Jumat, 09 Januari 2015

Kembali Menjadi Manusia

Di dunia tempat manusia memuja hiruk-pikuk penuh bising,
selalu ada malaikat yang bekerja dalam hening.
@noffret


Cak Nun marah-marah di depan para mahasiswa. Ceritanya, Emha Ainun Nadjib—yang biasa disapa Cak Nun—diundang berbicara di sebuah kampus di Yogya. Di depan para dosen dan mahasiswa kampus itu, ia berbicara dengan bahasa yang akrab, mengalir dan mudah dipahami, sekaligus lucu. Berkali-kali audiens tertawa cekikikan saat menikmati ceramahnya. Ia menjelaskan dan menguraikan banyak hal, khususnya yang berhubungan dengan sosial, budaya, dan agama.

Di satu bagian ceramahnya, Cak Nun menceritakan kisah masa mudanya, ketika ia pergi dari rumah orangtua untuk menyepi dan bertafakur. Hal itu ia lakukan sampai cukup lama. Selama bertafakur, Cak Nun bisa dibilang menjauhi segala kenikmatan duniawi, bahkan selama dua tahun dia hanya makan tiwul (makanan yang dibuat dari ketela pohon atau singkong).

Ketika ceramah selesai dan sesi tanya jawab dibuka, seorang mahasiswa bertanya, apa motivasi Cak Nun menyepi dan bertafakur sebagaimana yang tadi diceritakannya. Di luar dugaan semua orang, Cak Nun marah mendapat pertanyaan itu.

Sambil marah pula, Cak Nun menjelaskan bahwa dia bertafakur di masa mudanya bukan karena motivasi apa pun, tapi karena memang ingin melakukannya. Dan kemarahan itu bahkan berlangsung cukup lama, selama menjelaskan bahwa dia bertafakur bukan karena mengharapkan sesuatu, bukan karena menginginkan apa pun, tetapi semata karena ingin melakukannya. Dengan nada marah ia menyatakan, “Urip kok motivasiiiii bae! Urip kok pamriiiiiih bae!” (“Hidup kok cuma motivasi! Hidup kok cuma pamrih!”)

Saya memahami kemarahan Cak Nun dilatarbelakangi karena kemuakannya terhadap gaya hidup orang modern yang segala sesuatunya dilandasi pamrih atau motivasi tertentu. Sebegitu akrab dengan pamrih, hingga kita di zaman ini sering tidak bisa memahami orang-orang yang melakukan sesuatu karena keikhlasan semata, karena memang ingin melakukannya, dan tidak bertendensi apa pun.

Kita terlalu akrab dengan pamrih, dengan motivasi di balik perbuatan yang kita lakukan, hingga tanpa sadar kita mulai asing dengan keikhlasan. Pernahkah kita menyadari kenyataan mengerikan itu? Kita telah menjadi semacam rayap yang menggerogoti kemanusiaan kita sendiri, hingga perlahan-lahan kita kehilangan nurani dan nilai kemanusiaan yang kita miliki. Kita mau melakukan sesuatu jika melihat keuntungan yang bisa diperoleh, dan menolak atau enggan melakukan jika tidak ada imbalan. Kita sedang merendahkan kemanusiaan kita sendiri.

Kita percaya kepada Tuhan, mau beribadah sebagaimana perintah-Nya, tetapi diam-diam kita menyembunyikan motivasi untuk masuk surga atau terhindar dari neraka. Kita tidak beribadah karena memang ingin melakukannya sebagai bukti kehambaan dan kemanusiaan, melainkan karena motivasi dan pamrih surga-neraka. Jika memang begitu yang kita lakukan, akan seperti apakah kita jika surga dan neraka tidak ada?

Penyakit yang menghinggapi banyak orang modern adalah terlalu lekatnya pamrih dan motivasi, sehingga kita tidak bisa melakukan apa pun tanpa pamrih dan tanpa tendensi. Yang mengerikan, kalau kita belum sadar, orang-orang semacam itu sangat mudah dikalahkan dan dihancurkan.

Pikirkan kenyataan ini. Jika seseorang melakukan sesuatu karena motivasi uang, orang itu bisa dikalahkan dengan uang. Sodorkan setumpuk uang untuknya, dan moralnya akan tergadai. Jika seseorang mengerjakan sesuatu karena pamrih jabatan, dia pun akan mudah dihancurkan. Janjikan suatu jabatan kepadanya, dan kemanusiaannya akan terjual. Orang-orang penuh pamrih sangat mudah dikalahkan, bahkan dihancurkan.

Karenanya, orang paling kuat di dunia adalah orang yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya. Orang semacam itu tidak bisa dikalahkan, karena dia melakukan sesuatu berdasar keikhlasan semata, tanpa pamrih, tanpa motivasi apa pun. Sodorkan setumpuk uang untuknya, dia tidak akan berubah. Janjikan jabatan kepadanya, dia tetap bergeming. Dia akan terus melakukan sesuatu yang memang ingin dilakukannya, tak peduli orang lain tahu atau tidak, tak peduli dunia menatap kepadanya atau tidak.

Selain tak bisa dimanipulasi dengan uang, jabatan, atau semacamnya, orang-orang ikhlas semacam itu juga tidak bisa dihalang-halangi, dan tak bisa dihentikan. Jika dia ingin melakukan, dia akan melakukan. Halangi jalannya, dia akan mencari jalan lain. Letakkan batu sandungan, dia akan melompatinya. Orang yang melakukan sesuatu karena ingin melakukan, tidak bisa dihalangi dan tidak bisa dihentikan. Itulah orang paling kuat di dunia, yang melakukan sesuatu dengan keikhlasan, tanpa pamrih, tanpa tendensi.

Dalam rangkaian tweet yang inspiratif, Windy Ariestanty pernah menceritakan perempuan tua yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya. (Rangkaian tweet itu sudah saya baca cukup lama, dan saya tuturkan kembali di sini berdasarkan ingatan semata. Mohon maaf kalau ada bagian yang kurang akurat).

Ceritanya—sebagaimana yang ditulis Windy—ada seorang perempuan tua yang biasa menyapu jalan di komplek perumahannya menjelang subuh. Sendirian, tanpa diketahui siapa pun, dia menyapu dan membersihkan jalanan. Selama waktu-waktu itu, orang-orang di komplek kadang mendengar suara-suara aneh di jalan, tapi mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di depan rumah mereka. Yang mereka tahu, setiap pagi, jalanan komplek telah bersih.

Pagi hari, seusai subuh, petugas kebersihan datang ke komplek perumahan itu, untuk mengambil dan mengangkuti sampah. Mereka mendapati sampah-sampah telah ditumpuk dan dikumpulkan rapi, sehingga para petugas tidak perlu repot, dan mereka mengira penduduk komplek itu yang melakukannya.

Jadi, para penduduk mengira para petugas kebersihan yang membersihkan komplek mereka hingga sangat bersih, sementara petugas kebersihan mengira orang-orang di komplek itu sangat rajin membersihkan lingkungannya. Tidak ada yang tahu, seorang perempuan tua melakukan hal itu saat orang-orang lain sedang terlelap—tanpa pamrih, tanpa tendensi, bahkan tanpa ingin diketahui.

Namun, karena penduduk di komplek itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, muncul rumor macam-macam akibat suara-suara aneh yang sering mereka dengar waktu dini hari. Suara-suara aneh itu cukup membuat warga ketakutan, hingga mereka tidak ada yang berani keluar. Sampai kemudian, rumor itu terdengar seorang wartawan, yang lalu berniat menyelidikinya.

Si wartawan mendatangi komplek tersebut, berjaga di suatu tempat tersembunyi, untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di sana. Pada pukul 2 dini hari, sesosok perempuan tua muncul dengan sapu dan gerobak. Ia menyapu dan membersihkan komplek perumahan itu, mengumpulkannya dengan rapi, hingga petugas kebersihan tinggal mengangkutnya saat mereka datang di pagi hari.

Si wartawan pun kemudian memahami bahwa “suara-suara aneh” yang didengar warga setiap dini hari adalah gesekan sapu dan gerobak si perempuan tua, dan rupanya dialah yang selama ini telah membersihkan komplek itu tanpa diketahui siapa pun. Si wartawan berniat menulis kisah itu di korannya. Si perempuan tua mengizinkan, namun dia tidak ingin identitasnya diungkap di koran.

Sekarang, jika kita bertanya kenapa perempuan tua itu mau bangun di tengah malam, lalu menyapu komplek perumahannya hingga bersih, kita tidak akan menemukan jawaban apa pun, selain karena dia memang ingin melakukannya! Dia tidak ingin mendapatkan uang, tidak berharap jabatan atau penghargaan, dia bahkan melakukannya ketika orang-orang lain sedang terlelap, hingga tidak ada yang tahu dialah yang melakukan. Dia hanya melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya. Semudah itu, sesederhana itu.

Dan itulah yang disebut manusia. Ketika kebaikan dilakukan semata karena itu baik, tanpa berharap pujian, penghargaan, ataupun pamrih agar terkenal.

Kenapa kita sepertinya tidak bisa menerima konsep sederhana tapi mulia semacam itu...? Kenapa kita harus selalu berpikir apa keuntungan yang kita dapatkan jika melakukan sesuatu? Lebih ironis lagi, mengapa kita selalu curiga pada orang lain yang melakukan sesuatu karena memang ingin melakukannya?

Karena itulah, Cak Nun sampai marah ketika ada mahasiswa yang mempertanyakan apa motivasinya ketika dia menyepi dan bertirakat di masa mudanya. Cak Nun tidak hanya marah karena keikhlasannya dipertanyakan, tetapi juga karena muak menyaksikan generasi abad ini telah begitu berjarak dengan ketulusan, asing dengan keikhlasan. Segalanya dengan pamrih, dengan tendensi—dari berharap imbalan uang, sampai ingin masuk koran dan terkenal.

Kita telah berubah menjadi rayap-rayap yang menggerogoti kemanusiaan kita sendiri. Kita sudah malih rupa menjadi lintah-lintah yang mengisap nurani kita sendiri. Proses itu mungkin berlangsung pelan, diam-diam, tanpa disadari. Tetapi peradaban dan gaya hidup yang kita jalani terus mengubah identitas dan nurani kita, hingga pelan-pelan kita tidak lagi menjadi manusia. Kita mulai asing dengan ketulusan, mulai berjarak dengan keikhlasan, hingga apa pun yang kita lakukan selalu dilandasi pamrih dan tendensi, pamrih dan tendensi, pamrih dan tendensi.

Di tengah-tengah rusaknya Gotham City yang dicengkeram pemerintahan korup dan masyarakat bobrok, seorang milyuner bernama Bruce Wayne mengenakan jubah dan topengnya untuk menjadi Batman. Di belantara New York yang disesaki gedung-gedung tinggi pencakar langit yang individualis dan materialistis, seorang pemuda miskin bernama Peter Parker mengenakan kostum untuk menyembunyikan identitasnya, dan menjadi Spiderman.

Ketika melakukan kebajikan dan perbuatan-perbuatan baik kepada sesama, Bruce Wayne maupun Peter Parker tidak mengharapkan uang atau imbalan, pun tidak ingin masuk televisi agar terkenal, tetapi semata karena ingin melakukannya—menyadari bahwa mereka harus melakukannya. Di mata saya, mereka bukan hanya pahlawan, bukan sekadar superhero. Mereka adalah manusia yang sedang mengingatkan kita untuk kembali menjadi manusia.

 
;