Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, dan agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kerancuan, sebaiknya jangan baca catatan ini sebelum membaca catatan sebelumnya.
Perubahan iklim menjadi topik penting dalam isu pemanasan global. Para pendukung isu tersebut juga dengan yakin menyatakan bahwa perubahan iklim dipicu oleh meningkatnya CO2 sebagai hasil dari perbuatan manusia. Faktanya, urusan iklim jauh lebih rumit dibanding kedengarannya. Begitu rumitnya, hingga tak seorang pun dapat meramalkan iklim masa depan secara akurat—tak peduli berapa pun banyaknya dana yang dikeluarkan, tak peduli betapa pun banyaknya ilmuwan yang dilibatkan.
Jangankan untuk meramalkan iklim hingga sekian ratus tahun ke depan, bahkan untuk meramalkan iklim sepuluh tahun ke depan pun belum ada yang mampu. Kita bisa membuktikan hal itu dengan kemunculan badai El Niño.
Kita tahu, badai El Niño yang terjadi sekitar empat tahun sekali merupakan peristiwa terbesar dalam konteks iklim global. Dalam hal itu, tidak ada satu pun model iklim yang bisa mempredisikan kapan badai itu akan muncul, juga berapa durasi atau kecepatannya. Itu untuk sesuatu yang jelas datang empat tahun sekali. Anehnya, dengan mengandalkan komputer, para “ahli” klimatologi berani memprediksikan perubahan suhu bumi untuk seratus tahun ke depan, atau seribu, bahkan tiga ribu tahun ke depan.
Para pendukung isu pemanasan global dengan jumawa menyatakan bahwa pada tahun 2100 anak cucu kita akan mengalami temperatur global antara 1,4 sampai 5,8 derajat Celcius lebih panas dari sekarang—jika emisi anthropogenik CO2 tidak dikurangi 50 sampai 60 persen dari tingkat yang sekarang pada tahun 2050. Ramalan ini tidak terdengar seperti prediksi ilmuwan, melainkan terdengar seperti sabda nabi.
Faktanya, klaim ngawur itu hanya didasarkan pada proyeksi yang berasal dari model yang dijalankan oleh komputer, yang ditujukan untuk mensimulasikan respon atmosfer terhadap perubahan konsentrasi CO2. Hasilnya, ramalan di atas pun dianggap omong kosong oleh para ilmuwan dalam bidang mekanika cairan, sistem kompleks numeric modelling, dan para ilmuwan dalam bidang iklim.
Menanggapi ramalan ngawur di atas, Reid Bryson, Emeritus Professor di University of Winconsin, yang dianggap banyak kalangan sebagai Bapak Klimatologi, menyatakan, “Sebuah model tidak lebih dari pernyataan formal tentang apa yang dipercaya si pembuat model mengenai bagian dunia yang dikerjakannya. Mungkin butuh bertahun-tahun sebelum kapasitas pengetahuan manusia dan komputer cukup untuk membuat simulasi yang beralasan. Model yang digunakan mempunyai kesalahan yang sama... karena pada dasarnya model yang satu adalah kloning dari yang lain.”
Sementara Bill Kininmonth, Direktur The National Climate Centre Australia, menulis, “Kemampuan yang tampak pada model komputer untuk mensimulasikan temperatur permukaan global dari abad 20 muncul dengan banyak asumsi dan kelemahan. Walaupun IPCC membela diri, tidak mustahil untuk mengisolasi gas rumah kaca anthropogenik sebagai penyebab (atau bahkan penyebab utama) untuk mengamati pemanasan pada dua dan paruh dekade abad 20. Proses internal iklim atau akibat dari luar—atau kombinasi keduanya—tidak dapat ditentukan dengan tingkat kepercayaan berapa pun berdasarkan data dan alat analisis yang ada.”
Pada Desember 2004, sejumlah negara berkumpul dalam konferensi di Buenos Aires, untuk tujuan meratifikasi UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change). Beberapa hari sebelum konferensi tersebut, Dr. Naomi Orekes, professor di University of California di San Diego yang merupakan pendukung IPCC, menulis dalam jurnal Science mengenai konsensus ilmiah yang menyatakan emisi anthropogenik CO2 telah menyebabkan pemanasan global yang signifikan, dan harus segera dibatasi untuk mencegah malapetaka di masa depan.
Dalam tulisannya tersebut, Dr. Naomi Orekes mengklaim telah menganalisis abstrak—dengan menggunakan keywords “climate change”—dari semua paper ilmiah yang terdaftar pada ISI database, pada dekade 1993 sampai 2003. Tujuh puluh lima persen dari 928 abstrak yang dianalisisnya—yaitu sebanyak 695—masuk ke dalam katagori “baik secara implisit atau eksplisit menerima pandangan konsensus”.
Untuk pertama kalinya bukti empiris menunjukkan kebulatan suara dengan konsensus terhadap emisi anthropogenik pada global warming. Tetapi, studi yang dipaparkan itu kemudian terbukti curang.
Lanjut ke sini.
***
Perubahan iklim menjadi topik penting dalam isu pemanasan global. Para pendukung isu tersebut juga dengan yakin menyatakan bahwa perubahan iklim dipicu oleh meningkatnya CO2 sebagai hasil dari perbuatan manusia. Faktanya, urusan iklim jauh lebih rumit dibanding kedengarannya. Begitu rumitnya, hingga tak seorang pun dapat meramalkan iklim masa depan secara akurat—tak peduli berapa pun banyaknya dana yang dikeluarkan, tak peduli betapa pun banyaknya ilmuwan yang dilibatkan.
Jangankan untuk meramalkan iklim hingga sekian ratus tahun ke depan, bahkan untuk meramalkan iklim sepuluh tahun ke depan pun belum ada yang mampu. Kita bisa membuktikan hal itu dengan kemunculan badai El Niño.
Kita tahu, badai El Niño yang terjadi sekitar empat tahun sekali merupakan peristiwa terbesar dalam konteks iklim global. Dalam hal itu, tidak ada satu pun model iklim yang bisa mempredisikan kapan badai itu akan muncul, juga berapa durasi atau kecepatannya. Itu untuk sesuatu yang jelas datang empat tahun sekali. Anehnya, dengan mengandalkan komputer, para “ahli” klimatologi berani memprediksikan perubahan suhu bumi untuk seratus tahun ke depan, atau seribu, bahkan tiga ribu tahun ke depan.
Para pendukung isu pemanasan global dengan jumawa menyatakan bahwa pada tahun 2100 anak cucu kita akan mengalami temperatur global antara 1,4 sampai 5,8 derajat Celcius lebih panas dari sekarang—jika emisi anthropogenik CO2 tidak dikurangi 50 sampai 60 persen dari tingkat yang sekarang pada tahun 2050. Ramalan ini tidak terdengar seperti prediksi ilmuwan, melainkan terdengar seperti sabda nabi.
Faktanya, klaim ngawur itu hanya didasarkan pada proyeksi yang berasal dari model yang dijalankan oleh komputer, yang ditujukan untuk mensimulasikan respon atmosfer terhadap perubahan konsentrasi CO2. Hasilnya, ramalan di atas pun dianggap omong kosong oleh para ilmuwan dalam bidang mekanika cairan, sistem kompleks numeric modelling, dan para ilmuwan dalam bidang iklim.
Menanggapi ramalan ngawur di atas, Reid Bryson, Emeritus Professor di University of Winconsin, yang dianggap banyak kalangan sebagai Bapak Klimatologi, menyatakan, “Sebuah model tidak lebih dari pernyataan formal tentang apa yang dipercaya si pembuat model mengenai bagian dunia yang dikerjakannya. Mungkin butuh bertahun-tahun sebelum kapasitas pengetahuan manusia dan komputer cukup untuk membuat simulasi yang beralasan. Model yang digunakan mempunyai kesalahan yang sama... karena pada dasarnya model yang satu adalah kloning dari yang lain.”
Sementara Bill Kininmonth, Direktur The National Climate Centre Australia, menulis, “Kemampuan yang tampak pada model komputer untuk mensimulasikan temperatur permukaan global dari abad 20 muncul dengan banyak asumsi dan kelemahan. Walaupun IPCC membela diri, tidak mustahil untuk mengisolasi gas rumah kaca anthropogenik sebagai penyebab (atau bahkan penyebab utama) untuk mengamati pemanasan pada dua dan paruh dekade abad 20. Proses internal iklim atau akibat dari luar—atau kombinasi keduanya—tidak dapat ditentukan dengan tingkat kepercayaan berapa pun berdasarkan data dan alat analisis yang ada.”
Pada Desember 2004, sejumlah negara berkumpul dalam konferensi di Buenos Aires, untuk tujuan meratifikasi UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change). Beberapa hari sebelum konferensi tersebut, Dr. Naomi Orekes, professor di University of California di San Diego yang merupakan pendukung IPCC, menulis dalam jurnal Science mengenai konsensus ilmiah yang menyatakan emisi anthropogenik CO2 telah menyebabkan pemanasan global yang signifikan, dan harus segera dibatasi untuk mencegah malapetaka di masa depan.
Dalam tulisannya tersebut, Dr. Naomi Orekes mengklaim telah menganalisis abstrak—dengan menggunakan keywords “climate change”—dari semua paper ilmiah yang terdaftar pada ISI database, pada dekade 1993 sampai 2003. Tujuh puluh lima persen dari 928 abstrak yang dianalisisnya—yaitu sebanyak 695—masuk ke dalam katagori “baik secara implisit atau eksplisit menerima pandangan konsensus”.
Untuk pertama kalinya bukti empiris menunjukkan kebulatan suara dengan konsensus terhadap emisi anthropogenik pada global warming. Tetapi, studi yang dipaparkan itu kemudian terbukti curang.
Lanjut ke sini.