Jumat, 25 Mei 2012

Telkomsel Memang Pintar Merugikan Pelanggan

Aturan mainnya sederhana, fellas. Kau kecewakan
pelangganmu, maka pelanggan akan meneriakimu.
Peter F. Drucker


Cukup lama saya tidak menggunakan paket FUN NIGHT yang ditawarkan Telkomsel. Sejak menulis post Ternyata Telkomsel Benar-benar Brengsek!, saya kembali sangat sibuk sehingga tidak punya waktu untuk donlut-mendonlut. Selama waktu itu, saya pikir Telkomsel sudah berbenah diri, memperbaiki layanannya yang brengsek, sehingga tidak terus-menerus merugikan pelanggan. Tapi ternyata saya keliru. Faktanya, Telkomsel tambah brengsek!

Pada 28 April 2012, saya mengaktifkan paket FUN NIGHT, karena butuh mendonlut sesuatu yang penting. Dengan berbaik sangka pada Telkomsel, saya pikir layanan FUN NIGHT sekarang sudah beres dan layak digunakan. Tetapi, seperti yang saya bilang di atas, rupanya Telkomsel memang tidak mau memperbaiki diri. Bukannya membaik, layanan mereka justru semakin parah.

Sejak saya mengaktifkan layanan FUN NIGHT tersebut pada 28 April 2012, hingga hari ini tetap tidak dapat digunakan. Pasalnya, sinyal yang diberikan Telkomsel hanya EDGE, itu pun terus-menerus hilang-muncul. Dengan sinyal yang hanya EDGE dan tidak stabil, saya bahkan tidak bisa membuka inbox di Gmail, apalagi untuk mendonlut dengan kecepatan 2 Mbps.

Padahal, dalam iklannya, Telkomsel menyatakan dengan gamblang dan jelas bahwa layanan FUN NIGHT memberikan kecepatan maksimal 2 Mbps. Jika yang dijanjikan adalah kecepatan 2 Mbps, maka batas toleransi kita tentu separuh dari ukuran itu. Umpama, jika ternyata kecepatan yang diberikan hanya sekitar 1 Mbps, kita sebagai pelanggan tentu masih dapat memakluminya—meski mungkin sambil jengkel.

Tetapi Telkomsel jauh lebih parah dari itu. Bukannya berusaha memenuhi janjinya sebagaimana yang tertera dalam iklan, layanan FUN NIGHT bahkan SAMA SEKALI TIDAK BISA DIGUNAKAN!

Setiap pukul 00.01, ketika saya akan mengaktifkan layanan tersebut, sinyal yang muncul hanya EDGE. Jika saya memaksa diri menggunakannya untuk mendonlut, maka kecepatannya hanya berkisar 3 Kbps. Ya Tuhan, semoga mereka diampuni untuk dosa besar karena menipu pelanggan secara terang-terangan seperti ini!

Kadang-kadang, kalau pas beruntung, saya mendapatkan sinyal 3G. Tetapi, bahkan ketika sinyalnya 3G sekalipun, kecepatan donlutnya masih berkisar antara 3 sampai 4 Kbps. Padahal, sekali lagi, mereka menjanjikan dalam iklan bahwa kecepatan yang diberikan dalam layanan FUN NIGHT adalah 2 Mbps. Jika bukan penipuan, akan disebut apa kecurangan yang amat merugikan semacam ini?

Coba kita perhatikan screenshoot berikut ini.



Klik untuk memperbesar

Pada gambar di atas, terlihat saya mendapatkan sinyal 3G. Tetapi, seperti yang dapat kita lihat pula, kecepatan donlutnya hanya 3,4 Kbps. Dalam proses donlut tersebut, saya mendonlut data sebesar 260 MB. Karena kecepatan donlutnya hanya 3,4 Kbps, maka—berdasarkan estimasi—proses donlut itu akan membutuhkan waktu 13 jam 26 menit.

Padahal, layanan FUN NIGHT hanya bisa digunakan sejak pukul 00.01 sampai 05.59, alias hanya enam jam. Dengan logika yang paling bodoh sekalipun, bagaimana mungkin layanan ini dapat dimanfaatkan pelanggan jika kasus yang terjadi seperti di atas? Orang menggunakan layanan FUN NIGHT karena membutuhkan kecepatan donlut. Tapi ternyata layanan yang diklaim sebagai sarana donlut ini lebih lambat dari keong cacat!

Inilah bukti kejahatan Telkomsel yang paling gamblang, inilah fakta penipuan Telkomsel terhadap pelanggan.

Sebelum menulis posting ini, saya sudah mengirimkan mention berkali-kali ke akun Twitter Telkomsel, menjelaskan masalah saya. Tetapi mereka tidak membalasnya. Sekalinya membalas, mereka menyodorkan omong kosong yang lebih kosong dari tong kosong. (Penjelasan mengenai hal ini dapat dibaca di sini: Omong Kosong Telkomsel).

Balik ke sinyal Telkomsel. Jika mereka menyatakan bahwa saya tidak mendapatkan sinyal bagus karena faktor lokasi tempat tinggal saya, maka itu OMONG KOSONG YANG JELAS BOHONGNYA. Berbulan-bulan lalu, ketika Telkomsel baru meluncurkan paket FUN NIGHT, saya adalah salah satu pelanggan awal.

Pada waktu-waktu itu, saya terus-menerus menggunakan paket tersebut untuk mendonlut, dan lancar-lancar saja. Sinyal yang saya dapatkan selalu stabil, begitu pula kecepatan donlutnya juga selalu stabil. Dalam semalam, saya bisa mendonlut hingga ratusan megabit data. Artinya, lokasi atau tempat tinggal saya tidak memiliki masalah dengan sinyal, karena faktanya dulu saya bisa menggunakan paket FUN NIGHT dengan baik.

Nah, makin ke sini, layanan Telkomsel FUN NIGHT semakin parah. Dan rupanya, yang merasa dikecewakan atau bahkan merasa ditipu layanan Telkomsel bukan hanya saya. Di dashboard Blogger, saya terus-menerus mendapati orang masuk ke blog ini dengan menggunakan kata kunci “Sinyal FUN NIGHT hilang terus”, atau semacamnya. Artinya, ada ribuan orang di luar sana yang juga mengalami nasib seperti saya.

Jika kita search ke Google dengan menggunakan kata kunci Telkomsel brengsek, kita akan mendapatkan hasil sebanyak 39.300 link.

Jika kita search ke Google dengan menggunakan kata kunci Telkomsel merugikan pelanggan, hasilnya meningkat drastis menjadi 500.000 link. Sedang untuk kata kunci keluhan Telkomsel, hasilnya mencapai 1.660.000 link. Apa artinya itu? Jelas! Ada jutaan pelanggan Telkomsel yang merasa dikecewakan, dicurangi, dan merasa ditipu.

Jika hasil pencarian di Google belum cukup, sekarang gunakan fasilitas pencarian di Twitter. Jika kita memasukkan kata kunci #Telkomsel di Twitter, kita akan menemukan tumpukan bukti nyata dari banyak orang yang setiap hari mengutuk Telkomsel, karena layanannya yang amat sangat menjengkelkan sekaligus merugikan. Fakta itu dengan jelas membuktikan bahwa Telkomsel memang telah amat sangat merugikan pelanggannya.

Tetapi, meminjam istilah orang Jawa, rupanya Telkomsel bermuka gedek, alias tak tahu malu. Meski kritik bahkan caci-maki dilancarkan setiap hari untuk kebosokan layanannya, mereka masih saja sok seolah layanan mereka tanpa cacat. Hal ini terbukti dengan jelas dalam balasan (mention) yang mereka berikan kepada setiap orang yang mengeluhkan Telkomsel di Twitter.

Jika ada orang yang mengeluhkan layanan Telkomsel di Twitter, admin Telkomsel di Twitter akan menjawab dan memberikan keterangan seolah-olah yang salah bukan layanan mereka. Bukannya mengakui kalau layanan mereka brengsek dan sudah saatnya dibenahi, mereka malah menyuruh-nyuruh pelanggan untuk membenahi peralatan yang digunakannya. Oh, benar-benar perusahaan sok yang pintar omong besar!

Itu saja belum cukup. Meski layanan mereka jelas-jelas brengsek dan seharusnya dibenahi serta diperbaiki agar tidak semakin banyak merugikan pelanggannya, Telkomsel justru makin aktif merayu orang dengan iklan-iklan menggiurkan, dengan bahasa yang bombastis, sambil tak lupa mengklaim diri sebagai yang “terbesar dan terbaik”. Mungkin Tuhan dapat mengampuni perilaku mereka, tapi ribuan atau bahkan jutaan orang yang merasa tertipu dan dirugikan rasanya sulit memaafkan, khususnya saya.

Demi Tuhan, saya sulit untuk bisa memaafkan mereka. Pertama, saya jelas-jelas telah sangat dirugikan. Uang yang saya gunakan untuk mengaktifkan paket FUN NIGHT telah diambil oleh Telkomsel, tetapi hak saya untuk paket tersebut tidak bisa saya dapatkan karena buruknya kualitas sinyal mereka. Jika ini tidak bisa disebut penipuan, okelah, kita sebut ini perampokan. Penipu ataupun perampok sama-sama bejatnya.

Kedua, saya telah sangat dirugikan dalam hal emosi dan waktu. Mendapati sinyal dan kecepatan donlut yang tidak sesuai janji itu sangat menguras emosi. Dan proses donlut yang lambatnya melebihi keong itu sangat menguras waktu. Seorang teman di Twitter bahkan sampai menulis tweet, “Jauh lebih mudah menahan nafsu melihat film XXX, daripada menahan amarah dan emosi melihat sinyal Telkomsel.”

Kesimpulannya, kawan-kawan, perusahaan yang selama ini mengklaim diri sebagai yang terbesar dan terbaik bernama Telkomsel itu, rupanya memang terbesar dan terbaik. Terbesar dalam jumlah korban, dan terbaik dalam menjengkelkan serta merugikan pelanggan.

Dan seperti yang telah saya tuliskan di posting terdahulu, saya akan menindaklanjuti komplain ini dengan mengirimkan surat-surat ke media massa—cetak maupun elektronik. Beriringan dengan terbitnya posting ini, saya telah mengirimkan 14 (empat belas) surat terbuka ke media massa yang berbeda, dan saya tidak akan berhenti melakukannya. Mereka menginginkan perang, mereka akan mendapatkannya.


Posting-posting terkait kebrengsekan Telkomsel:

Omong Kosong Telkomsel

To @telkomsel, sampai hari ini paket FUN NIGHT saya tetap tidak bisa
digunakan. Kalian memang pintar merugikan pelanggan!
@noffret kepada @telkomsel


Bagi yang mungkin belum tahu, FUN NIGHT adalah salah satu paket layanan data Telkomsel yang—dalam iklannya—menjanjikan kecepatan donlut hingga 2 Mbps. Telkomsel sendiri menyatakan dalam iklannya bahwa paket FUN NIGHT sangat cocok bagi yang suka donlut. Untuk mendapatkan paket ini, kita harus “bayar di muka”. Artinya, setelah pulsa kita terpotong, kita baru mendapatkan layanannya.

Pada 28 April 2012, saya mengaktifkan layanan paket FUN NIGHT, dan pulsa saya terpotong Rp. 50.000,- dengan janji mendapatkan kuota sebesar 8 GB, dan kecepatan 2 Mbps. Namun, sampai satu minggu sejak diaktifkan, paket tersebut sama sekali tidak bisa saya manfaatkan, karena sinyal yang terus-menerus down. Setiap kali saya mau mengaktifkan layanan tersebut, sinyal yang saya dapat cuma EDGE.

Dengan sinyal yang hanya EDGE, bagaimana mungkin saya bisa mendapatkan kecepatan donlut hingga 2 Mbps? Jangankan untuk mendonlut, bahkan untuk mengaktifkannya saja sudah susah.

Dan kenyataan yang sangat merugikan itu terjadi sampai satu minggu sejak saya mengaktifkannya. Artinya, selama seminggu penuh saya tidak bisa mendapatkan hak (jatah donlut) yang telah saya bayar. Padahal, yang jadi masalah, paket FUN NIGHT memiliki batas waktu—satu bulan sejak diaktifkan. Artinya, jika jatah waktu itu habis, maka saya tak bisa lagi menggunakannya, tak peduli kuota saya masih sisa banyak.

Akhirnya, dengan dongkol, saya mengirimkan mention ke akun Telkomsel di Twitter, menyampaikan masalah di atas. Mention itu tidak dibalas. Mungkin karena saya memberikan pesan pada mention tersebut, “Mohon tidak dijawab dengan omong kosong.”

Satu minggu setelah itu—artinya dua minggu sejak saya mengaktifkan paket FUN NIGHT—saya kembali mengirimkan mention ke Telkomsel karena paket tersebut tetap tidak bisa saya gunakan akibat tidak adanya sinyal. Saya tetap membubuhkan pesan di akhir mention, “Mohon tidak dijawab dengan omong kosong.” Kali ini mention itu dibalas. Tetapi, seperti yang sudah saya duga, jawaban itu hanyalah omong kosong seperti kentut di siang bolong.

Setelah tiga minggu paket FUN NIGHT yang saya aktifkan tetap tidak bisa saya gunakan, kesabaran saya makin menipis. Saya merasa telah dirampok oleh Telkomsel, karena hak yang telah saya bayar tidak bisa saya dapatkan. Maka saya kembali mengirimkan mention ke Telkomsel di Twitter, dengan nada lebih pedas, dengan kalimat akhir, “Mohon tidak dijawab dengan omong kosong.” Kali ini mereka tidak membalas.

Mengapa saya harus menekankan agar mereka tidak membalas mention saya dengan omong kosong? Karena itulah yang selama ini mereka lakukan, dan terus-menerus mereka lakukan terhadap para pelanggannya! Admin ataupun customer service mereka adalah pakar dalam bidang omong kosong!

Seperti dapat kita lihat melalui timeline mereka di Twitter, admin Telkomsel sangat aktif membalas dan memberikan “pencerahan” bagi siapa pun yang mengeluhkan Telkomsel, bahkan jika keluhan itu tidak disampaikan secara langsung melalui mention. Artinya, admin Telkomsel sangat rajin melakukan searching di Twitter, menggunakan kata kunci perusahaan mereka.

Nah, setiap kali ada keluhan—dalam bentuk apa pun—si admin akan memberikan ceramah membosankan berbunyi, “Mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda, bla-bla-bla...”

Peter F. Drucker, pakar manajemen dan konsultan perusahaan internasional, menyatakan, “Permintaan maaf hanya layak disampaikan perusahaan kepada pelanggan, apabila keluhan terjadi sesekali, atau karena adanya masalah temporer, dan hanya dialami beberapa pelanggan secara acak dan kebetulan.”

Agar admin dan customer service Telkomsel tidak lupa dengan kalimat penting di atas, biar saya ulangi sekali lagi dengan tulisan tebal, “Permintaan maaf hanya layak disampaikan perusahaan kepada pelanggan, apabila keluhan terjadi sesekali, atau karena adanya masalah temporer, dan hanya dialami beberapa pelanggan secara acak dan kebetulan.”

Apabila sebuah perusahaan benar-benar menerapkan pelajaran penting yang disampaikan pakar manajemen dan konsultan perusahaan kelas dunia itu, maka “maaf” yang disampaikan kepada pelanggan benar-benar akan memiliki arti sekaligus nilai. Tetapi, jika maaf disampaikan hingga ribuan kali dan terjadi terus-menerus setiap hari, serta dialami jutaan pelanggan, maka maaf hanya bernilai omong kosong.

Tepat seperti itulah yang dilakukan Telkomsel selama ini—sebuah omong kosong yang dilestarikan. Setiap hari, bahkan setiap menit, ada sekian banyak keluhan serta protes yang dilayangkan untuk mereka atas kebobrokan layanan mereka yang sangat merugikan pelanggan. Telkomsel tahu hal itu, hingga mereka sengaja membayar petugas khusus untuk nongkrongi Twitter, untuk aktif membalas setiap keluhan yang datang, baik langsung maupun tak langsung.

Tetapi, bukannya belajar berempati pada pelanggan, si admin atau customer service itu justru terus-menerus menyodorkan omong kosong yang membuat bosan. Sekali lagi, kita dengan mudah mengetahui hal ini dengan mengamati timeline mereka. Dari beratus-ratus tweet yang pernah saya baca di timeline mereka, tidak ada satu pun tweet yang menunjukkan mereka berempati pada pelanggannya, selain hanya tumpukan omong kosong yang terus dijejalkan kepada pelanggan.

Apa yang dimaksud “berempati kepada pelanggan”? Saya tidak mau mengajari! Mereka mengeruk triliyunan rupiah dari pelanggannya. Mestinya mereka bisa menganggarkan sekian juta untuk mengirim customer service-nya agar bisa belajar menjadi customer service yang baik, agar belajar memahami perasaan pelanggannya, agar belajar untuk tidak lagi mengobralkan omong kosong secara terang-terangan.

Keluhan dan protes saya atas layanan FUN NIGHT Telkomsel bukan hanya terjadi sekali ini. Berbulan-bulan lalu saya telah menyampaikan keluhan serta protes yang sama, untuk layanan yang sama. Dalam salah satu tanggapan yang saya terima, Telkomsel meminta saya untuk menghubungi customer service mereka dan menjelaskan secara gamblang apa dan bagaimana masalah saya.

Saya pun melakukan permintaan mereka. Melalui e-mail yang cukup panjang, saya menjelaskan apa masalah saya, bagaimana keluhan saya, serta bentuk kebrengsekan layanan mereka yang telah sangat merugikan pelanggan. Saya menjelaskannya dengan bahasa yang lugas, gamblang, kronologis, hingga bisa dipahami bocah SD sekalipun.

Tetapi jawaban dan tanggapan yang saya terima hanya omong kosong yang tidak bermanfaat. Bahkan, jawaban dari si customer service itu menyiratkan kalau dia sebenarnya tidak paham masalah saya, bahwa dia sebenarnya tidak menguasai bidangnya. Itu sangat gamblang terlihat dari jawaban serta solusi tolol yang diberikannya. Ya Tuhan, perusahaan macam apa sebenarnya Telkomsel ini...???

Tetapi dengan pongahnya mereka mengklaim sebagai yang terbaik dan terbesar, dengan jangkauan paling luas, terdepan dalam segala hal, dan bla-bla-bla. Tentu saja hak semua orang untuk mengklaim sesuatu dalam iklan. Tetapi jika klaim tidak berdasar fakta, maka itu adalah penipuan yang dilakukan secara terang-terangan, sebuah penipuan yang dibiayai dengan mahal. Dan untuk setiap penipuan yang dilakukan, selalu ada pihak yang dikorbankan serta dirugikan. Dalam hal ini tentu pelanggan. Dan saya salah satu korban penipuannya.

Seperti yang saya jelaskan di atas, saya mengaktifkan paket FUN NIGHT pada 28 April 2012. Untuk hal itu, Telkomsel menarik bayaran sebesar Rp. 50.000,- dengan janji akan memberikan jatah kuota sebesar 8 GB, dengan kecepatan 2 Mbps, dan jatah itu akan diberikan dalam waktu satu bulan. Setelah waktu satu bulan habis, maka janji di atas pun hangus. Itu akad yang telah disepakati bersama antara saya (sebagai pelanggan) dan Telkomsel (sebagai penyedia layanan).

Lihat…? Uang saya sudah diambil. Karena saya telah memberikan kewajiban (yakni terpotongnya pulsa senilai Rp. 50.000), maka tentu saya berhak meminta hak saya (jatah kuota sebesar 8 GB dengan kecepatan 2 Mbps sebagaimana yang telah disepakati). Tetapi Telkomsel tidak pernah memberikan hak saya tersebut!

Sejak saya mengaktifkan layanan FUN NIGHT, saya tidak pernah bisa menggunakan layanan itu, karena sinyal yang terus-menerus EDGE. Sementara waktu terus berlalu, dan sekarang jatah satu bulan sudah hampir habis. Dan hak yang seharusnya saya dapatkan sama sekali tidak pernah bisa saya nikmati.

Telkomsel telah mengambil uang saya, tetapi mereka tidak memberikan hak yang seharusnya telah diberikan kepada saya. Semua orang—bahkan Tuhan dan para malaikat—tentu memaklumi jika saya menyatakan Telkomsel telah mencurangi dan merugikan pelanggannya!

Dan kerugian saya bukan hanya uang. Saya juga telah dirugikan secara waktu dan emosi. Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya tidak punya nafsu untuk menghubungi customer servise Telkomsel, karena saya tahu mereka hanya akan menyodorkan omong kosong, omong kosong, dan omong kosong.

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya berdoa sebagai orang yang teraniaya. Semoga mereka yang telah menganiaya segera menerima balasan berlipat ganda, sehingga mereka belajar untuk berhenti menganiaya sesamanya. Semoga mereka yang telah melakukan kecurangan mendapatkan balasan yang lebih besar, agar belajar untuk berhenti mencurangi pelanggannya.

Saya tahu, Tuhan mendengar doa siapa pun yang teraniaya.

Selasa, 22 Mei 2012

Ingin Punya Globe

Kalau dipikir-pikir, aku curiga ada hal-hal
yang seharusnya tidak perlu dipikir.
@noffret


Pertama kali kenal globe pada waktu TK. Saya masih ingat, waktu itu terbengong-bengong di tempat bermain TK, menatap sebuah benda asing yang belum pernah saya lihat. Benda itu berbentuk lingkaran bola yang ditahan sebuah penyangga, dan di bola itu terdapat gambar-gambar aneh yang tidak saya mengerti. Lalu saya bertanya pada Ibu Guru, benda apakah itu.

“Itu globe,” jawab Ibu Guru.

Saya merasa salah dengar. “Apa, Bu Guru…?”

“Globe.” Ibu Guru mengulang dengan suara yang lebih jelas.

“Globe?” Saya memastikan.

“Ya.”

“Uh… globe itu buat apa?”

Ibu Guru pun menjelaskan dengan sabar bahwa globe adalah miniatur planet Bumi. Melalui globe, kita bisa melihat letak wilayah-wilayah tertentu di permukaan Bumi yang membulat seperti bola. Dengan globe, dunia seperti tepat berada di depan mata kita.

Entah karena penjelasan itu terdengar hebat atau memang guru saya pintar menerangkan, saya langsung terpesona dan jatuh hati pada globe. Sejak itu, cita-cita saya yang paling penting dalam hidup adalah memiliki globe. Oh, rasanya hebat sekali punya globe, pikir saya waktu itu. Dengan globe, saya bisa duduk bengong sambil menatap dunia tanpa harus beranjak kemana-mana. Sebuah fantasi hebat untuk bocah berusia empat tahun.

Jadi begitulah. Sejak itu saya sering berlama-lama di tempat bermain TK, memandangi globe yang hebat itu. Makin sering memandanginya, saya makin jatuh cinta kepadanya. Rasanya, waktu itu, globe adalah benda paling indah di dunia. Sejak saat itu pula, saya pun menyimpan impian yang paling berharga. Dan diam-diam bersumpah, saya akan membeli sebuah globe jika telah punya cukup uang.

Tapi impian itu tidak mudah terlaksana. Waktu itu saya masih kecil—masih TK. Dan meminta orangtua saya membelikan globe adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan. Jadi saya pun hanya menyimpan keinginan itu dalam hati, dan terus mengingat-ingat bahwa kelak setelah besar nanti saya akan membeli globe dengan uang sendiri. Hidup ini pasti sia-sia jika tidak punya globe, pikir saya waktu itu.

Lalu hari demi hari pun berganti. Di akhir tahun, saya menjadi salah satu juara di TK. Ketika mendapatkan hadiah, saya merasa senang sekali, karena saya pikir bungkusan hadiah yang cukup besar itu berisi globe. Tapi rupanya bukan. Isinya beberapa buku dan alat-alat tulis lainnya. Saya cukup senang, tapi sebenarnya saya mengharapkan sebuah globe.

Kemudian saya masuk SD. Hal pertama yang saya pastikan di SD itu adalah keberadaan globe. Saya masih ingat, waktu itu saya diantar Ibu mendaftar ke sekolah, dan saya bertanya pada salah satu guru di sana, “Apakah di sekolah ini ada globe?”

Guru itu menatap saya, dan menjawab dengan bingung, “Ya, ada globe di ruangan guru.”

Bagus, pikir saya. Waktu itu saya belum tahu kalau murid di sana tidak bisa sembarangan masuk ke ruangan guru. Tapi keberadaan globe di sekolah itu sudah cukup bagi saya untuk merasa senang belajar di sana. Tanda sekolah hebat adalah adanya globe, pikir saya dengan yakin.

Ketika mulai menjalani hari-hari belajar di sekolah itu, kesibukan saya pun mencari cara agar dapat melihat globe yang ada di ruangan guru. Sejujurnya saya kecewa ketika mengetahui bahwa murid tidak bisa keluar masuk ke ruangan guru dengan bebas, karena hal itu berarti saya tidak bisa leluasa melihat globe yang ada di sana. Apa guna belajar di sekolah jika tidak bisa melihat globe?

Maka saya pun mencari akal. Salah satu alasan yang mengizinkan murid masuk ke ruangan guru adalah ketika akan memanggil guru pada pergantian jam pelajaran. Setiap kali ada pergantian pelajaran, biasanya salah satu murid—berdasarkan jadwal piket harian—akan pergi ke kantor guru untuk menemui/memanggil salah satu guru yang akan mengajar.

Jadi itulah yang kemudian sering saya lakukan. Meski tidak sedang piket, saya akan giat melaksanakan tugas memanggil guru, karena hal itu menjadikan saya punya alasan untuk masuk ke ruang kantor mereka. Ketika berada di sana, saya pun bisa memandangi globe yang terpajang di atas almari. Hal itu menguntungkan semua pihak. Teman-teman sekelas merasa senang, karena tugas mereka sering saya wakili. Guru-guru di kantor juga senang, karena saya selalu tepat waktu memanggil mereka. Dan saya sendiri juga senang, karena bisa sering-sering melihat globe.

Selama bersekolah di sana, saya bersyukur karena selalu naik kelas, juga sering juara kelas. Setiap tahun, dalam acara perpisahan kelas enam, akan diumumkan siapa saja yang juara—dari kelas satu sampai kelas enam—dan nama saya sering ikut tercantum. Saya senang. Tapi saya tidak pernah sekalipun mendapatkan hadiah globe. Setiap kali menerima hadiah yang diberikan, saya selalu harap-harap cemas hadiah itu berisi globe. Tapi tahun demi tahun harapan saya tak pernah terwujud. Saya belum ditakdirkan memiliki globe.

Ketika lulus SD, saya pun melanjutkan ke SMP, dan sangat bersyukur karena di sana ada globe, bahkan berukuran lebih besar dibanding globe yang pernah saya lihat di TK maupun di SD. Kalau globe di TK dan di SD hanya sebesar bola basket, globe di SMP ukurannya dua kali lipat dari itu. Rupanya ada globe yang lebih besar, pikir saya waktu itu dengan takjub.

Yang membuat saya makin senang, globe itu terletak di perpustakaan, jadi saya pun bisa bebas dan leluasa memandanginya, karena setiap murid dibebaskan keluar masuk perpustakaan. Saya senang sekali. Kebahagiaan dalam hidup, pikir saya waktu itu, adalah dapat melihat globe kapan pun kau mau.

Maka begitulah. Ketika waktu istirahat tiba, saya akan langsung ke ruang perpustakaan, dan duduk di dekat globe, menatapnya penuh kagum, memandanginya dengan terpesona. Kadang saya akan menggerakkannya, memutarnya perlahan-lahan, dan melihat wilayah-wilayah yang tampak di permukaan globe. Benda ini benar-benar hebat, pikir saya setiap kali memandanginya. Globe pastilah sebuah mahakarya.

Kegiatan itu saya lakukan hampir setiap hari, pada jam istirahat sekolah. Karena saya jarang punya uang saku, maka kegiatan memandangi globe di waktu istirahat benar-benar hiburan tak tergantikan. Dari globe itu pula kemudian saya tertarik untuk mendalaminya. Karena sejak kecil saya suka membaca, maka di waktu SMP itu bacaan saya merambah ke bidang geografi, karena kedekatan saya dengan globe.

Pada waktu itu pula saya mulai tahu bahwa globe yang hebat itu diciptakan pertama kali oleh seorang ilmuwan muslim, bernama Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi al-Qurtubi al-Hasani al-Sabti, atau yang biasa disingkat Al-Idrisi.

Dia pakar geografi, mesirologi (ahli dalam bidang ilmu pengetahuan Mesir), dan pengembara yang tinggal di Sisilia, tepatnya di istana Raja Roger II. Banyak pihak yang menganggapnya sebagai ahli geografi terbesar pada abad pertengahan. Selain itu, yang tak boleh dilewatkan, Al-Idrisi adalah salah satu keturunan Ali bin Abi Thalib, khalifah sekaligus cendekiawan muslim yang amat saya kagumi. Dan melalui Al-Idrisi pulalah, saya kemudian akrab dengan buku geografi.

Sering kali, saya duduk sendirian di perpustakaan, memegangi sebuah buku geografi, dan mencocokkannya dengan gambar di globe. Dan—entah kenapa—saya selalu takjub. Selalu ada hal baru yang mengagumkan, yang saya dapatkan dari sebuah globe. Benda itu seperti bola sang penyihir. Kauputar sebentar, dan dia akan mengeluarkan kesaktiannya. Menyaksikan globe, saya benar-benar yakin Tuhan memang ada.

Keasyikan saya dengan globe akhirnya terputus ketika saya lulus SMP. Ketika SMA, rupanya saya masuk ke SMA yang keliru. Di sana tidak ada globe! Fakta mengerikan itu baru saya ketahui setelah saya tercatat sebagai salah satu siswa di sana, sehingga saya tidak bisa mengundurkan diri karena sejumlah uang pendaftaran dan biaya tetek-bengek—yang bagi saya sangat besar—sudah masuk ke sana.

Ini bencana, pikir saya dengan panik. Satu minggu setelah resmi tercatat sebagai siswa SMA itu, saya masuk ke perpustakaan, dan tengak-tengok mencari globe. Tapi tidak ada. Perpustakaan itu cukup luas, tapi di mana pun tak terlihat ada globe. Saya penasaran, dan bertanya pada petugas perpustakaan. Jawabannya sangat mengguncang perasaan saya.

“Uh, kayaknya sekolah kita nggak punya globe,” kata petugas perpustakaan.

Dalam hati saya memaki. Sekolah macam apa yang tidak punya globe? Dan saya pun membayangkan hari-hari kelabu yang akan saya jalani di sekolah itu, karena tidak adanya globe di sana. Pantas saja kalau murid-murid suka membolos, pikir saya, karena di sekolah tidak ada globe. Tentu saja itu tidak nyambung, tapi saya sengaja menghubung-hubungkannya karena dongkol.

Pada waktu kelas dua SMA, entah bagaimana caranya saya terpilih jadi pengurus OSIS. Dengan jabatan itu, saya pun mengusulkan pada pihak sekolah agar membeli globe. Melalui statistik yang ngawur, saya menjelaskan pada seorang guru yang menjadi pembina OSIS, bahwa tingkat kesuksesan belajar-mengajar di sekolah sangat tergantung pada keberadaan globe. Sebuah sekolah tak bisa dibilang bagus kalau tidak punya globe.

Entah dia percaya ocehan saya atau karena memang mulai sadar sekolah kami butuh globe, tidak lama setelah itu ada tiga globe di ruang perpustakaan. Ukurannya sebesar globe yang saya lihat di SMP. Orang pertama yang paling girang dengan benda itu tentu saya. Sejak itu pula saya makin rajin ke perpustakaan untuk melihat globe. Soal apakah kegiatan belajar-mengajar di sekolah kami makin bagus atau tidak, entahlah. Yang penting saya bisa bermesraan lagi dengan globe.

Dan benda bernama globe itu seperti memiliki kekuatan sihir—khususnya bagi saya. Meski telah ratusan kali saya memandanginya, menatapnya, mengelusnya, membelainya, bahkan kadang-kadang menciuminya—kalau kebetulan tidak ada yang melihat—saya tidak pernah merasa bosan. Karena itu pula, saya pun masih menyimpan sumpah saya terdahulu, bahwa kapan pun waktunya saya punya cukup uang, saya akan membeli globe. Tak peduli seseorang memiliki banyak harta benda, rasanya sia-sia jika tidak punya globe.

Dan waktu-waktu berlalu. Tahun berganti. Saya lulus SMA. Melanjutkan hidup. Perjalanan hari demi hari, penuh perjuangan, jatuh bangun, kerja keras tanpa henti, belajar dari pagi sampai pagi lagi, sakit dan sehat, malam dan pagi, usia merangkak, dan saya pun beranjak dewasa. Hari ini, saya telah punya cukup uang untuk membeli globe. Tapi saya menghadapi ironi tak termaafkan.

Hingga hari ini saya belum punya globe.

Mirror

Aku bertanya pada cermin, apakah aku buruk rupa. Cermin menjawab iya. Aku marah, mengamuk, karena tak terima, dan kemudian memecahkan cermin itu sambil mencaci-makinya.

Aku memang gila.

Jumat, 18 Mei 2012

Jadi Kentir karena Pengin Kawin

Kapan kawin? Kawin kapan?
Nanti, kalau aku sudah bisa menceraikan diri sendiri.
@noffret


Setengah bulan yang lalu saya stres berat, karena tekanan pekerjaan tanpa henti, dan waktu yang sepertinya tak bisa diajak kompromi. Meski sudah berusaha efisien, saya merasa terus tertinggal oleh detik jam. Dan kondisi penuh tekanan semacam itu menjadikan insomnia saya makin parah.

Sudah bertahun-tahun saya sulit tidur setiap malam. Mungkin karena insomnia. Mungkin pula karena saya tidak terlalu suka tidur. Oh, well, mungkin ini terdengar aneh. Tapi saya sering merasa “eman-eman” untuk tidur kalau sedang asyik mengerjakan sesuatu—entah membaca buku yang bagus, atau sedang asyik memuntahkan isi pikiran di komputer, atau sedang meneliti dan meriset sesuatu. Karena itulah kemudian insomnia menyerang dengan sangat parah.

Tingkat keparahan itu makin menjadi-jadi kalau pekerjaan sedang menumpuk dan diburu waktu. Entah kenapa atau bagaimana, saya tak pernah bisa tidur kalau pikiran belum tenang, semisal pekerjaan yang belum rampung. Bahkan setelah mata sangat mengantuk dan tubuh sangat lelah sekalipun, tetap saja sulit tidur.

Seperti setengah bulan kemarin. Sebegitu sulit tidurnya, sampai-sampai saya membuat “rekor” dalam hal tidak tidur. Karena ingin sekali menyelesaikan tanggung jawab, saya sampai tidak tidur empat hari empat malam. Selama begadang terus-menerus tanpa henti itu, yang saya khawatirkan bukan kondisi fisik saya, tapi kondisi komputer. Saya benar-benar berdoa semoga komputer yang saya ajak begadang tidak meledak atau mati tiba-tiba.

Setelah empat hari tidak tidur, badan saya serasa tak bisa digunakan lagi. Letih lahir batin. Fisik sudah lemah, otak tak bisa lagi diajak mikir. Akhirnya, setelah tak lupa mematikan komputer—dan benar-benar memastikan benda itu mati sewajarnya karena shut down—saya pun melangkah sambil merem ke kamar tidur. Begitu badan menyentuh tempat tidur, saya langsung terlelap.

Dan tidur selama dua hari.

Ketika bangun tidur, rasanya seperti… jetlag. Sewaktu bangkit dari tempat tidur, dan duduk sambil bengong, saya baru menyadari kalau saya terbangun akibat kelaparan—karena dua hari tertidur dan tidak makan. Perut rasanya keroncongan campur dangdutan. Mungkin, kalau tidak lapar, saya pasti masih enak-enak tertidur dan entah akan bangun kapan.

Saya duduk dengan lemas sambil menatap jam di dinding kamar. Jarum jam menunjukkan pukul 4. Sesaat, saya kebingungan itu jam 4 pagi atau jam 4 sore. Lalu saya ambil ponsel, untuk memastikan waktu. Rupanya jam 4 pagi. Ketika melihat hari dan tanggal, saat itulah saya menyadari sudah tertidur dua hari.

Saya bangkit, dan menuju kamar mandi untuk cuci muka. Lalu membuat kopi. Dan merokok. Sambil merasakan badan yang masih letih serta perasaan seperti jetlag. Sedang perut keroncongan bukan main. Dan saya mikir, ke mana harus mencari warung makan sepagi ini?

Masalahnya bukan hanya mencari warung pada pukul empat pagi. Kalau saya memaksakan diri untuk keluar, mau tak mau harus memanaskan mesin kendaraan, karena dua hari tak dipakai. Dan itu tentu akan mengganggu tetangga kanan kiri, karena masih sangat pagi. Standar etika saya tidak bisa diajak kompromi.

Akhirnya, sambil menahan lapar, saya pun menyabar-nyabarkan diri menunggu subuh tiba. Nanti, seusai subuh, saya bisa mulai memanaskan mesin dan keluar cari makan. Untuk menghibur diri—dan membunuh waktu—saya pun membaca buku. Dan bikin kopi lagi. Sambil diam-diam berharap tidak tertidur lagi. Karena, jika itu sampai terjadi, saya khawatir tidak akan bangun lagi.

Seusai subuh, saya mulai memanaskan mesin, lalu kabur mencari warung. Sambil menyusuri jalanan yang masih sepi, saya lirak-lirik kanan kiri, mencari warung makan yang sudah buka. Sampai akhirnya, di tempat yang cukup jauh, ada satu warung yang telah buka, dan terlihat masih sepi. Saya pun masuk ke sana. Dan segera makan dengan lahap.

Pada waktu makan itulah, inti cerita ini dimulai.

Ketika sedang enak-enaknya makan, tiba-tiba terdengar suara lelaki berteriak-teriak tidak jelas. Lelaki itu sepertinya di dekat warung tersebut, dan terus berteriak-teriak sendiri, mengeluarkan kata-kata yang semrawut dan tidak terstruktur. Sepertinya dia tidak pernah belajar grammar. Atau conversation. Entahlah.

Berdasarkan pendengaran saya sambil makan, inilah yang diucapkan lelaki itu sambil teriak-teriak, “Pokoknya…! Haiyyaaa, pokoknya kawin! Aku kan kawin saja ini itu sama kawin. Mosok sulit sekali padahal aku tidak pernah bilang begitu selain kawin. Ya, kan? Hahahaaaa…! Aku ingin berlomba-lomba untuk kawin, masyarakaaaaat. Haiyyaaa, pokoknya! Pokoknya kawin! Sudah saja, ketika semua orang berlomba-lomba untuk kawin, aku malah ingin kawin. Hahahahaaaa! Benar-benar supaya! Oaaah, supaya! Masyarakaaaaaat! Mau kawin aja kok susah!”

(Tentu saja kalimat-kalimat itu berdasarkan ingatan saya yang mungkin tidak akurat, dengan penerjemahan sekadarnya, dan sensor ketat atas kata-kata tidak senonoh di sana-sini).

Karena penasaran dan tergelitik dengan ocehannya, saya pun melongok keluar, dan menyaksikan lelaki itu sedang semangat ngoceh sambil berdiri dengan gaya orasi. Dilihat dari penampilan fisiknya, sepertinya dia berumur 35 tahunan. Pakaiannya terlihat bersih, tidak terkesan orang gila yang tidak terurus. Dia terus ngoceh, dan kata “kawin” terus-menerus terselip dalam ocehannya.

Saya pun bertanya pada ibu si penjual warung makan, “Siapa tuh, Bu?”

“Itu orang kentir (tidak waras), Mas,” jawabnya. Kemudian ibu itu bercerita, “Dia tuh dulu pengin kawin, tapi nggak tahu kenapa selalu gagal. Pernah pacaran, terus bubar. Malah dulu pernah tunangan, tapi juga putus di tengah jalan. Lama-lama dia jadi kentir, ya mungkin karena kepenginannya kawin nggak kesampaian. Tiap pagi selalu teriak-teriak gitu. Kata orang-orang sih, mungkin dia bakal waras lagi kalau udah kawin.”

Saya terdiam. Karena bingung mau jawab apa. Juga karena tiba-tiba saya menatap diri sendiri. Sampai segede ini, hati saya kok belum terketuk ingin kawin. Dan tiba-tiba saya khawatir jadi kentir kalau dipaksa kawin. Oh, well, kalau ada orang yang jadi kentir karena pengin kawin, tentu logis kalau ada pula orang yang jadi kentir karena dipaksa kawin padahal belum pengin kawin.

Tiba-tiba saya merasa tidak normal. Sebenarnya sih dari dulu saya memang tidak normal. Kalau normal tentu saya sudah pengin kawin!

Kadang-kadang, saya “memanas-manasi” diri sendiri dengan menyaksikan teman-teman saya yang sudah punya istri. Atau sengaja menjebak diri sendiri ke dalam kamecatan malam Minggu, agar bisa memelototi pasangan-pasangan yang sedang asyik malam Mingguan. Ya, kadang-kadang upaya itu memang berhasil—tapi temporer.

Ketika melihat teman-teman saya tersenyum bahagia dengan istri-istri mereka, atau menyaksikan pasangan-pasangan yang sedang bergandengan tangan, saya memang merasakan keinginan untuk memiliki pasangan. Atau bahkan sampai kawin—dan berumah tangga. Tetapi, setelah pemandangan itu sirna, dan saya kembali sendirian, semua keinginan itu pun ikut sirna. Saya telah telanjur jatuh cinta pada keheningan.

Ketika merasakan hening, sendirian, di rumah yang sunyi, tanpa suara, sering kali saya bersyukur karena tidak memiliki istri dan anak-anak. Kehadiran mereka pasti akan merenggut keheningan dari hidup saya.

Sering kali, ketika sedang asyik mengerjakan sesuatu hingga lupa waktu dan lupa segalanya, saya pun membayangkan, “Untung aku tidak punya istri. Kalau ada istri, dia pasti akan ngamuk-ngamuk karena dicueki.”

Atau, ketika sedang asyik berpikir, sampai berjam-jam, kadang terselip pikiran nakal, “Untung aku tidak punya istri. Kalau punya istri, aku pasti tidak akan sempat memikirkan hal-hal ini, karena akan terus sibuk memikirkan dirinya.”

Pendeknya, saya lebih sering bersyukur karena tidak memiliki pasangan daripada sebaliknya. Ya, ya, mungkin saya memang tidak normal. Tetapi standar kenormalan manakah yang akan kita gunakan dalam hal ini? Apakah orang-orang yang memilih tidak kawin memang layak dianggap tidak normal? Dan hanya orang-orang yang kawin saja yang normal? Tapi bukankah kawin atau tidak kawin adalah hak setiap orang?

Ironi dalam sistem masyarakat kita, sepertinya, adalah rancunya perbedaan antara hak dan kewajiban. Beberapa hak dianggap kewajiban, sehingga jika “kewajiban” itu tidak dilakukan, maka akan dianggap tidak normal. Ya contohnya soal kawin itu.

Meski sesungguhnya kawin (menikah, merid, etc) adalah hak, tapi sistem masyarakat kita menganggapnya kewajiban. Dan karena sistem masyarakat menganggapnya kewajiban, maka mayoritas orang pun melakukannya—karena ingin memenuhi “kewajiban”, atau juga karena memang pengin kawin.

Tentu hal biasa kalau kita menyaksikan orang yang jelas-jelas menunjukkan keinginannya untuk kawin. Atau teman kita yang sibuk minta dicarikan pacar, pasangan, dan semacamnya. Banyak orang yang sampai mengikuti acara-acara semacam biro jodoh demi tujuan yang sama. Bahkan konon Facebook atau media sosial lain pun dijadikan salah satu sarana untuk menemukan pasangan. Untuk kawin.

Tentu saja mereka tidak salah. Sama tidak salahnya dengan orang yang memang tidak atau belum ingin kawin.

Ehmm… Ada sebuah buku berbahasa Arab yang sangat bagus berjudul Al-‘Ulama’ Al-‘Uzzab alladzina Atsarul ‘Ilma ‘alaz Zawaj. Buku ini mengisahkan para ulama dan para pecinta ilmu (kebetulan semuanya lelaki) yang memutuskan tidak kawin sampai mati karena ingin membaktikan hidupnya untuk belajar dan mencari ilmu. Sejujurnya, saya sampai nangis bombay waktu membaca buku ini. Dan, sejujurnya pula, saya makin tidak pengin kawin!

Beberapa pecinta ilmu yang dikisahkan dalam buku ini adalah Yunus bin Habib Al-Bashri, Abu Bakar bin Al-Anbari, Ibnu Taimiyyah, Abul Hasan Al-Qifthi, Ibnul Khasysyab Al-Baghdadi, Abul Wafa’ Al-Afghani, dan lain-lain—semuanya orang hebat, setidaknya saya mengagumi karya-karya mereka.

Sementara ada jutaan orang yang sibuk bahkan sampai kentir karena pengin kawin, ada segelintir orang yang justru menjauhi keinginan itu dan memutuskan untuk tidak kawin. Artinya, bagi saya, ada kebahagiaan bahkan kepuasan dan ketenteraman yang setara atau senilai dengan pasangan hidup, dengan perkawinan—setidaknya bagi mereka yang memilih tidak kawin.

Maksud saya, jika orang pengin kawin karena tujuan ingin mendapatkan pasangan agar bisa hidup tenteram dan bahagia, maka artinya orang-orang yang telah memutuskan tidak kawin telah menemukan ketenteraman dan kebahagiaan yang setara nilainya di luar perkawinan. Mungkin bersama buku, mungkin bersama ilmu—siapa tahu…?

Saya tidak berani memastikan, karena saya sendiri masih ragu. Saya hidup di zaman modern, bukan di zaman dahulu kala sebagaimana orang-orang hebat yang kisahnya tertulis di buku tadi. Saya menghadapi sistem nilai masyarakat, saya menghadapi struktur dan takaran nilai moral kontemporer (jika belum kawin dianggap belum lengkap atau masih kurang), saya bahkan menghadapi orang tua saya sendiri yang tentunya menginginkan saya kawin.

Secara pribadi, mungkin saya mampu menjauhkan atau bahkan menghilangkan keinginan untuk kawin. Bahkan cinta saya sepertinya sudah tercurah seutuhnya untuk pekerjaan dan ilmu pengetahuan. Dalam sepuluh hal penting yang ada dalam hidup saya, perkawinan menempati peringkat paling bawah—itu pun jika dipaksa masuk. Artinya, kawin adalah hal paling tidak penting di antara hal-hal penting lain dalam prioritas.

Tapi saya tidak hidup sendiri di tengah hutan. Maksudnya, saya hidup di tengah-tengah masyarakat yang memiliki nilai-nilai dan standar moral tertentu yang—meski tidak tertulis—namun telah disepakati bersama. Dan salah satu kesepakatannya adalah kawin.

Lebih dari itu, kadang saya juga “menantang” diri sendiri dengan bertanya pada diri sendiri, “Hei, Hoeda. Kalau umpama suatu hari kamu ketemu cewek yang membuatmu jatuh cinta dan mabuk kepayang dan kamu ingiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnn kawin dengannya, kira-kira masih kuatkah kamu memegang prinsipmu untuk tidak kawin?”

Nah, saya tidak mampu menjawabnya.

Sekarang, ketika membayangkan semua ini, tiba-tiba saya ingin tidur lagi. Ya, mungkin tidur dua hari lagi. Dan mungkin pula saya perlu berharap, semoga ketika bangun nanti saya bukan merasa kelaparan, tapi merasa… ingin kawin!


*) Semoga ibu saya tidak membaca catatan ini.

Kisah Putri, Orang Bijak, dan Pengembara

...and they lived happily ever after.
Kutipan Kuno


Pada zaman dahulu kala....

(Oke, saya tahu, kata pembuka itu terdengar kuno. Tapi isi catatan ini memang kuno, jadi saya sengaja menulis kata pembuka kuno seperti itu. Well, kita ulangi.)

Pada zaman dahulu kala, ada seorang Putri yang ingin kawin. Sebegitu ngebetnya ingin kawin, Putri itu sampai menempelkan gambar dirinya di mana-mana. Di pohon-pohon, di tembok-tembok, di pasar, di kandang bebek—hampir di setiap tempat yang memungkinkan, selalu tertempel gambar dirinya. Belum cukup, dia bahkan mengirimkan gambar dirinya ke rumah-rumah yang ditemuinya, menyelipkan lembaran-lembaran gambar dirinya melalui celah pintu.

Gambar-gambar itu semuanya berisi foto dirinya dalam berbagai pose, dan dia menyebar-nyebarkan gambarnya itu dengan tujuan ada lelaki yang tertarik kepadanya, lalu mencarinya ke ujung dunia, lalu menyatakan cinta kepadanya, lalu mengajaknya menikah, lalu membawanya ke istana indah, dan mereka pun hidup bahagia selamanya.

Mungkin si Putri terlalu lama membaca kisah-kisah Grimm Bersaudara. Mungkin ia terlalu terobsesi dengan drama Cinderella. Mungkin pula, si Putri memang perempuan dramatis yang menginginkan kisah romantis yang membuat penontonnya pengin nangis sambil pipis.

Yang jelas, upaya yang dilakukan si Putri tidak berhasil. Meski dia terus menyebar-nyebarkan bahkan memamer-mamerkan gambarnya di mana-mana, tidak ada satu lelaki pun yang tertarik, apalagi jatuh cinta, apalagi mengejar-ngejarnya, apalagi mengajaknya menikah, apalagi membawanya ke istana indah.

Sampai kemudian, sang Putri bertemu seorang bijak yang memberikan nasihat bagus.

“Tuan Putri,” kata si Orang Bijak, “kau akan sulit menemukan suami jika caranya seperti itu.”

Si Putri terkejut, “Oh, mengapa begitu, Orang Bijak?”

Si Orang Bijak menjelaskan, “Kau menyebar-nyebarkan, bahkan memamer-mamerkan, gambar dirimu kemana-mana dan di mana-mana. Cara itu menjadikanmu tampak murahan, karena setiap orang dapat melihat dan memandangimu. Mereka tahu, tujuanmu menyebar-nyebarkan gambar itu agar ada lelaki yang tertarik. Itu tak ubahnya barang obral yang dapat dijangkau semua orang. Karena mudah dijangkau, para lelaki—khususnya yang baik dan hebat—justru menjauh, karena tidak ada lelaki waras yang mau menikah dengan perempuan yang mengobralkan dirinya.”

Wajah si Putri bersemu merah. Mungkin malu, atau mungkin sadar telah keliru—entahlah. Yang jelas dia terdiam mendengar ucapan itu.

Dan si Orang Bijak melanjutkan, “Semakin kau agresif mengobralkan diri, kau justru sedang menjauhkan jodohmu sendiri. Mungkin ada banyak lelaki mendekatimu karena ulahmu menarik perhatian mereka—tetapi mereka tidak akan menjadi jodohmu, karena mereka akan berpikir seribu kali untuk menjadikanmu pasangan hidup. Tidak ada lelaki yang bisa tenteram jika mengetahui pasangannya tak bisa menjaga diri—dan agresivitas berlebihan yang kautunjukkan dengan menyebar-nyebarkan gambarmu kemana-mana adalah bukti kau tak bisa menjaga kehormatan diri.”

“Uh… jadi, apa yang seharusnya kulakukan, Orang Bijak?”

“Hargai dan hormatilah dirimu sendiri,” jawab si Orang Bijak. “Tempatkan dirimu di tempat yang layak, buatlah dirimu berharga, sehingga para lelaki ingin menemukan dan mendapatkanmu. Semakin sulit kau didapat, semakin mereka bersemangat!”

Entah paham atau tidak dengan nasihat itu, sang Putri manggut-manggut. Tidak lama setelah itu, sang Putri mengadakan sayembara. Dia melemparkan sebuah cincin imitasi ke lautan, kemudian mengumumkan, “Siapa pun lelaki yang bisa menemukan cincin itu, dia akan menjadi suamiku. Tapi jika gagal, dia akan kubunuh.”

Sayembara itu tidak masuk akal. Tetapi, lebih tak masuk akal lagi, ternyata ada banyak lelaki yang cukup tolol mengikuti sayembara itu. Rupanya nasihat Orang Bijak yang didengarnya benar-benar manjur—semakin sulit dia didapat, semakin banyak lelaki bersemangat.

Jadi begitulah, puluhan lelaki datang dari berbagai penjuru untuk mengikuti sayembara tersebut, dan mencoba keberuntungannya. Satu per satu mereka menceburkan diri ke lautan untuk dapat mengambil cincin imitasi yang dilemparkan sang Putri, demi bisa menjadi suaminya. Tapi tak ada yang berhasil.

Satu per satu dari mereka kemudian kembali ke darat dengan tangan hampa. Dan, sebagai konsekuensinya, mereka pun dibunuh satu per satu. Ada yang dipenggal lehernya, ada yang ditenggelamkan ke lautan, ada yang digantung, ada pula yang disetrum listrik. (Ya, ya, mungkin waktu itu belum ada listrik—so what?).

Seiring berlalunya hari, jumlah peserta sayembara itu makin menipis, karena satu per satu dari mereka dibunuh akibat gagal. Sampai kemudian, suatu hari seorang pengembara dari Betawi datang ke tempat itu, dan menemui sang Putri.

Sang Putri bertanya, “Apakah kau ingin mengikuti sayembara ini, hei Pengembara?”

“Tidak, Tuan Putri,” jawab si Pengembara. “Gue ke sini cuma pengin bilang, lu mau kawin aja kok susah amat. Kasihaaaaaaaan deh lu!”

Senin, 07 Mei 2012

Batagor, Bukti Keberadaan Tuhan

Aku berpikir, maka Tuhan ada.
Descartes

Aku makan batagor, maka Tuhan ada.
Noffret


Saya suka batagor. Ralat. Saya sangat sukaaaaaa batagor. Untungnya, di kota saya banyak penjual batagor. Dari yang paling enak sampai yang enaaaaaaak sekali. Di antara yang tergolong “paling enak” adalah batagor yang ada di dekat rumah orangtua saya. So, setiap kali pulang dari menjenguk ortu, saya selalu menyempatkan diri mampir ke sana.

Warung batagor tersebut sangat sederhana, semi permanen, dan di bagian depannya tertulis, “Batagor Khas Bandung”. Sejujurnya, saya tidak tahu apakah batagor memang berasal dari Bandung. Tapi yang jelas, entah kenapa, segala hal yang khas Bandung selalu terasa nikmat bagi saya, di antaranya siomay khas Bandung, dan batagor khas Bandung. Kadang-kadang saya jadi kepikiran untuk punya pacar orang Bandung.

Oke, yang terakhir itu ngelantur.

Di warung batagor itu, saya selalu memesan dua porsi. Dan segelas teh hangat. Biasanya, sepulang dari sana, kenyang dan nikmatnya mampu bertahan hingga lama. Batagor, bagi saya, adalah salah satu karunia alam semesta.

Pernah, suatu sore, saya mampir ke warung batagor tersebut, dan memesan batagor seperti biasa. Ketika sedang enak-enaknya menikmati batagor, datang tiga cewek remaja—sepertinya mereka mahasiswi semester awal, kalau dilihat dari tas ransel unyu yang mereka bawa. Lalu mereka duduk di salah satu meja.

Saya tidak terlalu mempedulikan mereka, dan terus asyik menyantap batagor. Tapi kemudian saya mendengar bisik-bisik ketiga cewek unyu itu.

“Ssstt,” bisik salah satu dari mereka, “itu Hoeda Manis.”

“Hoeda Manis siapa?” tanya cewek satunya, yang sepertinya kurang gaul.

Lalu cewek yang satunya lagi menyahut dengan suara yang juga berbisik, “Memangnya ada berapa Hoeda Manis di dunia ini? Ya Hoeda Manis yang ‘itu’ laaah.”

“Hoeda Manis yang ‘itu’?”

Lalu ketiganya menatap ke arah saya. Dan tiba-tiba batagor dalam mulut terasa seperti batu bata. Ini salah satu hal yang saya benci dalam hidup—menjadi perhatian ketika sedang tidak ingin diperhatikan. Kau tahu, saat-saat makan—khususnya makan batagor—adalah saat-saat sakral karena kita ingin menikmatinya sepenuh hati tanpa gangguan. Dan diperhatikan tiga cewek ketika sedang makan batagor adalah hal terakhir yang saya inginkan.

Lalu terdengar suara bisikan lagi, dari cewek kedua yang sepertinya kurang gaul, “Itu bener Hoeda Manis yang ‘itu’?”

“Iya!” bisik temannya. “Dia kan pernah datang pas resepsi tetanggaku. Jadi aku tahu itu memang dia.”

Dan si cewek kurang gaul menyahut, “Tapi… masak sih Hoeda Manis yang ‘itu’ makan batagor?”

Detik itu saya tersedak, dan rasanya ingin berteriak, “MEMANGNYA KENAPA KALAU HOEDA MANIS YANG ‘ITU’ MAKAN BATAGOR…???”

Mungkin cewek-cewek itu tidak paham, bahwa batagor bagi saya bukan hanya jajan favorit, tetapi juga sarana yang nikmat dalam memahami eksistensi Tuhan. Oh, well, mungkin ini terdengar aneh, atau absurd, atau bahkan bombastis. Tetapi saya benar-benar menyadari keberadaan Tuhan ketika sedang makan batagor.

Jadi, kalau hari ini saya ditanya, “Hei, pal, apakah kau percaya Tuhan ada?”

Saya dengan yakin akan menjawab, “Ya, saya percaya Tuhan ada!”

Dan jika pertanyaannya disambung, “Apa buktinya Tuhan benar-benar ada?”

Maka saya pun akan menjelaskan, “Buktinya saya suka batagor!”

Oke, saya tahu, detik ini dunia pasti berteriak, “APA HUBUNGANNYA, COBA?”

Sejujurnya saya tidak tahu apa hubungan Tuhan dengan batagor. Atau bagaimana memfilsafatkan batagor agar membuka jalan pada pemahaman atas kepercayaan adanya Tuhan. Tetapi yang jelas, saya meyakini keberadaan Tuhan, dan keyakinan itu selalu menguat setiap kali saya makan batagor.

Mungkin memang tidak ada hubungannya—bagi orang lain. Tapi bagi saya ada hubungannya.

Rene Descartes meyakini keberadaan Tuhan dengan berpikir secara mendalam. Albert Einstein menemukan Tuhan dalam kerumitan rumus fisika. Jalaluddin Rumi menemukan Tuhan dalam tarian yang membuatnya ekstase. Rabi’ah al-Adawiyah menemukan Tuhan dalam kekhuysukan dzikir di kesunyian. Mother Theresa menemukan Tuhan dalam kasih dan pengabdian pada sesamanya. Jadi apa salahnya kalau saya menemukan eksistensi Tuhan ketika sedang makan batagor…?

Masing-masing orang menemukan keyakinannya terhadap Tuhan dalam jalannya sendiri-sendiri, karena bahkan definisi Tuhan pun kadang memiliki perbedaan arti. Ada orang yang meyakini keberadaan Tuhan dalam keheningan, tapi ada pula yang justru menemukannya dalam keramaian. Ada yang menemukan kebesaran dan keagungan Tuhan ketika bersatu dengan alam, ada pula yang menemukan eksistensi Tuhan ketika sedang menikmati makanan.

Tetapi yang jelas, khususnya bagi saya, jauh lebih mudah untuk meyakini bahwa Tuhan ada daripada meyakini Tuhan tidak ada. Begitu pentingnya fakta ini, sampai-sampai saya merasa perlu mengulanginya. Jauh lebih mudah meyakini Tuhan ada, daripada meyakini Tuhan tidak ada.

Begitu pula, jauh lebih mudah membuktikan keberadaan Tuhan, daripada membuktikan ketiadaan Tuhan. So, orang yang tidak percaya keberadaan Tuhan pastilah orang yang sangat-sangat genius… atau orang yang sangat-sangat tolol. Dalam hal ini, kebetulan, saya tidak termasuk keduanya. Karena itu, saya percaya keberadaan Tuhan. Dan kepercayaan itu semakin menguat ketika sedang makan batagor.

Tidak usah tanya apa alasan atau hubungannya, karena ini masalah privat kepercayaan hamba kepada Tuhannya. Saya yakin Tuhan tidak akan murka ketika saya mengingat-Nya pada waktu makan batagor, jadi tidak ada alasan bagi sesama manusia untuk menghujat saya.

Ehmm… tidak lama setelah saya menulis posting panjang Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global, saya mendapatkan banyak feedback yang bagus dari para pembaca blog ini. Salah satu feedback yang bagus itu datang dari Bang Ibnus Salam.

Dalam e-mailnya, Bang Ibnus Salam menulis kalimat berikut ini, “Tuhan yang ada dalam pemikiran manusia adalah bukan Tuhan. Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat kita bayangkan, dan Tuhan sama sekali tidak dapat diangan-angankan atau dipikirkan manusia.”

Untuk menguatkan tesisnya itu, Bang Ibnus Salam menyitir QS. al-Anbiya: 23, yang berbunyi, “Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan, dan merekalah yang akan ditanya tentang apa yang mereka kerjakan.”

Saya setuju dengan pendapat tersebut, bahwa Tuhan (seharusnya menggunakan huruf “t”) yang ada dalam pemikiran manusia bukanlah Tuhan, karena memang Tuhan tidak bisa dipikirkan, dibayangkan, atau dikhayalkan. Karena itu pula, para alim dan orang bijak sering kali mengingatkan, “Jangan memikirkan Tuhan, tapi pikirkanlah ciptaan-Nya.”

Ketika makan batagor, saya tidak memikirkan Tuhan. Ketika makan batagor, saya merasakan nikmat di lidah, kunyahan dalam mulut. Ketika merasakan nikmat itu, saya lebih mudah memikirkan banyak hal yang hebat dan luar biasa dalam alam semesta. Ketika menemukan kehebatan bahkan keagungan alam semesta, keyakinan saya pada eksistensi Tuhan pun bertambah. So, saya menemukan eksistensi Tuhan ketika makan batagor.

Saya tidak tahu Tuhan itu seperti apa atau seperti siapa. Tapi saya meyakini eksistensi-Nya, keberadaan-Nya. Dalam hal keyakinan terhadap eksistensi Tuhan—tentu kita sepakat—masing-masing orang memiliki caranya sendiri.

Karena itu, saya benar-benar tidak habis pikir ketika ada segerombolan orang yang merasa memiliki hak mutlak atas Tuhan, dan kemudian mudah mengamuk, menyalahkan, dan mengkafir-kafirkan orang lain, hanya karena perbedaan dalam cara memaknai eksistensi Tuhan.

Orang-orang yang suka menyalahkan dan mengkafir-kafirkan orang lain itu mungkin menganggap Tuhan hanya miliknya, bahwa Tuhan hanya berpihak pada mereka, bahwa Tuhan harus ditemukan dan dipercayai melalui cara mereka. Bagi saya itu sangat naif, bahkan konyol. Orang-orang seperti mereka, menurut saya, mungkin perlu sering-sering makan batagor.

Ah, Malu…

Salah satu pengetahuan penting adalah Malu. Lebih baik malu
daripada tidak tahu malu. Tuhan, berikanlah aku anugerah rasa malu.
@noffret


Sekarang aku tahu, salah satu hal penting yang perlu dimiliki manusia adalah rasa malu. Karena adanya rasa malu, manusia mengenal peradaban, kebudayaan, bahkan dirinya sendiri. Dengan adanya rasa malu, manusia memiliki batas kepantasan dan kelayakan ketika akan melakukan apa pun yang dikehendakinya.

Karena adanya rasa malu, manusia mengenal pakaian, sopan santun, etika, dan rasa hormat terhadap sesamanya. Karena adanya rasa malu, manusia belajar mengembangkan dirinya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya. Karena adanya rasa malu pula, kita disebut orang yang beradab, berbudaya, dan beretika.

Ada beberapa manusia yang tidak memiliki rasa malu, dan kita biasa menyebutnya “orang gila”. Karena tidak lagi memiliki malu, orang gila tidak risih meski tidak mengenakan pakaian. Karena tidak memiliki rasa malu, orang gila bisa keluyuran ke swalayan sambil telanjang. Karena tidak memiliki rasa malu pula, orang gila menganggap perilakunya yang memalukan itu wajar-wajar saja.

Orang gila dapat melakukan apa pun, ngoceh tentang apa pun, memuji atau menghujat siapa pun, tanpa rasa malu. Ia bahkan dapat keluyuran memamer-mamerkan auratnya sendiri sambil tertawa-tawa. Bahkan meski ditegur sekali pun, orang gila akan terus mengulangi perbuatannya. Kita bisa memberikan pakaian yang layak untuk orang tak tahu malu, tapi pakaian itu akan kembali dibuangnya, karena tidak adanya rasa malu. Orang gila tidak mengenal aurat.

Karena tidak mengenal aurat pula, orang gila bisa tidak mandi berbulan-bulan, lalu dengan santai berjalan-jalan sambil telanjang, sambil ngoceh tentang apa saja. Di kampung-kampung, kadang anak-anak kecil suka mengikuti orang gila semacam itu sambil tertawa-tawa. Dan si orang gila juga ikut tertawa-tawa, karena mengira anak-anak kecil itu pengikut atau penggemarnya. Semakin banyak “pengikutnya”, dia semakin bangga.

Malu, rasa malu, menyelamatkan kehormatan manusia.

Yang ironis, kadang-kadang, ada orang yang tidak tahu malu tapi tidak mau disebut gila. Kau tahu, ada orang yang ke mana-mana membukakan auratnya sendiri tetapi dengan ekspresi bangga, seolah ia menjadi hebat dengan memamer-mamerkan aurat semacam itu.

Aurat tidak sebatas aurat tubuh, karena ada aurat sosial, aurat psikologis, aurat otak, bahkan aurat hati. Ada bagian dalam masing-masing kehidupan kita yang selayaknya hanya kita simpan sendiri. Ada bagian dalam otak dan hati kita, dalam perasaan kita, yang selayaknya tidak diumbar ke hadapan orang lain. Karena namanya aurat, maka tentu harus ditutupi untuk menjaga kehormatannya.

Tetapi karena orang tidak tahu malu, maka aurat itu pun diumbar dan dipamer-pamerkan. Mungkin ia merasa hebat karena melakukan hal semacam itu, namun orang-orang yang menyaksikannya menjadi risih dan muak. Ketika kita menyaksikan orang gila memamerkan auratnya, kita pun tentu tidak ingin melihatnya. Sesuatu disebut aurat, kita tahu, karena ia ditutupi rasa malu.

Dan aurat itulah yang membedakan manusia dengan yang bukan manusia. Hewan, secerdas dan sehebat apa pun, tidak memiliki rasa malu sehingga mereka tidak memiliki aurat. Ketika manusia sudah tidak memiliki rasa malu, kita pun menyebutnya orang tak tahu malu. Dan orang yang tak tahu malu biasanya ada yang tidak beres di kepalanya.

Malu, rasa malu, adalah tanda kesehatan manusia—baik fisiknya, maupun psikisnya. Malu, rasa malu, adalah tanda seseorang masih layak disebut manusia, dan bukti ia masih layak dihormati sebagai manusia.

Karena itu, oh Tuhan yang Maha Pemalu, anugerahkanlah rasa malu untuk diriku. Karuniakanlah rasa malu untuk hamba-hamba-Mu, agar kami semua dapat saling menghormati dan menghargai tanpa rasa risih, agar kami bisa saling bercakap-cakap tanpa khawatir muntah, agar kami bisa bersama-sama tanpa perasaan muak.

Anugerahkanlah rasa malu untukku, Tuhan, agar aku senantiasa mampu menjaga kewajiban untuk malu yang telah Kau-karuniakan untukku.

Selasa, 01 Mei 2012

Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global (17)

Catatan ini sangat panjang. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan, sebaiknya bacalah dari awal sampai akhir secara berurutan. Jika waktumu kebetulan sempit, sebaiknya tidak usah membaca catatan ini, atau bacalah pada waktu luang saja. Mulailah membaca rangkaian catatan ini dari sini.

***

Seiring dengan itu, segelintir pihak yang mencoba melawan isu dan teori-teori mereka mengenai pemanasan global terus berusaha dibungkam, baik secara akademis sampai ancaman pembunuhan.

Dr. Tim Ball, misalnya, yang merupakan ahli klimatologi Kanada sekaligus mantan profesor di bidang klimatologi di University of Winnipeg, selama bertahun-tahun berusaha melawan teori dan isu-isu yang digulirkan seputar pemanasan global dengan mempertanyakan kesahihan teori-teorinya. Hasilnya, Dr. Tim Ball mendapatkan lima ancaman pembunuhan.

Kebencian nyata dari para pendukung isu pemanasan global terhadap Dr. Tim Ball semakin menjadi-jadi ketika ilmuwan ini menulis sebuah kolom yang dimuat di harian Kanada Free Press, berjudul Global Warming: The Cold Hard Facts?. Tulisan yang juga diposting oleh Drudge Report itu kemudian melahirkan banyak ancaman yang ditujukan kepada Dr. Tim Ball maupun keluarganya.

....
....

Well, saya tahu catatan ini sudah sangat panjang, tetapi catatan ini akan jauh lebih panjang lagi jika semua ketidakberesan menyangkut isu pemanasan global diungkapkan semua di sini. Intinya, sebagaimana yang telah kita pelajari di atas, teori atau isu pemanasan global memiliki sandaran yang rapuh, penuh skandal, bahkan memiliki indikasi sebagai upaya pembodohan massal.

Sekarang, pertanyaan krusialnya, mengapa ada sekelompok orang yang begitu mati-matian meneriakkan adanya pemanasan global? Apa sebenarnya motivasi mereka yang terus-menerus gembar-gembor mengenai adanya pemanasan global…?

Jawaban untuk pertanyaan itu telah disinggung sekilas pada awal catatan ini, bahwa isu pemanasan global menjanjikan keuntungan sekaligus kekuasaan. Bagi para segelintir “ilmuwan” yang tahu memanfaatkan peluang, isu pemanasan global adalah sarana yang efektif untuk memperoleh banyak dana penelitian dan dana-dana lainnya.

Isu pemanasan global adalah isu lingkungan, sehingga setiap orang di dunia bisa diminta untuk ikut “bertanggung jawab”. Dana untuk “riset dan penelitian” itu bisa mudah mengucur dari berbagai lembaga, perusahaan, bahkan kantong-kantong pemerintah. Berbeda dengan isu UFO, misalnya, yang tidak memiliki hubungan langsung dengan lingkungan, isu pemanasan global lebih mudah dalam menghasilkan uang.

Jika kita cermati satu per satu, hampir semua ilmuwan dan peneliti yang begitu aktif mendukung isu pemanasan global adalah mereka-mereka yang masih terikat dengan tempat kerjanya—bisa institusi pendidikan, laboratorium pemerintah, ataupun think tank perusahaan-perusahaan tertentu.

Sementara ilmuwan-ilmuwan yang dengan tegas menolak isu pemanasan global rata-rata adalah mereka yang sudah pensiun, atau yang tidak terikat dengan suatu lembaga/institusi, sehingga tidak memiliki perasaan “ewuh pekewuh” untuk menyampaikan kebenaran—tanpa takut kehilangan dana dari para donaturnya.

Kemudian, isu pemanasan global juga bisa dimanfaatkan oleh negara-negara maju (Barat) untuk terus menunjukkan dominasi serta kekuasaannya. Dengan adanya isu pemanasan global, maka mereka memiliki alasan yang terdengar logis untuk menekan negara-negara lain untuk “tidak terlalu aktif” membangun, dengan alasan untuk menekan tingkat karbondioksida. Pertumbuhan pabrik dan usaha-usaha industri bisa ditekan atau dipersulit dengan banyak cara, dengan alasan yang sama.

Itu, sebenarnya, adalah cara dan bentuk lain imperialisme negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang atau yang masih terbelakang. Dalam bahasa yang lugas, isu pemanasan global adalah cara mereka untuk berkata, “Kami (negara Barat) sudah modern dan maju, tapi kalian tidak boleh maju, sebab itu hanya akan menambah polusi dunia.”

Yang paling mengkhawatirkan dari isu pemanasan global, sesungguhnya, adalah karena isu ini (jika tidak segera dihentikan) pada akhirnya akan memangsa rakyat miskin dan orang-orang tak berdaya.

Seperti yang sudah dipaparkan di atas, salah satu hal yang terus digembar-gemborkan isu pemanasan global adalah meningkatnya jumlah karbondioksida. Padahal, secara logika dan berdasarkan kemajuan zaman kita, produksi karbondioksida sulit ditekan apalagi diturunkan. Pabrik-pabrik dan industri semakin banyak, jumlah kendaraan semakin banyak, barang-barang elektronika yang membutuhkan listrik semakin banyak, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan produksi karbondioksida terus meningkat.

Jika isu pemanasan global terus diyakini, maka pemerintah di negara mana pun akan memiliki alasan, bahkan landasan yang terkesan ilmiah, bahwa mereka berhak untuk memungut pajak karbondioksida dari rakyatnya. Inilah yang paling mengkhawatirkan kita semua, karena kelak—jika isu keparat ini masih berlangsung—bisa jadi kita akan membayar pajak omong kosong yang sebenarnya tidak memiliki dasar yang dapat dibenarkan.

Dan jika itu benar-benar terjadi… oh, well, maka dunia akan kembali ke zaman perbudakan, hanya saja dalam bentuk dan versi yang lebih modern.

Dalam isu tak berdasar yang disebut pemanasan global ini, banyak pihak yang telah menghabiskan milyaran dolar, serta waktu bertahun-tahun, melibatkan banyak orang terkenal, yang di dalamnya penuh skandal, konspirasi, dan kebohongan. Mereka melakukan penelitian yang pada akhirnya ditujukan untuk melahirkan rasa takut umat manusia. Apa yang kira-kira mereka harapkan dari hal itu?

Kita semua dapat memikirkan jawabannya, dan—jika kita tidak berusaha menghentikan mereka—maka kita semua pula yang akan jadi korbannya.

Saya perlu menegaskan bahwa uraian panjang lebar ini tidak bermaksud agar kita tidak merawat bumi dan kelestarian alam tempat kita hidup. Sebagai penduduk Bumi, kita tetap harus mendukung upaya-upaya pelestarian alam, kebersihan lingkungan—termasuk kebersihan dari polusi—juga gerakan-gerakan yang bertujuan positif seperti ajakan menanam pohon, menghemat listrik, dan hal-hal positif lainnya.

Tetapi dukungan kita untuk semua langkah mulia itu didasari kesadaran bahwa kita memang punya kewajiban melestarikan planet ini, agar dapat mewariskannya kepada anak cucu serta generasi mendatang, dan bukan karena termakan omong kosong pemanasan global.

....
....

Sebagai penutup catatan panjang ini, saya ingin mengingatkan bahwa kita bukan makhluk yang diciptakan berdasarkan uji coba, dan kita pun tidak hidup di sebuah laboratorium percobaan. Kita makhluk sempurna yang ditempatkan di planet pilihan bernama Bumi, yang menjadi bagian dari makrokosmos alam semesta. Dan, alam semesta ini, seperti kita tahu, diikat oleh hukum mutlak bernama Hukum Keteraturan.

Dunia ini, alam semesta ini, diikat oleh Hukum Keteraturan, sehingga segalanya serba teratur. Sejak zaman penciptaan hingga detik ini, jarak antara Bumi dengan Matahari tetap 150.000.000 KM (seratus lima puluh juta kilometer)—dan tak pernah berubah. Jika jarak itu didekatkan sedikiiiiit saja, semua manusia yang hidup di Bumi akan mati terbakar. Jika jaraknya dijauhkan sedikiiiiit saja, semua manusia yang hidup di Bumi akan mati membeku!

Begitu pula dengan sistem galaksi, jutaan bintang di langit, letak rembulan dan proses peredaran cuaca—semuanya diikat oleh Hukum Keteraturan. Tanpa Hukum Keteraturan, sistem galaksi akan kacau, bintang-bintang bertabrakan, dan rembulan bisa tiba-tiba hilang. Dan hukum inilah yang menjadi dasar mutlak yang membuat kita—sebagai manusia—mau tak mau harus mempercayai dan mengakui keberadaan Tuhan.

Karenanya, mempercayai pemanasan global sama saja mempercayai bahwa Tuhan terlena, sehingga lalai mengatur alam semesta. Mempercayai pemanasan global sama artinya menganggap bahwa dunia kacau dan tak teratur, dan mungkin Tuhan sedang tertidur.

Karenanya pula, saya tetap meyakini bahwa pemanasan global bukanlah fakta—ia hanya isu yang sengaja diciptakan sekelompok manusia untuk membodohi manusia lainnya, sekaligus untuk mengeruk keuntungan tertentu yang ditujunya.

In the end, marilah kita duduk tenang sebentar saja, dan marilah kita memikirkan paradoks zaman kuno yang menjadi pembuka catatan ini, “Bisakah Tuhan membuat batu yang begitu berat, sehingga Tuhan sendiri tidak kuat mengangkatnya?”

Stephen Hawking memikirkan pertanyaan itu ketika dia menulis A Brief History of Time. Dan sekarang, saya ingin memikirkan pertanyaan yang sama dalam wujud yang berbeda, “Bisakah Tuhan menciptakan dunia yang kacau, sebegitu kacaunya sehingga Tuhan tak bisa lagi mengaturnya?”

....
....

Dua ribu tahun yang lalu, seorang lelaki di Bukit Yudea ditanya murid-muridnya, “Guru, mengapa Guru suka menggunakan analogi untuk menjelaskan sesuatu?”

Dan Yesus, sang Guru, menjawab, “Karena mereka yang melihat sesungguhnya tidak melihat, karena mereka yang mendengar sesungguhnya tidak mendengar.”

Lima ratus tahun kemudian, seorang lelaki lain di Tanah Arabia ditanya para sahabatnya, “Apa yang engkau sedihkan atas manusia, ya Rasul?”

Dan Muhammad, sang Rasul, menjawab, “Karena mereka dikaruniai mata tapi tidak melihat, mereka dikaruniai telinga tapi tidak mendengar.”


Catatan:
Sumber referensi untuk posting panjang ini dapat dilihat di sini.

Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global (16)

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan, sebaiknya jangan baca catatan ini sebelum membaca catatan sebelumnya.

***

Selain percakapan yang terjadi antara dua profesor di atas, e-mail lain yang juga dibobol adalah e-mail yang berasal dari Tim Osborn, salah seorang profesor lainnya di CRU. Dalam e-mail-nya, Profesor Osborn berdiskusi dengan rekannya mengenai cara memotong data untuk menyembunyikan tren penurunan suhu iklim global. Kemudian, dalam e-mail lainnya, terlihat Profesor Mann meminta Profesor Osborn agar tidak mem-forward data yang dikirimnya kepada orang lain, karena data itu mengkonfirmasi teori para peneliti global yang tidak bersepakat atas adanya pemanasan global.

Yang bikin merinding, salah satu e-mail yang “kebobolan” itu juga berisi komentar mengenai kematian John L. Daly, seorang peneliti yang menentang teori pemanasan global. Komentar itu berbunyi, “Dengan cara yang aneh, sebenarnya berita itu (kematian John L. Daly) adalah berita yang menggembirakan.”

Para pecandu konspirasi sedunia pun bersorak dan merayakannya!

So, atas perkembangan baru yang jelas-jelas busuk itu, Senator James Inhofe yang terkenal anti pemanasan global telah menuntut Kongres Amerika untuk menyelidiki Pennsylvania State University dan beberapa universitas lain, yang diketahui terlibat dalam pemalsuan data tersebut. Karena besarnya jumlah e-mail yang dibobol, isi kumpulan e-mail itu pun akan diperiksa lebih lanjut oleh para peneliti lainnya untuk menemukan bukti kebohongan lainnya.

Itu bukan kisah pertama bagaimana terkuaknya praktik ilmu pengetahuan ngawur yang berhasil diungkap seorang hacker, karena sebelumnya ada hacker lain bernama Gary McKinnon yang berhasil membobol jaringan komputer milik NASA, Departemen Pertahanan dan Militer Amerika, yang juga mengungkapkan bahwa UFO hanyalah isapan jempol.

Tetapi implikasi atas terkuaknya kebohongan UFO tidak ada apa-apanya dibanding implikasi atas terkuaknya kebohongan di balik teori pemanasan global. Hingga Andrew Bolt dan para penulis/ilmuwan lain menyatakan bahwa skandal ini bisa menjadi skandal terbesar dalam sejarah sains modern.

Selain terbongkarnya pemalsuan data melalui e-mail yang dibobol hacker di atas, konspirasi atas teori pemanasan global juga terjadi di situs Wikipedia. Para sukarelawan di Wikipedia dihebohkan ketika pada 2009 terjadi penghapusan atas 5.000 (lima ribu) entri di Wikipedia yang berisi teori yang menentang isu pemanasan global. Penghapusan itu dilakukan oleh seorang sukarelawan—siapa pun dia, kita tentu bisa memperkirakan motivasinya.

Skandal, kecurangan, dan kebohongan, yang mengikuti isu pemanasan global sepertinya tak pernah berhenti. Setelah dibobolnya percakapan e-mail di atas, dan setelah bocornya Dokumen Danish Text (berisi rencana penguasaan monopoli beberapa negara maju) yang menjadikan negara-negara berkembang memboikot Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim di Kopenhagen 2009, giliran IPCC yang—lagi-lagi—terbongkar berbuat kecurangan.

Dalam laporannya mengenai salju di Himalaya, IPCC ketahuan telah memanipulasi data dengan menyatakan salju di Himalaya akan mencair total pada tahun 2035. Ketua IPCC, R.K. Pachauri, sudah meminta maaf atas “keteledoran” itu.

Tetapi gara-gara terbongkarnya kecurangan itu pula, pemerintah India—melalui kementerian lingkungan hidup—merilis pernyataan yang menginginkan penelitian independen atas kondisi salju di Himalaya. Data yang digunakan pemerintah India saat ini adalah data yang berasal dari para peneliti barat, yang salah satunya dari IPCC.

Dalam hal ini, negara-negara berkembang (apalagi terbelakang) memang menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka tidak memiliki pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan (yang diakui dunia) untuk melakukan penelitian di negerinya sendiri. Sementara di sisi lain, jika mereka mengandalkan peneliti dari negara maju, mereka rentan dimanipulasi atau bahkan ditipu.

Belum pudar ingatan orang pada kecurangan IPCC atas kasus yang kemudian disebut Himalaya-gate itu, IPCC kembali membuat “onar”. Kali ini, mereka ketahuan merilis laporan palsu, yang menyatakan bahwa 40 persen hutan Amazon akan lenyap karena pemanasan global. Konyolnya, laporan (yang terkesan ilmiah) itu ternyata berasal dari sebuah pamflet WWF yang dibuat oleh aktivis lingkungan, bukan dari hasil penelitian 3.000 ilmuwan yang ada di IPCC.

Yang lebih konyol lagi, setelah diteliti, laporan aktivis dalam pamflet yang dipalsukan IPCC itu tidak menyatakan bahwa 40 persen hutan Amazon akan lenyap karena pemanasan global, melainkan karena ilegal logging.

Karena begitu banyaknya skandal, kebohongan, sekaligus kecurangan, yang telah dilakukan oleh IPCC sejauh ini, sampai-sampai sekarang hampir tidak ada ilmuwan atau peneliti yang cukup waras untuk menggunakan data IPCC sebagai basis penelitian mereka.

Lanjut ke sini.

Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global (15)

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan, sebaiknya jangan baca catatan ini sebelum membaca catatan sebelumnya.

***

Penemuan atau bahkan kemajuan ilmu pengetahuan (sains) sangat tergantung pada data yang lengkap sekaligus akurat, tak terkecuali sains pemanasan global. Namun, seperti yang dapat kita lihat dari pemaparan panjang lebar ini, teori pemanasan global (sebagaimana yang diisukan sekarang) penuh bolong-bolong yang mencurigakan, bahkan kecurangan dan kebohongan nyata. Tapi itu saja belum cukup—karena akhirnya juga terkuak bahwa isu ini memang dibangun di atas konspirasi yang bikin muntah.

Sejujurnya, saya bukan pecandu teori konspirasi, bahkan kerap tertawa kalau membaca teori-teori berbau konspirasi yang (sering kali) ngawur. Tetapi isu pemanasan global memang dibangun di atas konspirasi, dan buktinya tak bisa dibantah lagi.

Pada hari Kamis, 19 November 2009, seorang hacker anonim berhasil meretas kumpulan e-mail dari server Climate Research Unit (CRU) di University of East Anglia (UAE) di Inggris, dan mendapatkan 160 megabytes data dan kumpulan komunikasi. Data-data dalam e-mail yang diretas itu berisi percakapan yang terjadi antara para peneliti utama di sana sejak tahun 1997 hingga sekarang, dan terbukti adanya manipulasi atas data-data pemanasan global.

Seperti kita tahu, Climate Research Unit di University of East Anglia adalah organisasi peneliti pemanasan global terkemuka di dunia, dan merekalah yang selama ini menyuplai semua informasi dan tetek-bengek mengenai pemanasan global ke IPCC dan seluruh dunia. Sepertinya, Indonesia juga mendapatkan data-data mengenai isu tersebut dari sana. Sementara hacker yang berhasil menjebol komputer mereka, diperkirakan beberapa pihak, adalah agen intelijen Rusia.

Kumpulan e-mail itu lalu diterbitkan di internet, dan si hacker menggunakan nama “FOIA”. Dalam banyak e-mail tersebut, terlihat bahwa para peneliti pro pemanasan global bersepakat untuk menutupi data pemanasan global yang tidak sesuai dengan klaim mereka. Kumpulan e-mail itu telah dikonfirmasikan pada pihak CRU, dan mereka mengakui kalau isi e-mail yang muncul di internet serta media massa tersebut memang berasal dari server mereka.

Dalam salah satu e-mail yang diperoleh si hacker, terlihat percakapan antara Profesor Phil Jones, kepala CRU, dan Profesor Michael E. Mann dari Pennsylvania State University. Dua orang itu adalah pendukung utama Al Gore dalam isu pemanasan global. Dalam salah satu percakapannya, Profesor Jones mengusulkan kepada Profesor Mann untuk melakukan “trik” dengan mengubah data iklim di setiap seri, untuk menyembunyikan adanya penurunan temperatur global.

Dalam e-mail itu tertulis kata-kata Profesor Jones, “Saya baru saja menggunakan trik dari Mike untuk menambahkan data baru di data yang sebenarnya, dari setiap seri dalam 20 tahun terakhir dan dari tahun 1961, untuk menyembunyikan penurunan (temperatur).”

Dalam e-mail yang lain, Profesor Jones juga mengatakan bahwa ia lebih baik menghapus data-data yang tidak sesuai dengan klaim mereka, daripada mengirim data tersebut ke peneliti lain. Profesor Jones juga mendorong Profesor Mann untuk melakukan hal yang sama.

Ketika skandal itu terbongkar, Profesor Mann diwawancarai oleh New York Times, dan dia menjelaskan bahwa “para ilmuwan biasa menggunakan kata ‘trik’ untuk merujuk kepada cara terbaik dalam menyelesaikan sebuah masalah, dan tidak berarti sesuatu yang rahasia.” Halloowww...???

Seiring dengan terbongkarnya skandal itu, CRU juga mendapatkan banyak kritikan karena menolak untuk merilis data yang digunakan dalam membuat laporan sejarah mengenai temperatur permukaan bumi. Permintaan dari peneliti dan ilmuwan lainnya selalu ditolak, dan mereka—sebagai alasan—menyatakan bahwa data orisinal yang digunakan sudah hilang. Oh, well, kalian tahu apa maksudnya.

Lanjut ke sini.

Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global (14)

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan, sebaiknya jangan baca catatan ini sebelum membaca catatan sebelumnya.

***

Dan mereka menyatakan bahwa penggunaan energi listrik yang dapat diperbarui (semisal kincir angin dan matahari) tidak akan menimbulkan kerugian ekonomi, karena harganya lebih murah. Inilah bukti pernyataan omong kosong yang tidak didasari fakta valid.

Salah satu pengguna energi listrik berbasis batubara terbesar di dunia adalah Australia. Jika negara ini diminta untuk mengganti energi batubara yang mereka gunakan saat ini, maka industri di Australia—yaitu pertambangan, pengolahan metal, pertanian, dan pengolahan makanan—akan mengalami kematian. Dan mengenai harga energi tersebut, sekarang kita lihat faktanya.

Energi berbasis batubara di Australia seharga 30 dolar sampai 40 dolar per megawatt jam (MWh). Sementara energi listrik berbasis nuklir, harganya dua kali lipat dari itu, yaitu 70 dolar sampai 80 dolar per MWh. Harga energi listrik berbasis kincir angin jauh lebih mahal, yaitu 80 dolar sampai 130 dolar per MWh—itu pun hanya akan menyala jika ada angin bertiup. Kemudian, energi listrik berbasis matahari memiliki harga 300 dolar sampai 500 dolar per MWh, dan tersedia hanya jika matahari bersinar.

Jadi, sungguh sangat absurd jika para pendukung isu pemanasan global menyatakan bahwa penggunaan energi dengan sumber semisal kincir angin dan matahari jauh lebih murah dan tidak menimbulkan kerugian. Faktanya sama sekali tidak seperti itu, dan fakta selalu berbicara jauh lebih keras dari pernyataan apa pun.

....
....

Sekarang, fellas, kita sampai pada pertanyaan inti sekaligus paling penting dari semua uraian panjang lebar ini. Benarkah pemanasan global itu ada? Jawabannya, ya… ada. Tetapi pemanasan global bukan hanya terjadi pada masa sekarang, dan penyebabnya pun bukan karena ulah manusia, namun semata-mata karena gejala alam. Ini tak jauh beda dengan musim dingin dan musim panas, atau musim kemarau dan musim hujan—suatu siklus alam yang kadang datang sewaktu-waktu.

So, pemanasan global adalah fenomena yang alamiah, dan tidak tergantung pada berapa banyak—atau berapa sedikit—karbondioksida yang dibuat manusia. Isu atau teori pemanasan global, sebagaimana yang digembar-gemborkan saat sekarang, menurut Steven Milloy, “adalah induk dari segala ilmu pengetahuan sampah!”

Suhu dan iklim bumi yang berubah-ubah sama sekali tidak ada hubungannya dengan tingkat karbon yang dihasilkan manusia atau hewan, karena semuanya adalah proses alamiah. Pada tahun 1998, misalnya, suhu bumi memanas, tapi kemudian turun lagi. Itu fenomena biasa, karena alam memiliki aturan mainnya sendiri.

Dalam KTT Kopenhagen, Desember 2009, beberapa negara peserta konferensi menyatakan bahwa kita harus berusaha mencegah suhu bumi naik 2 derajat Celcius. Karena, menurut mereka, peningkatan sebesar 2 derajat Celcius akan membawa dampak yang berbahaya bagi umat manusia.

Kedengarannya hebat. Tapi mungkin mereka lupa bahwa pada abad ke-9 hingga abad ke-13, suhu bumi bahkan lebih panas 4 derajat Celcius dibanding saat ini. Periode pemanasan itu disebut Medieval Warm Period. Pada waktu itu belum ada produksi karbon besar-besaran seperti sekarang. Medieval Warm Period itu kemudian berakhir pada tahun 1300, dan bumi mulai mendingin secara drastis. Periode dingin itu disebut Little Ice Age, dan berlangsung selama 500 tahun. Kemudian, pada tahun 1850, suhu bumi kembali naik. Intinya, bumi punya aturan mainnya sendiri.

Karena itu, klaim yang menyatakan bahwa karbondioksida yang diproduksi manusia menjadi penyebab adanya pemanasan global, atau pernyataan bahwa pemanasan global mengakibatkan berbagai bencana alam dan sebagainya, jelas menunjukkan itu hanya klaim dan pernyataan tak berdasar, atau dapat dicurigai sebagai upaya pembodohan.

Lanjut ke sini.

Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global (13)

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan, sebaiknya jangan baca catatan ini sebelum membaca catatan sebelumnya.

***

Berdasarkan pengukuran satelit, peningkatan ketinggian permukaan laut global dalam satu dekade terakhir adalah sebesar 3,1 milimeter per tahun, atau sedikit di atas 30 sentimeter dalam satu abad atau seratus tahun. Namun, hasil-hasil pengukuran satelit juga menunjukkan adanya variasi yang cukup besar. Ketinggian permukaan laut di kawasan Pasifik Utara dinyatakan meningkat, sedangkan untuk kawasan Pasifik Selatan justru dinyatakan menurun beberapa milimeter dalam tahun-tahun terakhir.

Pada 11 sampai 12 Januari 2006, dalam pertemuan di Sidney, Alliance of Small Island States (AOSIS) mengklaim bahwa pemanasan global menyebabkan permukaan air laut meningkat, dan pulau-pulau mereka kini berada di bawah permukaan air. Untuk itu, mereka menyampaikan permintaan khusus kepada pemerintah Australia untuk memberikan visa permanen kepada warga negara di daerah itu. Klaim serta permintaan tersebut dilatarbelakangi oleh “penelitian” yang dilakukan oleh—lagi-lagi—IPCC.

Faktanya, tidak ada bukti yang mendukung klaim ataupun latar belakang klaim mereka. The South Pacific Sea Level and Monitoring Project menemukan tidak adanya bukti kenaikan permukaan air laut.

Dalam laporannya, IPCC menyatakan bahwa pulau Maldive di samudera Hindia berisiko atas kenaikan permukaan air laut yang dipercepat oleh pemanasan global. Ketika laporan pernyataan itu diteliti dan diverifikasi, ditemukan bukti kuat bahwa permukaan air laut di pulau Maldive justru turun selama 30 tahun terakhir. Pada masa lampau, permukaan air laut di sana memang pernah meninggi, namun pulau tersebut beserta penghuninya selamat dari permukaan air laut.

Selain itu, fakta penting yang tidak pernah diungkapkan IPCC atas hal itu adalah bahwa pulau Maldive berada di dekat perbatasan lapisan kerak bumi, yang pergerakannya ikut mempengaruhi naik turunnya pulau tersebut terhadap permukaan air laut.

Para pendukung isu pemanasan global menyatakan bahwa kenaikan permukaan air laut disebabkan oleh mencairnya es kutub, dan karena itu permukaan air laut juga meningkat. Tampaknya mereka tidak paham bahwa es Arktik mengapung di laut Arktik, yang menghasilkan perbedaan kecil apakah itu berada pada bentuk es atau bentuk cair. Bentuk es (padat) mempunyai kepadatan 90 persen dari bentuk cair, dan mengapung di dalam air.

Kapan pun kita menyaksikan tayangan di televisi mengenai kenaikan permukaan air laut, kita melihat bahwa gunung es lahir dari retakan lapisan es—bukan mencairnya es. Kemudian, pengamatan satelit pada lapisan es di Greenland menunjukkan adanya penebalan es, dan bukannya pengurangan. Selain itu, lapisan es di Antartika juga ada dalam kondisi seimbang.


Mengganti energi listrik dengan sumber yang dapat diperbarui

Ini usul yang terus dipopulerkan oleh para pendukung isu pemanasan global, yaitu agar dunia mengganti semua pembangkit listrik dengan sumber yang dapat diperbarui, seperti kincir angin, tenaga matahari, atau bahkan tenaga nuklir, karena menurut mereka hal itu akan lebih ramah lingkungan serta tidak akan menyebabkan kerugian ekonomi. Isu yang kembali terangkat dalam hal itu tentu dekarbonisasi.

Di satu sisi, hal itu benar secara teoritis. Artinya, jika kita semua mau naik sepeda atau jalan kaki dan bukannya membawa sepeda motor atau mobil, jika kita rela listrik hanya menyala ketika angin sedang bertiup atau ketika ada matahari, dan jika kita rela untuk menjalani hidup seperti zaman nenek moyang dulu di gua-gua, maka kita semua memang masih akan dapat hidup dan bekerja, meski mungkin akan kesulitan beraktivitas di malam hari karena gelap gulita.

Tetapi bukankah itu konyol…? Sementara peradaban dunia terus membawa kita ke masa depan, segelintir orang sok pintar yang mengembuskan isu pemanasan global malah mengajak kita untuk kembali ke zaman prasejarah.

Lanjut ke sini.

Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global (12)

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan, sebaiknya jangan baca catatan ini sebelum membaca catatan sebelumnya.

***

Apakah kita tahu berapa jumlah spesies yang ada di planet bumi? Tidak seorang pun tahu! Namun, berdasarkan perkiraan, jumlah total spesies yang ada di planet ini berkisar antara tiga juta hingga seratus juta. Tetapi itu hanya perkiraan—tak seorang pun dapat memastikan. So, bagaimana orang bisa meramalkan akan ada sekian banyak spesies yang akan punah jika tidak mengetahui secara pasti berapa banyak spesies yang ada?

Sekarang kita akan melihat salah satu kekonyolan yang terjadi dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia hewan. Beginilah cara mereka menghitung jumlah spesies, dan berapa spesies hewan yang lenyap dari muka bumi. Seseorang (yang sok pintar) menandai sehektar lahan, lalu menghitung semua serangga dan hewan serta tumbuhan yang ada di lahan itu. Kemudian, dia kembali lagi ke tempat itu sepuluh tahun berikutnya, dan melakukan penghitungan ulang.

Tentu saja, kemungkinan besar serangga dan hewan-hewan yang dulu ada di sana sudah mati atau berpindah ke lahan lain. Nah, dari situlah kemudian orang tersebut menghasilkan kesimpulan mengenai berapa banyak spesies yang telah punah dari muka bumi. Ini tentu saja sangat konyol, karena bagaimana mungkin kita dapat menghitung semua hewan yang ada dalam sehektar lahan? Sangat sulit, dan hasilnya pasti tidak akan akurat.

L. Marjorie, dalam Understanding and Protecting our Biological Resources, menulis, “Para ahli biologi akhirnya menyadari betapa minimnya pengetahuan kita tentang organisme lain penghuni planet bumi ini. Berbagai usaha untuk mengetahui jumlah total spesies yang ada terbukti sia-sia.”


Gletser-gletser di dunia akan meleleh dan mencair

Entah bagaimana caranya, para pendukung isu pemanasan global sangat yakin bahwa semua gletser di dunia meleleh dan mencair. Faktanya, memang ada gletser yang mencair, tapi lebih banyak yang tidak! Dan, omong-omong, kenapa mereka bersikap seolah-olah jumlah gletser di dunia hanya selusin?

Di dunia ini, ada lebih dari 160.000 gletser. Di California saja, ada 479 gletser banyaknya. Dari seratus enam puluh ribu gletser yang ada di dunia, baru ada sekitar 67.000 di antaranya yang sudah dipetakan, namun baru sedikit yang telah diteliti secara mendalam. Dalam lima tahun terakhir, baru terkumpul data atas 79 gletser yang ada di seluruh dunia. Jadi, bagaimana orang-orang itu bisa menyatakan bahwa semua gletser di dunia ini meleleh?

Oke, gletser di puncak Kilimanjaro memang meleleh. Tetapi itu bukan karena pemanasan global. Sebenarnya bahkan gletser Kilimanjaro sudah meleleh sejak tahun 1800-an, jauh-jauh hari sebelum lahirnya isu pemanasan global, jauh sebelum kadar CO2 meningkat di bumi. Hilangnya gletser Kilimanjaro tersebut bahkan telah menjadi pembicaraan akademik selama lebih dari dua abad. Fenomena itu juga masih menjadi misteri, karena Kilimanjaro adalah gunung berapi di garis Khatulistiwa yang ada di wilayah hangat.

So, berdasarkan penilaian yang objektif, melelehnya gletser di Kilimanjaro terjadi karena adanya penggundulan hutan. Hutan tropis yang ada di kaki gunung Kilimanjaro terus ditebang secara membabi-buta, sehingga angin yang bertiup ke puncak gunung itu tidak lagi lembap. Para pakar memperkirakan, kalau kawasan itu dihijaukan lagi, gletser di sana akan muncul kembali.

Dalam majalah Nature, edisi 24 November 2003, Betsy Mason menulis artikel berjudul African Ice Under Wraps. Dalam artikelnya itu ia menyatakan, “Meskipun kita tergoda untuk menyalahkan pemanasan global sebagai penyebab hilangnya lapisan es, para peneliti berpendapat bahwa penggundulan hutan di lereng gunung Kilimanjaro-lah yang menjadi penyebabnya.”


Permukaan air laut semakin meninggi

Ini juga menjadi salah satu jualan para pendukung isu pemanasan global. Karena adanya perubahan iklim yang memanas, kata mereka, maka permukaan air laut terus meninggi akibat mencairnya es di kutub.

Oh, well, faktanya permukaan air laut memang semakin tinggi. Tapi kenyataan itu sudah terjadi selama enam ribu tahun terakhir, tepatnya sejak awal zaman Holocene. Jadi itu sama sekali bukan fenomena baru. Permukaan air laut semakin meningkat dengan kecepatan sekitar 10 hingga 20 sentimeter atau 4 sampai 8 inci, per seratus tahun. Saya ulangi, per seratus tahun!

Lanjut ke sini.

Pembodohan Massal Bernama Isu Pemanasan Global (11)

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan, sebaiknya jangan baca catatan ini sebelum membaca catatan sebelumnya.

***

Balik ke es di kutub. Berdasarkan data NSIDC (National Snow and Ice Data Center), luas es di Arktik atau Kutub Utara pada bulan Desember 2009 adalah 12.480.000 kilometer persegi. Tiga tahun sebelumnya, pada Desember 2006, luas daratan es di sana hanya 12.270.000 kilometer persegi. Artinya, dalam waktu tiga tahun, permukaan es di Arktik bertambah luas 210.000 kilometer persegi. Pada Desember 2012, diperkirakan permukaan es di sana akan bertambah luas.

Jadi atas dasar apa menggembar-gemborkan es di Kutub Utara terus menyusut?


Jumlah beruang kutub terus berkurang dan akan punah

Para pendukung isu pemanasan global menyatakan bahwa es di Arktik berkurang, yang dapat dibuktikan dengan terus menyusutnya jumlah beruang kutub yang ada di sana. Karena pemanasan global, jumlah beruang kutub pun menyusut dan diperkirakan akan punah. Benarkah itu? Kita sudah melihat faktanya di atas, bahwa Kutub Utara maupun Kutub Selatan sama sekali tidak berkurang!

Begitu pula dengan populasi beruang kutub. Faktanya, jumlah beruang kutub terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1950-an, jumlah beruang kutub hanya sekitar 5.000 sampai 10.000 individu. Pada tahun 2009, jumlah itu membengkak hingga menjadi 20.000 sampai 25.000 individu. Kita bisa menemukan fakta ini di website yang kredibel dan terpercaya seperti polarbearsinternational.org yang kebenaran keterangannya bahkan telah dikonfirmasi oleh para pendukung pemanasan global.

Pada tahun 1960-an, populasi beruang kutub memang menyusut drastis. Tetapi itu terjadi akibat perburuan yang berlebihan, dan sama sekali bukan disebabkan karena menyusutnya es di sana. Ketika perburuan itu dilarang pada tahun 1970-an, populasi beruang kutub pun meningkat, sebagaimana yang disebutkan di atas. Dari tahun ke tahun, memang ada beberapa beruang kutub yang tenggelam. Tetapi, sekali lagi, hal itu tidak disebabkan karena hancurnya es, melainkan karena badai.

Sebanyak 70 persen populasi beruang kutub hidup di luar Arktik, salah satunya di Greenland, Kanada, yang penuh salju. Para penduduk yang tinggal di Greenland menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah beruang kutub telah sampai pada taraf mengganggu para penduduk lokal. Jadi, dari mana sebenarnya sumber yang menyatakan beruang kutub menyusut jumlahnya?

Jika kita mempelajari data yang dirilis WWF, disebutkan bahwa hanya ada 2 jenis beruang kutub—atau 16,4 persen dari keseluruhan populasi—yang menurun. Namun, 10 jenis atau 45,4 persen dinyatakan stabil. Sedangkan 2 populasi lainnya—yang membentuk 13,6 persen populasi—meningkat. Kombinasi itu memang menunjukkan jumlah yang menurun, namun sebenarnya tidak, karena kenyataannya jumlah beruang kutub telah meningkat drastis dari populasi tahun 1950.

Selain beruang kutub, para pendukung isu pemanasan global juga sering meramalkan kepunahan hewan-hewan lain yang diakibatkan perubahan iklim. Pada tahun 1970-an, misalnya, Norman Myers memprediksi lima puluh persen spesies binatang akan punah menjelang tahun 2000. Sementara Paul Ehrlich memprediksi lima puluh persen spesies hewan akan punah menjelang tahun 2000.

Tapi itu hanya opini yang pada akhirnya tak pernah terbukti. Dan pendapat atau opini yang tidak didasari bukti hanyalah sebentuk asumsi. Dan asumsi, kau tahu, selalu berakhir di tong sampah.

Lanjut ke sini.

 
;