Rabu, 28 Januari 2015

Pelajaran Kecil Perkawinan

Yang paling diinginkan lelaki: Kebebasan. Yang paling
diinginkan wanita: Ikatan. Cinta adalah kebebasan
yang diikat, ikatan yang dibebaskan.
@noffret


Perkawinan bisa melancarkan rezeki, kata sebagian orang. Mungkin memang benar. Namun mungkin pula tidak. Penjual nasi langganan saya bisa dijadikan contoh, betapa perkawinan justru menghancurkan rezekinya.

Dulu, di depan gang komplek saya terdapat warung makan tenda yang menyediakan pecel lele, ayam goreng, dan lainnya. Penjualnya seorang lelaki muda, dibantu dua lelaki lain yang mungkin adiknya. Warung itu buka sekitar jam lima sore, dan baru tutup saat larut malam. Warung itu selalu ramai pembeli. Saya termasuk yang diuntungkan keberadaan warung makan itu, karena memudahkan saya mencari makan setiap malam.

Jadi, setiap habis maghrib atau isya, saya keluar rumah, dan menuju warung makan di depan gang. Karena jaraknya dekat, saya pun jalan kaki. Di sana, saya akan membeli nasi dan lauk pauk yang saya inginkan, untuk dinikmati di rumah. Lalu saya melangkah pulang sambil menenteng bungkusan nasi. Itu kegiatan rutin yang pernah saya nikmati bertahun-tahun lalu. 

Karena rutinitas itu terjadi setiap hari, saya pun akrab dengan pemilik warung makan. Saat menunggu lele atau daging ayam digoreng, kami kadang bercakap-cakap. Dia masih lajang, usianya mungkin sedikit di atas saya, dan ramah serta murah senyum—seperti umumnya para pedagang yang baik. Dia mengontrak rumah yang tak jauh dari tempatnya jualan. Dia juga menceritakan telah merintis usaha warung makannya sejak beberapa tahun lalu, dan bersyukur karena warung makannya selalu laris.

Saya pun mengatakan kepadanya, bahwa saya sangat bersyukur dengan keberadaan warung makannya, karena memungkinkan saya mendapatkan makan dengan mudah, sekaligus enak. Warung makan itu menyediakan nasi yang saya sukai—butiran-butiran nasinya keras, berbentuk lonjong atau memanjang, dengan biji-biji nasi yang terpisah, namun empuk. Meski dimakan dengan tangan langsung (tidak memakai sendok), nasi itu tidak lengket di tangan.

“Saya selalu memilih beras yang berkualitas, Mas,” ujar lelaki pemilik warung itu, saat kami membicarakan nasi buatannya.

Nasi keras yang enak semacam itu memang hanya mungkin dibuat dari beras berkualitas baik, serta dengan cara menanak yang sama baiknya. Di sekitar tempat tinggal saya ada banyak warung makan, namun tidak semuanya menyediakan nasi seperti yang saya sukai. Rata-rata warung makan lain menyediakan nasi yang agak lembek, dengan butiran-butiran nasi menggumpal, serta lengket di tangan. Karena itulah, meski ada banyak warung makan lain, saya tetap berlangganan warung makan satu itu, karena nasinya cocok.

Sampai sekitar empat tahun saya berlangganan di warung makan itu, hingga sesuatu terjadi dan mengubah segalanya. Suatu hari, lelaki pemilik warung makan itu menikah. Setelah menikah, istrinya ikut melayani di warung tersebut. Tetapi yang berubah di sana bukan hanya itu. Sejak menikah, nasi yang disajikan warung itu tidak sebaik sebelumnya. Jika sebelumnya nasinya keras namun enak seperti yang saya ceritakan di atas, sekarang nasinya lembek, dengan butiran nasi berbentuk bulat, saling menggumpal, dan lengket di tangan. 

Selama beberapa hari, saya mencoba bersabar. Waktu itu, saya sempat berpikir, mungkin sekarang istri pemilik warung itu yang menanak nasi, dan dia belum terbiasa melakukannya sehingga hasilnya kurang baik. Sampai sekitar seminggu, saya masih terus mencoba menyabarkan diri menghadapi nasi lembek yang tidak saya sukai, dan berharap suatu hari nasi yang disajikan warung makan itu kembali seperti dulu. Tapi harapan saya tinggal harapan.

Sampai kesabaran saya habis, nasi yang disajikan warung makan itu tetap lembek dan tidak enak. Jauh berbeda dengan nasi yang dulu saya nikmati setiap hari. Pecel lele atau ayam gorengnya memang masih sama seperti dulu, tapi nasinya berbeda. Akhirnya, karena tidak tahan lagi, saya pun berhenti menjadi langganan. Sejak itu, saya tidak pernah lagi membeli nasi di sana, dan terpaksa mencari nasi lain di warung makan lain.

Berbulan-bulan kemudian, saya membeli pulsa di konter penjual pulsa yang tak jauh dari gang komplek. Ketika sedang berada di sana, tanpa sengaja saya bertemu lelaki penjual warung makan yang kebetulan juga akan mengisi pulsa. Maka kami pun bercakap-cakap. Dia menanyakan, kenapa saya sekarang tidak pernah lagi muncul di warungnya. “Sudah bosan dengan masakan saya?” tanyanya dengan senyum ramah.

Dengan hati-hati, saya menjelaskan, bahwa saya masih menyukai masakannya. Namun, sekarang nasinya tidak lagi seperti dulu, dan hal itu menjadikan saya berhenti berlangganan di warungnya. Saya juga menjelaskan, kalau warungnya kembali menyajikan nasi yang enak seperti dulu, dengan senang hati saya akan kembali menjadi pelanggannya. “Terus terang, Mas,” ujar saya kepadanya, “saya tidak doyan nasi yang lembek.”

Mendengar penjelasan itu, pemilik warung terdiam. “Jadi rupanya benar, itu masalahnya,” ujarnya perlahan-lahan. Kemudian, di luar dugaan, dia menjelaskan, “Semula saya tidak paham, Mas. Sejak menikah, pelanggan saya menurun drastis. Orang-orang yang semula suka makan di tempat saya menghilang satu per satu. Bahkan situ yang dulu datang ke warung saya tiap malam juga ikut menghilang. Saya memang sudah curiga kalau nasinya yang jadi biang masalah, tapi istri saya tidak mau percaya.”

Saya mendengarkan penuturannya dengan serius. Mungkin karena sikap saya yang empatik, penjual warung makan itu merasa nyaman. Jadi dia pun melanjutkan, “Setelah menikah, istri saya yang belanja beras, dia pula yang menanak nasinya. Dia memilih beras lain, dan hasilnya memang berbeda. Beras yang kami pakai sekarang menghasilkan nasi yang tidak seenak dulu, dan bentuknya juga tidak sebagus dulu. Saya sudah mencoba membicarakan hal itu dengan istri, tapi—seperti yang saya bilang tadi—dia tidak mau percaya. Dia lebih suka nasi yang lembek, dan berpikir orang-orang lain juga lebih suka nasi yang lembek.”

Saya hanya diam, dan tetap mendengarkan, karena tidak tahu bagaimana harus merespons pernyataan itu. Lalu pemilik warung makan melanjutkan, “Saya usahakan untuk bikin nasi yang seperti dulu, Mas.”

Saya mengangguk, dan menyahut, “Saya akan senang kalau bisa membeli nasi di tempat sampeyan lagi.”

Beberapa hari kemudian, saya mencoba membeli nasi di warung makan itu lagi, karena berpikir nasinya sudah berubah—telah kembali seperti dulu. Tetapi harapan saya berbuah kekecewaan. Nasi yang disajikan di warung itu tetap lembek dan tidak enak. Rupanya belum ada perubahan, pikir saya. Setelah itu, saya kembali tidak pernah datang ke sana.

Sekitar satu tahun kemudian setelah itu, warung makan di depan gang itu tutup. Pemiliknya pulang ke kampung halaman, dan pemilik rumah kontrakan yang dulu ditempati pemilik warung itu menjelaskan, “Warungnya sekarang sepi pembeli.” Sejak itu, saya tidak tahu lagi bagaimana kabarnya, dan sejak itu pula tidak ada lagi warung makan di depan gang komplek saya.

Perkawinan melancarkan rezeki, kata sebagian orang. Namun, merujuk pada kisah pemilik warung makan itu, saya menyaksikan kenyataan sebaliknya. Perkawinan yang dilakukannya justru menjadikan rezekinya hilang, para pelanggan lenyap, sampai kemudian warungnya terpaksa tutup karena tidak ada lagi pembeli.

Masalahnya ada pada nasi, kata si pemilik warung makan. Dia sudah menyadari. Namun, mungkin, dia tidak mampu menyadarkan istrinya untuk memahami kenyataan itu. Setelah menikah, istrinya yang belanja beras dan menanak nasi. Istri si pemilik warung mungkin sengaja memilih beras yang lebih murah, dengan harapan bisa meningkatkan keuntungan. Namun upaya penghematan yang ia lakukan justru menjadi awal kehancuran usaha suaminya. Beras yang dipilihnya tidak lagi menghasilkan nasi sebaik sebelumnya, dan sejak itu para pelanggan menghilang.

Ketika menikah, kompromi memang sering dilakukan antara suami dan istri, karena itu memang salah satu konsekuensi hidup berumah tangga. Namun, rupanya, tidak selamanya kompromi menjadi hal yang baik. Sebagai suami, si pemilik warung makan mungkin ingin menghormati pilihan istrinya yang lebih suka belanja beras lebih murah. Tetapi langkah bijak itu ternyata menghasilkan dampak yang justru membahayakan hidup mereka. Usaha warung makan yang telah dirintis bertahun-tahun harus kolaps gara-gara kompromi pilihan yang buruk.

Hidup adalah soal pilihan. Ketika seseorang masih sendirian, pilihan apa pun adalah murni pilihannya. Baik dan buruk, dialah yang akan menanggung konsekuensinya. Ketika menikah, pilihan masing-masing orang sering kali merupakan hasil kompromi, kesepakatan suami istri. Rupanya, kompromi belum tentu mendatangkan hasil yang lebih baik.

Berdasarkan kisah warung makan itu, saya seperti mendapatkan pelajaran penting, khususnya dalam perkawinan. Ada kalanya, pilihan pasangan tidak sesuai dengan selera kita, namun bisa jadi itu pilihan yang lebih baik. Jika kita memaksakan selera kita pada pilihannya, hasilnya belum tentu sama baik. Dalam perkawinan, ada kalanya kita harus menghormati pilihan pasangan, meski itu belum tentu sesuai selera kita.

 
;