Selasa, 22 Mei 2012

Ingin Punya Globe

Kalau dipikir-pikir, aku curiga ada hal-hal
yang seharusnya tidak perlu dipikir.
@noffret


Pertama kali kenal globe pada waktu TK. Saya masih ingat, waktu itu terbengong-bengong di tempat bermain TK, menatap sebuah benda asing yang belum pernah saya lihat. Benda itu berbentuk lingkaran bola yang ditahan sebuah penyangga, dan di bola itu terdapat gambar-gambar aneh yang tidak saya mengerti. Lalu saya bertanya pada Ibu Guru, benda apakah itu.

“Itu globe,” jawab Ibu Guru.

Saya merasa salah dengar. “Apa, Bu Guru…?”

“Globe.” Ibu Guru mengulang dengan suara yang lebih jelas.

“Globe?” Saya memastikan.

“Ya.”

“Uh… globe itu buat apa?”

Ibu Guru pun menjelaskan dengan sabar bahwa globe adalah miniatur planet Bumi. Melalui globe, kita bisa melihat letak wilayah-wilayah tertentu di permukaan Bumi yang membulat seperti bola. Dengan globe, dunia seperti tepat berada di depan mata kita.

Entah karena penjelasan itu terdengar hebat atau memang guru saya pintar menerangkan, saya langsung terpesona dan jatuh hati pada globe. Sejak itu, cita-cita saya yang paling penting dalam hidup adalah memiliki globe. Oh, rasanya hebat sekali punya globe, pikir saya waktu itu. Dengan globe, saya bisa duduk bengong sambil menatap dunia tanpa harus beranjak kemana-mana. Sebuah fantasi hebat untuk bocah berusia empat tahun.

Jadi begitulah. Sejak itu saya sering berlama-lama di tempat bermain TK, memandangi globe yang hebat itu. Makin sering memandanginya, saya makin jatuh cinta kepadanya. Rasanya, waktu itu, globe adalah benda paling indah di dunia. Sejak saat itu pula, saya pun menyimpan impian yang paling berharga. Dan diam-diam bersumpah, saya akan membeli sebuah globe jika telah punya cukup uang.

Tapi impian itu tidak mudah terlaksana. Waktu itu saya masih kecil—masih TK. Dan meminta orangtua saya membelikan globe adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan. Jadi saya pun hanya menyimpan keinginan itu dalam hati, dan terus mengingat-ingat bahwa kelak setelah besar nanti saya akan membeli globe dengan uang sendiri. Hidup ini pasti sia-sia jika tidak punya globe, pikir saya waktu itu.

Lalu hari demi hari pun berganti. Di akhir tahun, saya menjadi salah satu juara di TK. Ketika mendapatkan hadiah, saya merasa senang sekali, karena saya pikir bungkusan hadiah yang cukup besar itu berisi globe. Tapi rupanya bukan. Isinya beberapa buku dan alat-alat tulis lainnya. Saya cukup senang, tapi sebenarnya saya mengharapkan sebuah globe.

Kemudian saya masuk SD. Hal pertama yang saya pastikan di SD itu adalah keberadaan globe. Saya masih ingat, waktu itu saya diantar Ibu mendaftar ke sekolah, dan saya bertanya pada salah satu guru di sana, “Apakah di sekolah ini ada globe?”

Guru itu menatap saya, dan menjawab dengan bingung, “Ya, ada globe di ruangan guru.”

Bagus, pikir saya. Waktu itu saya belum tahu kalau murid di sana tidak bisa sembarangan masuk ke ruangan guru. Tapi keberadaan globe di sekolah itu sudah cukup bagi saya untuk merasa senang belajar di sana. Tanda sekolah hebat adalah adanya globe, pikir saya dengan yakin.

Ketika mulai menjalani hari-hari belajar di sekolah itu, kesibukan saya pun mencari cara agar dapat melihat globe yang ada di ruangan guru. Sejujurnya saya kecewa ketika mengetahui bahwa murid tidak bisa keluar masuk ke ruangan guru dengan bebas, karena hal itu berarti saya tidak bisa leluasa melihat globe yang ada di sana. Apa guna belajar di sekolah jika tidak bisa melihat globe?

Maka saya pun mencari akal. Salah satu alasan yang mengizinkan murid masuk ke ruangan guru adalah ketika akan memanggil guru pada pergantian jam pelajaran. Setiap kali ada pergantian pelajaran, biasanya salah satu murid—berdasarkan jadwal piket harian—akan pergi ke kantor guru untuk menemui/memanggil salah satu guru yang akan mengajar.

Jadi itulah yang kemudian sering saya lakukan. Meski tidak sedang piket, saya akan giat melaksanakan tugas memanggil guru, karena hal itu menjadikan saya punya alasan untuk masuk ke ruang kantor mereka. Ketika berada di sana, saya pun bisa memandangi globe yang terpajang di atas almari. Hal itu menguntungkan semua pihak. Teman-teman sekelas merasa senang, karena tugas mereka sering saya wakili. Guru-guru di kantor juga senang, karena saya selalu tepat waktu memanggil mereka. Dan saya sendiri juga senang, karena bisa sering-sering melihat globe.

Selama bersekolah di sana, saya bersyukur karena selalu naik kelas, juga sering juara kelas. Setiap tahun, dalam acara perpisahan kelas enam, akan diumumkan siapa saja yang juara—dari kelas satu sampai kelas enam—dan nama saya sering ikut tercantum. Saya senang. Tapi saya tidak pernah sekalipun mendapatkan hadiah globe. Setiap kali menerima hadiah yang diberikan, saya selalu harap-harap cemas hadiah itu berisi globe. Tapi tahun demi tahun harapan saya tak pernah terwujud. Saya belum ditakdirkan memiliki globe.

Ketika lulus SD, saya pun melanjutkan ke SMP, dan sangat bersyukur karena di sana ada globe, bahkan berukuran lebih besar dibanding globe yang pernah saya lihat di TK maupun di SD. Kalau globe di TK dan di SD hanya sebesar bola basket, globe di SMP ukurannya dua kali lipat dari itu. Rupanya ada globe yang lebih besar, pikir saya waktu itu dengan takjub.

Yang membuat saya makin senang, globe itu terletak di perpustakaan, jadi saya pun bisa bebas dan leluasa memandanginya, karena setiap murid dibebaskan keluar masuk perpustakaan. Saya senang sekali. Kebahagiaan dalam hidup, pikir saya waktu itu, adalah dapat melihat globe kapan pun kau mau.

Maka begitulah. Ketika waktu istirahat tiba, saya akan langsung ke ruang perpustakaan, dan duduk di dekat globe, menatapnya penuh kagum, memandanginya dengan terpesona. Kadang saya akan menggerakkannya, memutarnya perlahan-lahan, dan melihat wilayah-wilayah yang tampak di permukaan globe. Benda ini benar-benar hebat, pikir saya setiap kali memandanginya. Globe pastilah sebuah mahakarya.

Kegiatan itu saya lakukan hampir setiap hari, pada jam istirahat sekolah. Karena saya jarang punya uang saku, maka kegiatan memandangi globe di waktu istirahat benar-benar hiburan tak tergantikan. Dari globe itu pula kemudian saya tertarik untuk mendalaminya. Karena sejak kecil saya suka membaca, maka di waktu SMP itu bacaan saya merambah ke bidang geografi, karena kedekatan saya dengan globe.

Pada waktu itu pula saya mulai tahu bahwa globe yang hebat itu diciptakan pertama kali oleh seorang ilmuwan muslim, bernama Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi al-Qurtubi al-Hasani al-Sabti, atau yang biasa disingkat Al-Idrisi.

Dia pakar geografi, mesirologi (ahli dalam bidang ilmu pengetahuan Mesir), dan pengembara yang tinggal di Sisilia, tepatnya di istana Raja Roger II. Banyak pihak yang menganggapnya sebagai ahli geografi terbesar pada abad pertengahan. Selain itu, yang tak boleh dilewatkan, Al-Idrisi adalah salah satu keturunan Ali bin Abi Thalib, khalifah sekaligus cendekiawan muslim yang amat saya kagumi. Dan melalui Al-Idrisi pulalah, saya kemudian akrab dengan buku geografi.

Sering kali, saya duduk sendirian di perpustakaan, memegangi sebuah buku geografi, dan mencocokkannya dengan gambar di globe. Dan—entah kenapa—saya selalu takjub. Selalu ada hal baru yang mengagumkan, yang saya dapatkan dari sebuah globe. Benda itu seperti bola sang penyihir. Kauputar sebentar, dan dia akan mengeluarkan kesaktiannya. Menyaksikan globe, saya benar-benar yakin Tuhan memang ada.

Keasyikan saya dengan globe akhirnya terputus ketika saya lulus SMP. Ketika SMA, rupanya saya masuk ke SMA yang keliru. Di sana tidak ada globe! Fakta mengerikan itu baru saya ketahui setelah saya tercatat sebagai salah satu siswa di sana, sehingga saya tidak bisa mengundurkan diri karena sejumlah uang pendaftaran dan biaya tetek-bengek—yang bagi saya sangat besar—sudah masuk ke sana.

Ini bencana, pikir saya dengan panik. Satu minggu setelah resmi tercatat sebagai siswa SMA itu, saya masuk ke perpustakaan, dan tengak-tengok mencari globe. Tapi tidak ada. Perpustakaan itu cukup luas, tapi di mana pun tak terlihat ada globe. Saya penasaran, dan bertanya pada petugas perpustakaan. Jawabannya sangat mengguncang perasaan saya.

“Uh, kayaknya sekolah kita nggak punya globe,” kata petugas perpustakaan.

Dalam hati saya memaki. Sekolah macam apa yang tidak punya globe? Dan saya pun membayangkan hari-hari kelabu yang akan saya jalani di sekolah itu, karena tidak adanya globe di sana. Pantas saja kalau murid-murid suka membolos, pikir saya, karena di sekolah tidak ada globe. Tentu saja itu tidak nyambung, tapi saya sengaja menghubung-hubungkannya karena dongkol.

Pada waktu kelas dua SMA, entah bagaimana caranya saya terpilih jadi pengurus OSIS. Dengan jabatan itu, saya pun mengusulkan pada pihak sekolah agar membeli globe. Melalui statistik yang ngawur, saya menjelaskan pada seorang guru yang menjadi pembina OSIS, bahwa tingkat kesuksesan belajar-mengajar di sekolah sangat tergantung pada keberadaan globe. Sebuah sekolah tak bisa dibilang bagus kalau tidak punya globe.

Entah dia percaya ocehan saya atau karena memang mulai sadar sekolah kami butuh globe, tidak lama setelah itu ada tiga globe di ruang perpustakaan. Ukurannya sebesar globe yang saya lihat di SMP. Orang pertama yang paling girang dengan benda itu tentu saya. Sejak itu pula saya makin rajin ke perpustakaan untuk melihat globe. Soal apakah kegiatan belajar-mengajar di sekolah kami makin bagus atau tidak, entahlah. Yang penting saya bisa bermesraan lagi dengan globe.

Dan benda bernama globe itu seperti memiliki kekuatan sihir—khususnya bagi saya. Meski telah ratusan kali saya memandanginya, menatapnya, mengelusnya, membelainya, bahkan kadang-kadang menciuminya—kalau kebetulan tidak ada yang melihat—saya tidak pernah merasa bosan. Karena itu pula, saya pun masih menyimpan sumpah saya terdahulu, bahwa kapan pun waktunya saya punya cukup uang, saya akan membeli globe. Tak peduli seseorang memiliki banyak harta benda, rasanya sia-sia jika tidak punya globe.

Dan waktu-waktu berlalu. Tahun berganti. Saya lulus SMA. Melanjutkan hidup. Perjalanan hari demi hari, penuh perjuangan, jatuh bangun, kerja keras tanpa henti, belajar dari pagi sampai pagi lagi, sakit dan sehat, malam dan pagi, usia merangkak, dan saya pun beranjak dewasa. Hari ini, saya telah punya cukup uang untuk membeli globe. Tapi saya menghadapi ironi tak termaafkan.

Hingga hari ini saya belum punya globe.

 
;