Selasa, 24 Februari 2015

Penulis, Penerbit, dan Promosi Buku (4)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sayangnya, tidak semua penerbit seperti itu. Ada penerbit-penerbit yang terkesan seenaknya sendiri mengubah judul naskah penulis, bahkan tanpa konfirmasi terlebih dulu. Akbatnya, sering kali si penulis merasa tidak cocok dengan judul yang digunakan, bahkan—dalam kasus tertentu—mereka merasa malu dengan judul atau subjudul yang dipilihkan penerbit untuk bukunya.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Kadang, si penulis telah menetapkan judul yang simpel, menarik, dan elegan. Oleh penerbit, judul itu diubah hingga terkesan norak. Dalam kasus tertentu, judul yang digunakan bahkan mengalami kesalahan atau penumpukan kata/kalimat, sehingga terkesan aneh dan berlebihan. Ketika hal semacam itu terjadi, si penulis tidak bisa merasa senang atau bangga dengan bukunya, bahkan sering kali merasa malu. Jika si penulis tidak bangga bahkan malu pada bukunya sendiri, bagaimana ia mau tergerak untuk membantu promosi?

Kasus semacam itu banyak sekali terjadi, dan telah sering dialami para penulis. Saya mengenal cukup banyak penulis yang sama sekali tidak mau “mengakui” bukunya sendiri, gara-gara merasa malu akibat masalah seperti yang diceritakan di atas. Para penulis itu bahkan menganggap buku-buku tersebut sebagai “anak haram”. Meski buku-buku itu memang karya mereka, tapi mereka malu mengakuinya.

Rahma (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu penulis yang pernah mengalami kasus semacam itu. Sebelumnya, dia aktif mempromosikan buku-bukunya di berbagai media sosial yang dimilikinya. Tetapi, ketika bukunya mengalami pergantian judul yang diubah seenaknya sendiri oleh penerbit, dengan senyum getir Rahma mengatakan, “Judul ini sama sekali bukan kalimatku!” Yang ia maksud adalah, “Judul buku ini sama sekali tidak mencerminkan kepribadianku!”

Karena dia merasa buku itu tidak merepresentasikan dirinya, Rahma pun tidak mau mempromosikan. Jangankan membantu promosi, bahkan mengakuinya pun dia enggan. Berita buruknya, banyak sekali kasus serupa seperti yang dialami Rahma. Mereka sebenarnya penulis-penulis yang bersedia membantu promosi bukunya. Tetapi, karena judul yang tidak mereka sukai, mereka pun malu dan tidak tertarik untuk berpromosi.

Harus saya katakan di sini, ada kalanya memang penerbit merasa memiliki hak prerogatif untuk menentukan atau mengubah judul naskah penulis, bahkan hal itu kadang dinyatakan dengan jelas dalam surat perjanjian antara penerbit dan penulis. Tetapi, meski seperti itu, akan jauh lebih baik kalau penerbit mengonfirmasikannya terlebih dulu kepada si penulis jika akan mengubah judul atau subjudul, agar ada persetujuan bersama.

Hal itu tidak hanya akan menyenangkan penulis, namun juga akan menguntungkan penerbit. Jika penulis menyukai judul bukunya—dan buku itu benar-benar sesuai harapan mereka—si penulis akan merasa bangga. Jika penulis merasa bangga, tanpa diminta pun mereka akan senang mengenalkan/mempromosikan bukunya kepada orang lain. Bukankah itu yang diinginkan penerbit?

Hukum psikologi telah menyatakan dengan jelas, bahwa setiap orang senang aktualisasi atau mengekspresikan diri. Dalam bahasa yang lugas, setiap orang punya kecenderungan untuk pamer. Karenanya, kalau penulis menyukai dan bangga dengan bukunya, mereka akan aktif mengenalkan buku karyanya kepada orang-orang, bahkan umpama penerbit tidak memintanya. Dengan kata lain, cara mudah agar penulis tergerak mau mempromosikan bukunya, adalah dengan membuat si penulis merasa senang dan bangga pada buku tersebut!

Selain pemilihan judul yang sebaiknya disepakati bersama, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah sampul buku. Sama seperti judul, kadang penerbit menetapkan desain sampul sebagai wilayah prerogatifnya, sehingga merasa berhak menggunakan desain sampul seperti apa pun sesuai selera mereka. Namun, lagi-lagi, jika penerbit ingin penulis aktif mengenalkan/mempromosikan bukunya kepada orang lain, penerbit juga harus mampu membuat si penulis merasa senang dan bangga pada sampul bukunya.

Sampul buku adalah wajah—hal pertama yang diperhatikan orang lain/calon pembaca buku. Diakui atau tidak, banyak orang membeli buku karena tertarik pada sampulnya, khususnya jika nama si penulis belum terkenal. Saya sendiri pun begitu. Sampul adalah hal pertama yang saya perhatikan ketika akan membeli buku yang ditulis orang yang namanya tidak saya kenal. Kalau saya mengenal nama penulisnya, saya akan membeli buku itu tak peduli seperti apa pun wujud sampulnya. Tetapi, jika tidak mengenal nama si penulis, saya akan memperhatikan sampul dan judul bukunya.

Nah, cukup sering, sampul yang digunakan untuk suatu buku sama sekali tidak disukai oleh si penulis. Contoh kasus: Seorang penulis mengirimkan naskah novel serius untuk pembaca dewasa ke sebuah penerbit. Naskah itu diterima. Ketika terbit, sampul yang digunakan sama sekali tidak disukai si penulis. Meski itu novel serius, penerbit menggunakan sampul ala novel teenlit yang sangat meremaja. Karena penetapan sampul itu tanpa konfirmasi kepada si penulis, buku itu pun beredar, dan si penulis sama sekali tidak menyukainya.

Jika si penulis tidak menyukai bukunya, bagaimana ia akan bangga? Kalau si penulis tidak bangga pada bukunya, bagaimana ia akan tergerak mengenalkan atau mempromosikannya?

Karena kesadaran semacam itu pulalah yang membuat banyak penerbit sampai membuatkan tiga desain sampul khusus untuk setiap buku, agar penulisnya bisa memilih sendiri mana yang paling cocok dan paling ia sukai. Penerbit-penerbit semacam itu menyadari bahwa hal pertama yang harus mereka peroleh adalah kebanggaan si penulis. Jika si penulis sudah bangga dengan bukunya, urusan lain bisa dibereskan dengan mudah.

Banyak penerbit yang secara khusus melakukan hal itu, demi menghargai serta menyenangkan penulisnya. Untuk setiap naskah yang akan diterbitkan menjadi buku, mereka membuat tiga desain sampul dengan corak berbeda. Tiga desain sampul itu dikirimkan pada si penulis, untuk dipilih yang paling cocok dan paling ia sukai. Desain yang kemudian ditetapkan menjadi sampul buku adalah yang dipilih dan disetujui oleh si penulis. Bahkan, jika si penulis masih tidak puas dengan tiga desain yang disodorkan penerbit, si penulis boleh mengajukan desain sendiri.

Apakah hanya judul dan sampul buku yang diperhatikan oleh penulis? Tentu saja tidak! Para penulis juga sangat memperhatikan editing dan proofread, bahkan kadang bentuk bukunya. (Untuk topik satu ini, kelak akan kita bicarakan dalam catatan tersendiri, menyangkut hubungan antara penulis dan editor, serta seluk beluk kerjasama mereka dalam penerbitan). Intinya, jika seluruh elemen buku—sampul, judul, dan keseluruhan buku—membuat si penulis senang dan bangga, maka ia akan tergerak untuk membantu mempromosikannya.

Jadi, kunci penting sekaligus cara paling mudah untuk menggerakkan para penulis agar senang mempromosikan bukunya, adalah dengan mematuhi hukum dasar psikologi manusia. Setiap manusia butuh aktualisasi, dan senang mengekspresikan diri. Patuhi hukum itu, dan mereka pun akan tergerak sendiri.

Dalam kaitannya dengan kerja penerbitan, upaya yang bisa dilakukan penerbit agar penulis tertarik dan tergerak mempromosikan bukunya adalah dengan cara membuat si penulis senang dan bangga pada bukunya. Tidak ada cara lain yang lebih baik dan lebih logis dibanding itu. Cukup buat si penulis merasa senang dan bangga pada bukunya, maka mereka pun akan tergerak untuk mengenalkan serta mempromosikannya kepada siapa pun.

Jika sebuah buku mampu membuat senang dan bangga penulisnya, si penulis akan merasa aktualisasi dirinya terwakili oleh buku tersebut. Karena setiap manusia juga butuh mengekspresikan diri, maka buku itu pun akan menjadi sarananya untuk mencapai tujuan itu—menjadikan bukunya sebagai sarana mengekspresikan diri. Ketika itu terjadi, penerbit bahkan tidak perlu repot-repot meminta si penulis berpromosi—dia sudah asyik sendiri mempromosikan bukunya. Sekali lagi, bukankah itu yang diinginkan penerbit?

....
....

Di internet, ada banyak penulis yang aktif mengenalkan atau mempromosikan bukunya melalui akun media sosial miliknya. Jika kita perhatikan, ada dua macam bentuk promosi yang mereka lakukan, yang saya sebut “promosi normatif”, dan “promosi ekspresif”. Dua bentuk promosi itu bisa dikenali cukup mudah, dan memiliki dampak yang bisa berbeda.

Di Twitter, misalnya, ada penulis-penulis yang cukup sering men-tweet informasi bukunya di timeline. Biasanya, mereka sangat aktif melakukan hal itu ketika bukunya baru terbit, dan makin lama makin jarang melakukannya. Promosi semacam itu saya sebut “promosi normatif”, yaitu aktivitas promosi yang dilakukan penulis dengan tujuan sekadar memenuhi permintaan penerbit. Kira-kira, dalam pikiran mereka, para penulis itu berpikir, “Yang penting aku sudah memenuhi permintaan penerbit untuk promosi!”

Karena normatif, bentuk promosi mereka pun cenderung “resmi” dan sangat tampak sebagai iklan. Akibatnya, semakin sering mereka melakukan promosi semacam itu, orang-orang (khususnya follower-nya di Twitter) justru merasa bosan dan jengah, karena terus-menerus disuguhi iklan. Itu psikologi yang sangat mudah dibaca di Twitter.

Jika ingin membuktikan yang saya maksudkan, perhatikan akun-akun di Twitter yang memiliki banyak follower, yang setiap tweet-nya biasa di-retweet banyak orang. Ketika akun-akun itu men-tweet hal-hal biasa (bukan iklan), tweet-tweet mereka terus-menerus di-retweet banyak orang. Tetapi, ketika men-tweet iklan, jumlah orang yang me-retweet sangat sedikit, bahkan sering tidak ada yang me-retweet sama sekali. Kenapa? Karena mereka tahu itu iklan!

Karenanya, promosi secara normatif memang hanya berlaku untuk sekadar mengenalkan suatu produk (dalam hal ini buku si penulis) kepada para calon pembaca/pembeli. Jika promosi semacam itu terus diulang-ulang—apalagi dalam jarak yang singkat—yang terjadi justru bumerang. Makin lama atau makin sering diulang, orang-orang justru bosan dan kehilangan minat. Saya sendiri juga merasa seperti itu. Ketika mendapat info suatu buku satu atau dua kali, saya tertarik. Tetapi jika info yang sama diulang dan terus diulang, ketertarikan saya justru hilang perlahan-lahan.

Well, jenis promosi kedua, saya sebut “promosi ekspresif”. Ini biasanya dilakukan oleh para penulis yang benar-benar senang dan bangga pada bukunya. Ketika mengenalkan atau menyebut-nyebut bukunya di mana saja, mereka melakukannya karena kesenangan dan kebanggaan, meski mungkin mereka juga bermaksud memenuhi permintaan penerbit untuk membantu promosi. Tetapi, bentuk promosi secara ekspresif berbeda dengan promosi secara normatif.

Jika promosi secara normatif terkesan kaku dan membosankan (karena semata-mata dilakukan penulis untuk memenuhi permintaan penerbit), promosi secara ekspresif lebih luwes dan menyenangkan (karena merupakan inisiatif murni si penulis, didorong kesenangan dan kebanggaannya). Jika promosi normatif sangat tampak sebagai iklan, promosi ekspresif tidak terlalu tampak sebagai iklan. Jika orang kadang bosan karena disuguhi iklan normatif terus-terusan, iklan ekspresif justru menyenangkan.

Sekali lagi, setiap orang memiliki keinginan untuk beraktualisasi, dan memiliki hasrat besar untuk mengekspresikan diri. (Jika meragukan pernyataan itu, silakan tanya pada pakar psikologi mana pun di dunia ini, dan mereka akan menyatakan hal yang sama. Akui sajalah, kita semua suka pamer!) So, ketika seorang penulis merasa senang dan bangga dengan bukunya, dia menemukan cara untuk mengekspresikan diri. Maka dia pun menjadikan bukunya sebagai sarana aktualisasi. Dengan kata lain, dia akan senang pamer bukunya!

Ketika penulis semacam itu berkali-kali menyebut bukunya—misalnya di Twitter atau di blog—mereka cenderung melakukannya sebagai penyaluran ekspresi dan aktualisasi, bukan semata sebagai iklan atau promosi. Mungkin aktivitas semacam itu bisa kita sebut promosi yang murni datang dari hati, yakni hasrat dasariah setiap manusia yang memang ingin mengaktualisasikan diri.

Jika ingin contoh nyata penulis yang melakukan promosi ekspresif semacam itu, kita bisa melihat Stephany Josephine a.k.a Teppy. Dia salah satu contoh sempurna menyangkut penulis yang menggunakan iklan ekspresif. Wanita ini menulis buku berjudul The Freaky Teppy, yang diterbitkan GagasMedia. Sebagai penerbit, GagasMedia mungkin meminta Teppy untuk membantu mempromosikan bukunya. Tetapi Teppy melakukannya jauh lebih baik, dan melampaui yang mungkin diharapkan penerbitnya.

Dia benar-benar menjadikan bukunya sebagai sarana aktualisasi dan mengekspresikan diri, sehingga sering “memamerkan” bukunya di mana pun—khususnya di blog dan akun media sosial yang dimilikinya—lengkap dengan foto-foto atraktif yang menarik. Saya tahu hal itu, karena sering membaca blognya. (Blog Teppy bisa dilihat di sini.)

Ketika jalan-jalan ke luar negeri, misalnya, Teppy membawa buku karyanya dan memotretnya di tempat-tempat yang ia kunjungi, lalu mengunggahnya ke blog atau sosial media. Dia melakukan hal itu tidak hanya ketika bukunya baru terbit, tapi juga ketika bukunya telah lama terbit. Mungkin Teppy tidak menyadari yang dilakukannya merupakan bagian promosi—tapi di situlah letak daya tariknya!

Ketika menyebut bukunya di mana-mana dengan penuh kebanggaan, Teppy murni mengekspresikan kesenangan dan kebanggaannya pada buku yang merupakan sarana ekspresinya—bahkan mungkin tanpa berpikir promosi. Hasilnya, orang-orang ikut menikmati ekspresinya serta makin tertarik pada bukunya, dan bukan malah jengah karena terus-menerus disodori promosi. Bisakah kita melihat perbedaan pentingnya?

Itulah perbedaan esensial antara “promosi normatif” dan “promosi ekspresif”. Memang menggunakan media yang sama—blog atau akun sosial media—tapi caranya berbeda, bentuk atau wujudnya berbeda, dan dampaknya juga berbeda. Yang satu dilakukan sebagai kewajiban, satunya lagi dilakukan sebagai kesenangan. Yang satu tampak membosankan, satunya lagi justru menarik dan menyenangkan.

Pertanyaannya sekarang, mengapa Teppy bisa begitu asyik mengenalkan bukunya kepada orang lain dengan sangat ekspresif? Jawabannya sangat jelas dan gamblang; karena dia senang dan bangga pada bukunya! Penerbitnya telah memberikan sesuatu yang diinginkannya—kesenangan dan kebanggaan. Maka dia pun memberikan sesuatu yang diinginkan penerbitnya—dia asyik mengenalkan bukunya meski tanpa diminta.

Jadi, sekali lagi, dalam tujuan agar orang tertarik dan tergerak melakukan sesuatu, cara paling masuk akal adalah dengan mematuhi hukum dasar psikologi manusia. Berikan yang dia inginkan, maka tanpa diminta pun dia akan memberikan yang kita inginkan. Tidak ada cara lain yang lebih baik, lebih mudah, dan lebih logis, dibanding itu. Termasuk dalam tujuan penerbit yang menginginkan penulisnya ikut promosi buku.

Penulis, Penerbit, dan Promosi Buku (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Karena jadwal menulisnya yang sangat ketat, dia pun menolak jika diminta meluangkan waktu untuk berpromosi, bedah buku, atau semacamnya, karena dia benar-benar tidak punya waktu. Menurutnya, tugasnya sebagai penulis hanyalah menulis. Jika penerbit menilai naskahnya layak terbit, artinya penerbit juga telah memperhitungkan bahwa naskah itu memang punya potensi penjualan yang bagus. Kenyataannya, buku-bukunya terus terjual dan menghasilkan royalti besar, tanpa dia harus repot-repot berpromosi.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Jadi, dia hanya menulis, menulis, dan terus menulis, hingga waktunya benar-benar telah habis untuk menulis. Lagi pula, penerbit-penerbit yang bekerjasama dengannya juga tidak pernah memintanya berpromosi apa pun, karena mereka menyadari kesibukan si penulis. Penerbit-penerbit itu bahkan lebih suka si penulis terus produktif menghasilkan naskah untuk mereka, hingga tidak pernah mengusik waktu si penulis.

Nah, untuk penulis produktif semacam itu, alasan yang mendasari tidak mau membantu promosi semata-mata karena tidak adanya waktu. Ada cukup banyak penulis semacam itu, dan rata-rata mereka sudah menghabiskan semua waktunya untuk menulis, sehingga tidak mau melayani permintaan penerbit sehubungan dengan promosi, bedah buku, peluncuran buku, wawancara buku, atau semacamnya.

Ada ilustrasi menarik menyangkut hal ini. Dalam suatu pertemuan, saya mengobrol dengan seorang teman sesama penulis. Kami membicarakan naskah yang baru ditulisnya. Naskah itu tidak terlalu tebal—hanya sekitar 150-an halaman. Saya membacanya sekilas, dan materi naskah itu bagus, orisinal, menarik. Itu pula yang saya katakan kepadanya.

“Kamu punya saran sebaiknya naskah ini dikirim ke penerbit mana?” dia bertanya.

Melihat kualitas naskahnya, sebenarnya dia bisa mengirim naskah itu ke penerbit mana pun, karena hampir bisa dipastikan naskah itu akan lolos seleksi. Namun, karena dia meminta pendapat, saya pun memberikan pendapat. Saya mengajukan nama suatu penerbit yang benar-benar tepat untuk naskah tersebut. Tetapi, dia menolak. Alasannya, “Karena penerbit itu selalu meminta penulis untuk berpromosi.”

Coba lihat, hanya karena kemungkinan diminta membantu promosi, seorang penulis sampai menghindari suatu penerbit. Apakah itu aneh? Bagi para penulis profesional, kenyataan itu sama sekali tidak aneh, karena banyak sekali penulis yang semacam itu.

Masih ingat kisah Anita yang pernah saya ceritakan di sini? Dia penulis terkenal, yang buku-bukunya bestseller, yang namanya dikenal banyak orang. Tapi dia tidak pernah mau muncul ke publik, untuk alasan atau keperluan apa pun, termasuk promosi, bedah buku, wawancara, atau semacamnya. Bahkan ketika novelnya difilmkan pun, dia tidak muncul sama sekali. Dia menyerahkan seluruh tetek-bengek urusan itu pada penerbitnya.

Penulis semacam Anita tidak sedikit. Rata-rata mereka adalah para penulis yang benar-benar mencintai aktivitas menulis, dan mereka menjalani hidup sebagai penulis. Mereka tidak terlalu memikirkan nama, popularitas, atau hal-hal semacam itu. Mereka hanya menulis—dan membiarkan dunia hanya mengenal tulisannya, tanpa harus mengusik kehidupan pribadinya.

Jadi, setidaknya ada dua jenis penulis yang tidak tertarik pada aktivitas promosi buku, yaitu penulis produktif yang tidak punya waktu, dan penulis yang memang tidak tertarik muncul ke publik untuk alasan apa pun.

Di luar kedua jenis penulis tersebut, rata-rata penulis bersedia untuk membantu promosi bukunya—apalagi jika si penulis menyadari dirinya masih pemula, sehingga perlu upaya keras untuk dikenal publik pembaca.

Menyangkut para penulis yang bersedia membantu promosi bukunya, ada beberapa hal yang ingin saya ceritakan di sini, agar penerbit juga lebih bisa memahami mereka, demi kerjasama yang lebih baik.

Ada banyak penulis yang mau membantu promosi buku-bukunya di sela-sela kesibukan. Mereka mau menghadiri peluncuran buku, bedah buku, wawancara, dan lainnya—tetapi dengan syarat; buku tersebut sesuai yang mereka bayangkan, sehingga mereka merasa senang dan bangga pada buku tersebut. Agar hal ini bisa lebih dipahami, izinkan saya menjelaskannya lebih gamblang.

Hubungan antara penulis dan penerbit adalah hubungan yang setara, karena keduanya saling membutuhkan dan saling menunjang. Penulis butuh penerbit untuk menerbitkan naskahnya, sebagaimana penerbit butuh penulis agar memperoleh naskah untuk diterbitkan. Karena latar belakang itu, penulis dan penerbit pun saling menghormati. Namun, kadang ada penerbit yang merasa posisinya lebih tinggi dari penulis, sehingga berlaku seenaknya terhadap si penulis dan terhadap buku si penulis.

Ketika seorang penulis menetapkan judul untuk naskah, misalnya, kadang dia harus memikirkannya berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, atau sampai berbulan-bulan, demi menemukan judul yang ia anggap paling tepat dan menarik. Penerbit yang baik memahami itu, sehingga mereka sangat menghargai judul yang telah ditetapkan si penulis. Sebagai bentuk penghargaan, mereka tidak mengubah judul itu sedikit pun. Kalau pun judul terpaksa diubah karena adanya pertimbangan tertentu, mereka akan menghubungi dan mengonfirmasikannya terlebih dulu pada si penulis, agar ada persetujuan bersama.

Dalam hal ini, saya bisa mencontohkan Gramedia Pustaka Utama, sebagai penerbit yang sangat menghormati penulis. Berdasarkan pengalaman sendiri maupun teman-teman sesama penulis yang pernah bekerjasama dengan mereka, kami tahu Penerbit Gramedia sangat berhati-hati dalam memperlakukan judul naskah yang telah dipilih oleh penulis. Bahkan, sepanjang pengalaman kami, Gramedia tidak pernah sekali pun mengubah judul naskah/buku kami—meski satu kata pun—tak peduli seaneh apa pun judul yang kami pilih.

Lanjut ke sini.

Penulis, Penerbit, dan Promosi Buku (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Untuk mendapat gambaran lebih jelas, kira-kira seperti inilah yang terjadi di toko-toko buku besar di mana pun: Ketika ada buku baru masuk ke gudang mereka, toko buku memberikan jangka waktu satu bulan untuk masing-masing buku tersebut mejeng di rak paling depan atau paling mudah dilihat pengunjung—biasanya diberi tanda “Buku Baru”.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Di bagian “Buku Baru” tersebut, semua buku (per judul) mendapat jatah yang sama; satu bulan. Dan nasibnya akan ditentukan oleh pembeli. Bisa jadi, dalam satu bulan itu terjadi penjualan besar, sehingga pihak toko menambah tumpukan buku dengan judul yang sama di rak tersebut. Artinya, dalam sebulan, buku itu terus terjual. Tetapi, bisa jadi pula, dalam sebulan hanya ada sedikit penjualan, atau bahkan tidak ada penjualan sama sekali. Apa yang kemudian terjadi?

Jika jatah waktu satu bulan habis, maka buku-buku yang ada di rak “Buku Baru” akan dipindah ke rak atau lemari bagian dalam—di rak atas atau di tengah—dengan posisi buku tampak dari depan (sampul) atau tampak dari pinggir (punggung buku). Di rak tersebut, buku-buku itu kembali mendapat jatah satu bulan, dan nasibnya lagi-lagi akan ditentukan oleh pembeli.

Jika dalam satu bulan ternyata buku belum juga habis, maka tempatnya akan dipindahkan lagi. Kali ini ke rak-rak bawah, sehingga hanya para pengunjung toko yang sedang berjongkok yang dapat melihatnya. Atau, hanya pengunjung yang serius mencari buku tersebut yang bisa menemukannya. Ketika suatu buku sudah dipindahkan ke rak bawah, maka tingkat penjualan yang terjadi biasanya semakin sedikit. Meski begitu, pihak toko tetap hanya memberi kesempatan buku itu di sana selama sebulan.

Lalu apa yang akan terjadi, jika dalam sebulan buku di rak-rak bawah tetap tidak terjual? Maka toko buku akan mengembalikan buku-buku itu ke gudang penerbitnya. Biasanya, oleh penerbit, buku-buku itu akan didistribusikan ke toko-toko buku kecil atau menengah, yang pergerakan bukunya tidak secepat toko-toko buku besar. Karena itulah, kita biasanya bisa menemukan buku-buku terbitan lama di toko buku kecil, yang sulit ditemukan di toko buku besar.

Meski begitu, toko-toko buku kecil dan menengah juga punya batas waktu. Bagaimana pun, ada banyak penerbit yang juga memasok ke toko-toko semacam itu. Jika jatah waktu yang diberikan pada buku-buku tertentu sudah habis, namun tidak laku terjual, maka pihak toko juga akan mengembalikannya ke gudang penerbit. Untungnya, sekarang ada toko-toko buku internet, yang memungkinkan “usia” suatu buku bisa lebih panjang, sehingga buku terbitan lama pun masih bisa dijual dan dibeli, karena toko-toko buku internet tidak dibatasi ruang sebagaimana toko-toko buku konvensional (di dunia nyata).

Berdasarkan gambaran di atas, kita lihat bahwa “usia” setiap buku baru hanya tiga bulan di toko-toko buku besar—satu bulan di rak terdepan, satu bulan di rak tengah, dan satu bulan lagi di rak bawah. Dalam tiga bulan itu, nasib suatu buku benar-benar ditentukan oleh upaya yang dilakukan penerbit dan penulis agar buku itu dikenal orang sebanyak-banyaknya, dan di situlah letak pentingnya promosi.

Tentu saja, promosi yang dilakukan bukan jaminan mutlak bahwa buku itu pasti akan laris terjual. Promosi hanya sarana untuk mencapai tujuan agar buku itu dikenal, dan—syukur-syukur—bestseller. Karenanya, dalam upaya mengenalkan suatu buku demi tujuan meningkatkan jumlah penjualan, promosi adalah ikhtiar yang dilakukan penerbit bersama penulis.

Di antara masalah lain yang kadang timbul dari hubungan penulis dan penerbit, urusan promosi buku tampaknya menjadi masalah yang banyak dibicarakan, khususnya dari pihak penulis. Setidaknya, saya telah mendengar cukup banyak keluhan mengenai hal tersebut dari para penulis yang saya kenal. Catatan ini pun saya tulis sebagai bagian penyampaian aspirasi mereka. Karenanya, jika ada orang-orang penerbit yang kebetulan membaca catatan ini, anggap saja ini feedback untuk saling bertukar pikir.

Penerbit, sebagaimana yang dijelaskan di atas, memiliki sudut pandang dan alasan mereka menginginkan setiap penulis juga mempromosikan bukunya. Kita harus mengakui, sudut pandang dan alasan penerbit memiliki dasar yang benar, dan tujuannya juga baik, demi keuntungan bersama. Karenanya, tentu saja tidak salah jika penerbit mengharapkan penulisnya juga berpromosi. Yang kadang jadi masalah, tidak semua penulis mau berpromosi atau mempromosikan bukunya.

Mengapa? Untuk menjawab pertanyaan itulah saya menulis catatan ini, agar penerbit bisa melihat apa sebenarnya yang dipikirkan sebagian penulis, hingga mereka menolak atau tidak mau mempromosikan bukunya. Uraian ini didasarkan atas pengalaman cukup banyak penulis, sehingga penyebab dan latar belakangnya cukup beragam.

....
....

Ada penulis yang sangat produktif. Dia memasok naskah ke tiga penerbit, dan selama bertahun-tahun tiga penerbit itu terus menerbitkan naskah-naskah yang ditulisnya. Sebagai profesional, dia memiliki jadwal atau pengaturan khusus dalam bekerja. Dari tiga penerbit yang bekerjasama dengannya, dia mengerjakan naskah untuk masing-masing penerbit secara berurutan. Jika suatu naskah ditujukan untuk Penerbit A, maka naskah selanjutnya akan ditujukan ke Penerbit B, kemudian naskah lain lagi untuk Penerbit C, dan begitu seterusnya.

Hanya dengan tiga penerbit saja, dia sudah sangat kerepotan. Kadang-kadang, suatu naskah membutuhkan waktu pengerjaan lebih lama, sehingga jadwal pengiriman naskahnya ke suatu penerbit agak terlambat, sampai-sampai penerbit harus menagihnya. Ketika hal semacam itu terjadi, dia sampai mengurangi waktu tidur demi menyelesaikan naskah secepatnya.

Memang benar dia penulis profesional yang tidak terikat dengan penerbit mana pun. Tetapi karena mereka telah bekerjasama bertahun-tahun, masing-masing penerbit pun telah menganggap dirinya sebagai penulis mereka. Khususnya lagi karena si penulis selalu mampu mewujudkan naskah yang diinginkan penerbit, dan kualitas naskahnya selalu terjaga. Dia sosok penulis yang diinginkan penerbit mana pun—tidak rewel, terus produktif, dan naskah yang dihasilkannya selalu berkualitas.

Lanjut ke sini.

Penulis, Penerbit, dan Promosi Buku (1)

Penulis yang baik adalah penulis yang terus
mengasah diri. Tetapi bukan cuma penulis yang punya
kewajiban itu. Editor juga. Yang lain juga.
@noffret


Prinsip terkenal dalam ilmu manajemen berbunyi, “The right man on the right job, the right man on the right place.” Artinya, kira-kira, “Orang harus mengerjakan sesuatu sesuai keahliannya, sehingga harus ditempatkan di tempat yang tepat.”

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Karena prinsip itu pula, di perusahaan mana pun ada jabatan direktur, manajer, sekretaris, bendahara, sampai staf-staf, yang semuanya mengerjakan tugasnya masing-masing sesuai job description-nya. Direktur memimpin perusahaan, manajer mengatur dan mengelola para pekerja, sekretaris menangani dokumen dan urusan surat menyurat, bendahara mengurusi keuangan, sementara para staf mengerjakan tugasnya masing-masing. Itu tata kelola umum yang ada di perusahaan mana pun.

Bagaimana dengan perusahaan penerbitan? Sebenarnya sama saja. Di perusahaan penerbitan juga ada direktur atau pemimpin, manajer, sekretaris, bendahara, hingga editor, proofreader, desainer sampul, sampai staf-staf khusus—dari staf percetakan sampai staf distribusi dan promosi.

Ketika seorang penulis mengirimkan naskah ke sebuah penerbit, kira-kira seperti ini pola yang berlangsung di perusahaan penerbitan: Ketika naskah datang, sekretaris akan mencatat data naskah tersebut, kemudian mengalihkannya kepada editor yang tepat. Naskah fiksi akan diserahkan pada editor fiksi, naskah nonfiksi akan diserahkan pada editor nonfiksi, naskah psikologi akan diserahkan pada editor psikologi, naskah kebudayaan akan diserahkan pada editor budaya. Masing-masing orang memiliki keahliannya sendiri, dan dengan keahlian itulah mereka bekerja.

Di tangan editor, naskah akan dipelajari. Jika dinilai layak terbit, editor akan mulai mengurusnya. Yang dilakukan editor untuk naskah layak terbit kadang tidak hanya membereskan naskah itu agar lebih baik, namun juga mendiskusikannya dengan staf lain, yang salah satunya adalah staf pemasaran. Editor menilai suatu naskah layak terbit atau tidak, sementara staf pemasaran akan menilai suatu naskah layak jual atau tidak.

Jangan salah sangka. Naskah yang bagus belum tentu punya daya jual. Sebaliknya, ada pula naskah yang biasa-biasa saja (tidak terlalu bagus) tapi memiliki potensi untuk terjual dalam jumlah besar. Staf pemasaran diperlukan untuk menilai hal tersebut, agar buku yang kelak diterbitkan bisa terjual dalam jumlah maksimal. Jika editor dan staf pemasaran menyatakan oke pada suatu naskah, maka editor pun mulai menangani naskah tersebut.

Setelah suatu naskah rampung ditangani editor, naskah dioper ke bagian proofreader, yang bertugas memperhatikan ejaan, kata, kalimat, istilah, untuk memastikan semuanya ditulis dengan benar dan tepat. Setelah proofreader memastikan semuanya beres, naskah kemudian diset oleh staf khusus yang menangani setting naskah untuk diubah menjadi buku. Sering dengan itu, desainer sampul mengerjakan cover atau sampul yang akan digunakan untuk buku dari naskah itu.

Suatu naskah akan benar-benar dianggap selesai hingga bisa dicetak, jika telah melewati tangan editor, proofreader, petugas setting, dan desainer sampul. Setelah itu, apa yang kemudian terjadi? Naskah itu akan diserahkan kepada staf lain yang menangani urusan percetakan. Staf percetakan akan mengurusi naskah untuk dicetak menjadi buku. Kadang-kadang, dalam proses itu juga ada staf khusus lain yang disebut staf pengemasan. Tugasnya adalah memastikan buku yang dicetak benar-benar memenuhi standar kualitas, dan memiliki penampilan yang bagus.

Setelah buku dicetak sesuai jumlah yang diinginkan, dan telah dikemas dengan baik—khususnya dilapisi shrink (plastik tipis bening pengemas buku)—maka tumpukan buku yang baru dicetak itu sekarang menjadi tanggung jawab staf distribusi. Staf distribusi bertugas mendistribusikan buku tersebut ke toko-toko dan agen-agen yang bekerjasama dengan mereka, untuk menjual buku tersebut. Seiring dengan itu, staf promosi dan pemasaran akan memikirkan cara untuk mengenalkan buku kepada masyarakat luas, agar mereka tahu buku baru tersebut.

Tiga atau enam bulan kemudian, penjualan buku di semua agen dan toko akan didata untuk mengetahui berapa yang terjual, lalu bendahara penerbit akan mengurusi royalti untuk para penulis, termasuk menangani pajak, dan lain-lain. Proses yang terjadi dalam kenyataan tentu tidak sesederhana skema yang saya jelaskan, tapi kira-kira seperti itulah yang terjadi di penerbitan mana pun.

Kita lihat, masing-masing orang menjalankan tugasnya sendiri-sendiri sesuai job description-nya—dari sekretaris, bendahara, editor, proofreader, desainer sampul, setter, staf cetak, staf pemasaran, sampai staf distribusi, promosi, dan lain-lain. Sementara itu, di luar lingkar perusahaan ada para penulis profesional yang juga menjalankan pekerjaannya sendiri, yaitu menulis dan memasok naskah ke penerbit.

Pertanyaannya sekarang, mengapa penulis juga harus dibebani pekerjaan lain?

Pertanyaan itu diajukan oleh banyak penulis yang sering merasa heran karena diminta penerbit untuk aktif mempromosikan bukunya. Para penulis itu heran, karena mereka berpikir bahwa tugasnya sebagai penulis hanyalah menulis. Sementara promosi dan segala tetek bengeknya seharusnya diurusi petugasnya sendiri. Kalau para penulis juga diharuskan aktif berpromosi, lalu apa tugas staf promosi yang digaji oleh penerbit?

Itu sudut pandang penulis. Lalu bagaimana sudut pandang penerbit? Pihak penerbit mengharapkan penulis aktif mempromosikan bukunya, karena penerbit menilai bahwa penulislah yang paling tahu isi bukunya, sehingga penulis pula yang paling tahu bagaimana cara mengenalkan buku tersebut kepada calon pembacanya yang tepat.

Memang benar penerbit telah memiliki staf promosi yang bertugas mempromosikan buku apa pun yang mereka terbitkan. Tetapi, bagaimana pun, penerbit ingin buku-buku terbitan mereka terjual dalam jumlah lebih besar, dan untuk itu penerbit berharap masing-masing penulis mau ikut membantu proses promosi bukunya. Karena jika suatu buku terjual dalam jumlah banyak, yang diuntungkan bukan hanya penerbit, namun juga penulis.

Agar para penulis punya bayangan mengenai pentingnya promosi buku, mari kita lihat realitas yang terjadi di toko buku. Di toko-toko buku besar, pergerakan buku yang terjadi di sana sangat cepat—jauh lebih cepat dari yang mungkin kita bayangkan. Setiap bulan, ratusan penerbit memasok ribuan judul buku baru ke toko-toko buku, padahal ruang yang dimiliki toko buku—sebesar apa pun—tetap terbatas. Akibatnya, terjadi antrian dan rotasi buku di toko buku, yang berlangsung dengan cepat.

Lanjut ke sini.

Noffret’s Note: Iklan

Aku sering TIDAK membeli sesuatu karena barang itu
terlalu dipromosikan. #PengakuanKonsumen
—Twitter, 30 Juni 2012

Dari 10 hal/barang yang kubeli, 9 di antaranya kubeli
BUKAN karena promosi. #PengakuanKonsumen
—Twitter, 30 Juni 2012

Aku suka promosi/iklan yang ELEGAN. Iklan jor-joran
justru menjauhkanku dari ketertarikan. #PengakuanKonsumen
—Twitter, 30 Juni 2012

Segala hal yang BERLEBIHAN sering kali jadi membosankan,
bahkan menjengkelkan. Begitu pun iklan. #PengakuanKonsumen
—Twitter, 30 Juni 2012

Iklan BERLEBIHAN itu seperti orang aneh berteriak,
“Lihat aku! Lihat aku!” Mungkin aku akan menengok,
tapi tak tertarik. #PengakuanKonsumen
—Twitter, 30 Juni 2012

Produser iklan: “Promosi dibuat untuk doktrinasi.” |
Konsumen: “Memangnya siapa yang tertarik doktrinasi?”
#PengakuanKonsumen
—Twitter, 30 Juni 2012

Seperti apa sih wanita cantik? Yang tidak MENOR.
Semua yang BERLEBIHAN itu MENOR.
Termasuk iklan. #PengakuanKonsumen
—Twitter, 30 Juni 2012

Produser iklan: “Promosikan terus, hingga masyarakat hafal.” |
Konsumen: “Well, aku tidak membeli semua yang kuhafal.”
#PengakuanKonsumen
—Twitter, 30 Juni 2012

Kita mengganti chanel di TV ketika iklan. Apa yang kita lakukan
ketika mendapati hal sama di TL? #PengakuanKonsumen
—Twitter, 30 Juni 2012

Ketika sebuah formula dianggap berhasil, tidak berarti formula
sama akan berakhir sama. Kita sering terjebak pada naifnya logika.
—Twitter, 30 Juni 2012

Kita hidup di Zaman Iklan. Promosi adalah agama,
semua tempat jadi sarana ibadahnya,
dan target penjualan serta keuntungan menjelma nabi.
—Twitter, 30 Juni 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Rabu, 18 Februari 2015

Tangis Dalam Sunyi

Sering kali aku ngeri membayangkan anak-anak
tak berdosa dilahirkan hanya untuk mewarisi kebodohan,
menanggung luka, meratapi kelahirannya.
@noffret


Rasanya ingin menangis saat membaca dua berita itu. Berita pertama mengisahkan seorang wanita yang diusir dari rumah sakit setelah melahirkan, karena tidak bisa membayar biaya persalinan. Berita kedua tentang seorang ibu yang melahirkan anak dengan masalah medis serius, akibat kekurangan gizi selama hamil. Bayi yang masih beberapa bulan itu hanya terbaring tak berdaya di rumah, karena orangtuanya tidak punya biaya untuk membawanya berobat ke rumah sakit.

Mari kita mulai dari berita pertama. Seorang wanita diusir dari rumah sakit setelah melahirkan bayinya, karena tidak bisa membayar biaya persalinan. Sang suami tidak terima dengan pengusiran itu, hingga kemudian kejadiannya masuk koran. Berdasarkan berita yang saya baca, itu anak pertama mereka. Pasangan suami istri tersebut menyatakan bahwa rumah sakit tidak memiliki perikemanusiaan.

Ketika dikonfirmasi wartawan, pihak rumah sakit menjelaskan, bahwa ruang persalinan serta kamar untuk ibu yang baru melahirkan sangat terbatas di rumah sakit mereka, sementara kebutuhan untuk itu di luar kapasitas yang ada. Dengan kata lain, jumlah kebutuhan dan persediaan tidak seimbang. Karenanya, ketika ada pasien melahirkan namun ternyata tidak memiliki biaya, pihak rumah sakit tidak punya pilihan lain, selain memintanya meninggalkan rumah sakit. Mereka telah membantu si wanita untuk melahirkan, namun mereka tidak bisa membiarkannya tetap di rumah sakit tanpa membayar.

Saat membaca berita itu sampai akhir, saya bertanya-tanya sendiri, siapakah yang salah dalam kisah itu? Rumah sakit yang dinilai tidak berperikemanusiaan, ataukah pasangan suami istri yang tidak melakukan persiapan matang sebelum memutuskan punya anak?

Sejujurnya, saya tidak tahu siapa yang salah. Yang saya pikirkan terus-menerus dari kisah itu adalah bayi yang telah dilahirkan tersebut. Bagaimana nasibnya kelak, jika awal kelahirannya saja telah dimulai dengan masalah?

Punya anak adalah hak dan pilihan masing-masing pasangan. Siapa pun yang telah menikah dan menjadi suami istri memiliki hak dan kebebasan untuk punya anak atau tidak. Tetapi hak tidak berdiri sendiri. Kapan pun ada hak untuk memilih, di situ juga ada kewajiban, setidaknya konsekuensi dari pilihan. Memutuskan untuk punya anak adalah satu hal. Tetapi, seiring dengan itu, keputusan tersebut juga menuntut kewajiban dan konsekuensi. Di antaranya mempersiapkan kelahiran calon anak dengan matang, menyiapkan biaya melahirkan sampai perawatan, dan lain-lain yang daftarnya bisa sepanjang rel kereta api.

Karenanya, saya tidak habis pikir dengan berita tadi. Bagaimana bisa sepasang suami istri memutuskan punya anak, namun tidak diiringi persiapan matang untuk menunjang pilihan tersebut. Mereka tentunya tahu bahwa melahirkan membutuhkan banyak hal, dari biaya rumah sakit sampai biaya perawatan bayi dan si ibu. Mereka tentunya mengerti bahwa setiap anak yang dilahirkan membutuhkan biaya hidup. Kalau membayar biaya melahirkannya saja sudah keberatan, bagaimana nantinya si anak akan tumbuh?

Mungkin sebagian orang percaya nasihat kuno, yang menyatakan bahwa “menikah akan melancarkan rezeki”. Jadi, mereka pun menikah dengan modal keyakinan itu, berharap entah bagaimana mereka akan menjalani hidup dengan limpahan rezeki setelah menikah, hingga kemudian melahirkan anak. Lalu ketika si anak lahir, mereka kebingungan membayar biaya kelahirannya.

Mungkin menikah memang melancarkan rezeki, seperti yang sering dikhotbahkan sebagian orang. Tapi kita tidak hidup di surga tempat segalanya dapat diperoleh hanya dengan mengulurkan tangan. Kita hidup di dunia tempat hukum sebab akibat terus berlangsung dan tak bisa ditawar-tawar. Untuk mendapatkan rezeki yang cukup, orang harus bekerja. Tak peduli seseorang menikah atau tidak, tetap seperti itulah aturannya. Tidak ada usaha, tidak ada hasil. Rezeki didapat sebagai hasil kerja. 

Beberapa orang kadang menyatakan, “Jangankan manusia, bahkan hewan-hewan pun telah dijamin rezekinya oleh Tuhan.”

Oh, well, memang benar bahwa Tuhan menjamin rezeki bagi setiap makhluk, termasuk manusia dan hewan. Tapi mari kita perhatikan lebih dekat. Apakah rezeki itu datang dari langit tanpa usaha, ataukah diperoleh dengan kerja?

Di dalam sangkar, burung peliharaan mendapat makan karena menghasilkan suara yang indah. Ayam-ayam dalam kandang mendapat makan karena menghasilkan telur. Kerbau mendapat makan karena memberikan tenaga untuk membajak sawah. Sapi mendapat makan karena menghasilkan susu. Anjing mendapat makan karena memberikan kesetiaan. Bahkan ikan-ikan hias dalam akuarium mendapat makan karena dianggap memberi hiburan atau kebanggaan bagi pemiliknya.

Di alam liar, hewan-hewan juga harus bekerja untuk mendapat makan, mendapat rezeki. Elang harus terbang mengepakkan sayapnya untuk mencari makanan, burung-burung yang lebih kecil juga harus menempuh berbagai upaya untuk mendapat rezeki yang sama—dari mematuki batang pohon seperti burung pelatuk, sampai mencari sisa-sisa makanan di antara gigi buaya seperti burung plover. Untuk mendapat makan, memperoleh rezeki, hewan-hewan itu harus bekerja.

Kelelawar harus keluar dari sarangnya untuk mendapat makan. Tupai harus memanjat pohon dan berlompatan untuk mendapat makan. Laba-laba harus bekerja keras membuat jerat untuk mendapat makan. Berang-berang harus membangun bendungan untuk mendapat makan. Lalat harus terbang kesana kemari untuk mendapat makan. Cacing-cacing harus merayap dalam tanah untuk mendapat makan. Bahkan semut yang kecil pun harus berjalan berkilo meter untuk mendapat makan. Bahkan makhluk semacam bakteri pun tetap harus bekerja untuk mendapat makan.

Memang benar setiap makhluk akan mendapat rezekinya masing-masing. Tetapi, sekali lagi, lihatlah lebih dekat, perhatikan lebih cermat. Tidak ada manusia atau hewan yang bisa mendapatkan rezeki tanpa bekerja. Semuanya mendapatkan makan setelah melakukan usaha dan upaya.

Karenanya, ungkapan yang menyatakan, “Tuhan menjamin rezeki setiap makhluk,” belum sampai pada titik, melainkan baru sampai pada koma. Tuhan menjamin rezeki setiap makhluk (koma) dengan catatan setiap makhluk mau bekerja, mau berusaha dan berupaya. Karena, kita tahu, Tuhan juga tidak akan mengubah nasib setiap makhluk, jika makhluk bersangkutan tidak mau mengubah nasibnya.

Begitu pun rezeki dalam perkawinan. Ungkapan yang menyatakan bahwa “perkawinan akan melancarkan rezeki” juga belum sampai pada titik, tetapi baru sampai pada koma. Perkawinan akan melancarkan rezeki (koma) dengan syarat orang yang telah menikah mau bekerja keras dan bertanggung jawab terhadap perkawinannya. Jangankan perkawinan manusia, bahkan perkawinan semut pun membutuhkan upaya dan kerja keras untuk mendapatkan rezeki.

Well, selain berita tentang wanita yang diusir dari rumah sakit setelah melahirkan bayinya, berita kedua yang juga membuat saya ingin menangis adalah kisah seorang ibu yang melahirkan bayi dengan masalah medis akibat kurang gizi.

Ceritanya, seperti yang saya baca pada berita tersebut, seorang ibu melahirkan anak keempat. Sang suami bekerja serabutan, dengan penghasilan tak pasti. Kepada wartawan yang menemuinya, ibu itu menceritakan bahwa selama hamil dia hanya makan mie instan karena tidak ada uang untuk membeli makanan yang lebih bergizi. Entah hal itu berhubungan atau tidak, yang jelas bayinya kemudian lahir dengan masalah medis akibat kurang gizi.

Bayi itu mengalami masalah pada kulit yang parah, sementara telinganya tidak tumbuh. Bayi itu juga tidak bisa menutup matanya, bahkan ketika sedang tidur. Entah si bayi merasa kesakitan atau tidak, yang jelas ia terus menangis, khususnya jika dilepas dari dekapan si ibu. Dokter yang pernah memeriksa menyatakan bayi tersebut bisa sembuh, asal dirawat dan diobati secara teratur. Tetapi orangtuanya tidak bisa membawa ke rumah sakit untuk berobat, karena tidak ada biaya.

Saya tercenung lama setelah membaca berita itu. Sepasang suami istri memiliki empat orang anak. Selama hamil anak keempat, si istri sampai terpaksa makan mie instan setiap hari karena tidak ada uang untuk membeli makanan yang layak dan lebih sehat. Ketika dilahirkan, bayi itu mengalami masalah medis yang serius, namun mereka tidak bisa membawa ke rumah sakit untuk berobat, karena tidak ada biaya. “Suami saya hanya bekerja serabutan dengan penghasilan pas-pasan,” ujar si istri.

Mereka menyadari kehidupan dan penghasilan yang pas-pasan, namun memiliki empat orang anak. Tentu saja itu pilihan mereka sepenuhnya. Tetapi, yang membuat saya ingin menangis, tidakkah mereka memikirkan nasib anak-anaknya?

Memiliki anak adalah hak setiap orangtua. Tetapi, begitu anak-anak itu lahir ke dunia, mereka menjadi tanggung jawab si orangtua, khususnya jika si anak belum dewasa dan belum bisa mencari rezeki sendiri. Bagaimana pun, orangtua punya kewajiban menghidupi anak-anaknya secara layak, meski ukuran kelayakan bisa relatif. Jika si anak kelaparan, orangtua wajib memberinya makan. Jika si anak sakit, orangtua wajib membawanya berobat. Bahkan jika si anak menangis, orangtua pun wajib menenangkan dan menenteramkan.

Mungkin sebagian orang percaya ajaran yang menyatakan “setiap anak membawa rezekinya sendiri-sendiri, sehingga banyak anak banyak rezeki”. Karenanya, orang-orang itu pun terus punya anak, meski menyadari kehidupan yang pas-pasan, dan penghasilan tidak menentu. Lalu anak-anak itu lahir untuk menghadapi hidup yang serba kekurangan, dijerat berbagai masalah dan kemiskinan, untuk tumbuh dalam luka... bersama luka.

Jika memang setiap anak membawa rezekinya sendiri, sehingga banyak anak banyak rezeki, saksikanlah anak-anak yang menyabung nyawa di jalan-jalan hanya untuk mendapat receh dari orang-orang yang kasihan. Lihatlah anak-anak kelaparan yang tak sanggup lagi untuk menangis, karena air matanya telah habis. Pandangilah anak-anak yang tidak bisa menjalani kehidupannya, karena keceriaan mereka sebagai anak-anak telah dirampas demi bisa mempertahankan hidup. Pikirkanlah berapa juta anak di dunia ini yang harus menanggung luka diam-diam karena mengutuk kehidupannya, lalu menangis sendirian dalam sunyi.

Saya tahu kenyataan itu, sungguh-sungguh tahu apa yang mereka rasakan, yang mereka pikirkan, yang mereka tangisi... karena saya pernah menjadi bagian dari mereka. Di antara jutaan anak-anak yang terluka di bawah langit karena kehilangan keceriaan masa kanak-kanaknya, saya termasuk di antaranya. Dan, demi Tuhan, luka yang ditimbulkan dari masa itu tak pernah sembuh, bahkan setelah saya meninggalkannya bertahun-tahun. Dalam hidup yang sekarang saya jalani, di dalam lubuk jiwa saya yang terdalam, ada luka yang terus menganga.

Dan luka itu semakin perih setiap kali melihat anak-anak dilahirkan bersama kenaifan orangtuanya. Luka itu semakin parah setiap kali menyaksikan anak-anak melakukan sesuatu yang dulu saya lakukan. Luka itu semakin berdarah setiap memandangi anak-anak yang terluka... kembali terluka... mengalami luka seperti yang dulu sama alami. Anak-anak yang dihempas terik tanpa alas kaki, anak-anak yang merana, berduka, dan kesepian, anak-anak yang dilemparkan nasib dan tangis dalam sunyi.

Entah sampai kapan anak-anak itu akan terus dilahirkan... entah kapan luka-luka di bawah langit akan tersembuhkan.

Noffret’s Note: Fatamorgana

Pelangi yang sama terlihat beda dalam pandangan
setiap orang. Sebenarnya bukan cuma pelangi.
Hampir semua hal. Termasuk akhir pekan.
—Twitter, 20 Desember 2014

Bulan di langit selalu mengikuti kita, kata orang-orang.
Bisa jadi. Tapi bisa jadi pula mereka terlalu kege’eran.
—Twitter, 20 Desember 2014

Matahari selalu terbit dari timur dan tenggelam di barat.
Tidak, matahari terbit-tenggelam di tempatnya.
Timur dan barat hanya sebutan kita.
—Twitter, 20 Desember 2014

Hujan selalu meninggalkan aroma khas petrichor.
Belum tentu. Petrichor tidak dihasilkan hujan,
ia ditimbulkan tanah tempat hujan jatuh.
—Twitter, 20 Desember 2014

Bintang hanya muncul di malam hari.
Kenyataannya, bintang telah ada sejak siang,
bahkan sejak pagi. Tapi mata kita terhalang silau matahari.
—Twitter, 20 Desember 2014

Embun hanya ada di daun. Benar. Termasuk daun jendela
dan daun rumah kita. Juga di atas daun-daun jatuh
yang berserak dan tak lagi mekar.
—Twitter, 20 Desember 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Obrolan Mbuh

“Setelah itu terjadi, kamu akan jadi apa?”

“Setelah itu terjadi, aku akan jadi Magneto.”

Sabtu, 14 Februari 2015

Membunuh Diri Sendiri

Kalau dipikir-pikir, segala hal berawal dari mudah,
lalu lama-lama menjadi sulit.
Dan sulit itu, ironisnya, kita bikin sendiri.
@noffret


Bunuh diri tidak hanya dilakukan orang per orang. Kenyataannya, organisasi, perusahaan, usaha atau bisnis, semuanya memiliki potensi yang sama untuk melakukan bunuh diri—meski mungkin tanpa mereka sadari.

Saya cukup sering berhubungan dengan sebuah institusi untuk urusan kerja. Mekanisme kerja kami sangat sederhana. Saya mengirim suatu dokumen untuk mereka, lalu beberapa waktu kemudian mereka menghubungi saya, plus membereskan masalah pembayaran yang ditransfer langsung ke rekening saya. Total waktu yang dibutuhkan hanya sekitar 1,5 bulan, dari sejak saya mengirimkan dokumen sampai tahap mereka mentransfer pembayaran.

Kami telah bekerjasama cukup lama, sehingga saya sudah hafal mekanisme kerja yang biasa kami lakukan. Itu jenis mekanisme kerja yang saya sukai—mudah, tanpa banyak ribut, bahkan tanpa ribet. Asal tahu saja, semua orang yang bekerja dengan otak membutuhkan mekanisme kerja seperti itu—mereka tidak mau buang-buang waktu untuk mengurusi hal-hal sepele, seperti urusan administrasi yang belibet, atau birokrasi yang menjengkelkan.

Sampai kemudian, karena stres berkepanjangan dan kesibukan tertentu, saya cukup lama tidak memasok dokumen apa pun untuk mereka. Sekitar setahun saya tidak lagi berhubungan dengan institusi tersebut. Hingga sekitar sebulan yang lalu, saya bisa kembali menghubungi mereka, dengan dokumen yang baru. Saya mengirimkan dokumen itu dengan cara yang biasa.

Setelah itu, seperti biasa pula, mereka menghubungi saya sehubungan dokumen tersebut. Tetapi kali ini ada yang berbeda. Jika dulu urusannya sangat simpel dan mudah, sekarang agak berbelit. Jika dulu saya hanya berhubungan dengan satu orang, sekarang urusan itu melibatkan cukup banyak orang—khas birokrasi. Orang yang berhubungan dengan saya kali ini juga bukan orang yang dulu.

Setelah cukup lama menunggu, saya bertanya penyelesaian urusan kami. Jawaban yang diberikan, urusan itu sudah dialihkan ke petugas lain, jadi kami harus menunggu petugas tersebut. Yang jadi masalah, “si petugas entah siapa” itu tidak juga muncul untuk membereskan. Lalu ketika “si petugas” itu sudah muncul, urusannya masih belum juga selesai, karena rupanya telah terjadi berbagai perubahan aturan di institusi tersebut.

Dengan heran, saya bertanya mengenai perubahan itu. Saya katakan terus terang, dulu urusannya tidak rumit dan berbelit-belit seperti ini. Kenapa sekarang berubah? Petugas di sana menjawab bahwa mereka memang melakukan pembaruan, sehingga mekanisme kerja di sana juga mengalami perubahan.

Lho kok aneh, pikir saya. Sebuah institusi yang semula menjalankan mekanisme kerja sederhana, kini melakukan pembaruan. Namun, hasilnya bukan menjadi lebih efektif, tapi malah berubah menjadi institusi birokratis dengan urusan berbelit-belit yang menjengkelkan. Itu pembaruan atau proses pembusukan?

Dalam ilmu manajemen, “pembaruan” sering kali merujuk pada “perampingan”. Suatu institusi yang semula “gemuk” karena banyaknya orang atau pekerja yang terlibat “dirampingkan” agar proses kerja lebih mudah, lebih efektif, dan tidak bertele-tele. Itulah pembaruan—suatu upaya merampingkan mekanisme kerja, sehingga menghemat waktu semua pihak yang terlibat, bahkan menekan biaya atau pengeluaran perusahaan.

Jika pembaruan yang dilakukan justru mengubah sesuatu yang semula sederhana menjadi rumit dan berbelit, itu bukan pembaruan. Lebih tepat, mungkin, itu proses pembusukan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia membutuhkan kemudahan. Jika kemudahan yang sudah ada dibuat menjadi sulit dan rumit, itu sama saja melakukan pembusukan diri. Dalam suatu organisasi atau institusi, kemudahan dan kesederhanaan adalah kemewahan. Ironisnya, masih banyak orang yang belum memahami.

Prinsip manajemen kuno menyatakan, semakin rumit dan semakin banyak orang yang terlibat, maka hasilnya akan lebih baik. Akibatnya, proses pekerjaan yang seharusnya bisa ditangani satu orang dikerjakan oleh tiga atau empat orang. Urusan yang sebenarnya bisa ditangani tiga orang dikerjakan enam sampai sembilan orang. Prinsip semacam itu sudah kuno, ketinggalan zaman, bahkan merugikan, karena terlalu banyak membuang sumber daya, waktu, dan biaya.

Tetapi, ironisnya, prinsip kuno semacam itulah yang selama ini masih banyak digunakan lembaga atau institusi. Ada banyak orang yang terlibat mengurusi sesuatu, padahal urusan itu sebenarnya bisa ditangani sedikit orang. Lebih ironis lagi, kadang ada kantor atau institusi yang tampaknya sengaja “mempersulit” urusan dengan lika-liku birokrasi yang menjengkelkan. Dalam urusan perpanjangan STNK, misalnya.

Sampai sekarang, saya malas dan ogah mengurus perpanjangan STNK atau membayar pajak kendaraan. Jika perlu melakukannya, saya menyerahkan urusan itu kepada biro khusus yang biasa menanganinya. Saya lebih suka membayar biro itu untuk mengerjakan hal tersebut, daripada datang ke kantor samsat dan berurusan dengan birokrasi yang bertele-tele.

Dulu, saya pernah mengurus sendiri perpanjangan STNK plus pembayaran pajak kendaraan, dan seperti inilah yang saya alami.

Mula-mula, saya harus menyerahkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan di Loket 1. Setelah menunggu beberapa saat, petugas di Loket 1 akan mengembalikan dokumen-dokumen itu, lalu saya harus berhubungan dengan petugas lain di Loket 2. Dari Loket 2, saya harus pergi lagi ke Loket 3, kemudian menyelesaikan urusan di Loket 4. Yang menjadi masalah, di masing-masing loket itu harus antre, karena banyak orang yang mengurus hal serupa, jadi kami benar-benar membuang banyak waktu serta tenaga.

Hanya untuk mengurus satu hal, ada empat orang/petugas di empat loket berbeda yang harus ditemui, dengan proses yang cukup lama. Itu melelahkan, sekaligus menjengkelkan. Itu bahkan belum sampai pada urusan penggantian plat nomor kendaraan. Jika kebetulan harus mengganti plat, urusannya lebih panjang lagi.

Selama antre dalam pengurusan di masing-masing loket, saya tidak habis pikir kenapa mekanismenya harus dibuat rumit dan bertele-tele seperti itu. Masing-masing orang yang perlu mengurus perpanjangan STNK dan membayar pajak kendaraan harus berhubungan dengan empat orang di empat loket, dan semua orang itu harus antre, bahkan kadang berdesak-desakan. Kenapa tidak dibuat lebih mudah?

Bagaimana caranya? Sangat gampang!

Agar urusan itu menjadi lebih mudah dan lebih efektif, buat saja sistem satu loket. Letakkan beberapa petugas di sana. Ketika orang-orang datang dan perlu memperpanjang STNK atau membayar pajak, mereka tinggal menuju ke loket tersebut. Semua dokumen dimasukkan ke sana, lalu petugas yang akan mengurus kelanjutannya.

Perhatikan, si petugas yang mengurus kelanjutannya, bukan orang yang mengurus perpanjangan STNK atau membayar pajak. (Si petugas dibayar negara untuk bekerja, sementara orang yang mengurus perpanjangan STNK harus membayar proses tersebut. Masak pihak yang membayar justru yang lebih repot?)

Sementara para petugas sedang membereskan hal itu, orang-orang yang menunggu bisa duduk di kursi-kursi yang disediakan. Lalu petugas di loket tadi bisa memanggil nama-nama orang yang urusan pajak atau perpanjangan STNK-nya telah selesai diurus. Orang-orang yang namanya dipanggil bisa langsung membayarnya di sana, lalu pulang. Mudah, sederhana, efektif, dan menyenangkan.

Dengan sistem satu loket yang efektif dan memudahkan semacam itu, orang-orang pun tidak malas mengurus perpanjangan STNK atau membayar pajak kendaraannya. Hasilnya, yang diuntungkan tidak hanya para pemilik kendaraan, tetapi juga negara. Karena orang merasa mudah mengurus pajak atau perpanjangan STNK, mereka pun tidak segan mengurus dan membayarnya. Finish-nya tentu pemasukan pajak negara dapat terjaga.

Sebaliknya, dengan sistem bertele-tele seperti yang saya alami, yang kemudian tumbuh adalah sistem percaloan. Karena menyadari orang-orang malas berurusan dengan birokrasi, banyak calo yang muncul. Banyak pula orang yang lebih suka berhubungan dengan calo, daripada membereskan urusannya sendiri. Melalui calo, mereka hanya berurusan dengan satu orang, dan setelah itu si calo yang akan membereskan.

Seperti yang saya lakukan. Karena malas berurusan dengan birokrasi di kantor samsat yang ribet, saya lebih suka berurusan dengan biro yang biasa melayani urusan itu. Biro itu sebenarnya tak jauh beda dengan calo, yakni perantara urusan saya dengan kantor samsat. Masih lumayan, karena saya masih merasa punya tanggung jawab untuk membayar pajak, meski lewat calo. Tapi bagaimana dengan banyak orang lain yang lebih memilih tidak membayar pajak sama sekali daripada ribet?

Birokrasi yang ribet itu menjengkelkan, semua orang tahu. Prinsip hidup manusia adalah membutuhkan kemudahan, dan menjauh dari kesulitan atau hal-hal yang dipersulit. Karenanya, setiap kali berurusan dengan manusia, buat segalanya menjadi mudah, khususnya kalau hal itu memang bisa dilakukan dengan mudah. Mempersulit hal-hal mudah adalah doktrin manajemen kuno. Selain tidak efektif, itu juga merugikan semua pihak.  

Karenanya, saya heran dengan institusi yang saya ceritakan di awal catatan ini. Semula, mereka adalah institusi sederhana dengan mekanisme kerja sederhana. Berurusan dengan mereka sangat efektif sekaligus menyenangkan, karena mereka menggunakan sistem “satu loket”. Untuk setiap urusan, saya hanya berhubungan dengan satu orang.

Kini, dengan alasan pembaruan, mereka justru terkesan mempersulit hal-hal yang semula mudah. Urusan yang tadinya dilakukan di satu loket kini harus ditangani banyak loket atau banyak orang. Dalam manajemen, hal semacam itu sebenarnya bukan pembaruan, melainkan pembusukan. Semakin banyak orang yang terlibat untuk suatu urusan yang sebenarnya bisa dikerjakan satu orang, hasilnya bukan lebih baik. Selain ribet, juga memboroskan sumber daya, waktu, dan biaya.

Prinsip hidup manusia tak pernah berubah, sejak zaman purba sampai zaman internet. Mereka menyukai kemudahan, dan menjauhi kesulitan. Jika mereka bisa mendapatkan sesuatu dengan mudah, mereka tidak suka dipersulit. Karenanya, hukum kesuksesan abadi dalam berurusan dengan manusia adalah, “Mudahkan, jangan persulit. Mudahkan, jangan persulit!”

Noffret’s Note: Mencintai Pekerjaan

Aku selalu mengagumi orang-orang yang mencintai pekerjaannya.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Bekerja adalah hak mulia yang hanya dimiliki manusia.
Mencintai pekerjaan yang dipilih adalah menjalani hidup dengan mulia.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Tukang sapu jalan yang mencintai pekerjaannya lebih mulia
daripada eksekutif perusahaan yang tidak mencintai pekerjaannya.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Orang yang mencintai hari Minggu, hari libur, apalagi liburan panjang,
perlu bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku mencintai pekerjaanku?”
—Twitter, 22 Oktober 2014

Orang yang mencintai pekerjaannya tidak suka hari libur,
apalagi liburan panjang, karena mereka lebih suka terus bekerja.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Tidak ada resep sukses apa pun yang ditujukan
untuk orang yang membenci pekerjaannya.
Kesuksesan hanya untuk yang mencintai pekerjaannya.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Dari semua tip, resep, dan panduan mencapai keberhasilan di dunia,
semuanya bisa dirangkum dalam satu kalimat, “Cintailah pekerjaanmu.”
—Twitter, 22 Oktober 2014

Di Twitter banyak orang yang sangat bersuka cita setiap datang hari libur,
apalagi libur panjang. Pantas kalau mereka suka main Twitter.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Orang yang mencintai pekerjaannya tidak pernah dibebani oleh pekerjaan.
Karena mereka senang melakukannya, tak ingin berhenti melakukannya.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Perbedaan penting antara manusia dan binatang adalah... manusia bisa
memilih pekerjaannya, dan mencintai pekerjaan yang dipilihnya.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Orang yang mencintai pekerjaannya cenderung bekerja dengan baik,
lebih baik, dan lebih baik lagi. Merekalah yang menggerakkan dunia.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Orang yang tidak mencintai pekerjaannya hanya bekerja untuk gajian
sambil menunggu hari libur. Menyedihkan sekali hidup mereka.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Orang-orang yang mencintai pekerjaannya tidak menunggu hari libur.
Bagi mereka, keasyikan bekerja jauh lebih menyenangkan daripada liburan.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Ironi adalah mengharapkan kesuksesan, tapi tidak mencintai pekerjaan.
Itu seperti berharap kenyang tanpa makan, hidup tanpa dilahirkan.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Sebenarnya, mencintai pekerjaan adalah syarat penting menjadi manusia.
Mencintai pekerjaan menjadikan mereka manusia seutuhnya.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Mencintai pekerjaan menjadikan guru mengajar dengan baik,
atlet bertanding dengan jujur, tukang sapu bekerja dengan sepenuh hati.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Bagaimana caranya agar kita tidak pernah bekerja, tapi sukses? Mudah.
Cintai saja pekerjaanmu, dan kau tidak akan pernah merasa bekerja.
—Twitter, 22 Oktober 2014

Aku selalu mencintai orang-orang yang mencintai pekerjaannya.
—Twitter, 22 Oktober 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Orang Penting

“Nanti malam kamu ada acara?” tanya temanku.

“Tidak,” aku menjawab.

“Bagus. Aku ingin mengajakmu ke tempat orang penting.”

“Orang penting? Apakah dia mengakui dirinya orang penting?”

“Tentu saja—dia orang penting!”

“Kalau begitu, aku tidak mau—kamu ajak teman lain saja.”

“Uh, kenapa?”

“Karena orang yang mengakui dirinya penting pasti orang yang sangat tidak penting. Aku tidak tertarik dengan orang semacam itu.”

Selasa, 10 Februari 2015

Kasus JIS: Sebuah Catatan (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Berkaitan dengan kejanggalan tersebut, Hotman Paris, pengacara guru JIS dalam kasus itu, menyatakan, “Sejak awal dilakukan penyidikan terhadap kasus 6 orang petugas kebersihan, tidak pernah sang anak maupun ibu pelapor menyebutkan keterlibatan guru JIS dalam cerita dan tuduhan-tuduhannya.”

“Bahkan,” lanjut Hotman Paris, “dalam surat gugatan perdata dari ibu MAK terhadap JIS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di bulan April 2014, jelas-jelas disebut tuduhan pelaku dugaan perbuatan asusila adalah petugas kebersihan dari ISS, dan sama sekali tidak menyebutkan guru JIS. Pada saat gugatan ganti rugi US$ 13,5 juta dimasukkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tidak ada penyebutan sama sekali keterlibatan guru-guru atau pihak JIS dalam dugaan perbuatan asusila yang dituduhkan ibu MAK. Tetapi, setelah kurang lebih sebulan kemudian, ibu MAK melalui kuasa hukumnya, menaikkan nilai gugatan ganti rugi sepuluh kali lipat lebih besar, menjadi US$ 125 juta.”

Karena kenyataan itulah, Hotman Paris melihat kasus ini seperti dipaksakan, terlebih soal adanya tuntutan uang ganti rugi dari korban. “Kami melihat adanya dugaan rekayasa dalam kasus ini,” ujar Hotman pada pers. “Hanya karena JIS menolak membayar tuntutan ganti rugi yang awalnya sebesar US$ 13,5 juta, kemudian ditingkatkan menjadi US$ 125 juta.”

Yang menarik, Hotman Paris juga menyatakan, “Pelapor (ibu MAK) bahkan mengirim pesan kepada JIS, bahwa mereka siap mencabut gugatan itu, asal uang damai sebesar US$ 13,5 juta itu dikabulkan.”

Berdasarkan kenyataan dan semua kejanggalan yang terjadi pada kasus yang melilit JIS itu pula, Hotman Paris merasa perlu mengirim surat khusus kepada Presiden Joko Widodo, dengan harapan presiden memberikan perhatian khusus pada kasus ini. Tidak hanya karena jumlah tuntutan ganti rugi yang luar biasa besar, namun juga karena orang-orang yang dituduh bersalah belum tentu memang bersalah, mengingat kasus ini sangat aneh dan penuh kejanggalan.

Menanggapi perkembangan tersebut, RA. Berar Fathia, dari Presidium Aliansi Perempuan Indonesia, menyatakan bahwa kasus ini telah bergeser dari isu sosial menjadi komersial. Semakin hari kasus ini bergeser, dan lebih sarat dengan tuntutan uang ganti rugi. “Akibatnya,” ia berujar, “bukan saja anak didik yang kemudian dirugikan, melainkan membuat celah untuk memanfaatkan peluang ini.”

Ayu Rahmat, dari perwakilan orangtua murid JIS, menyatakan kasus JIS sejak awal sangat janggal dan tidak masuk akal. Selain sistem dan kontrol di sekolah sangat ketat, cerita yang dimunculkan itu mustahil terjadi. “Bagaimana mungkin seorang anak berusia 6 tahun mengalami sodomi lebih dari 13 kali oleh 4 orang, namun kondisi lubang pelepas (anus)-nya masih normal?” ujarnya.

Ia menambahkan, di TK JIS banyak orangtua siswa yang terlibat dan memonitor kegiatan anak-anaknya. “Karena itu, menjadi sangat aneh ketika Ibu Pipit (ibu MAK) yang tidak pernah datang ke sekolah tiba-tiba melaporkan kasus ini. Kami bingung dengan semua cerita ini. Apalagi ada gugatan yang nilainya bisa digunakan untuk membeli seluruh tanah yang ditempati JIS. Ada apa ini semua?”

....
....

Berdasarkan kronologi kejadian, matriks peristiwa, pemeriksaan dan kesaksian para ahli, serta bukti-bukti yang ada, berikut ini adalah pemikiran saya mengenai kasus dugaan kejahatan seksual di TK JIS. Perhatikan, ini pemikiran saya, yang tidak menutup kemungkinan untuk keliru. Saya mendasarkan paparan berikut ini berdasarkan studi terhadap artikel-artikel yang saya baca, yang dirilis berbagai media massa.

Kasus ini bermula dari MAK, salah satu murid di TK JIS, yang—pada waktu kasus itu pertama kali muncul—berusia 5 tahun. Entah apa yang ia katakan kepada ibunya, yang jelas kemudian si ibu menyimpulkan anaknya telah disodomi oleh para petugas kebersihan di JIS (belakangan dua guru JIS juga dituduh melakukan hal yang sama, dan diajukan ke pengadilan dengan dasar tuntutan yang sama.)

Kesimpulan ibu MAK mungkin didasari oleh keberadaan nanah yang ada di dubur anaknya. Padahal, mengutip keterangan Dokter Muhammad Lutfi dari RSPI yang melakukan visum pada tubuh MAK, nanah pada dubur MAK tidak bisa dijadikan bukti konklusif bahwa anak tersebut telah disodomi. Dalam jumpa pers, Dokter Lutfi menyatakan, “Mengenai nanah tersebut, ada empat kemungkinan yang menjadi penyebabnya, salah satunya adalah radang pada usus besar.”

Namun, karena ibu MAK sangat meyakini anaknya telah disodomi, dia melaporkan dugaannya kepada polisi, dan berita itu pun seketika menjadi sensasi besar di Indonesia. Semua media di Indonesia memberitakan kasus itu dengan gegap gempita, dan seluruh perhatian publik terarah pada kasus tersebut.

Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan berita itu sangat sensasional. Pertama, yang diduga menjadi korban adalah anak-anak. Siapa pun punya perhatian khusus terhadap anak-anak, dan kita selalu mengutuk kejahatan yang terjadi pada anak-anak. Kedua, kasus itu terjadi di JIS, sebuah sekolah kelas atas berbiaya mahal, yang memiliki atribut asing. Mencuatnya berita kejahatan di sekolah tersebut—langsung maupun tidak—telah memantik sentimen publik terhadap JIS yang dianggap sekolah asing.

Karena berita itu menjadi sorotan publik, terjadi pressure besar-besaran. Yang paling bertanggung jawab untuk mengungkap kasus itu tentu polisi. Maka polisi pun berupaya sekuat dan secepat yang mereka bisa, untuk mengungkap kasus tersebut dan menangkap para pelakunya. Hasilnya adalah penangkapan enam orang yang merupakan petugas kebersihan di JIS.

Sampai di sini, kita tiba pada sesuatu yang sangat... sangat krusial.

Ketika penangkapan terjadi, dasar yang dimiliki polisi mungkin masih minim—hanya laporan ibu MAK, dan pemeriksaan dokter yang belum tuntas. Kenyataannya, para petugas kebersihan yang ditangkap itu pun mengaku dijebak, karena tidak adanya surat penangkapan resmi. Dengan kata lain, polisi belum memiliki dasar yang kuat yang membuktikan bahwa mereka memang pelaku kejahatan tersebut.

Pertanyaannya, mengapa polisi terkesan buru-buru menetapkan pelaku atas dugaan kasus tersebut? Salah satu latar belakangnya karena pressure publik yang sangat kuat, akibat media-media yang menyorot berita itu dengan gegap gempita. Selama kasus itu bergulir, berbagai media nyaris tanpa henti merilis beritanya, sampai menggali hal-hal yang kadang tidak berkaitan langsung dengan kasus tersebut. Akibatnya, perhatian publik terus terfokus, dan pressure sosial semakin kuat. Beban moral polisi pun semakin berat.

Ada satu hal penting yang perlu saya katakan di sini. Ketika berita-berita mengenai kasus dugaan kekerasan seksual di JIS bergulir dengan masif, kita telah meninggalkan asas praduga tak bersalah kepada orang-orang yang diduga sebagai pelaku. Kita mengutuk mereka, menghakimi mereka, dan menyemburkan segala macam sumpah serapah, seolah mereka telah benar-benar terbukti bersalah.

Saya tidak menunjuk hidung siapa pun, karena saya pun ikut menghakimi mereka, dan lupa bahwa orang-orang itu punya hak untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.

Ketika kasus itu bergulir ke pengadilan, mulai terungkap perlahan-lahan bahwa kasus itu sebenarnya meragukan. Para tersangka yang sebelumnya telah menandatangani BAP (Berita Acara Pemeriksaan) mencabut BAP-nya di persidangan, sementara bukti-bukti dan saksi-saksi ahli yang dihadirkan ke pengadilan semakin mengukuhkan fakta bahwa dugaan sodomi itu sebenarnya tidak ada.

Jika memang dugaan kejahatan itu terbukti mentah di pengadilan, mengapa para petugas kebersihan yang dituduh melakukan kejahatan itu tetap divonis dan dijebloskan ke penjara? Bahkan, mengapa dua guru JIS kemudian ikut dituduh terlibat dalam kejahatan itu, meski sebelumnya tidak ada kecurigaan apa pun terhadap mereka?

Di situlah munculnya dugaan banyak orang, bahwa kasus ini telah bergeser menjadi sebuah rekayasa untuk mendapatkan uang. Ibu MAK menuntut JIS untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 125 juta, atau sekitar Rp. 1,4 triliun. Ada uang berjumlah sangat besar yang dipertaruhkan di sini. Karenanya, meski segala bukti dan banyak saksi ahli telah mementahkan kasus ini, ada pihak-pihak tertentu yang ingin tetap meneruskannya.

Yang menjadi korban utama tentu para petugas kebersihan yang sekarang telah dijebloskan ke penjara. Mereka divonis 7-8 tahun, dengan denda masing-masing sebesar Rp. 100 juta, sementara kasus ini masih meragukan, dan kebersalahan mereka masih perlu dipertanyakan. Pikirkan saja, dari mana mereka—atau keluarga mereka—harus mendapatkan uang untuk membayar denda yang demikian besar itu, sementara pekerjaan mereka hanya menjadi petugas kebersihan?

Kebebasan mereka terenggut, nama baik mereka tercoreng, sementara keluarga mereka harus menanggung beban yang begitu berat. Azwar, salah satu petugas kebersihan yang dituduh melakukan kejahatan itu—yang kemudian tewas di kantor polisi—sebenarnya akan melangsungkan lamaran terhadap perempuan yang dicintainya. Kemudian, adik Afriska diusir dari rumah kontrakannya, hanya karena kakaknya dituduh terlibat kasus kejahatan di JIS.

Sementara Narti, suami Agun—yang juga dituduh terlibat kasus di JIS—menceritakan di hadapan KontraS, bahwa setelah Agun ditangkap, dia menemui suaminya di kantor polisi. Narti bertanya, apakah suaminya benar melakukan kejahatan itu. “Dia bilang nggak benar,” ujar Narti. “Dia berani bersumpah demi anak yang sedang saya kandung. Tapi dia bilang dipaksa untuk mengakui. Suami saya pernah disekap, dipakein lakban, juga pernah disetrum.”

Narti sedang hamil ketika suaminya ditangkap atas kasus kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Sambil menangis ia berkata, “Tolong bebaskan suami saya, dia masih punya tanggung jawab untuk anak kami. Kalau bukan suami saya, siapa yang menafkahi? Saya akhirnya kerja, anak saya tinggal di rumah. Sudah kehilangan kasih sayang ayahnya, harus kehilangan kasih sayang ibunya juga.”

Hanya karena pengaduan seorang anak berusia 5 tahun, ada banyak orang menanggung akibat yang mengerikan. MAK mengadu kepada ibunya, dan kemudian ibunya menyimpulkan MAK telah disodomi, lalu melaporkannya kepada polisi. Di dunia hukum, keterangan anak kecil tidak bisa dinilai sebagai saksi. Kesaksian tersebut baru bisa diterima sebagai dasar hukum, jika dikuatkan oleh saksi lain dan bukti-bukti yang mendukung.

Dalam konteks kasus MAK, saksinya hanya si anak. Sementara bukti-bukti (visum dan lainnya) justru membuktikan sebaliknya, bahwa tuduhan sodomi itu sama sekali tidak ada.

Karenanya, seperti yang saya tulis di catatan sebelumnya (Sepele, tapi Sangat Berbahaya), kita perlu menanggapi cerita atau aduan anak dengan bijak, dan meresponsnya dengan akal sehat. Tidak setiap cerita yang dituturkan anak kita berdasar fakta, tidak semua aduan yang dikatakannya harus selalu dipercaya.

Masih ingat kasus yang menimpa TK McMartin yang saya tulis di sini? Kasus yang terjadi pada JIS memiliki kemiripan dengan kasus yang terjadi pada TK McMartin. Hanya berdasar pada cerita seorang anak, yang kemudian ditindaklanjuti ibunya dengan gegabah, sampai kemudian dua guru di TK McMartin ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Beruntung pengadilan kemudian membuktikan bahwa guru-guru itu tidak bersalah, karena kasus itu sebenarnya tidak ada. Sayangnya, hal yang sama tidak terjadi pada kasus JIS.

Saya menulis catatan ini tidak dengan maksud apa pun, selain hanya sebagai kewajiban moral akibat pernah menghakimi orang-orang yang dituduh sebagai pelaku. Ketika berita seputar kasus dugaan kejahatan seksual di JIS muncul, saya—seperti kebanyakan orang lain pada waktu itu—juga sangat mengutuknya, dan membenci orang-orang yang dituduh sebagai pelaku. Karenanya, ketika kasus ini kemudian terbuka dan semakin menunjukkan kenyataan sebaliknya, maka saya merasa punya kewajiban moral sebagai sesama manusia untuk membela mereka yang belum tentu bersalah.

Bagaimana pun, ditangkapnya orang-orang yang dituduh sebagai pelaku kejahatan itu tak bisa dilepaskan dari pressure publik akibat derasnya pemberitaan media. Dengan kata lain, kita semua ikut terlibat dengan nasib para petugas kebersihan yang sekarang meringkuk di penjara. Jika mereka benar-benar tidak bersalah, namun harus menanggung hukuman atas kesalahan yang tidak mereka lakukan, maka kita semua ikut menanggung dosa.

Akhirnya, kita berharap, semoga kasus ini semakin terang, dan semakin jelas mana yang benar dan mana yang salah. Semoga semua pihak—polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan lainnya—diberi kejernihan pikir dan kebeningan hati dalam menghadapi kasus ini. Kita tentu mengutuk setiap kejahatan, apalagi kejahatan yang menimpa anak-anak. Tetapi, kita juga tidak bisa membiarkan orang-orang tak bersalah harus menanggung hukuman akibat kesalahan yang tidak mereka lakukan.

Ayu Rahmat, dari Perwakilan Orangtua Murid JIS, berharap Presiden Jokowi dan Ibu Iriana untuk ikut memonitor kasus ini. “Karena,” ujar Ayu, “kasus ini menjadi pertaruhan hidup mati bagi keluarga para terdakwa. Para pekerja kebersihan itu adalah tulang punggung keluarga dan sumber nafkah bagi keluarganya. Bayangkan jika kita dihukum untuk suatu perbuatan yang tidak pernah kita lakukan, dan harus menanggungnya seumur hidup. Mereka punya anak, istri, orang tua dan anak asuh. Saya yakin dengan mengungkap kebenaran dalam kasus ini, kita dapat menyelamatkan masa depan banyak keluarga dan orang-orang kecil yang tidak mampu dan tidak bersalah ini.”

Di dunia hukum, ungkapan yang tak pernah lekang adalah, “Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah, daripada menghukum satu orang yang benar.”

Kasus JIS: Sebuah Catatan (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Setelah kejadian tindak kekerasan seksual tersebut, lanjut Patra M. Zen, MAK kembali ke sekolah dan menggunakan toilet tersebut berulang-ulang kali, meski sebetulnya ia dapat menggunakan toilet lain. Padahal bila memang ia mengalami trauma akibat sodomi di sekolah, maka ia tidak akan kembali ke sekolah.

Lusiana Christina Siahaan, salah satu guru di JIS, bersaksi di hadapan pengadilan, bahwa sistem pengawasan di JIS sangat ketat, yakni setiap aktivitas siswa selalu dilakukan dalam kontrol penuh dari guru. Apalagi banyak orangtua siswa yang ikut menunggu di sekolah.

Ia mengatakan, “Setiap perubahan pada siswa akan sangat kelihatan, karena guru sangat dekat dengan para siswa. Sementara pada MAK tidak ada yang berubah, dia tetap bermain ceria seperti biasa dan terlihat bugar. Kalau ada hal kecil pun yang terjadi, guru pasti akan mengetahuinya.”

“Bahkan,” Lusiana menambahkan, “setiap 5 menit sekali guru akan mengecek setiap siswa. Sementara disebutkan bahwa proses sodomi yang diduga dilakukan oleh petugas kebersihan berlangsung 15 menit. Mustahil guru tidak tahu dan tidak akan mencari keberadaan MAK, jika si anak tidak terlihat lebih dari 5 menit. Apalagi sodomi itu katanya dilakukan berulang-ulang di lokasi yang sama.”

Jika ditinjau dari matriks peristiwa, tuduhan-tuduhan itu juga membingungkan. Ibu MAK menyatakan anaknya disodomi pada 21 Januari 2014 oleh Virgiawan, Zaenal, Agun, dan Syahrial. Faktanya, berdasar absensi karyawan, pada tanggal tersebut Virgiawan dan Agun tidak masuk kerja. Lalu sodomi katanya kembali terjadi pada 17 Maret 2014 oleh Zaenal, Azwar, dan Syahrial. Faktanya, pada tanggal tersebut Zaenal tidak masuk kerja, dan Azwar ditugaskan di Cilandak.

Tuduhan terjadinya kekerasan seksual yang seharusnya dikroscek dengan jadwal-jadwal kerja itu sayangnya tidak dilakukan, padahal membuktikan bahwa tuduhan tidak sesuai dengan fakta dan bukti yang ada.

Yang lebih aneh, ibu MAK menyatakan bahwa anaknya juga dicabuli oleh Afriska dengan mengatakan, “Afriska memasukkan penisnya ke dalam anus MAK.” Faktanya, Afriska adalah perempuan.

Sekarang, pertanyaan inti dari kasus ini: Benarkah MAK menjadi korban kekerasan seksual (sodomi) sebagaimana yang dinyatakan ibunya?

Di sidang pengadilan, Dokter Ferryal Basbeth dihadirkan sebagai salah satu saksi ahli. Ferryal Basbeth adalah Spesialis Forensik dari Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Universitas YARSI. Dokter Ferryal Basbeth memastikan, berdasarkan fakta medis dan kondisi MAK, sodomi yang dituduhkan itu tidak ada. Dia juga menegaskan, sesuai hasil pemeriksaan rumah sakit, MAK tidak mengalami penyakit menular seksual sebagaimana yang pernah dihebohkan media massa.

Dokter Ferryal menyatakan, dalam setiap pemeriksaan forensik kasus kekerasan seksual, dokter akan mencari adanya bekas memar, luka-luka, lecet, bekas luka gigit, dan tanda-tanda kekerasan lainnya pada tubuh korban. Dari hasil visum dan uji laboratorium yang dilakukan oleh SOS Medika, RSCM, dan RSPI, tanda-tanda kekerasan seksual tersebut tidak ada.

Jika terjadi serangan/kekerasan seksual pada 17 Maret, sebagaimana yang dilaporkan ibu MAK, seharusnya ketika pemeriksaan di SOS Medika tanggal 22 Maret dan RSCM 24 Maret, tanda-tanda kekerasan itu masih ada. Sebab butuh 2 minggu bagi anus untuk dapat sembuh dari kekerasan seksual yang berulang kali dilakukan oleh banyak pelaku. Jika memang peristiwa sodomi itu benar terjadi, maka seharusnya ada sobekan atau bekas lecet, jaringan parut, meregangnya otot pada anus, lebam, dan kemerahan.

Yang menarik, Dokter Ferryal juga menyatakan, dalam banyak kasus pedofil terhadap anak tidak mungkin dilakukan oleh banyak orang. Biasanya dilakukan melalui iming-iming, dan si anak tidak akan mungkin kembali ke tempat kejadian.

Dokter Muhammad Lutfi dari RSPI juga melakukan visum pada tubuh MAK, pada 27 Maret 2014. Sesuai hasil pemeriksaan eksternal terhadap anus MAK, dipastikan bahwa anus MAK normal dan tidak ada tanda-tanda trauma atau cedera masa lalu. Hasil anuscopi yang dilakukan terhadap MAK memang mengidentifikasi adanya abrasi dan nanah. Namun, berdasarkan diagnosis Dokter Lutfi, MAK mengalami proktitis, yaitu peradangan pada lapisan rektum yang disertai rasa sakit dan infeksi.

Patra M. Zen menjelaskan, “Sesuai diagnosis dokter RSPI, darah di anus MAK diakibatkan oleh infeksi protozoa seperti disentri amuba atau giardia. Itu sebabnya resep yang diberikan Dokter Lutfi adalah Flagyl, obat khusus untuk pengidap penyakit akibat bakteri. Obat itu tidak digunakan untuk mengobati penyakit menular seksual seperti Gonorea atau Chlamydia.”

Hal itu ditegaskan oleh ahli dari Rumah Sakit Polri, Dokter Jefferson. Ia mengatakan, nanah yang ada di anus MAK bukan dari pernyakit herpes, melainkan akibat bakteri. Herpes tidak ditimbulkan oleh bakteri, melainkan virus. Sementara bakteri bisa muncul dari makanan dan minuman. Selain itu, ia juga menyangsikan jika MAK telah 13 kali mengalami kekerasan seksual berupa sodomi, sebagaimana yang dinyatakan ibunya. “Jika memang benar korban disodomi sampai 13 kali, pasti sekarang sudah mati,” kata Dokter Jefferson, seperti disampaikan Patra M. Zen.

Pernyataan Dokter Jefferson semakin memperkuat kesaksian Dokter Narrain Punjabi dari SOS Medika, dalam sidang 29 September 2014. Dokter Narrain Punjabi menyebut adanya herpes pada MAK (sebagaimana yang pernah dihebohkan media) kemungkinan akibat salah diagnosa. Sebelumnya, Dokter Narrain telah meminta agar MAK diperiksa kembali untuk memastikan kondisi medisnya, namun permintaan itu tidak diindahkan oleh ibu MAK.  

Chris O’Connor, ahli investigasi anak asal Irlandia, yang juga dilibatkan dalam kasus ini, menyatakan, “Dari pengalaman saya, dan apa yang saya lihat, saya tidak percaya ada kejadian itu (kasus kekerasan seksual di JIS).”

Dalam pengalamannya selama 30 tahun menyelidiki kasus-kasus semacam itu, Chris O’Connor mengaku heran pada kasus di JIS. Terlebih jika berkaitan dengan adanya keterangan dari MAK, 5 tahun, yang disebut menjadi korban kejahatan seksual. “Saya baru menemukan ada kasus seperti ini,” ujarnya. “Satu korban disodomi oleh lima orang dewasa, tapi hasil visum dan alat bukti tak menunjukkan adanya kejadian itu.”

Sementara itu, Psikolog Setyanu Ambarwati menyatakan, “Memang benar, berdasarkan pemeriksaan, MAK mengalami tanda trauma.” Namun, ia menambahkan, kalau memang MAK mengalami trauma akibat kekerasan seksual yang dialaminya, maka tentu dia tidak akan kembali ke tempat yang membuatnya trauma. Kenyataannya, MAK masih kembali ke sekolah.

“Artinya,” ujar Setyanu Ambarwati, “trauma itu terjadi bukan karena sodomi. Bisa jadi korban trauma akibat laporan ibunya ke polisi, harus mengikuti serangkaian pemeriksaan, seperti di rumah sakit, kepolisian, dan juga jadi saksi.”

Natalius Pigai, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menyatakan, “Ketika hasil medis menemukan fakta tidak ada kekerasan seksual, saat itu juga kasus ini harus berhenti.”

Tetapi, meski tanda dan bukti-bukti pada fisik MAK tidak bisa dibilang meyakinkan, pengadilan tetap memutuskan bahwa para tersangka benar-benar melakukan kejahatan yang dituduhkan. Satu-satunya bukti yang diajukan untuk penuntutan itu adalah keberadaan nanah pada anus MAK, meski dokter yang memeriksanya sudah menyatakan bahwa keberadaan nanah itu akibat bakteri, dan bukan virus herpes.

Patra M. Zen mengatakan, “Semua fakta-fakta medis yang lemah itu kemudian digunakan ibu MAK untuk menyeret para pekerja kebersihan, dan celakanya semua cerita tanpa fakta ini dibenarkan oleh pengadilan.”

Finish-nya, kita tahu, masing-masing pekerja kebersihan yang dituduh terlibat kasus itu dijatuhi hukuman 8 dan 7 tahun penjara, plus denda sebesar Rp. 100 juta.

Itu hukuman yang sangat berat dengan denda yang sangat besar, khususnya karena menimpa orang-orang kecil yang hanya bekerja sebagai petugas kebersihan sekolah. Jika memang mereka terbukti melakukan kejahatan sebagaimana yang dituduhkan, tentu tidak masalah—setiap orang harus menanggung hukuman akibat kesalahannya. Tetapi bagaimana kalau ternyata mereka tidak bersalah?

Berdasarkan bukti-bukti dan kesaksian para ahli yang telah dihadirkan ke persidangan, kasus yang dituduhkan itu sama sekali tidak kuat, penuh keraguan, dan ada kemungkinan kasus itu sebenarnya tidak ada. Untuk hal tersebut, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Chairul Huda, menegaskan di pengadilan, bahwa putusan hukum yang berlaku di Indonesia adalah asas in dubio pro reo. Artinya, jika ada keraguan mengenai kebersalahan seseorang, maka putusan yang diambil adalah membebaskan terdakwa.

Dan apakah kasus itu kemudian selesai? Tidak—belum, karena seiring kasus itu bergulir ke pengadilan, ibu MAK menuntut TK JIS untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 13,5 juta. Pihak JIS menolak tuntutan itu, karena merasa tidak bersalah. Pada waktu itu, semua tersangka yang dijerat kasus tersebut adalah 6 orang petugas kebersihan, yang bisa dibilang tidak di bawah tanggung jawab JIS, karena para petugas itu dibawahi perusahaan lain (ISS).

Tetapi, setelah pihak JIS menolak tuntutan tersebut, ibu MAK tiba-tiba menaikkan jumlah tuntutan menjadi US$ 125 juta, seiring dua guru JIS (Neil Bantleman dan Ferdinan Tjiong) dituduh terlibat dalam kasus sodomi yang terjadi di JIS. Itu jumlah tuntutan ganti rugi yang luar biasa—US$ 125 juta. Kalau dirupiahkan, jumlah itu sekitar 1,4 triliun rupiah.

Lalu polisi menangkap Neil Bantleman dan Ferdinan Tjiong—dua guru JIS—meski keterlibatan keduanya juga diragukan. Di pengadilan, kedua guru JIS itu dituntut dengan kasus yang sama, dengan bukti-bukti yang lama. Di pengadilan juga terungkap betapa janggal dan meragukannya kasus ini.

Lanjut ke sini.

Kasus JIS: Sebuah Catatan (1)

“Mak, lebih baik saya mati daripada mengakui
perbuatan yang tidak pernah saya lakukan.”
Azwar kepada ibunya


Saya perlu menulis catatan ini, karena merasa memiliki kewajiban moral untuk melakukannya. Pada waktu kasus dugaan kekerasan seksual di JIS (Jakarta International School, sekarang Jakarta Intercultural School) mencuat pertama kali, banyak orang mengutuk para pelakunya. Berbagai media memberitakan kasus itu dengan masif, dan bisa dibilang semua orang mempercayainya. Bahwa telah terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak di TK JIS.

Tak jauh beda dengan kebanyakan orang lain, saya juga mengutuk kasus itu, dan menghakimi para pelakunya, bahkan sempat berdoa semoga mereka dihukum seberat-beratnya. Karena kasus itu melibatkan anak-anak sebagai korban, saya pun intensif membaca berita-berita yang beredar. Selama waktu-waktu itu, saya membaca ratusan artikel menyangkut berita tersebut, sejak pertama kali mencuat sampai perkembangan terakhir. (Total artikel yang sempat saya baca mungkin lebih dari 500 judul, yang dirilis puluhan web/portal.)

Pada perkembangannya kemudian—seiring kasus itu terus bergulir sampai ke pengadilan—muncul berbagai kejanggalan, bahkan hal-hal yang tak masuk akal. Seiring bukti-bukti yang dipaparkan, kasus yang semula tampak sangat meyakinkan perlahan-lahan makin aneh dan janggal, hingga menerbitkan kecurigaan sebagian orang bahwa telah terjadi rekayasa. Jika sebelumnya hampir semua orang percaya telah terjadi kasus kekerasan seksual di JIS, sekarang banyak yang mulai meragukan, karena bukti-bukti yang ada tidak mendukung kenyataan itu.

Dari banyak orang yang meragukan kenyataan kasus tersebut, saya termasuk di antaranya. Berdasarkan artikel-artikel berita yang terus saya ikuti, saya makin tidak yakin kasus itu benar-benar terjadi. Dugaan terjadinya kasus kekerasan seksual di JIS makin tampak kabur, sementara orang-orang yang semula dituduh sebagai pelaku kejahatan dari kasus itu bisa jadi justru merupakan korban.

Karena latar belakang itulah, saya merasa perlu menulis catatan ini—meski mungkin telah terlambat—sebagai bentuk kewajiban moral saya akibat dulu sempat berburuk sangka kepada orang-orang yang dituduh sebagai para pelaku kejahatan di JIS. Sebagai sesama manusia, saya pernah menghakimi mereka. Karena penghakiman itu rupanya keliru, saya merasa perlu meluruskannya.

Catatan cukup panjang ini menguraikan banyak hal janggal dan aneh dalam kasus dugaan kekerasan seksual di JIS, dengan banyak detail penting yang perlu diperhatikan dan dicermati. Karenanya, saya sangat menyarankan agar kalian membaca catatan ini secara runtut, cermat, dari awal sampai akhir. Catatan dan uraian ini direkonstruksi dari berbagai artikel yang saya baca seputar kasus di JIS, yang sebagian daftarnya saya tulis terpisah di sini.

***

Satu tahun yang lalu, sekitar Maret 2014, Indonesia digemparkan berita menyangkut dugaan kasus kekerasan seksual di TK JIS. Seorang anak berinisial AK alias MAK (yang waktu itu berumur 5 tahun) diduga sebagai korban, dan ibunya melaporkan kasus itu ke polisi. Kasus itu segera mencuat, dan menjadi buah bibir banyak orang, karena melibatkan sekolah yang sangat terkenal ketat penjagaan dan pengawasannya. Lalu perjalanan kasus itu pun bergulir dengan cepat, seiring media-media di Indonesia yang terus memberitakannya dengan gegap gempita.

Berdasarkan laporan ibu MAK, polisi lalu menangkap Agun (25 tahun), Virgiawan (20 tahun), Afriska (24 tahun), Zaenal (28 tahun), Syahrial (20 tahun), dan Azwar (27 tahun). Keenam orang itu merupakan para petugas kebersihan di TK JIS, yang dicurigai sebagai para pelaku dugaan kasus kekerasan seksual yang menimpa MAK di sekolahnya.

Sebelum masuk lebih dalam, mari kita lihat proses penangkapan Afriska, yang menjadi salah satu tersangka kasus itu.

Afriska ditangkap di rumah kontrakannya, di daerah Cinere, Depok, pada Jumat, 25 April 2014. Enam polisi berpakaian bebas mendatangi kontrakan itu, dua di antaranya polisi wanita. Pada waktu itu, Afriska tidak ada di tempat. Baru sekitar pukul 18:30 WIB, dia datang mengendarai sepeda motor, dan polisi yang menunggunya segera menghampiri. Lalu mereka berbicara di dalam kontrakan selama beberapa menit. Setelah itu, Afriska dibawa para polisi tersebut.

Imas, pemilik kontrakan yang ditinggali Afriska, menceritakan, “Dia (Afriska) tidak diborgol. Wajahnya biasa—datar-datar saja. Dia tidak terlihat sedih atau menangis.” 

Belakangan, diketahui bahwa penangkapan para tersangka kasus itu tidak dilengkapi surat penangkapan. Bahkan mereka merasa dijebak saat penangkapan, karena dibohongi bahwa penjemputan dirinya untuk urusan pekerjaan. Zaenal, salah satu tersangka, menceritakan, “Saya tahunya disuruh atasan saya membersihkan kelas yang di JIS Cilandak, kok tahu-tahu dibawa ke Polda Metro Jaya.”

Ketika sampai di Polda, Zaenal mendapati teman-temannya telah ada di sana, dengan pengalaman yang sama, yaitu ditangkap tanpa surat perintah resmi penangkapan.

Lalu sesuatu terjadi di kantor polisi, dan kita tidak tahu apa saja yang terjadi di sana. Yang jelas, pada 26 April 2014, salah satu tersangka, yaitu Azwar, kemudian tewas. Polisi menyatakan bahwa Azwar bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai yang ada di toilet. Perihal bunuh diri itu tidak pernah jelas, karena sampai saat ini tidak pernah dilakukan visum terhadap jasad Azwar. Namun, pada 3 November 2014, pukul 22.00, stasiun televisi swasta TV One, dalam program acara Di Balik Tabir, menyiarkan foto mayat Azwar yang hancur dan lebam.

Armani, sepupu Azwar, menjelaskan kondisi Azwar kepada wartawan Tempo yang menemuinya, “Wajahnya bengkak, kedua pipinya lebam, dan alis kirinya juga lebam.”

Haris Ashar dari KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), menyatakan, “Kasus JIS kembali mempertontonkan kepada kita bagaimana sebuah rekayasa terjadi. Kematian seorang pekerja kebersihan JIS dengan muka lebam menjadi bukti bahwa tindak kekerasan oleh polisi itu nyata terjadi.”

Haris Ashar juga menyatakan, “Karena polisi berada di bawah koordinasi langsung presiden, Bapak Jokowi seharusnya juga mencermati kasus ini. Dengan kondisi polisi saat ini, masyarakat semakin takut berhubungan dengan polisi, karena polisinya sendiri menunjukkan ketidaktaatannya pada hukum. Kasus JIS adalah salah satu bukti tindakan polisi yang tidak profesional, dan memaksakan sebuah kasus dari fakta yang lemah.”

Kepada KontraS, istri Syahrial menuturkan kisahnya ketika menemui suaminya di tempat tahanan, “Waktu itu saya lihat dengan mata kepala sendiri, suami saya semuanya habis, badannya pada sakit semua, lebam. Ada stapler di kupingnya, dia dipaksa untuk mengakuinya (melakukan kekerasan seksual). Dari jam 9 malam sampai jam 3 pagi disekap, supaya mengakui. Saya sampai tidak mengenali itu suami saya.”

Tak jauh beda dengan istri Syharial, istri Agun juga mengungkapkan pada KontraS, bahwa dia mendapati suaminya dalam keadaan babak belur sehari setelah penahanan. Dia menceritakan, “Penangkapan tanggal 3 April 2014, atasannya datang ke rumah, bilang suami (ditangkap) karena melakukan kekerasan. Kakak ipar besok paginya menjenguk, tapi suami saya udah babak belur, di matanya, di badannya, semua lebam. Hari Senin saya baru ke sana, luka-lukanya sudah hitam.”

(Lebih lanjut, untuk mengetahui nasib para tersangka selama proses penyelidikan dan penyidikan di kantor polisi, kalian bisa membaca artikel-artikel berita yang telah saya lampirkan di sini.)

Sekarang kita masuk pada penuturan ibu MAK yang diduga menjadi korban kekerasan seksual di JIS. Saat memberi kesaksian di pengadilan, ibu MAK menyatakan bahwa MAK trauma berat pada tanggal 18-20 Maret 2014, setelah mengalami kekerasan seksual oleh Azwar, Syahrial, dan Zainal, pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 10:00 WIB. Kemudian, pada 21 Maret 2014 pukul 10:00 WIB, menurut ibu MAK, anaknya kembali mengalami kekerasan seksual oleh empat orang, yaitu Azwar, Zainal, Virgiawan, dan Syahrial.

Tetapi, berdasarkan foto-foto di JIS yang diambil pada tanggal-tanggal tersebut, kondisi MAK tampak ceria, sedang bermain dengan teman-teman sekelasnya. MAK sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda trauma seperti yang disampaikan ibunya. Anak itu bahkan tampak asyik bermain-main perosotan dengan teman-temannya, dengan keceriaan khas anak-anak, dengan rona wajah penuh kegembiraan.

(Catatan: Di TK JIS, aktivitas-aktivitas yang dilakukan di sekolah—khususnya aktivitas para murid—selalu dipantau, bahkan ada petugas khusus yang selalu memotret aktivitas-aktivitas mereka, dari waktu ke waktu.)

Patra M. Zen, pengacara tersangka kasus itu, memperlihatkan foto-foto tersebut di pengadilan, dan menyatakan, “Inilah foto MAK yang diambil oleh seorang guru yang memang bertugas untuk memotret kegiatan para siswa. Foto pertama, diambil tanggal 18 Maret, MAK sedang bermain perosotan. Satunya lagi tertanggal 19 Maret, MAK sedang berenang. Berdasarkan laporan ibu korban, MAK disodomi pada tanggal 18 Maret di toilet sekolah. Dan kata ibu korban, MAK tidak mau pakai celana, tidak mau basah. Tapi ternyata MAK tetap melakukan kegiatan. Ia tetap berenang dan main perosotoan. Foto-foto itu memperlihatkan anak tersebut bahagia.”

Lanjut ke sini.

 
;