Jumat, 27 September 2013

Garis Waktu

Begitu. Ya, itulah yang ingin kukatakan. Satu jam lalu.


Siang cukup terik. Saya keluar dari kantor pos, kemudian menuju jalanan tempat deretan penjual makanan dan minuman yang ada di samping kanan kantor pos. Jalanan itu tak terlalu ramai. Di bagian pinggirnya ada sebuah bekas rel kereta api yang nyaris terkubur di dalam aspal, dan di sekitar rel kereta api tak terpakai itulah penjual siomay, gorengan, dan aneka minuman, berderet setiap siang. Sementara di belakang deretan para penjual itu berdiri tembok setinggi 1,5 meter.

Saya menuju ke tempat penjual siomay goreng, juga meminta segelas es kelapa muda. Siang itu benar-benar sempurna untuk menikmati keduanya. Kemudian saya duduk di sekitar rel yang adem karena diteduhi pohon-pohon rimbun.

Ketika sedang asyik menyeruput es kelapa muda sambil menunggu siomay digoreng, perhatian saya tertarik pada sesosok bocah lelaki yang sedang duduk sendirian. Bocah itu duduk di atas bekas rel kereta api, menghadap ke arah tembok, sambil melempar-lemparkan kerikil. Usianya mungkin sepuluh, sebelas, atau sekitar itu. Pakaiannya tampak kumal, dan penampilannya tak bisa dibilang bersih. Tetapi, yang membuat saya tertarik bukan penampilannya, melainkan suara yang dibisikkannya.

Bocah itu terus-menerus berbisik (mungkin lebih tepat disebut berkata lirih dan perlahan), “Seolah-olah dunia ini hanya miliknya... seolah-olah dunia ini hanya miliknya...” sambil tangannya melempar-lemparkan kerikil ke arah tembok. “Uh, seolah-olah dunia ini hanya miliknya... seolah-olah dunia ini hanya miliknya...”

Bocah itu mungkin filsuf, pikir saya. Jarak kami hanya tujuh atau delapan meter, dan saya bisa mendengar cukup jelas kata-kata yang diucapkannya, meski suaranya lirih dan perlahan. Kemudian, didorong keinginan spontan, saya memanggil bocah itu, “Dek, mau es?”

Dia menengok ke arah saya dengan mimik terkejut. “Ap-apa, Bang...?”

“Kamu mau es?” ulang saya.

Dia mengangguk. Tapi wajahnya datar. Lalu dia bangkit dan menuju ke arah saya dengan langkah canggung. Saya memesankan segelas es kelapa muda, dan bocah itu menikmatinya tak jauh dari tempat saya duduk.

Lalu siomay saya selesai digoreng, dan penjualnya menyerahkan sepiring siomay yang tampak lezat kepada saya. Bocah tadi masih asyik menikmati minuman di gelasnya. Saya kembali menawari, “Kamu mau siomay?”

Lagi-lagi bocah itu menengok ke arah saya dengan mimik terkejut, “Ap-apa, Bang...?”

“Kamu mau siomay?”

“Uh... ya,” dia menjawab ragu-ragu.

“Pesan dan pilihlah sendiri.”

Dia patuh, dan bangkit menuju ke gerobak penjual siomay. Saya terus menikmati siomay di piring saya hingga habis. Kemudian menikmati es di gelas, dan menyulut rokok. Siomay pesanan bocah tadi sudah selesai digoreng, dan sekarang bocah itu tampak asyik menikmati siomay di piringnya. Tempat duduknya masih cukup jauh dari tempat saya.

Siang yang panas. Dan saya duduk di tempat yang teduh. Bersama sepiring siomay goreng, segelas es kelapa muda, asap rokok, dan seorang bocah.

Setelah bocah itu selesai menghabiskan siomay dan minuman di gelas, saya membayar ke penjualnya. Kemudian, saya memanggil bocah tadi agar duduk di dekat saya. Dia mendekat, dan duduk dengan kikuk.

Saya berkata kepadanya, “Aku boleh pinjam kalimatmu?”

Dia menjawab dengan bingung, “Ka-kalimat apa, Bang?”

“Itu, kalimat yang tadi kamu ulang-ulang di sana itu.”

“Ka-kalimat apa, sih?” Dia benar-benar bingung.

Saya mengisap rokok, kemudian menjelaskan perlahan-lahan, “Tadi, kamu duduk di sana sambil melempar-lemparkan kerikil ke arah tembok. Dan, kalau tidak keliru, kamu terus bilang, ‘seolah-olah dunia ini hanya miliknya... seolah-olah dunia ini hanya miliknya...’ Nah, itu kalimat yang kumaksud.”

“Oh, itu,” sahutnya dengan wajah datar.

“Nah, aku boleh pinjam kalimat itu?”

“Pin-pinjam...?” dia tampak terkejut.

“Iya, kalimat itu milikmu. Aku mendengar kalimat itu dari kamu. Kalau aku ingin pakai kalimat itu, artinya aku pinjam dari kamu. Boleh?”

“Bo-boleh, Bang.” Kini dia tampak semakin bingung. “Uh... tap-tapi pinjam buat apa?”

Sekarang saya yang bingung. Berbicara pada seorang profesor kadang-kadang jauh lebih mudah daripada berbicara pada seorang bocah. Bagaimana saya harus menjelaskan kepada bocah ini bahwa sebuah kalimat milik seseorang kadang dipinjam dalam sebuah tulisan atau ucapan? Bagaimana saya harus menjelaskan kepadanya tentang arti “kutipan” dan “kutipan yang diizinkan”?

Akhirnya, saya berkata perlahan-lahan, “Begini. Kadang-kadang aku menulis sesuatu, di kertas atau di komputer. Kalau aku memasukkan kalimatmu tadi ke dalam tulisanku, artinya aku pinjam kalimatmu. Kalimat tadi, yang kamu ucapkan itu, langsung kudengar dari mulutmu. Artinya, kalimat itu sebuah ucapan, bukan tulisan. Kalau aku menulis sesuatu, dan di dalamnya menyebutkan kalimat itu diucapkan olehmu, aku tak perlu meminta izinmu, karena jelas kusebutkan kalimat itu keluar dari mulutmu. Tetapi, jika aku menulis kalimat itu tanpa menyertakanmu dalam tulisanku, maka aku harus minta izinmu untuk menggunakannya.”

Entah penjelasan saya bisa dipahami atau dia pura-pura paham, bocah itu mengangguk-angguk. “Oooh, gitu,” ucapnya dengan wajah datar.

“Jadi, aku boleh pinjam kalimatmu?”

“Iy-iya, boleh, Bang. Pakai aja.”

....
....

Ketika saya pulang ke rumah, saya membuka Twitter, dan menuliskan kalimat bocah tadi sebagai tweet. Saya kutip secara persis kalimatnya kata per kata, “Seolah-olah dunia ini hanya miliknya.”

Kemudian, saya kembali menulis kalimat itu dalam tweet lain, namun kali ini saya edit redaksinya, menjadi, “Seolah-olah dunia ini hanya milik mereka.”

Tidak ada kerikil yang saya lempar-lemparkan, tidak ada orang yang menawari siomay dan es kelapa muda. Bahkan mungkin tidak ada yang membaca tweet saya. Tapi tidak apa-apa. Saya sudah senang. Karena desakan batin yang ingin saya suarakan telah diwakili sebaris kalimat bernas, yang butuh kesadaran dan kepekaan untuk bisa memahaminya.

Oh, well, seolah-olah dunia ini hanya miliknya, seolah-olah dunia hanya milik mereka.

 
;