Minggu, 04 Januari 2015

Tidak Semua Orang Ingin Terkenal

Yang paling menyenangkan dalam hidup adalah membiarkan
orang-orang mengenalmu, tanpa harus membuatmu susah
karena dikenali di mana-mana.
@noffret


Adityawarman (bukan nama sebenarnya) adalah lelaki misterius, bagi sebagian orang. Dia sering menulis artikel berisi pemikiran-pemikirannya di media massa, juga menerbitkan beberapa buku. Di luar itu, dia bekerja di lembaga litbang milik suatu organisasi. Yang menjadikannya misterius, dia tidak pernah muncul ke hadapan publik, bahkan fotonya bisa dibilang tidak pernah ada di media mana pun. Padahal namanya populer untuk bidang ilmu yang digelutinya.

Saya mengenalnya secara pribadi. Dia lelaki yang baik, ramah, dan biasa menjalani hidup seperti umumnya orang lain. Di hari Minggu, saat orang-orang di kompleknya bekerja bakti, dia ikut kerja bakti. Di waktu senggang, dia mencabuti rumput-rumput yang tumbuh di depan rumahnya sendiri. Sore hari, sehabis bekerja, dia kadang duduk merokok di teras rumah, membalas sapaan ramah para tetangga yang kebetulan lewat. Pendeknya, dia lelaki biasa, seperti umumnya orang kebanyakan.

Suatu hari, seorang teman yang bekerja sebagai wartawan ingin menemuinya. Dia ditugaskan korannya untuk mewawancarai Adityawarman, lengkap dengan foto profil. Si wartawan telah mencoba mendatangi tempat kerja Adityawarman, namun dia diusir oleh sekuriti yang menjaga di sana. Berkali-kali dia mencoba, berkali-kali dia gagal. Kemudian, dia tahu kalau saya mengenal Adityawarman secara pribadi. Jadi dia menemui saya, dengan harapan saya mau menemaninya ke rumah Adityawarman langsung untuk mewawancarainya.

Sebagai teman, saya menemani wartawan itu berkunjung ke rumah Adityawarman, suatu malam. Adityawarman menerima kami dengan ramah, bahkan dia sendiri yang membuat dan mengantarkan minuman untuk kami. Setelah itu, dengan keramahan seorang tuan rumah, Adityawarman bercakap-cakap dengan kami, dengan senyum dan tawanya yang menyenangkan—khas orang kebanyakan.

Setelah cukup mengobrol basa-basi, si wartawan menyatakan tujuannya, bahwa dia ditugaskan korannya untuk mewawancarai Adityawarman, plus mendapatkan foto profil. Dengan suara datar, Adityawarman berkata, “Aku senang berteman dengan siapa pun, termasuk dengan wartawan, sepertimu. Tetapi, aku benar-benar tidak ingin, dan tidak berminat, masuk ke koranmu atau koran mana pun. Aku ingin menjalani kehidupan pribadiku seperti sekarang ini—menjadi orang biasa—dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusiknya.”

Sebenarnya, saya sudah tahu hasilnya akan seperti itu. Dari dulu, Adityawarman memang tidak pernah mau diwawancarai koran, majalah, televisi, atau media apa pun. Dia tidak menyukai publisitas, khususnya menyangkut pribadi. Kenyataan itulah yang menjadikan sosoknya terkesan misterius bagi sebagian orang. Padahal, bagi orang-orang yang mengenalnya, dia sama sekali tidak misterius. Dia hanya orang biasa yang ingin tetap menjalani kehidupan sebagai orang biasa.  

“Popularitas itu candu,” kata Adityawarman suatu kali. “Sekali kau mendapat popularitas, kau tidak akan bisa melepasnya lagi, bahkan ingin terus menambah dosisnya.”

Saya setuju dengan tesis itu. Jika kita mau memperhatikan, jutaan orang di sekeliling kita melakukan segala upaya demi bisa terkenal. Di dunia maya, misalnya, mereka mengumbar kehidupan dan kesehariannya, memamerkan foto-foto dan aktivitasnya, bahkan sampai ada yang bertingkah konyol dan tak masuk akal demi bisa terkenal. Sementara yang sudah terkenal masih bertingkah aneh-aneh demi mendapat liputan media, disorot kamera, dan agar terus diperbicangkan.

Popularitas itu candu. Sekali kau mendapatkannya, kau tidak akan bisa melepasnya, bahkan ingin terus menambah dosisnya. Dalam keadaan “sakaw”, orang rela melakukan apa pun demi mengatasi kecanduannya, demi bisa terus populer.

....
....

Sejak zaman kuliah, saya sering diundang berbicara di berbagai kampus, di berbagai tempat. Saya menikmati aktivitas itu. Saat-saat “mengamuk” di mimbar atau di podium adalah saat-saat yang menyenangkan, ketika saya mampu mengekspresikan seluruh diri, hati, dan pikiran-pikiran saya, sementara orang-orang mendengarkan dengan khusyuk. Ketika berbicara di depan umum seperti itu, saya benar-benar berenergi, hingga mampu berbicara berjam-jam tanpa lelah. Saya menikmati, dan orang-orang menikmati.

Sampai kemudian, pada 2007, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari aktivitas tersebut, dan sejak itu saya tidak pernah mau menerima undangan berbicara di mana pun, dengan alasan apa pun. Saya juga menolak undangan untuk tampil di depan publik, misal untuk bedah buku, menjadi panelis, menghadiri acara tertentu, atau semacamnya. Pendeknya, saya benar-benar mengundurkan diri.

Mengapa...?

Pada waktu itu, ekspansi internet semakin kuat, dan hasrat pamer telah mulai menggejala di mana-mana. Orang-orang aktif di Friendster, blog, atau lainnya, dan mereka mengunggah apa pun yang bisa diunggah. Saya menyadari, cepat atau lambat saya akan “terseret” masuk ke dalam hiruk pikuk era digital, zaman internet. Dan jika memang terseret masuk, maka saya harus benar-benar memegang kendali. Saya harus dapat mengendalikan mana yang bisa diunggah dan mana yang tidak, khususnya yang menyangkut diri saya.

Paham yang saya maksudkan? Jika saya masih aktif sebagai pembicara yang biasa tampil di hadapan publik, maka orang akan mudah membuat foto-foto saya, dan mereka tentu berhak mengunggahnya di media mana pun. Semakin sering saya muncul ke hadapan publik, semakin mudah saya dikenali, dan semakin kuat pula ekspos media. Itu yang tidak saya inginkan. Saya ingin tetap menjalani hidup sebagai orang biasa, yang dikenali sebagai orang biasa.

Popularitas adalah candu. Sebelum saya kecanduan, saya lebih memilih untuk tidak mendekatinya sama sekali.

Karena itulah, saya memutuskan untuk mengundurkan diri, dan tidak pernah mau lagi menerima undangan untuk berbicara di mana pun, sampai sekarang. Bahkan undangan berbicara dari kampus saya sendiri pun terpaksa saya tolak.

Ketika akhirnya aktif menulis blog seperti sekarang, saya sengaja tidak mengumbar foto apa pun untuk publik, dengan alasan yang sama. Sebagaimana Adityawarman tidak ingin muncul di media massa karena ingin tetap menjadi orang biasa, begitu pun saya. Masing-masing orang memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Ada yang ingin terkenal, ada pula yang tidak. Jika kalian tidak heran melihat orang-orang yang ingin terkenal, kenapa kalian harus heran saat mendapati orang-orang yang tak ingin dikenal?

Anita (bukan nama sebenarnya) adalah penulis novel laris. Sejak awal, dia mengaku, dia hanya ingin menulis—sesuatu yang disukainya. Karenanya, ketika novelnya bestseller, dia hanya menganggapnya sebagai bonus. Tak jauh beda dengan saya, Anita juga menolak untuk tampil di depan publik. Di semua bukunya juga tidak ada foto apa pun. Bukan apa-apa, tetapi semata karena ingin tetap tak dikenal. Dia hanya ingin menulis, bukan ingin terkenal.

Bahkan saat novelnya difilmkan pun, Anita tetap menolak untuk muncul. Pada waktu itu, seperti umumnya penulis lain, Anita juga diburu reporter yang ingin mewawancarai sehubungan novelnya yang akan difilmkan. Tapi Anita tak pernah bersedia. Dia mewanti-wanti penerbitnya untuk tidak memberikan alamat atau nomor ponselnya kepada siapa pun, dan... puji Tuhan, penerbitnya bisa menjaga privasi Anita.

Salah satu “adat” perfilman di Indonesia adalah menggelar syukuran untuk film yang akan dibuat. Novel Anita yang akan difilmkan juga menjalani “ritual” yang sama. Produser menggelar syukuran, dan biasanya pihak-pihak yang terlibat akan datang untuk ikut merayakan—dari penerbit, penulis, kru film, sampai para artis yang akan memerankan. Tetapi, bahkan dalam acara sepenting itu pun, Anita tetap tidak muncul, padahal dia seharusnya menjadi bintang utama.

Jadi, ada beribu-ribu orang yang pernah membaca novel Anita, ada beribu-ribu orang yang telah menonton film yang diadaptasi dari novelnya, tapi beribu-ribu orang itu tidak pernah tahu seperti apa sosok Anita. Satu-satunya profil Anita hanya terdapat pada sebuah majalah kurang terkenal, yang berisi sekilas wawancara dengannya. Belakangan, Anita mengakui, dia mau diwawancarai majalah itu karena si reporter adalah temannya sendiri. “Aku tidak enak jika harus menolak,” dia menceritakan.

Dan seperti apakah sebenarnya sosok Anita?

Saya mengenalnya secara pribadi, dan di mata saya dia perempuan dengan wujud sempurna. Selebihnya, Anita adalah sosok biasa—bukan artis, bukan selebritas, bukan orang terkenal—hanya perempuan biasa seperti umumnya. Memang benar dia sangat cantik—sosok yang sangat layak untuk menjadi santapan kamera—tapi dia tidak menginginkan. Selfie dan pamer tidak termasuk bagian kesibukannya, karena dia memang tak ingin dikenal.

Kadang, ada orang menyangka Anita sosok yang sombong, atau terkesan eksklusif. Padahal tidak seperti itu kenyataannya. Dia memang menutup diri dari publik, semata karena memang tak ingin dikenal. Sebagai pribadi, dia sosok yang ramah dan asyik, tapi dia ingin dikenal sebagai Anita, sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai sosok terkenal atau semacamnya. Dia tidak menyukai publisitas mengenai dirinya.

Pernah, kami keluyuran di Mal Ambassador, kemudian mampir ke kantin mal karena kelaparan. Di kantin, Anita dan saya berdesak-desakan dengan banyak orang yang juga akan makan siang. (Kalian yang tahu kondisi kantin mal itu pasti paham yang saya maksudkan). Hampir bisa dibilang tidak akan ada orang terkenal yang berani makan di sana, karena masing-masing orang saling berdekatan ketika makan.

Karena kami bukan orang terkenal, kami pun enjoy makan di sana, berdampingan dan berhadapan dengan banyak orang yang juga sedang makan siang. Seusai makan, saya ingin merokok. Maka kami pun turun ke tempat parkir, lalu duduk di bangku yang biasa digunakan para sopir menunggu majikannya belanja. Di ruang tunggu yang kebetulan kosong siang itu, saya merokok, sementara Anita duduk dengan santai.

Ketika merokok di ruang tunggu mal itu, saya nyaris tertawa geli. Perempuan yang bersama saya waktu itu adalah sosok yang namanya sangat terkenal, dikagumi banyak orang, yang novelnya dinikmati beribu-ribu pembaca di Indonesia. Tetapi, siang itu, dia duduk menemani saya merokok dengan ekspresi santai, sementara orang-orang berlalu-lalang di sekitar kami tanpa mengenalnya sama sekali.

....
....

Tidak semua orang ingin terkenal. Kenapa kenyataan yang sebenarnya sangat sederhana itu tampak sulit dipahami?

Dunia kita dibangun oleh berbagai hal yang berpasangan. Ada hitam, ada putih. Ada atas, ada bawah. Ada pintar, ada bodoh. Ada kaya, ada miskin. Ada luar, ada dalam. Bahkan ada materi, dan ada antimateri. Karenanya sangat wajar kalau ada orang yang ingin terkenal, dan ada pula orang yang tidak ingin terkenal. Jadi, kenapa kenyataan yang sangat sederhana itu sepertinya sulit dimengerti?

Kita, tampaknya, terlalu terbiasa dengan orang-orang yang ingin terkenal. Sebegitu terbiasa, hingga kita merasa asing saat mendapati ada orang yang sebaliknya. Kita mungkin telah terbiasa dengan orang-orang yang sibuk pamer apa pun dengan heboh. Sebegitu terbiasa, hingga kita sulit menerima ada orang yang memilih untuk menyepi dan menyisih. Kita mungkin terlalu terbiasa dengan aktivitas selfie, unjuk diri, dan hal-hal konyol para selebriti. Sebegitu terbiasa, hingga kita sulit memahami saat ada orang yang justru menjauh dari publikasi.

Sebagian orang ingin terkenal—tidak masalah, itu hak dan pilihan setiap orang. Namun, jangan lupa, sebagian orang yang lain juga memiliki hak yang sama, misalnya memilih untuk tidak dikenal.

 
;