena nilai “penting”nya pula, kultwit sering ditranskrip ke situs khusus, misalnya Chirpstory, sehingga bisa dibaca lebih banyak orang, juga lebih mudah ditemukan.
Keberadaan kultwit tentu salah satu manfaat dari penggunaan Twitter, baik bagi yang menulis kultwit maupun bagi pembacanya. Kultwit kadang berisi informasi-informasi tertentu, atau catatan pengalaman penulisnya, atau daftar tertentu, yang umumnya memberikan manfaat bagi para pembaca.
Saya sendiri cukup senang membaca kultwit, karena rasanya seperti membaca catatan di blog, namun dalam versi lebih ringkas. Karena itu pula, saya pun mem-follow akun @chirpstory di Twitter, agar selalu memperoleh update mengenai kultwit apa saja yang telah ditrankripsi ke situsnya.
Kultwit, bagi saya, adalah rangkuman pengetahuan atau pengalaman orang (penulisnya). Selama kultwit ditulis secara jujur dan tidak tendensius, membaca kultwit cukup menyenangkan sekaligus mencerahkan. Sama seperti tulisan di blog atau artikel di Wikipedia, kultwit memberikan nilai tambah bagi pembacanya. Melalui kultwit, saya jadi tahu topik tertentu, atau suatu tempat tertentu—yang sebelumnya tidak saya tahu.
Nah, belum lama, saya membaca suatu kultwit yang ditulis/ditranskrip seseorang di Chirpstory, dan kultwitnya benar-benar membuat saya jadi pening. Kultwit itu berisi informasi mengenai suatu sejarah atau peristiwa, dan tampak sekali kalau penulisnya bermaksud menyerang suatu agama/golongan tertentu melalui kultwitnya.
Saya tahu betul isi kultwit itu keliru, bahkan salah kaprah, karena kebetulan saya juga mempelajari topik sejarah yang ia tulis dalam kultwitnya. Di dalam kultwit tersebut, orang itu menghubung-hubungkan suatu sejarah dengan agama, dengan harapan pembaca kultwitnya akan terpengaruh (terhasut) dan membenci agama tertentu. Padahal, topik sejarah yang ia bahas dalam kultwitnya sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun dengan agama.
Kenapa hal ini jadi terdengar penting? Oh, well, kenyataan ini penting sekali untuk kita pikirkan. Bagi orang yang tahu, kultwit semacam itu akan dianggap sampah yang ditulis orang sok tahu. Tetapi, bagi orang yang tidak tahu, kultwit itu akan menyesatkan mereka. Berbeda dengan kultwit yang berisi pengalaman penulisnya yang jelas bersifat subjektif, kultwit yang bersifat informasi sejarah semacam itu akan dianggap objektif bagi orang yang tidak tahu.
Di Twitter, seseorang yang saya hormati pernah menulis tweet, berbunyi, “Di balik setiap kultwit ada Wikipedia.”
Masih lumayan kalau kultwit ditulis dengan didasarkan pada artikel Wikipedia. Artinya dia menulis dengan dasar yang jelas, yang bisa diverifikasi kesahihannya. Meski kemudian ternyata isi kultwitnya keliru, kita bisa mengoreksinya dengan menyodorkan data lain yang lebih valid. Yang jadi masalah—dan berpotensi menyesatkan—adalah kultwit yang ditulis secara ngawur dan sok tahu, tanpa ada data yang ia jadikan sandaran kesahihan.
Nah, kultwit sok tahu semacam itulah yang saya ceritakan tadi. Meski sumber-sumber referensi yang dapat dipercaya dengan jelas menyatakan suatu peristiwa sama sekali tidak memiliki kaitan atau hubungan dengan agama apa pun, orang itu menulis kultwit yang seratus persen keliru dengan menghubung-hubungkan suatu peristiwa dengan agama. Sudah begitu, kultwitnya tampak sekali bertendensi mengajak pembacanya untuk membenci agama tertentu.
Itu kultwit yang ngawur dan berpotensi menyesatkan, karena ditulis dengan dasar sok tahu, tanpa ditunjang data yang bisa dipertanggungjawabkan. Kultwit itu pula yang kemudian mendorong saya untuk menulis catatan ini, untuk mengajak siapa pun agar tidak mudah mempercayai suatu kultwit yang bersifat informasi, jika kultwit itu ditulis tanpa data yang sahih dan bisa dipercaya, apalagi jika kultwit itu terkesan tendensius dan menghasut.
Sekarang, saya akan mengulang hal penting yang pernah saya tulis panjang lebar di sini, mengenai perbedaan penting antara “tahu” dan “sok tahu”.
“Tahu” adalah kemampuan menjelaskan sesuatu berdasarkan pengetahuan empiris, dan/atau ditunjang data serta fakta yang bisa diverifikasi validitasnya. Sedangkan “sok tahu” adalah kemampuan menjelaskan sesuatu yang tidak ditunjang pengetahuan empiris, dan/atau ditunjang data serta fakta yang tidak bisa diverifikasi validitasnya. Karena itu pula, semua penulisan akademis menempatkan data dan fakta di tempat teratas dan paling penting. Karena tanpa data atau fakta valid yang bisa dipertanggungjawabkan, suatu tulisan hanya omong kosong.
Sampai di sini, mungkin ada yang ingin bilang, “Tapi, Hoeda Manis, kultwit kan bukan tulisan yang ditujukan untuk hal-hal akademis?”
Indeed!
Tapi jangan lupa, kultwit dibaca banyak orang—khususnya oleh follower orang yang menulis kultwit tersebut. Selain itu, kultwit sering ditranskrip dan “diabadikan” dalam situs khusus transkripsi, yang bisa dibaca siapa pun dan kapan pun.
Kemudian, yang paling berbahaya, tulisan di internet—khususnya di Twitter—sering menjalar cepat bagai virus. Jika ada sesuatu yang dianggap “heboh”, hampir bisa dipastikan tulisan (tweet atau kultwit) itu akan segera diketahui dan dibaca banyak orang. Bahkan, saya pun terpaksa menulis catatan ini karena kultwit bermasalah itu dibicarakan dan dipercaya banyak orang.
Tentu saja tidak masalah, jika kultwit yang heboh itu bersifat netral, atau ditunjang data yang valid, sehingga memberikan pengetahuan atau wawasan baru bagi para pembacanya. Yang jadi masalah adalah jika kultwit itu ditulis secara ngawur, sok tahu, dan isinya bertendensi menghasut. Kultwit semacam itu akan menyesatkan pembaca yang tidak tahu. Karena ketidaktahuan, pembaca akan percaya pada kultwit itu, dan mempercayai isinya yang sesat atau keliru. Lalu efek berantai terjadi.
Itulah yang membuat saya gelisah sekaligus prihatin. Suatu agama atau golongan tertentu yang sama sekali tidak bersalah apa-apa bisa dibenci dan dicaci-maki hanya karena ketidaktahuan, atau gara-gara kultwit yang menyesatkan. Jangan lupa, Twitter adalah bagian dari dunia maya, dan semua makhluk bisa berinteraksi di dalamnya. Orang bisa bertopeng anjing, dan anjing bisa bertopeng manusia, untuk menggunakan Twitter dengan segala macam tujuan.
Karena itu, Kawan-kawan, jika sewaktu-waktu kita mendapati kultwit yang bersifat informasi, dan materi di dalamnya terkesan menghasut atau menimbulkan kebencian pada pihak (golongan atau agama) tertentu, tak perlu buru-buru percaya.
Kultwit bukan satu-satunya sumber informasi. Jika suatu kultwit terkesan tidak netral atau tendensius, tanyakan pada penulisnya; apa sumber tulisannya, dan minta dia menyebutkan data atau fakta sahih yang digunakannya. Jika dia tidak bisa menyebutkan, apa pun alasannya, anggap saja kultwitnya sampah.
Memang, seperti yang lazim dikatakan orang, sarana teknologi dalam apa pun bentuknya seperti dua mata pedang. Sarana itu bisa digunakan untuk tujuan kebaikan, namun sarana yang sama juga bisa ditujukan untuk hal-hal buruk dan menyesatkan. Di tengah-tengah kemungkinan semacam itu, hal penting yang perlu kita ingat adalah bahwa tidak semua yang kita baca sesuai fakta, tidak semua kultwit ditulis tanpa tendensi di baliknya.