Kejujuran dan integritas merayap seperti ular.
Kebohongan dan publisitas melesat seperti elang.
—@noffret
Kebohongan dan publisitas melesat seperti elang.
—@noffret
Dulu, pada 1990-an, aktor terkenal Jackie Chan pernah memelihara macan. Tepatnya anak macan. Dia mendapatkan anak macan itu dari sebuah kebun binatang, dan kemudian ia pelihara di rumah. Waktu itu, si anak macan masih kecil, seukuran kucing di kampung kita. Dan Jackie Chan memeliharanya dengan baik, menyediakan daging segar untuknya setiap hari, hingga si anak macan tumbuh besar.
Ketika anak macan itu sudah sebesar anjing dewasa, Jackie Chan kadang membawanya jalan-jalan. Tentu saja dengan rantai kuat yang mengikat leher si anak macan. Jadi, ketika para tetangganya jalan-jalan bersama anjing kesayangan mereka, Jackie Chan jalan-jalan dengan macan. Pemandangan itu pun selalu menarik perhatian, karena tidak setiap orang bisa asyik keluyuran dengan macan.
Kenyataannya, Jackie Chan juga harus memenuhi cukup banyak persyaratan hingga bisa memelihara anak macan. Pemerintah Daerah tempatnya tinggal memberi izin Jackie Chan untuk memelihara hewan berbahaya itu, dengan syarat Jackie Chan menyediakan kandang yang aman—benar-benar aman—sehingga si anak macan tidak sampai keluar tanpa pengawasan. Selain itu, Jackie Chan juga diwajibkan menyerahkan anak macan itu ke kebun binatang, jika si anak macan telah tumbuh cukup besar dan dikhawatirkan mulai sulit dipelihara.
Memelihara macan sangat berisiko. Berbeda dengan memelihara kucing atau anjing, macan memiliki insting liar yang sulit dijinakkan. Selain memiliki nafsu makan yang “mewah”, macan juga tidak peduli jika sewaktu-waktu harus menyerang pemilik atau pemeliharanya. Meski Jackie Chan telah memeliharanya sejak masih bayi, macan itu bisa saja menyerang dan mencabik-cabik Jackie Chan kapan pun, dengan alasan apa pun.
Macan adalah kucing besar dengan insting liar. Jika kucing rumahan yang telah dijinakkan sejak ribuan tahun lalu saja kadang masih sulit diatur, maka macan jauh lebih sulit diatur. Karenanya, Jackie Chan pun menuruti syarat yang ditetapkan untuknya, dan ia menyerahkan macan miliknya ke kebun binatang, setelah si macan tampak mulai liar dan mulai sulit dipelihara. Di kebun binatang, macan itu akhirnya hidup di bawah pengawasan pawang yang benar-benar ahli dalam mengurus macan.
Jika kita memelihara anjing sejak kecil, hampir bisa dipastikan anjing itu akan jinak dan setia kepada kita. Di dunia ini, anjing adalah teman paling setia yang bisa didapatkan manusia. Meski kadang anjing juga menggigit pemiliknya, tapi jarang sekali kita mendengar ada anjing yang membunuh tuannya. Dalam hal kesetiaan, anjing adalah hewan peliharaan ideal.
Kucing juga jinak pada pemiliknya, khususnya kucing-kucing beradab yang akademis—maksudnya bukan kucing garong. Kalau kita memelihara kucing, apalagi sejak kecil, biasanya kucing itu akan jinak dan senang tinggal di rumah kita. Bahkan jika dia sudah benar-benar nyaman di rumah kita, dia tidak mau disuruh pergi. Umpama kita sudah bosan dengannya, kemudian membuangnya ke tempat jauh, kucing itu tahu jalan pulang, dan sampai lagi di rumah kita.
Berbeda dengan macan. Tak peduli kita telah memeliharanya sejak bayi, macan itu tetap berbahaya ketika mulai tumbuh besar. Tak peduli kita telah menghidupinya sejak kecil, memberinya makan setiap hari, macan tetap berpotensi menyerang pemiliknya. Ketika masih kecil, anak macan memang tampak jinak. Ia bisa dielus-elus, diajak jalan-jalan, dan tampak menyenangkan dijadikan kawan. Tetapi, ketika ia mulai tumbuh besar dan dewasa, sifat aslinya mulai keluar, naluri liarnya mulai tampak, dan bahaya siap menyerang pemiliknya.
Karenanya, memelihara macan bukan pilihan yang baik, ia bahkan pilihan yang buruk dan berbahaya. Karenanya pula, Jackie Chan pun memilih menyerahkan macan piaraannya ke kebun binatang setelah si macan mulai sulit diatur.
Padahal, Jackie Chan bukan orang sembarangan. Ketika bermain film action, dia satu-satunya aktor yang tidak mau digantikan stuntman ketika melakukan adegan-adegan berbahaya. Artinya, dia benar-benar menjalani aksi gila-gilaan dalam filmnya—jatuh bangun, berdarah-darah, bahkan patah tulang. Konon, Jackie Chan adalah orang yang paling sering mengalami patah tulang di dunia ini, akibat kenekatannya dalam film. Karena “rekor” itu pula, tidak ada perusahaan asuransi yang mau menerima pengajuan asuransi dari Jackie Chan.
Tetapi bahkan sebegitu pun, Jackie Chan tetap menyadari bahwa memelihara macan sungguh riskan dan berbahaya—bagi dirinya sendiri, juga bagi orang lain. Kalau Jackie Chan saja khawatir memelihara macan, sepertinya sangat bodoh kalau kita mencobanya.
Nah, bertahun-tahun lalu, ada sekelompok jenderal di Indonesia yang bertemu dan membicarakan rencana memelihara macan. Tujuan semula, macan peliharaan itu akan digunakan untuk menjalankan aksi-aksi tertentu yang tidak bisa mereka lakukan secara langsung. Dengan menggunakan macan peliharaan, pikir mereka, beberapa hal bisa dilakukan oleh si macan, dan tangan mereka tetap bersih.
Jadi begitulah. Rencana itu dimatangkan, dan macan mulai dipelihara, diberi makan, diberi pengarahan, dan dimulailah aksi-aksi si macan. Ketika macan itu mulai bertingkah di berbagai tempat, orang-orang mulai terganggu, dan melaporkan perbuatan macan itu ke polisi. Tapi kepolisian di mana pun tidak ada yang menangkap macan itu, hingga si macan terus leluasa melakukan apa pun yang diinginkannya.
Semakin dewasa si macan, aksi-aksi dan perbuatannya makin berbahaya—namanya juga macan. Ketika sampai pada tahap itu, beberapa jenderal yang dulu memeliharanya mulai khawatir. Mereka berusaha mengendalikan si macan. Tapi mereka lupa, bahwa macan adalah binatang liar dengan insting liar yang sulit dijinakkan apalagi ditundukkan. Sekali ia tumbuh besar, ia menjadi berbahaya.
Sekarang, macan itu telah benar-benar besar. Aksi-aksinya semakin liar, perbuatannya semakin brutal, dan ia semakin sulit ditundukkan. Dan, mungkin, karena merasa dirinya macan, binatang itu pun menyerang apa pun yang ingin diserangnya, menggigit apa pun yang ingin digigitnya, dan perlahan namun pasti merasa dirinyalah sang penguasa. Oh, well, bukan hanya itu. Lama-lama, macan itu merasa dirinyalah yang paling benar, dan yang berbeda dengannya pasti salah.
Maka si macan sekarang bukan lagi hewan buas yang berbahaya, ia juga menganggap dirinya sang pemilik kebenaran tunggal. Bagi si macan, hanya ada dua opsi di negeri ini. Opsi pertama mengikuti jalan mereka dan menjadi teman, atau opsi kedua menolak klaim mereka dan menjadi lawan. Tidak ada toleransi bagi si macan, karena kebenaran telah menjadi monopoli mereka.
Sebagaimana macan di hutan sulit ditundukkan ketika telah besar, macan di negeri kita juga begitu. Sudah ratusan atau bahkan jutaan kali macan yang mengganggu itu dilaporkan ke polisi atas perbuatan-perbuatan mereka yang mengganggu, tapi hasilnya sering kali tak jelas. Sementara itu, si macan makin buas, makin liar, makin sulit ditundukkan, dan korban-korban terus berjatuhan.
Apa pun bentuknya, memelihara macan sungguh berbahaya.
Tetapi, rupanya, ada orang-orang yang tidak belajar dari kenyataan itu. Alih-alih menghindari perbuatan yang sama, ada beberapa orang yang justru mengulang kebodohan yang sama. Mereka memelihara macan.
Semula, macan-macan peliharaan itu memang tampak jinak dan menyenangkan. Mereka mengaum dengan ramah, dan orang-orang tidak takut mendekatinya karena macan-macan itu tampak jinak. Tetapi dasar macan, ia tetap hewan liar dengan insting menyerang. Ketika merasa telah dewasa dan kuat, macan-macan itu pun mulai sulit dikendalikan, bahkan oleh pemeliharanya. Sekarang, macan-macan itu mengaum dengan galak, sehingga orang-orang khawatir.
Yang lebih mengkhawatirkan, macan-macan itu sekarang juga tahu bagaimana menjual aumannya. Mereka akan mengaum kepada orang-orang tertentu yang ditujunya. Jika orang yang dituju memberinya makan, mereka akan berhenti mengaum. Jika orang yang dituju tidak mau mengurusi mereka, macan-macan itu pun tidak hanya mengaum, tetapi juga menggigit, dan mencabik-cabik.
Orang-orang resah dengan perbuatan macan-macan itu. Tetapi, sebagaimana macan yang dulu, macan peliharaan yang sekarang pun sama sulitnya ditundukkan. Berkali-kali penyerangannya dilaporkan, tapi tak pernah ada tindakan. Berkali-kali orang yang menjadi korban si macan mengadukan ke pihak berwenang, tapi tetap tidak ada kejelasan.
Dalam hal macan, yang menjadi masalah mungkin bukan hanya macannya, melainkan juga siapa pemeliharanya. Macan yang benar-benat liar mungkin tinggal dibunuh dan selesai. Tapi macan liar yang dipelihara agak repot mengurusnya, karena ada birokrasi panjang yang harus ditempuh, sepanjang jalan setapak di hutan gelap.
Macan di hutan memang berbahaya. Tetapi, rupanya, macan di kota jauh lebih berbahaya. Macan di hutan hanya sibuk mencari makan, macan di kota juga sibuk mencari uang.