Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan, sebaiknya jangan baca catatan ini sebelum membaca catatan sebelumnya.
Dr. Benny Peiser dari John Moores University di Liverpool memutuskan untuk memferivikasi studi tersebut. Berdasarkan ferivikasinya, dia menemukan bahwa pencarian pada ISI database menggunakan keyword “climate change” dari tahun 1993 sampai 2003 menunjukkan hampir 12.000 paper yang dipublikasikan tersebut dalam katagori “dipertanyakan”. Artinya, studi yang digunakan Dr. Naomi Orekes di atas sama sekali tidak dapat dijadikan pijakan.
Setelah mengetahui kecurangannya terungkap, Dr. Naomi Orekes kemudian menyatakan bahwa dia menggunakan keyword “global climate change”. Sekali lagi pernyataan itu diferivikasi, dan hasilnya menunjukkan bahwa paper yang memuat kata kunci itu hanya sebanyak 1.247 buah. Dari sejumlah 1.247 paper tersebut, hanya sejumlah 1.117 yang telah diabstrakkan, dan dari 1.117 abstrak itu hanya ada 13 paper (atau hanya 1 persen) yang secara eksplisit mendukung “pandangan konsensus”.
Sebanyak 34 abstrak yang mendukung pandangan bahwa manusia adalah pendorong utama “pemanasan selama lebih dari 50 tahun pengamatan” dinyatakan—secara akademik—“ditolak” atau “dipertanyakan”.
Dr. Naomi Orakes bersikukuh dan menyatakan “tidak ada satu pun paper yang menentang adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini”. Tetapi, faktanya, sebanyak 44 paper dengan jelas menekankan bahwa faktor alam yang memiliki peranan penting atas perubahan iklim yang terjadi saat ini, atau bahkan merupakan kunci utama terjadinya perubahan iklim saat ini—bukan karena faktor manusia seperti yang digembar-gemborkan para pendukung isu pemanasan global.
Dr. Benny Peiser kemudian menuliskan hasil investigasinya yang membuktikan kecurangan studi Dr. Naomi Orakes, lalu mengirimkannya kepada jurnal Science. Dan, percaya atau tidak, Science menolak mempublikasikannya.
Atas ribut-ribut dan polemik akademik itu, Hendrik Tennekes, ahli fisika turbulensi dunia yang baru pensiun dari Director of Research, Royal Netherlands Meteorological Institute, menyatakan, “Kekolotan para ahli climate menyebabkan kesalahpahaman—seperti yang dilakukan IPCC—tentang dasar ilmiah Climate Change. Karena itu, saya merespon ideologi itu dengan menyatakan bahwa tidak mungkin fisika dapat menghasilkan dasar ilmiah yang dapat diterima secara universal untuk digunakan dalam mengambil kebijakan tentang climate change.”
Sementara Profesor Garth Paltridge dari Australia, ilmuwan terkemuka yang telah pensiun dari jabatannya sebagai Director of the Antarctic CRC and IASOS di University of Tasmania, menyatakan, “Tiap laporan (IPCC Assessment Report) diutarakan dengan cara tertentu agar tampak lebih meyakinkan—dibandingkan laporan terakhir—bahwa pemanasan rumah kaca berpotensi menyebabkan bencana kemanusiaan. Keyakinan itu tidak berasal dari cabang ilmu mana pun. Dan itu merupakan bukti betapa kuatnya pernyataan tentang global warming diutarakan tanpa mendapat sanggahan dari komunitas ilmuwan.”
“Selama bertahun-tahun,” lanjut Profesor Garth Paltridge, “opini dari komunitas itu telah dimanipulasi, setidak-tidaknya mendukung secara pasif kampanye untuk mengisolasi—dan tentu saja memperburuk—keraguan ilmiah di luar pusat aktivitas IPCC. Audiens telah diposisikan untuk menerima. Dengan demikian mereka secara bertahap menjadi lebih mudah untuk menjual bencana efek rumah kaca.”
Efek rumah kaca—inilah yang terus-menerus dijadikan semacam “kata kunci” bagi para pendukung isu pemanasan global, dengan menyalahkan manusia yang mereka tuduh terus-menerus memproduksi karbondioksida. Mereka menyatakan bahwa emisi anthropogenik CO2 dan penyebab global warming yang lain bertanggung jawab tidak hanya pada peningkatan temperatur dan kekeringan, tapi juga terhadap meningkatnya badai salju, salju yang tidak pada musimnya, dan cuaca yang membekukan, selain juga meningkatnya jumlah angin topan.
Lanjut ke sini.
***
Dr. Benny Peiser dari John Moores University di Liverpool memutuskan untuk memferivikasi studi tersebut. Berdasarkan ferivikasinya, dia menemukan bahwa pencarian pada ISI database menggunakan keyword “climate change” dari tahun 1993 sampai 2003 menunjukkan hampir 12.000 paper yang dipublikasikan tersebut dalam katagori “dipertanyakan”. Artinya, studi yang digunakan Dr. Naomi Orekes di atas sama sekali tidak dapat dijadikan pijakan.
Setelah mengetahui kecurangannya terungkap, Dr. Naomi Orekes kemudian menyatakan bahwa dia menggunakan keyword “global climate change”. Sekali lagi pernyataan itu diferivikasi, dan hasilnya menunjukkan bahwa paper yang memuat kata kunci itu hanya sebanyak 1.247 buah. Dari sejumlah 1.247 paper tersebut, hanya sejumlah 1.117 yang telah diabstrakkan, dan dari 1.117 abstrak itu hanya ada 13 paper (atau hanya 1 persen) yang secara eksplisit mendukung “pandangan konsensus”.
Sebanyak 34 abstrak yang mendukung pandangan bahwa manusia adalah pendorong utama “pemanasan selama lebih dari 50 tahun pengamatan” dinyatakan—secara akademik—“ditolak” atau “dipertanyakan”.
Dr. Naomi Orakes bersikukuh dan menyatakan “tidak ada satu pun paper yang menentang adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini”. Tetapi, faktanya, sebanyak 44 paper dengan jelas menekankan bahwa faktor alam yang memiliki peranan penting atas perubahan iklim yang terjadi saat ini, atau bahkan merupakan kunci utama terjadinya perubahan iklim saat ini—bukan karena faktor manusia seperti yang digembar-gemborkan para pendukung isu pemanasan global.
Dr. Benny Peiser kemudian menuliskan hasil investigasinya yang membuktikan kecurangan studi Dr. Naomi Orakes, lalu mengirimkannya kepada jurnal Science. Dan, percaya atau tidak, Science menolak mempublikasikannya.
Atas ribut-ribut dan polemik akademik itu, Hendrik Tennekes, ahli fisika turbulensi dunia yang baru pensiun dari Director of Research, Royal Netherlands Meteorological Institute, menyatakan, “Kekolotan para ahli climate menyebabkan kesalahpahaman—seperti yang dilakukan IPCC—tentang dasar ilmiah Climate Change. Karena itu, saya merespon ideologi itu dengan menyatakan bahwa tidak mungkin fisika dapat menghasilkan dasar ilmiah yang dapat diterima secara universal untuk digunakan dalam mengambil kebijakan tentang climate change.”
Sementara Profesor Garth Paltridge dari Australia, ilmuwan terkemuka yang telah pensiun dari jabatannya sebagai Director of the Antarctic CRC and IASOS di University of Tasmania, menyatakan, “Tiap laporan (IPCC Assessment Report) diutarakan dengan cara tertentu agar tampak lebih meyakinkan—dibandingkan laporan terakhir—bahwa pemanasan rumah kaca berpotensi menyebabkan bencana kemanusiaan. Keyakinan itu tidak berasal dari cabang ilmu mana pun. Dan itu merupakan bukti betapa kuatnya pernyataan tentang global warming diutarakan tanpa mendapat sanggahan dari komunitas ilmuwan.”
“Selama bertahun-tahun,” lanjut Profesor Garth Paltridge, “opini dari komunitas itu telah dimanipulasi, setidak-tidaknya mendukung secara pasif kampanye untuk mengisolasi—dan tentu saja memperburuk—keraguan ilmiah di luar pusat aktivitas IPCC. Audiens telah diposisikan untuk menerima. Dengan demikian mereka secara bertahap menjadi lebih mudah untuk menjual bencana efek rumah kaca.”
Efek rumah kaca—inilah yang terus-menerus dijadikan semacam “kata kunci” bagi para pendukung isu pemanasan global, dengan menyalahkan manusia yang mereka tuduh terus-menerus memproduksi karbondioksida. Mereka menyatakan bahwa emisi anthropogenik CO2 dan penyebab global warming yang lain bertanggung jawab tidak hanya pada peningkatan temperatur dan kekeringan, tapi juga terhadap meningkatnya badai salju, salju yang tidak pada musimnya, dan cuaca yang membekukan, selain juga meningkatnya jumlah angin topan.
Lanjut ke sini.