Tidur nyenyak semalam disponsori selimut misterius
yang tiba-tiba nongol menjelang subuh.
—@klaravirencia
yang tiba-tiba nongol menjelang subuh.
—@klaravirencia
Saya tuh sok gagah kalau sedang sehat, tapi cemen kalau sedang sakit. Sewaktu sehat, saya merasa bisa hidup sendiri, mampu melakukan segalanya sendiri, dan tidak terlalu butuh orang lain. Karenanya, saya pun enjoy bertahun-tahun hidup sendirian. Tetapi, sikap enjoy itu seketika musnah begitu saya jatuh sakit.
Mungkin, orang baru akan tahu pentingnya kehadiran orang lain ketika sedang sakit. Begitu pun saya. Kalau sakitnya agak ringan—semisal demam atau flu biasa—saya masih mencoba enjoy, dan masih mampu memaksa diri untuk tetap beraktivitas seperti biasa, meski tidak semaksimal waktu sehat. Tapi ketika sakit agak parah, saya benar-benar menyerah.
Seperti dua tahun yang lalu. Saya terkena tipus. Penyebabnya, kata dokter yang memeriksa, saya sering telat makan dan kurang istirahat. Saya mengiyakan, karena nyatanya memang seperti itu. “Makan tepat waktu” telah menjadi sesuatu yang asing bagi saya, sementara “istirahat” terdengar seperti barang mewah. Karenanya, sistem tubuh saya pun kacau, dan hasilnya adalah sakit. Saya kena tipus.
Meski tidak terlalu parah, hingga saya tak mau dirawat di rumah sakit, tapi kondisi saya benar-benar tak karuan. Perut melilit dan sangat sakit, sementara badan tidak jelas antara dingin atau panas. Yang jelas, tubuh saya lemah, sangat lemah. Tak mampu mengerjakan apa pun, bahkan untuk sekadar berdiri pun rasanya tak ada tenaga. Ketika dalam kondisi semacam itu, saya benar-benar butuh orang lain, dan segala ketegaran saya sirna. Ending-nya, saya pulang ke rumah nyokap!
Ya, ya, ini terdengar cemen—I know.
Kadang-kadang, saya juga malu pada diri sendiri. Ketika sehat, saya terlalu sibuk dengan urusan diri sendiri hingga tak punya waktu menjenguk orang tua. Tapi begitu sakit, dan butuh orang lain, saya baru datang ke rumah orang tua. Untungnya, nyokap saya seperti umumnya nyokap lain di dunia. Meski anaknya kadang melupakannya, tapi dia selalu menyambut kedatangan si anak dengan tangan terbuka.
Jadi begitulah. Selama sakit itu saya tinggal di rumah nyokap, dan benar-benar bersyukur karena ada yang membuatkan minum, menyiapkan makan, atau kebutuhan lainnya. Nyokap mengurusi saya dengan baik seperti dulu, seperti bertahun-tahun lalu, ketika saya masih kecil dan masih tinggal bersamanya. Kadang-kadang saya curiga, nyokap justru bersyukur saya sakit, karena dengan begitu saya tinggal di rumahnya sampai lama.
Sakit yang saya alami dua tahun lalu itu bisa dibilang cukup parah. Setiap malam, saya sering sulit tidur karena merasakan badan yang sangat panas, atau sangat dingin. Ketika siang, saya terus tersiksa merasakan perut yang terus melilit dan terasa diaduk-aduk. Ingin bergerak, badan rasanya tak ada tenaga. Terus berdiam di tempat tidur, rasanya juga tersiksa.
Saya tinggal di rumah nyokap sampai sekitar tiga minggu. Selama waktu-waktu itu pula, saya kembali merasa seperti dulu, ketika masih tinggal di rumah ortu. Setiap siang, nyokap memasak di dapur, dan aroma masakannya selalu tercium. Itu membuat saya bernostalgia pada masa lalu. Di antara masakannya, saya sangat menyukai sayur sop. Dulu, nyokap pun sering membuat sayur sop, karena tahu saya sangat menyukainya.
Pada waktu saya sakit itu, nyokap pun membuatkan sayur sop, dan—seperti bertahun-tahun lalu—saya masih menyukai sop buatannya. Ketika menghirup kuahnya yang kental dan masih hangat, saya seperti menyadari bahwa itulah masakan paling nikmat di dunia. Masakan yang dibuat tidak hanya dengan bumbu yang tepat, tapi juga dengan cinta yang tak terucap.
Cinta yang tak terucap—itulah cinta paling agung yang dapat dikenali siapa pun. Sebentuk cinta altruistik, yang diberikan tanpa berharap balas. Sebuah cinta tanpa alasan, tanpa pamrih, tanpa permintaan jawaban dan balasan.
Seseorang yang mengusir nyamuk dari dekatmu ketika kau sedang tidur, yang mendoakan keselamatanmu diam-diam tanpa kau tahu, yang ikut bersyukur dari kejauhan saat kau bahagia, dan ikut menangis sendirian ketika kau sedang berduka—itulah cinta yang tak terucap.
Seseorang yang membenahi selimutmu ketika kau terlelap, yang mengingat dan memikirkanmu saat kau jauh, yang menyambutmu dengan hati terbuka kapan pun kau datang, yang memasakkan makanan kesukaanmu demi membuatmu tersenyum—itulah cinta yang tak terucap.
Tidak setiap orang mampu memberikan cinta seluhur itu, karena penerimanya pun kadang tak sadar dan tak pernah tahu. Meski kita kadang ingin mendengar seseorang menyatakan cintanya kepada kita, namun sering kali cinta teragung terucap tanpa kata-kata. Cinta yang diberikan dalam diam. Cinta yang diwujudkan dalam tindakan. Cinta yang bahkan tak meminta balasan.
Cinta semacam itu pula yang saya sadari ketika terbaring tak berdaya karena sakit, dan nyokap mengurusi saya tanpa letih. Seumur hidup, saya belum pernah mendengar nyokap menyatakan cinta kasihnya kepada saya. Tetapi, Tuhan tahu, tidak ada cinta yang lebih besar yang dapat saya terima, selain cinta yang saya terima dari orang tua. Merekalah yang dapat mencintai tanpa pamrih, kasih yang diberikan tanpa letih.
Suatu malam, saya tertidur dengan baju rangkap kaos, rangkap sweater, dan berselimut tebal, karena merasakan badan yang luar biasa dingin dan menggigil. Di tengah malam, saya terbangun dari tidur karena merasakan badan yang luar biasa panas. Dengan susah payah saya melemparkan selimut, melepaskan sweater, baju, dan kaos. Karena rasa panas yang saya rasakan pula, tenggorokan terasa sangat kering.
Saya tak mampu turun dari tempat tidur untuk mengambil minum, karena kaki rasanya tak bertenaga. Maka saya pun memanggil nyokap, membangunkannya dari tidur, dan meminta tolong diambilkan minum. Nyokap terbangun, mendatangi tempat tidur saya, dan membawakan air dalam gelas. Wajahnya terlihat letih, tapi dia lebih menunjukkan ekspresi prihatin melihat keadaan saya.
Saat saya meneguk air dalam gelas, nyokap memandangi saya, dan... tiba-tiba saya merasa menjadi anak kecil kembali—sesosok rapuh, tak berdaya, yang hanya bisa hidup ditunjang cinta. Dan ketika merasakan tangan nyokap menyentuh kening saya, merasakan panas tubuh yang saya alami, saya pun tahu air terjun Niagara tak mampu mengganti kesejukannya.
Di malam yang lain, karena merasakan badan sangat panas, saya pun tidur tanpa baju. Menjelang subuh, saya terbangun karena merasa kedinginan. Saat membuka mata, saya mendapati sehelai selimut telah menutupi tubuh saya. Selimut yang bahkan tak saya lihat ketika akan tidur.
Saya bangkit, mengenakan baju, lalu kembali berbaring dan menarik selimut untuk menutupi tubuh yang dingin. Setelah itu saya merasakan mata sulit terpejam. Dini hari yang sunyi membuat detak jarum jam di rumah keras terdengar. Nyokap pasti tengah terlelap dalam tidurnya. Dan saya terbaring dengan selimut yang entah datang dari mana. Tetapi, diam-diam, saya tahu selimut itu diletakkan di atas tubuh saya dengan cinta.
Bersama selimut yang saya peluk dini hari itu, saya pun tahu ada cinta yang dialirkan ke dalam hidup saya. Cinta yang tak terucap, cinta yang diberikan dalam diam... sediam selimut hangat yang menutupi tubuh menggigil, saat dingin subuh mulai memanggil.