Dulu, waktu masih remaja, aku pernah bercita-cita
menjadi anak Surya Paloh. Kini, setelah dewasa,
aku bercita-cita menjadi Magneto.
—@noffret
menjadi anak Surya Paloh. Kini, setelah dewasa,
aku bercita-cita menjadi Magneto.
—@noffret
Seorang teman berkata, “Beberapa kali aku mendapati tulisan di blogmu, yang menyebutkan kalau kamu ingin menjadi Magneto. Itu serius?”
“Serius, lah,” saya menyahut.
Dia menatap saya—memastikan saya masih waras. “Kamu serius ingin menjadi Magneto?”
“Iya. Memang kenapa kalau aku ingin menjadi Magneto?”
“Uhm... ya tidak apa-apa, sih. Cuma aneh saja, ada orang ingin menjadi Magneto.”
“Sebenarnya, cita-cita utamaku bukan menjadi Magneto,” saya mengaku.
“Ya?” dia tertarik. “Jadi, apa cita-citamu yang utama?”
“Aku ingin menjadi petani.”
“Ingin jadi... apa?”
“Petani.”
Sekali lagi dia menatap saya. “Petani...? Kamu ingin jadi petani?”
“Yeah, petani,” saya memastikan. “Apakah itu juga terdengar aneh?”
“Uh... yeah, agak aneh kalau kamu yang mengatakannya. Magneto. Petani. Kenapa kamu tidak punya cita-cita yang agak sedikit normal? Menjadi pilot, misalnya. Atau menjadi insinyur—semacam itulah.”
Saya tersenyum, dan menjawab sok bijak, “Setiap orang punya cita-citanya sendiri.”
“Uhm... iya, sih. Cuma, kalau boleh tahu, kenapa kamu ingin jadi petani?”
“Karena aku membayangkan, petani adalah pekerjaan yang mulia, dan menjadi petani adalah menjalani hidup yang mulia.”
Saya mengambil rokok, menyulutnya, lalu melanjutkan, “Dulu, waktu masih kecil, aku sering membayangkan alangkah indahnya jika bisa menjalani hidup sebagai petani. Aku membayangkan punya tanah atau lahan sendiri—meski tidak luas—dan di tanah itu aku mencangkul, menjadikannya sawah untuk menanam padi. Lalu setiap hari aku berangkat ke sawah untuk mengurusi tanamanku. Di waktu luang, aku bisa memelihara ikan di empang atau kolam kecil di belakang rumah. Hidup sangat indah dalam bayanganku, kalau saja aku bisa menjalaninya seperti itu.”
Teman saya mengangguk-angguk.
Saya mengisap rokok, dan melanjutkan, “Menjadi petani, dalam bayanganku, adalah menjalani hidup nikmat tanpa banyak tekanan. Berdikari—meminjam istilah Bung Karno—itulah petani. Mereka berdiri di atas kaki sendiri. Tidak bergantung pada siapa pun. Maksudku, kalau aku jadi petani, aku tidak akan memusingkan apakah hasil panenku akan terjual atau tidak. Kalau pun tidak terjual, bisa kumakan sendiri bersama keluargaku. Kalau pun terlalu banyak, bisa kubagikan pada tetangga-tetanggaku, sanak saudaraku. Sementara ikan-ikan yang kupelihara di empang bisa kujadikan lauk untuk makan, mungkin dengan tambahan sambal terasi yang nikmat.”
“Kedengarannya sangat indah,” teman saya berkomentar.
“Tentu saja,” saya tersenyum. “Menjalani hidup tanpa banyak tekanan, itulah petani. Dan itulah kehidupan yang, kupikir, sangat indah. Menjadi petani tidak mengharuskanmu punya penampilan mempesona. Menjadi petani tidak mengharuskanmu terkenal atau dikenal banyak orang. Menjadi petani tidak mengharuskanmu mengetahui tren apa yang sedang beredar. Menjadi petani tidak mengharuskanmu sok pintar atau sok intelek. Menjadi petani adalah menjalani hidup dengan mengerjakan tugas kehidupan, tanpa dipusingkan hal lain. Sebuah hidup bersahaja—kehidupan yang paling kuinginkan.”
Teman saya mengangguk-angguk dengan hikmat. “Jadi, kamu ingin menjadi petani.”
“Jadi, aku ingin menjadi petani,” saya menegaskan. “Dalam bayanganku, menjadi petani akan membuat pikiranku damai, tanpa berpikir macam-macam. Sebagai petani, aku tidak butuh kendaraan mahal, karena hidupku ada di sawah. Aku tidak memerlukan rumah mewah, karena yang sederhana pun sudah cukup bagi seorang petani. Yang penting bisa istirahat dengan tenang. Bahkan, jika menjadi petani, aku tidak butuh banyak uang—karena buat apa? Untuk makan sehari-hari, aku bisa mendapatkan dari sawahku sendiri. Bila perutmu kenyang dan kehidupanmu tenang, kamu tidak menginginkan apa pun. Sederhana, memang—itulah petani.”
“Tapi, kalau kamu jadi petani, dunia tidak akan mengenalmu.”
“Persetan.” Saya mengembuskan asap rokok. “Aku tidak pernah menginginkan dunia mengenalku. Kalau kemudian mereka mengenalku, itu urusan mereka.”
Teman saya terdiam sesaat, kemudian bertanya, “Jadi, kenapa kamu tidak jadi petani?”
“Itulah masalahnya. Kita hidup di pusat kota, tempat tanah lebih mahal dibanding emas. Kita yang sekarang—atau setidaknya aku yang sekarang—adalah produk lingkungan dan tempat tinggal. Karena aku tidak bisa menjadi petani akibat ketiadaan tanah yang cukup, aku pun berpikir untuk menjadi lainnya, agar sesuai dengan tempat tinggalku. Untuk menyambung hidup, aku harus menggunakan sesuatu yang kupikir menjadi kemampuan atau keahlianku, agar aku bisa bekerja dan memperoleh nafkah. Jadi, itulah aku yang sekarang.”
“Kamu tidak pernah terpikir untuk pindah ke desa, misalnya, dan mencoba menjalani kehidupan seperti yang kamu inginkan—menjadi petani?”
“Pernah—bahkan sering,” saya mengaku. “Berkali-kali aku membayangkan pindah ke tempat semacam pedesaan atau pegunungan, yang jauh dari hiruk-pikuk kota—tempat tanah-tanah kosong masih luas untuk bisa digunakan bertani—lalu memulai hidup baru sebagai petani seperti cita-citaku dulu. Tetapi, aku telanjur menjalani kehidupan modern seperti sekarang. Mungkin aku bisa meninggalkan kehidupanku, tapi aku masih punya orangtua, yang belum tentu merestui pilihan hidupku. Karenanya, saat ini, aku hanya bisa membayangkan. Membayangkan, suatu hari kelak di masa yang akan datang, saat semuanya memungkinkan, aku benar-benar akan mewujudkan impianku.”
“Menjadi petani?”
“Menjadi petani,” saya mengangguk. “Di masa yang akan datang, mungkin, aku akan pindah ke pedesaan, lalu membeli sebidang tanah untuk kujadikan sawah. Lalu menjalani kehidupan baru sebagai petani. Dengan tempat tinggal yang sederhana, hidup yang sederhana, tanpa macam-macam. Mungkin aku akan membeli kerbau untuk membantu membajak sawah—hanya itu. Saat tak ada kegiatan, mungkin aku bisa duduk santai di saung sambil membaca buku, atau memandangi sawahku yang hijau dengan perasaan syukur... karena telah mencapai cita-citaku.”
“Lalu... bagaimana dengan mbakyu?”
Saya tersenyum. “Apa maksudmu ‘bagaimana dengan mbakyu’?”
“Uhm... maksudku, kalau kamu telah menjadi petani, apakah kamu tetap menginginkan seorang mbakyu?”
“Mungkin—karena punya mbakyu itu penting,” saya menyahut serius, meski sambil tersenyum. “Kelak setelah aku jadi petani, mungkin aku akan menemukan seorang mbakyu yang bersahaja. Yang mungkin tidak modis, tapi bisa memasak dan membuat sambal terasi. Yang mungkin tidak terkenal, tapi ramah dan murah senyum. Yang mungkin sederhana, tapi membuatku tenteram bersamanya. Mbakyu, bagi petani, sama pentingnya seperti mbakyu bagi Batman, Spiderman, Iron Man, atau superhero lain.”
Dia mengangguk dengan hikmat, kemudian berujar, “Kalau dipikir-pikir, cita-citamu sebenarnya sederhana, ya?”
“Sangat sederhana,” saya balas mengangguk. “Kupikir, menjadi petani adalah cita-cita sederhana yang mulia. Yang dibutuhkan hanyalah kecintaan pada yang dikerjakan, dan kesadaran bahwa hidup adalah soal pilihan.”