...and they lived happily ever after.
—Kutipan Kuno
—Kutipan Kuno
Pada zaman dahulu kala....
(Oke, saya tahu, kata pembuka itu terdengar kuno. Tapi isi catatan ini memang kuno, jadi saya sengaja menulis kata pembuka kuno seperti itu. Well, kita ulangi.)
Pada zaman dahulu kala, ada seorang Putri yang ingin kawin. Sebegitu ngebetnya ingin kawin, Putri itu sampai menempelkan gambar dirinya di mana-mana. Di pohon-pohon, di tembok-tembok, di pasar, di kandang bebek—hampir di setiap tempat yang memungkinkan, selalu tertempel gambar dirinya. Belum cukup, dia bahkan mengirimkan gambar dirinya ke rumah-rumah yang ditemuinya, menyelipkan lembaran-lembaran gambar dirinya melalui celah pintu.
Gambar-gambar itu semuanya berisi foto dirinya dalam berbagai pose, dan dia menyebar-nyebarkan gambarnya itu dengan tujuan ada lelaki yang tertarik kepadanya, lalu mencarinya ke ujung dunia, lalu menyatakan cinta kepadanya, lalu mengajaknya menikah, lalu membawanya ke istana indah, dan mereka pun hidup bahagia selamanya.
Mungkin si Putri terlalu lama membaca kisah-kisah Grimm Bersaudara. Mungkin ia terlalu terobsesi dengan drama Cinderella. Mungkin pula, si Putri memang perempuan dramatis yang menginginkan kisah romantis yang membuat penontonnya pengin nangis sambil pipis.
Yang jelas, upaya yang dilakukan si Putri tidak berhasil. Meski dia terus menyebar-nyebarkan bahkan memamer-mamerkan gambarnya di mana-mana, tidak ada satu lelaki pun yang tertarik, apalagi jatuh cinta, apalagi mengejar-ngejarnya, apalagi mengajaknya menikah, apalagi membawanya ke istana indah.
Sampai kemudian, sang Putri bertemu seorang bijak yang memberikan nasihat bagus.
“Tuan Putri,” kata si Orang Bijak, “kau akan sulit menemukan suami jika caranya seperti itu.”
Si Putri terkejut, “Oh, mengapa begitu, Orang Bijak?”
Si Orang Bijak menjelaskan, “Kau menyebar-nyebarkan, bahkan memamer-mamerkan, gambar dirimu kemana-mana dan di mana-mana. Cara itu menjadikanmu tampak murahan, karena setiap orang dapat melihat dan memandangimu. Mereka tahu, tujuanmu menyebar-nyebarkan gambar itu agar ada lelaki yang tertarik. Itu tak ubahnya barang obral yang dapat dijangkau semua orang. Karena mudah dijangkau, para lelaki—khususnya yang baik dan hebat—justru menjauh, karena tidak ada lelaki waras yang mau menikah dengan perempuan yang mengobralkan dirinya.”
Wajah si Putri bersemu merah. Mungkin malu, atau mungkin sadar telah keliru—entahlah. Yang jelas dia terdiam mendengar ucapan itu.
Dan si Orang Bijak melanjutkan, “Semakin kau agresif mengobralkan diri, kau justru sedang menjauhkan jodohmu sendiri. Mungkin ada banyak lelaki mendekatimu karena ulahmu menarik perhatian mereka—tetapi mereka tidak akan menjadi jodohmu, karena mereka akan berpikir seribu kali untuk menjadikanmu pasangan hidup. Tidak ada lelaki yang bisa tenteram jika mengetahui pasangannya tak bisa menjaga diri—dan agresivitas berlebihan yang kautunjukkan dengan menyebar-nyebarkan gambarmu kemana-mana adalah bukti kau tak bisa menjaga kehormatan diri.”
“Uh… jadi, apa yang seharusnya kulakukan, Orang Bijak?”
“Hargai dan hormatilah dirimu sendiri,” jawab si Orang Bijak. “Tempatkan dirimu di tempat yang layak, buatlah dirimu berharga, sehingga para lelaki ingin menemukan dan mendapatkanmu. Semakin sulit kau didapat, semakin mereka bersemangat!”
Entah paham atau tidak dengan nasihat itu, sang Putri manggut-manggut. Tidak lama setelah itu, sang Putri mengadakan sayembara. Dia melemparkan sebuah cincin imitasi ke lautan, kemudian mengumumkan, “Siapa pun lelaki yang bisa menemukan cincin itu, dia akan menjadi suamiku. Tapi jika gagal, dia akan kubunuh.”
Sayembara itu tidak masuk akal. Tetapi, lebih tak masuk akal lagi, ternyata ada banyak lelaki yang cukup tolol mengikuti sayembara itu. Rupanya nasihat Orang Bijak yang didengarnya benar-benar manjur—semakin sulit dia didapat, semakin banyak lelaki bersemangat.
Jadi begitulah, puluhan lelaki datang dari berbagai penjuru untuk mengikuti sayembara tersebut, dan mencoba keberuntungannya. Satu per satu mereka menceburkan diri ke lautan untuk dapat mengambil cincin imitasi yang dilemparkan sang Putri, demi bisa menjadi suaminya. Tapi tak ada yang berhasil.
Satu per satu dari mereka kemudian kembali ke darat dengan tangan hampa. Dan, sebagai konsekuensinya, mereka pun dibunuh satu per satu. Ada yang dipenggal lehernya, ada yang ditenggelamkan ke lautan, ada yang digantung, ada pula yang disetrum listrik. (Ya, ya, mungkin waktu itu belum ada listrik—so what?).
Seiring berlalunya hari, jumlah peserta sayembara itu makin menipis, karena satu per satu dari mereka dibunuh akibat gagal. Sampai kemudian, suatu hari seorang pengembara dari Betawi datang ke tempat itu, dan menemui sang Putri.
Sang Putri bertanya, “Apakah kau ingin mengikuti sayembara ini, hei Pengembara?”
“Tidak, Tuan Putri,” jawab si Pengembara. “Gue ke sini cuma pengin bilang, lu mau kawin aja kok susah amat. Kasihaaaaaaaan deh lu!”