Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan, sebaiknya jangan baca catatan ini sebelum membaca catatan sebelumnya.
Berdasarkan pengukuran satelit, peningkatan ketinggian permukaan laut global dalam satu dekade terakhir adalah sebesar 3,1 milimeter per tahun, atau sedikit di atas 30 sentimeter dalam satu abad atau seratus tahun. Namun, hasil-hasil pengukuran satelit juga menunjukkan adanya variasi yang cukup besar. Ketinggian permukaan laut di kawasan Pasifik Utara dinyatakan meningkat, sedangkan untuk kawasan Pasifik Selatan justru dinyatakan menurun beberapa milimeter dalam tahun-tahun terakhir.
Pada 11 sampai 12 Januari 2006, dalam pertemuan di Sidney, Alliance of Small Island States (AOSIS) mengklaim bahwa pemanasan global menyebabkan permukaan air laut meningkat, dan pulau-pulau mereka kini berada di bawah permukaan air. Untuk itu, mereka menyampaikan permintaan khusus kepada pemerintah Australia untuk memberikan visa permanen kepada warga negara di daerah itu. Klaim serta permintaan tersebut dilatarbelakangi oleh “penelitian” yang dilakukan oleh—lagi-lagi—IPCC.
Faktanya, tidak ada bukti yang mendukung klaim ataupun latar belakang klaim mereka. The South Pacific Sea Level and Monitoring Project menemukan tidak adanya bukti kenaikan permukaan air laut.
Dalam laporannya, IPCC menyatakan bahwa pulau Maldive di samudera Hindia berisiko atas kenaikan permukaan air laut yang dipercepat oleh pemanasan global. Ketika laporan pernyataan itu diteliti dan diverifikasi, ditemukan bukti kuat bahwa permukaan air laut di pulau Maldive justru turun selama 30 tahun terakhir. Pada masa lampau, permukaan air laut di sana memang pernah meninggi, namun pulau tersebut beserta penghuninya selamat dari permukaan air laut.
Selain itu, fakta penting yang tidak pernah diungkapkan IPCC atas hal itu adalah bahwa pulau Maldive berada di dekat perbatasan lapisan kerak bumi, yang pergerakannya ikut mempengaruhi naik turunnya pulau tersebut terhadap permukaan air laut.
Para pendukung isu pemanasan global menyatakan bahwa kenaikan permukaan air laut disebabkan oleh mencairnya es kutub, dan karena itu permukaan air laut juga meningkat. Tampaknya mereka tidak paham bahwa es Arktik mengapung di laut Arktik, yang menghasilkan perbedaan kecil apakah itu berada pada bentuk es atau bentuk cair. Bentuk es (padat) mempunyai kepadatan 90 persen dari bentuk cair, dan mengapung di dalam air.
Kapan pun kita menyaksikan tayangan di televisi mengenai kenaikan permukaan air laut, kita melihat bahwa gunung es lahir dari retakan lapisan es—bukan mencairnya es. Kemudian, pengamatan satelit pada lapisan es di Greenland menunjukkan adanya penebalan es, dan bukannya pengurangan. Selain itu, lapisan es di Antartika juga ada dalam kondisi seimbang.
Mengganti energi listrik dengan sumber yang dapat diperbarui
Ini usul yang terus dipopulerkan oleh para pendukung isu pemanasan global, yaitu agar dunia mengganti semua pembangkit listrik dengan sumber yang dapat diperbarui, seperti kincir angin, tenaga matahari, atau bahkan tenaga nuklir, karena menurut mereka hal itu akan lebih ramah lingkungan serta tidak akan menyebabkan kerugian ekonomi. Isu yang kembali terangkat dalam hal itu tentu dekarbonisasi.
Di satu sisi, hal itu benar secara teoritis. Artinya, jika kita semua mau naik sepeda atau jalan kaki dan bukannya membawa sepeda motor atau mobil, jika kita rela listrik hanya menyala ketika angin sedang bertiup atau ketika ada matahari, dan jika kita rela untuk menjalani hidup seperti zaman nenek moyang dulu di gua-gua, maka kita semua memang masih akan dapat hidup dan bekerja, meski mungkin akan kesulitan beraktivitas di malam hari karena gelap gulita.
Tetapi bukankah itu konyol…? Sementara peradaban dunia terus membawa kita ke masa depan, segelintir orang sok pintar yang mengembuskan isu pemanasan global malah mengajak kita untuk kembali ke zaman prasejarah.
Lanjut ke sini.
***
Berdasarkan pengukuran satelit, peningkatan ketinggian permukaan laut global dalam satu dekade terakhir adalah sebesar 3,1 milimeter per tahun, atau sedikit di atas 30 sentimeter dalam satu abad atau seratus tahun. Namun, hasil-hasil pengukuran satelit juga menunjukkan adanya variasi yang cukup besar. Ketinggian permukaan laut di kawasan Pasifik Utara dinyatakan meningkat, sedangkan untuk kawasan Pasifik Selatan justru dinyatakan menurun beberapa milimeter dalam tahun-tahun terakhir.
Pada 11 sampai 12 Januari 2006, dalam pertemuan di Sidney, Alliance of Small Island States (AOSIS) mengklaim bahwa pemanasan global menyebabkan permukaan air laut meningkat, dan pulau-pulau mereka kini berada di bawah permukaan air. Untuk itu, mereka menyampaikan permintaan khusus kepada pemerintah Australia untuk memberikan visa permanen kepada warga negara di daerah itu. Klaim serta permintaan tersebut dilatarbelakangi oleh “penelitian” yang dilakukan oleh—lagi-lagi—IPCC.
Faktanya, tidak ada bukti yang mendukung klaim ataupun latar belakang klaim mereka. The South Pacific Sea Level and Monitoring Project menemukan tidak adanya bukti kenaikan permukaan air laut.
Dalam laporannya, IPCC menyatakan bahwa pulau Maldive di samudera Hindia berisiko atas kenaikan permukaan air laut yang dipercepat oleh pemanasan global. Ketika laporan pernyataan itu diteliti dan diverifikasi, ditemukan bukti kuat bahwa permukaan air laut di pulau Maldive justru turun selama 30 tahun terakhir. Pada masa lampau, permukaan air laut di sana memang pernah meninggi, namun pulau tersebut beserta penghuninya selamat dari permukaan air laut.
Selain itu, fakta penting yang tidak pernah diungkapkan IPCC atas hal itu adalah bahwa pulau Maldive berada di dekat perbatasan lapisan kerak bumi, yang pergerakannya ikut mempengaruhi naik turunnya pulau tersebut terhadap permukaan air laut.
Para pendukung isu pemanasan global menyatakan bahwa kenaikan permukaan air laut disebabkan oleh mencairnya es kutub, dan karena itu permukaan air laut juga meningkat. Tampaknya mereka tidak paham bahwa es Arktik mengapung di laut Arktik, yang menghasilkan perbedaan kecil apakah itu berada pada bentuk es atau bentuk cair. Bentuk es (padat) mempunyai kepadatan 90 persen dari bentuk cair, dan mengapung di dalam air.
Kapan pun kita menyaksikan tayangan di televisi mengenai kenaikan permukaan air laut, kita melihat bahwa gunung es lahir dari retakan lapisan es—bukan mencairnya es. Kemudian, pengamatan satelit pada lapisan es di Greenland menunjukkan adanya penebalan es, dan bukannya pengurangan. Selain itu, lapisan es di Antartika juga ada dalam kondisi seimbang.
Mengganti energi listrik dengan sumber yang dapat diperbarui
Ini usul yang terus dipopulerkan oleh para pendukung isu pemanasan global, yaitu agar dunia mengganti semua pembangkit listrik dengan sumber yang dapat diperbarui, seperti kincir angin, tenaga matahari, atau bahkan tenaga nuklir, karena menurut mereka hal itu akan lebih ramah lingkungan serta tidak akan menyebabkan kerugian ekonomi. Isu yang kembali terangkat dalam hal itu tentu dekarbonisasi.
Di satu sisi, hal itu benar secara teoritis. Artinya, jika kita semua mau naik sepeda atau jalan kaki dan bukannya membawa sepeda motor atau mobil, jika kita rela listrik hanya menyala ketika angin sedang bertiup atau ketika ada matahari, dan jika kita rela untuk menjalani hidup seperti zaman nenek moyang dulu di gua-gua, maka kita semua memang masih akan dapat hidup dan bekerja, meski mungkin akan kesulitan beraktivitas di malam hari karena gelap gulita.
Tetapi bukankah itu konyol…? Sementara peradaban dunia terus membawa kita ke masa depan, segelintir orang sok pintar yang mengembuskan isu pemanasan global malah mengajak kita untuk kembali ke zaman prasejarah.
Lanjut ke sini.