Selasa, 29 Mei 2018

Wasiat Terakhir

Ada yang lebih menyedihkan dari kematian fisik,
yakni kematian akal sehat dan kesadaran.
@noffret


Sulaiman sekarat. Atau setidaknya dia merasa begitu. Adiknya mengabari saya bahwa Sulaiman sakit—sudah beberapa lama hanya terbaring di tempat tidur—dan saya tergerak untuk menjenguk. 

Di masa lalu, sebagaimana yang dikisahkan di sini, Sulaiman dan saya berteman akrab, karena bekerja di tempat yang sama. Ketika saya tidak lagi bekerja di sana, kami mulai jarang bertemu. Meski begitu, kami kadang masih menyempatkan diri untuk saling menjenguk, membina pertemanan yang telah terjalin. 

Saya suka mengobrol dengan Sulaiman, karena dia sosok yang bijak. Dia senang memikirkan banyak hal, dan biasanya kami membicarakan hal-hal yang ia pikirkan dengan asyik sambil cekikikan.

Sampai kemudian, karena kesibukan yang luar biasa, saya dan Sulaiman cukup lama tidak bertemu. Pada waktu itulah, saya ketemu adiknya tanpa sengaja, yang mengabarkan kondisi Sulaiman.

Suatu sore, saya pergi ke rumah Sulaiman, untuk menjenguk. Dia tinggal bersama orang tuanya, dan mereka—orang tua Sulaiman—mengenali saya teman anak mereka. Saya diantarkan ke kamar Sulaiman, tempatnya berbaring, dan kondisinya memang tampak memprihatinkan. 

Di kamarnya itulah Sulaiman mengatakan pada saya, bahwa dia sekarat.

Saya bertanya, penyakit apa yang dideritanya, dan Sulaiman menjawab, “Entahlah, aku tidak tahu.”

Sebelumnya, keluarga Sulaiman telah memeriksakan kondisi Sulaiman ke dokter, dan diberi resep obat, tapi kondisi Sulaiman tidak juga membaik. Pernah, Sulaiman juga dirawat di rumah sakit—dan sempat menginap di sana empat hari—tapi kondisinya tidak juga membaik. Karena hal itu, dan karena biaya yang mahal, pihak keluarga akhirnya membawa Sulaiman pulang ke rumah. 

Di rumah, Sulaiman hanya berbaring di tempat tidur, meski sesekali bisa bangkit untuk ke kamar mandi dengan tubuh sempoyongan. 

“Yang kurasakan seperti demam atau meriang biasa,” ujar Sulaiman, “tubuhku rasanya lemah sekali. Tapi demam atau meriang ini tidak juga sembuh.”

Setelah itu, dengan suara lirih, Sulaiman melanjutkan, “Aku merasa sedang sekarat.”

Saya duduk di kursi, di samping tempatnya berbaring, dan mengajaknya mengobrol, berharap pertemuan serta obrolan kami bisa sedikit menghiburnya. Pada waktu itu, saya sempat menawari sesuatu yang mungkin diinginkannya. Di luar dugaan, Sulaiman menjawab, “Aku ingin klepon.”

Saya merasa salah dengar. “Kamu ingin... apa?”

“Klepon,” ulang Sulaiman.

Saya memastikan, “Klepon?” 

“Ya, klepon.” Dia menjawab dengan konsisten, jadi dia memang ingin klepon. Kemudian, Sulaiman menambahkan, “Kamu tahu klepon di depan Toko X (nama sebuah toko)? Yang pakai gerobak itu?”

Saya tahu, di depan Toko X memang ada penjual klepon. Penjualnya seorang lelaki, mungkin berusia 50-an, dan klepon jualannya ada di sebuah gerobak, seperti yang dibilang Sulaiman. 

Saya pun menjanjikan pada Sulaiman, “Besok aku akan ke sini lagi, dan kamu bisa menikmati klepon.”

....
....

Besoknya, saya pergi ke penjual klepon di depan Toko X, untuk membeli klepon sebagaimana yang diinginkan Sulaiman. Kebetulan, waktu itu, suasana di sekitar sana sedang macet parah. Beberapa orang menyatakan ada kecelakaan di ujung jalan, dan akibatnya kini ratusan kendaraan macet nyaris tak bergerak. 

Ketika klepon pesanan saya sudah dibungkus, saya berdiri sesaat menatap kemacetan parah di jalan. Jika saya pergi saat itu, mau tak mau saya juga harus terjebak dalam kemacetan. Akhirnya, dengan maksud menunggu kemacetan di sana agak berkurang, saya duduk di bangku yang ada di dekat gerobak klepon.

Setelah selesai melayani pembeli lain, penjual klepon duduk di samping saya, dan sesaat kami mengobrolkan kemacetan yang sedang terjadi. Tanpa sengaja, saya melihat emblem FPI (Front Pembela Islam) di baju yang dikenakan si penjual klepon. Karena tertarik, saya bertanya, “Sampeyan anggota FPI, Pak?”

“Iya, Mas,” jawab penjual klepon. 

Setelah itu, obrolan tentang kemacetan beralih ke obrolan soal FPI. Saya bertanya kegiatannya di FPI, dan penjual klepon menceritakan dengan nada bangga. “Kami memerangi maksiat, Mas!” ujarnya. Lalu ada setumpuk kisah yang dia ceritakan, dari menggerebek sarang prostitusi, menindak penjual togel, sampai menutup paksa warung yang buka di bulan puasa.

Penjual klepon mengatakan, “Meski orang lemah, saya punya tanggung jawab moral untuk sama-sama memelihara ajaran Islam, dan menindak kemaksiatan. Bersama FPI, saya bisa melaksanakan tanggung jawab itu.”

Saya bertanya, apakah dia tahu siapa pendiri FPI, atau tujuan dan latar belakang didirikannya FPI? 

Dia tidak tahu, dan mengatakan tidak peduli. “Yang saya tahu,” ujarnya, “FPI adalah organisasi yang bergerak dan berjuang demi Islam!”

Untuk menguatkan pernyataannya, dia pun mengisahkan banyak hal yang selama ini telah dilakukan FPI, yang lagi-lagi berkutat seputar memberangus kemaksiatan. Karena tertarik, saya bertanya suka duka bergabung dengan FPI, dan dia lagi-lagi menceritakan dengan bangga. 

“Meski kadang ada risiko yang harus kami hadapi,” ujarnya kemudian.

Saya makin tertarik. “Risiko bagaimana, Pak?”

Lalu dia menceritakan aksi penutupan paksa terhadap warung yang buka pada bulan puasa, beberapa tahun sebelumnya. Waktu itu, menurut ceritanya, FPI menutup suatu warung, dan—karena situasi yang terjadi—aksi penutupan itu agak “kacau”. Makanan di warung tumpah berantakan, sementara si penjual histeris. Pada waktu itu, anggota FPI yang terlibat dalam penutupan warung tidak menyadari ada seseorang yang diam-diam mengamati—anak si penjual warung.

Anak penjual warung itu rupanya preman yang punya banyak teman. Melihat warung ibunya rusak dan berantakan, si anak marah, dan dari kejauhan mengamati orang-orang—anggota FPI—yang terlibat dalam masalah itu. Selang beberapa hari kemudian, si anak penjual warung, bersama teman-temannya, mendatangi satu per satu anggota FPI yang terlibat perusakan warung, di rumahnya masing-masing. Kejadian selanjutnya tak perlu saya ceritakan.

Saya bertanya, “Apakah setelah itu, FPI masih... memerangi kemaksiatan?”

Penjual klepon mengangguk. “Meski kami juga harus lebih waspada.”

“Maksudnya, lebih waspada kalau-kalau kejadian serupa terulang?”

“Kami tidak takut preman, Mas,” ujarnya. “Asal mereka tidak main keroyokan!”

“Tentu saja begitu.”

Perlahan tapi pasti, kemacetan di jalan mulai terurai, dan saya pun pamit pada penjual klepon. Beberapa saat kemudian, saya sudah melaju ke rumah Sulaiman.

....
....

Sulaiman tampak senang melihat saya membawakan klepon seperti yang diinginkannya. Ia duduk menyandar pada bantal. Sambil bercanda, saya mengatakan, “Untuk orang yang sekarat, klepon benar-benar pilihan aneh.”

Sulaiman tersenyum. “Ini (sambil menunjuk klepon di depannya) makanan favoritku sejak kecil.”

Sulaiman mulai menikmati klepon, mengunyah perlahan-lahan. Dia tampak menghayati makanan favoritnya. 

Setelah merasa cukup, Sulaiman menghentikan makannya. Wajahnya tampak puas. Saya penasaran, dan bertanya, “Setelah menikmati makanan favoritmu, apakah kamu masih merasa sekarat?”

Lagi-lagi Sulaiman tersenyum. Tapi tidak menjawab.

Saya kembali bertanya, “Sebenarnya, apa yang kamu rasakan?”

“Aku hanya merasa... menyesal,” ujar Sulaiman perlahan. “Maksudku, menyesal atas banyak hal yang pernah kulakukan. Saat sehat, kita sering lupa sewaktu-waktu bisa sakit, dan aku menggunakan waktu sehatku untuk hal-hal yang kupikir sekarang tak bermanfaat. Entah kenapa, banyak hal yang dulu kupandang baik dan berguna, kini terasa sia-sia. Karena itulah aku menyesal.”

Saya menyahut, “Kupikir, semua orang juga begitu, ketika mereka mulai sadar.”

Sulaiman mengangguk. “Kamu akan makin menyadari hal itu, saat merasa sedang sekarat. Seperti yang kualami sekarang. Saat tak bisa apa-apa, selain hanya bisa mengingat dan memikirkan hal-hal yang pernah kulakukan. Sekarang aku menyadari, banyak waktu yang telah kubuang untuk hal-hal tak berguna. Kalau saja bisa mengulang, aku tidak akan peduli pada apa pun, selain hanya mengisi hidupku dengan hal-hal baik yang jelas bemanfaat, yang tak akan kusesali.”

“Kamu telah mengisi hidup dengan hal-hal baik, Sul,” ujar saya membesarkan hatinya. “Selama menjadi temanmu, aku tahu kamu hanya sibuk bekerja dan melakukan hal-hal bermanfaat.”

Sulaiman menatap saya. “Tapi kamu tidak tahu yang ada dalam pikiranku, atau yang ada di hatiku.”

Ketika saya akan pamit pulang, waktu itu, Sulaiman berkata, “Saat kamu merasa sehat, dan kuat, dan merasa bisa melakukan apa pun, kamu akan lebih menujukan pandangan ke luar—ke orang-orang lain, menghitung kesalahan mereka, menghakimi dosa mereka. Saat kamu sakit, tak berdaya, dan sekarat, kamu akan lebih menujukan padangan ke dalam—ke diri sendiri, menghitung kesalahan yang telah dilakukan, dan menyesali banyak hal yang sia-sia...”

Dua hari kemudian, Sulaiman meninggal.

Kematian memang tak pernah memandang usia. Tua atau muda tak berbeda bagi Sang Maut, dan saya kehilangan seorang teman.

Kalau saja saya tahu Sulaiman akan pergi secepat itu, saya ingin lebih banyak mengobrol dengannya, lebih sering menghabiskan waktu bersamanya. Saya pikir kami akan hidup sampai tua... sebagaimana yang biasa dibayangkan manusia. Tapi kematian memang tidak peduli apa yang dibayangkan atau diinginkan manusia. Ia datang kapan saja, dengan alasan dan penyebab apa pun, yang kadang tak terduga.

Kini Sulaiman telah tiada, dan saya menyesal serta kehilangan. Meski begitu, setidaknya, Sulaiman meninggalkan sesuatu yang berharga untuk saya ingat.

“Saat kamu merasa sehat, dan kuat, dan merasa bisa melakukan apa pun, kamu akan lebih menujukan pandangan ke luar—ke orang-orang lain, menghitung kesalahan mereka, menghakimi dosa mereka. Saat kamu sakit, tak berdaya, dan sekarat, kamu akan lebih menujukan padangan ke dalam—ke diri sendiri, menghitung kesalahan yang telah dilakukan, dan menyesali banyak hal yang sia-sia....”

Selamat jalan, Sobat. 

Kenapa Saya Tak Berminat Menikah

"Kenapa kau tidak berminat menikah?"

Karena aku belum bisa membahagiakan diriku sendiri. Jika aku belum bisa membahagiakan diri sendiri, bagaimana aku bisa membahagiakan pasanganku? Aku tidak ingin menikah agar bahagia. Karena kebahagiaanku adalah tanggung jawabku sendiri.

Orang yang ingin menikah dengan alasan agar bahagia, sebaiknya jangan dulu menikah. Pertama, karena dia pasti akan kecewa, sebab kebahagiaan pernikahan hanya temporer. Kedua, jika dia tidak/belum bahagia, pasangan dan anak-anaknya bisa menjadi korban ketidakbahagiaannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2018.

Dilepaskan

Ooh... dilepaskan.

Kamis, 24 Mei 2018

Pelajaran Dalam Sunyi

Bukan kebenaran yang penting, bagi sebagian orang, tapi ilusi.


Ada ungkapan terkenal, “Nabi tidak dikenal di kampungnya sendiri.” Dalam interpretasi saya, ungkapan itu kira-kira menyatakan bahwa orang-orang hebat sering kali tidak dikenal oleh lingkungannya, atau orang-orang yang hidup berdekatan dengannya.

Kebetulan, saya punya beberapa teman seperti itu. Bagi orang-orang yang hidup berdekatan dengan mereka—misal tetangga sekampung—mereka hanyalah orang-orang biasa. Tetapi, ternyata, ada banyak orang dari tempat-tempat jauh yang justru tahu siapa mereka sebenarnya, dan sangat menghormati mereka.

Salah satu contoh terkait hal itu adalah seorang teman, bernama Taufik (saat ini dia dikenal sebagai ulama yang disebut Kiyai Taufik. Orang-orang Pekalongan pasti kenal ulama muda ini.) Taufik adalah teman saya sejak remaja. Waktu saya SMA, dia mondok di sebuah pesantren di Kaliwungu. Kalau dia pas pulang, kami pun bertemu di rumahnya, mengobrol dan bermain layaknya remaja lain. Belakangan, setelah tidak lagi mondok, dia menjalani kehidupan biasa seperti umumnya remaja lain.

Selama waktu-waktu itu, orang-orang yang mengenalnya menganggap Taufik sebagai bocah biasa, tidak beda dengan remaja lain. Bahkan tetangga kanan-kirinya juga berpendapat seperti itu. Bahkan saya yang temannya—yang biasa bermain dan mengobrol dengannya—pun berpikir begitu. Bahwa dia hanyalah bocah biasa.

Tetapi, ternyata, ada orang-orang yang menganggap Taufik sebagai “bukan bocah biasa”. Orang-orang itu kebanyakan dari tempat-tempat jauh—sebagian mengenal dia selama di pondok, sebagian lain mengenal dia dari mulut ke mulut. Kadang-kadang, dulu, pas saya ada di rumahnya, datang beberapa orang yang usianya jauh di atas kami. Mereka datang ke rumah Taufik untuk “mendapat nasihat”, dan sikap mereka begitu hormat pada Taufik.

Bahkan waktu itu pun, saya tetap belum sadar “kehebatan” teman saya sendiri. Ketika melihat orang-orang—muda atau pun tua—berdatangan ke rumah Taufik, dengan berbagai alasan dan latar belakang, saya hanya menganggap semua itu sebagai hal biasa, bahwa teman saya mampu memberi manfaat bagi orang lain. Sudah, tidak ada istimewanya sama sekali—setidaknya dulu saya berpikir begitu.

Lama-lama, makin banyak orang yang mendatangi Taufik, dengan tujuan sama, meminta nasihat. Mungkin saya tidak akan heran kalau yang datang itu bocah-bocah seusia kami. Yang membuat saya agak heran, waktu itu, orang-orang yang datang “meminta nasihat” adalah orang-orang yang usianya jauh lebih tua dari Taufik. Bisa dibilang, mereka seusia ayah atau bahkan kakek kami.

Suatu hari, saat hanya berdua, saya sempat bertanya, “Mereka ngapain, sampai jauh-jauh ke sini?”

Taufik, waktu itu, hanya tertawa seperti biasa.

Hari ini, Taufik telah menjadi ulama muda yang memiliki ribuan jamaah. Seperti rata-rata ulama lain, setiap hari rumahnya tak pernah sepi dari tamu yang berdatangan. Karena permintaan jamaahnya pula, seminggu sekali dia mengadakan pengajian rutin (membahas kitab salaf), dan kawasan tempat tinggalnya harus ditutup dari lalu lintas, akibat ribuan orang yang datang untuk menyimak pengajian. Mereka yang mengaji itu rata-rata usianya jauh di atas Taufik.

Itulah bocah yang dulu biasa mengobrol dan cekikikan dengan saya, ketika kami sama-sama remaja. Seperti saya, tetangga-tetangga Taufik—yang biasa berinteraksi dengannya setiap hari—tidak pernah menyangka bahwa bocah itu kelak akan menjadi ulama dengan ribuan jamaah seperti sekarang. Karena nabi, sebagaimana pepatah, tak dikenal di kampungnya sendiri.

Selain Taufik, ada teman lain yang layak saya ceritakan, bernama Sulaiman. Untuk mengisahkan Sulaiman, saya harus flashback ke masa lalu, ketika saya masih bekerja sebagai tukang gambar batik.

Seperti yang pernah diceritakan di sini, selepas SMA saya bekerja di sebuah pabrik batik, dan bekerja sebagai tukang gambar. Sekitar satu tahun saya bekerja di sana, sampai suatu hari dihubungi seorang teman yang menawari tempat kerja baru di tempat lain.

Ceritanya, waktu itu, ada seorang desainer yang punya butik di Bogor, ingin membuka pabrik baru di Pekalongan. Agar pabrik batiknya berjalan, dia tentu harus mendapatkan para pekerja untuk berbagai bidang. Sebagai desainer, dia bisa membuat desain-desain batik. Tapi dia harus memiliki pekerja di bidang lain, dari orang-orang yang menggambar desain karyanya ke kain, sampai para pembatik. Dalam hal itulah, dia menghubungi seseorang—yang kebetulan saya kenal—untuk dicarikan para pekerja, untuk pabrik batiknya yang akan dibuka.

Jadi, saya ditawari untuk bekerja di pabrik baru tersebut, dengan pekerjaan serupa. Agar saya berminat pindah ke sana, mereka menawari bayaran lebih besar—tiga kali lipat dari yang semula saya terima—hingga saya tidak punya alasan untuk menolak. Sejak itu pula, saya pindah ke tempat kerja baru, yang dimiliki desainer dari Bogor.

Karena masih baru, pabrik itu belum memiliki banyak pekerja. Termasuk tukang gambar seperti saya. Jumlah tukang batik waktu itu sudah cukup banyak—para wanita dan ibu-ibu. Tapi yang bekerja sebagai tukang gambar hanya satu, yaitu saya. Karenanya, seperti yang saya lakukan di pabrik sebelumnya, di sana pun saya harus sering lembur, demi memenuhi kebutuhan kain yang akan dibatik.

Makin lama, kebutuhan itu makin tinggi, dan saya makin kewalahan. Pihak pabrik lalu mencari pekerja lain, yang bisa menggambar di kain, dan mereka menemukan Sulaiman. Sejak itu, saya bekerja bersama Sulaiman, menjadi tukang gambar batik di kain sutra.

Sulaiman seusia saya, waktu itu. Sama seperti saya, dia juga lulusan SMA yang tidak melanjutkan pendidikan. Dia bisa menggambar dengan baik dan luwes. Belakangan, saya tahu, dia juga sudah berpengalaman dalam pekerjaan tersebut. Kesan saya, dia orang kalem yang tidak banyak bicara, dan tidak banyak tingkah. Dalam waktu singkat, kami segera akrab.

Makin hari, makin sering bersamanya, saya menyadari Sulaiman adalah bocah yang bijaksana. Dia tidak banyak omong—lebih banyak diam. Tapi kalau dia ngomong, saya merasa perlu mendengarkan. Meski kami seusia dan sama-sama lulusan SMA, saya merasa dia jauh lebih pintar dan lebih bijaksana. Jadi, saya senang bercakap-cakap dengannya, khususnya saat kami istirahat kerja di tengah hari.

Para pekerja beristirahat jam dua belas siang, sampai jam satu. Selama istirahat, saya biasanya makan di warung, bersama Sulaiman. Seusai makan itulah, kami mengobrol sambil menunggu habisnya jam istirahat.

Ada banyak sekali “hal-hal baru” yang saya dengar dan tahu selama mengobrol dengan Sulaiman—khususnya tentang manusia dan kehidupan. Dan saya senang mendengar dia mengungkapkan pikiran-pikirannya. Selain membuat saya bertambah wawasan, juga membantu saya lebih bijaksana.

Suatu hari, sambil bercanda, saya pernah berkata kepadanya, “Seharusnya kamu menjadi filsuf, Sul.”

Sulaiman tertawa, dan menjawab, “Sebenarnya, aku tidak suka bicara.”

“Tapi sekarang kamu berbicara. Kamu sering bicara denganku.”

“Karena aku percaya kepadamu,” ujarnya. “Tidak setiap orang bisa menjadi pendengar yang baik, yang mampu mendengarkan dengan hati.”

Sulaiman, seperti saya, berasal dari keluarga miskin. Kadang-kadang, pas libur kerja, saya datang ke rumahnya malam hari, dan kami mengobrol sampai larut malam, di teras rumah. Jarak rumah kami cukup jauh, tapi saya senang-senang saja mengayuh sepeda ke tempatnya.

Sulaiman punya adik, seorang perempuan yang waktu itu masih SMA, dan adik Sulaiman biasa menyuguhkan teh, kalau saya dolan ke sana. Lama-lama, karena sering ketemu, saya pun cukup akrab dengan adik Sulaiman.

Suatu malam, saat saya dolan ke rumah Sulaiman, saya harus menunggu, karena rupanya dia sedang keluar. Adik Sulaiman menemani saya, selama menunggu kakaknya. Waktu itulah, adik Sulaiman berkata, “Mas, kenapa kakakku bisa mengobrol asyik denganmu, tapi tidak dengan orang lain?”

Saya kebingungan, dan bertanya, “Maksudnya bagaimana?”

Lalu dia menceritakan, bahwa selama ini Sulaiman nyaris tidak pernah berbicara dengan siapa pun, termasuk dengan anggota keluarganya. Orang-orang, termasuk para tetangga, menganggap Sulaiman sangat pendiam. Sulaiman akan menjawab jika ditanya, tapi sekadarnya, dan dia nyaris tidak pernah mengajak siapa pun berbicara. Karena hal itu pula, Sulaiman bisa dibilang tidak punya teman. Orang-orang menganggapnya aneh, sementara keluarganya menganggap Sulaiman “tidak normal”.

Karenanya, keluarga Sulaiman sangat heran ketika mendapati saya bisa mengobrol asyik dengan Sulaiman, bahkan sampai larut malam. Sulaiman, yang mereka pikir tidak bisa berbicara, ternyata bisa bicara panjang lebar dengan saya, bahkan kami bisa cekikkan bersama seperti orang-orang normal umumnya.

Mendengar tuturan adik Sulaiman waktu itu, saya pun akhirnya paham kenapa orang-orang—tetangga-tetangga Sulaiman—kerap memandang aneh saat saya sedang mengobrol dengan Sulaiman di teras rumah. Mungkin mereka juga heran karena melihat Sulaiman ternyata bisa berbicara dan mengobrol layaknya orang normal.

Ketika Sulaiman pulang ke rumah, malam itu, dan kami kembali mengobrol seperti biasa, saya pun menceritakan kepadanya, terkait hal yang tadi dituturkan adiknya.

Sulaiman menjawab, “Aku memang malas berbicara dengan orang lain. Mereka tidak bisa mendengarkan. Maksudku, mereka lebih tahu cara menghakimi daripada memahami.”

Saya menatapnya. “Kamu mau menjelaskan?”

“Aku menyadari, punya pikiran yang berbeda dengan kebanyakan orang,” ujar Sulaiman. “Aku sering tidak setuju dengan pemikiran banyak orang—terkait banyak hal—tapi aku memilih diam. Karena kalau pun aku mencoba menyampaikan pikiranku—yang berbeda dengan mereka—belum tentu mereka akan memahami, apalagi akan bersepakat denganku. Jadi, aku memang sengaja diam, tidak banyak bicara, kepada siapa pun. Karena, kupikir, berbicara dengan mereka hanya sia-sia, tidak memberi manfaat apa pun.”

“Termasuk dengan keluargamu?” tanya saya.

Sulaiman mengangguk. “Termasuk dengan keluargaku. Mereka, seperti orang-orang lain umumnya, juga sulit menerima hal baru yang berbeda atau bertentangan dengan pikiran dan keyakinan mereka. Karenanya, kalau aku mencoba berbicara dan menyampaikan pendapatku, belum tentu mereka akan menerima, dan bisa jadi malah menyalahkanku. Orang lebih mudah menghakimi daripada memahami. Saat menyadari kenyataan itu, aku pun memilih diam, karena kupikir diam adalah cara terbaik menghadapi hal-hal yang tidak kita setujui.”

Setelah terdiam sejenak, saya berkata, “Tetapi, karena sikapmu yang lebih memilih diam, orang-orang menganggapmu aneh, karena jarang berbicara dengan orang lain.”

Kali ini Sulaiman tersenyum. “Lebih baik aku dianggap aneh, karena tidak pernah berbicara, daripada aku dianggap salah atau sesat karena mencoba menyampaikan pikiranku yang berbeda dengan mereka.”

Karena kami sama-sama lulusan SMA, saya pun bertanya kepadanya, mengenai bagaimana cara dia bisa memahami banyak hal, sekaligus menemukan banyak hal yang tidak diketahui dan dipahami kebanyakan orang.

Sulaiman menjelaskan, “Aku senang berpikir, dan mengamati orang-orang. Selama bekerja—menggambar batik—aku sering berpikir sendirian, merenungkan banyak hal, hingga aku mulai melihat dan memahami hal-hal yang tak dilihat dan dipahami orang-orang lain. Aku punya waktu lama untuk berpikir dan merenung, karena pekerjaanku memungkinkan untuk melakukan hal itu, sementara orang-orang lain terlalu sibuk dengan aktivitas dan pekerjaan mereka.”

Saya mengatakan, “Seharusnya kamu mencoba menyampaikan yang kamu tahu kepada orang-orang, karena pengetahuanmu begitu penting. Orang-orang perlu diberitahu ada hal-hal yang sebenarnya salah, tapi mereka yakini benar, dan mereka perlu diberitahu hal itu.”

“Percuma,” jawab Sulaiman. “Berbicara dengan mereka hanya sia-sia. Tidak akan ada yang mau mendengarkanku, apalagi memahami yang kukatakan. Aku hanyalah orang biasa seperti mereka, atau bahkan mereka menilaiku lebih rendah. Mereka tidak punya alasan untuk mendengarkanku.”

“Tapi aku mendengarkanmu, dan aku bisa memahami yang kamu katakan.”

Sulaiman tersenyum. “Karena itulah, aku pernah mengatakan kepadamu, kamu punya kemampuan mendengarkan dengan hati—sesuatu yang tidak dimiliki kebanyakan orang yang lebih tahu cara menghakimi. Sejak pertama kali bercakap denganmu, aku sudah tahu. Aku bisa mengenali manusia, seperti dokter mengenali kanker.”

“Aku tidak tahu harus senang atau sedih mendengarnya.”

Sulaiman tidak menjawab.

Saya kembali berkata, “Jadi, sampai kapan kamu akan diam seperti sekarang—tidak pernah berbicara dengan orang lain—dan membiarkan orang-orang menganggapmu aneh atau tidak normal?”

“Mungkin sampai aku mati,” jawab Sulaiman. “Lebih baik aku membawa semua pengetahuanku ke alam kubur, dan membiarkan orang-orang menganggapku aneh, daripada aku meninggalkan pengetahuanku di dunia dan orang-orang menganggapku sesat.”

Kalimat-kalimat Sulaiman—sebagaimana yang saya tuliskan di atas—sebenarnya tidak “match” untuk ukuran seorang bocah lulusan SMA. Dia jauh lebih dewasa, bahkan lebih bijaksana, dari usianya. Sebenarnya, dia bocah paling bijaksana yang pernah saya kenal. Termasuk dalam sikapnya yang memilih diam, daripada berkonfrontasi dengan orang lain. Belakangan, saya menyadari, tidak setiap bocah mampu memilih sikap seperti itu.

Dan Sulaiman, sebagaimana orang-orang hebat lain, tidak dikenali di kampungnya sendiri. Orang-orang, termasuk keluarga dan para tetangganya, justru menganggapnya bocah aneh, alih-alih menyadari bahwa dia sosok bijaksana.

Terkait Sulaiman, ada hal sedih yang perlu saya katakan.

Kami bekerja bersama sebagai tukang gambar selama setahun, sampai kemudian saya memutuskan untuk keluar dari sana, demi mengejar impian yang saya inginkan. Meski bekerja sebagai tukang gambar mampu memberi penghidupan yang cukup layak, saya menyadari itu bukan impian atau tujuan hidup saya. Karenanya, suatu hari, saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan tersebut, dan mengejar sesuatu yang benar-benar saya inginkan. Sejak itulah, saya dan Sulaiman berpisah. Dia tetap bekerja di sana, hingga tahun-tahun berikutnya.

Karena hidup baru dan kesibukan yang saya hadapi kemudian, waktu saya makin sempit, dan intensitas pertemuan saya dengan Sulaiman makin hari makin berkurang. Kami masih berteman baik, tapi tidak bisa lagi bertemu sesering dulu. Belakangan, saya sangat sedih, karena Sulaiman jatuh sakit... dan kisah hidup bocah bijaksana itu benar-benar selesai.

Tentang hal itu, akan saya ceritakan di catatan mendatang.

Ironi Agama

Kalau kau rajin beribadah, dan merasa tidak tenang hanya karena ada 
orang lain yang tidak beribadah sepertimu, maka kaulah yang bermasalah, 
bukan orang lain. Karena kalau kau memang tulus beribadah, kau tidak 
akan peduli jika seluruh dunia tidak ada yang beribadah sepertimu.


Di tempat tinggalku ada "kebiasaan" baru yang cukup aneh. Sekelompok orang mendatangi rumah-rumah, lalu berceramah tentang agama. Mereka meminta agar semua orang shalat berjamaah di mushala. Selama yang didatangi belum ikut shalat berjamaah, orang-orang itu akan terus datang.

Bahkan, jika ada warga yang telah shalat berjamaah di mushala, warga itu masih akan didatangi orang-orang tadi, jika suatu hari warga bersangkutan tak terlihat di mushala. Fenomena ini sebenarnya membuat orang-orang resah (tak nyaman), tapi mereka bingung bagaimana menghadapinya.

Belakangan, muncul hal lain yang lebih "parah". Sekelompok orang dari daerah lain (mengaku dari pesantren di luar kota) juga mendatangi rumah-rumah di tempat tinggalku, menyerukan hal yang sama. Kali ini, sikap mereka bahkan cenderung "memaksa", agar orang datang ke mushala.

Entah fenomena semacam itu hanya ada di tempatku, atau juga ada di tempat lain. Yang jelas, keberadaan mereka sudah membuat resah sebagian orang. Mereka juga mendatangi rumahku, mengajak hal serupa, tapi aku hanya tertawa. Kalau mood-ku sedang buruk, aku balik menceramahi mereka.

Aku pernah menanyakan hal ini pada beberapa teman di lain daerah, apakah di tempat mereka juga ada orang-orang serupa (seperti yang terjadi di tempatku). Rata-rata mereka menjawab tidak ada. "Jika ada orang-orang semacam itu di tempat kami, warga tempatku pasti mengusir mereka!"

Hal serupa pernah terjadi di tempat tinggal orang tuaku. Pernah ada sekelompok orang mendatangi rumah-rumah di sana, berceramah agama. Mereka bahkan menggunakan mushala di sana untuk "menjalani hidup sehari-hari". Orang-orang di tempat orang tuaku pun marah dan mengusir mereka.

Ini mungkin ironis. Orang-orang berceramah agama, tapi malah ditolak dan diusir. Menurutku, ini juga salah mereka. Orang-orang yang hobi ceramah ke rumah-rumah itu mirip anggota MLM. Yang mereka tawarkan adalah hal baik, tapi cara mereka buruk dan membuat orang lain muak.

Sebenarnya, baik di tempat tinggalku maupun di tempat yang lain, rata-rata orang menjalani kehidupan yang baik, juga religius, sebagaimana umumnya orang di tempat lain. Cuma kadang tidak shalat berjamaah di mushala. Jika karena itu mereka dinilai salah, tentu saja mereka marah.

Orang-orang yang datang ke rumah-rumah untuk ceramah itu seolah menginginkan semua orang menunjukkan ketaatan beragama dalam "bentuk jelas", seperti shalat berjamaah di mushala, menghadiri pengajian, dll. Jadi, kita sebenarnya mau menjalani hidup beragama, atau mau pamer agama?

Kenyataan itulah yang menjadikan banyak orang resah dan tidak nyaman dengan kehadiran mereka (orang-orang yang mendatangi rumah-rumah lalu berceramah). Mestinya ada "aturan" mengenai hal ini, agar orang-orang itu tidak terus leluasa menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Januari 2018.

Mempertemukan

Ooh... mempertemukan.

Selasa, 15 Mei 2018

Foto, Kamera, dan Persoalan Umat Manusia

“Satu-satu lahir," kata Pram, "Satu-satu pergi.” 
Siklus murni antara awal dan akhir, namun penuh hal buruk 
dan sia-sia di antara keduanya.


Sebuah kios di pasar buah terbakar, dan asap hitam membubung ke langit malam. Orang-orang ramai menatap langit, menunjuk-nunjuk asap gelap yang bergulung-gulung, menyadari kebakaran sedang terjadi.

Saya sedang dalam perjalanan, ketika peristiwa itu terjadi. Karena jalanan macet parah, saya pun memutuskan untuk menepi dan berhenti, sambil menunggu kemacetan terurai. Tapi rupanya lokasi di sekitar itu bertambah macet, akibat kebakaran yang terjadi. Banyak orang berdesak-desakan di sekitar lokasi kebakaran, sementara polisi yang ada di sana kewalahan menghalau mereka.

Kios yang mengalami kebakaran berada di antara banyak kios lain. Waktu itu, pemadam kebakaran belum datang. Jika pemadam kebakaran terlambat, tidak menutup kemungkinan kebakaran di satu kios akan merembet ke kios-kios lain.

Tetapi, selain itu, ada hal yang juga saya risaukan. Ratusan orang ada di sana, berdesak-desakan, menyaksikan lokasi kebakaran, dan... mereka sibuk mengacung-acungkan ponsel, merekam kebakaran tersebut, dengan ekspresi gembira. Mereka tidak melakukan apa-apa. Selain hanya berdesak-desakan di sana, dan mengacungkan ponsel, seolah mereka punya kewajiban merekam peristiwa yang terjadi.

Sementara orang-orang menyaksikan kebakaran sambil memegangi ponsel, saya duduk dan memandangi mereka. Saya berpikir, apa manfaat mereka melakukan itu?

Mungkin akan lebih bagus kalau kami semua—orang-orang kurang kerjaan yang menonton kebakaran di sana—beramai-ramai mencari air, lalu membantu memadamkan api. Tapi tidak. Dasar orang-orang kurang kerjaan, kami semua justru hanya berdesak-desakan, menonton api yang menjilat-jilat, dan mengacung-acungkan ponsel untuk merekam peristiwa kebakaran. Oh, well, dengan muka gembira.

Apa manfaatnya melakukan itu? Saya tidak tahu.

Ketika akhirnya pemadam kebakaran datang, kendaraan besar itu kesulitan membelah kerumunan orang yang saling berdesakan di badan jalan. Setelah susah payah memasuki kerumunan banyak orang, kendaraan pemadam akhirnya bisa masuk ke lokasi, dan mulai memadamkan api.

Seharusnya saya tidak di sana. Karena tidak ada manfaatnya. Bagi diri saya sendiri, bagi orang lain, bagi korban kebakaran, juga bagi dunia. Seharusnya saya tidak di sana. Tapi kebetulan saya sedang ada di sana. Jadi, di sanalah saya berada—di sekeliling banyak orang—tanpa membawa manfaat apa pun.

....
....

Sejak peradaban manusia mengenal ponsel berkamera, manusia semakin sia-sia, semakin tidak berguna. Mereka menggunakan ponsel untuk apa saja, bahkan untuk hal-hal yang sungguh-sungguh sangat... sangat tak berguna. Seperti merekam kebakaran atau bencana lain. Atau selfie dengan merusak alam. Atau memotret hal-hal yang seharusnya tak terekam.

Pada September 2016, Garut dilanda banjir besar. Bencana banjir di Garut waktu itu bahkan masuk trending topic di Twitter. Orang-orang pun berdatangan ke sana. Sebagian membawa bantuan berupa makanan dan obat-obatan, sebagian lain datang ke sana untuk... selfie. What the hell?

Dandim 0611 Garut, sekaligus Komandan Satgas Tanggap Bencana Banjir Bandang Garut, Letkol Arm. Setyo Hani Susanto, marah-marah atas hal itu. Dia mengatakan bahwa warga di sana—yang menjadi korban banjir—sudah stres, dan itu masih ditambah dengan banyaknya orang yang datang ke sana untuk selfie.

“Yang lebih parah,” ia menuturkan, “mereka (orang-orang yang datang) memajang spanduk, berfoto, sambil teriak dan tertawa. Padahal di belakangnya ada saudara kita yang terkena musibah. Ini bukan wisata bencana! Mereka (warga Garut) kena musibah, sedang berupaya memungut harta bendanya yang masih tersisa, dan bahkan ada yang hilang, ada yang membersihkan rumah. Mata mereka melihat.”

Berapa banyakkah orang kurang kerjaan yang ber-selfie di musibah banjir Garut? “Bukan sepuluh atau dua puluh orang,” jawab Setyo Hani Susanto. “Ratusan orang seperti itu, seperti sebuah tontonan. Ini bukan tontonan!”

Banjir di Garut, atau musibah di mana pun, tentu bukan tontonan. Juga bukan arena hiburan. Juga bukan tempat yang tepat untuk pamer atau selfie. Tapi berapa banyakkah dari kita yang mau menyadari?

Ada banyak sekali orang yang—entah apa isi otaknya—kerap melakukan tindakan salah di tempat yang salah dengan cara yang salah. Selfie di lokasi bencana. Tertawa-tawa di tempat musibah. Merekam kebakaran tanpa paham apa manfaatnya. Merusak taman hanya untuk berfoto. Deretan ketidakmanfaatan yang salah kaprah ini masih panjang, dan menunjukkan betapa sia-sianya manusia.

Menyangkut kesia-siaan manusia, hal terakhir yang membuat saya miris adalah orang-orang yang sibuk memotret atau memvideokan acara pemakaman.

Di masa lalu, setiap kali menghadiri pemakaman, yang saya rasakan adalah suasana hening dan khusyuk. Pemakaman adalah saat-saat terakhir antara kita yang masih hidup dengan orang meninggal yang akan dimakamkan. Itu waktu-waktu sakral, yang seharusnya membuat kita menundukkan muka, dan diam seraya membiarkan detik-detik berlalu.

Itu dulu. Sekarang, rupanya, bahkan di acara pemakaman pun masih ada orang-orang yang menjadikan pemakaman sebagai waktu untuk pamer ponsel. Atau bahkan selfie sambil cengengesan.

Ada seorang teman saya yang meninggal dunia, dan kami mengantarkannya ke pemakaman. Saat jenazah akan dikuburkan, ada beberapa orang yang menggunakan ponsel untuk memotret hal itu, atau merekamnya dengan kamera video. Saya berdiri diam menyaksikan, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saya melirik anggota keluarga almarhum yang ada di sana, dan mereka semua menunjukkan muka tidak senang.

Pemakaman bukan resepsi yang membutuhkan dokumentasi. Kalau keluarga almarhum memang ingin mendokumentasikan pemakaman anggota keluarganya, biar mereka yang melakukan. Orang-orang di luar keluarga almarhum tidak punya hak untuk melakukan itu. Meski tidak pernah diajarkan siapa pun, mestinya kita menyadari bahwa memotret atau memvideokan jenazah adalah sesuatu yang melanggar etika!

Jika ada teman atau saudara atau tetangga yang meninggal, dan keluarga almarhum berkata kepadamu, “Bisakah kamu membantu mendokumentasikan acara pemakaman ini?” Maka silakan lakukan dokumentasi, berupa foto, atau video. Tidak masalah, karena itu permintaan keluarga si mati. Tetapi kalau mereka tidak meminta, jangan lakukan!

Mestinya, hal-hal sederhana terkait etika seperti ini dipahami semua orang, tanpa perlu dijelaskan lagi.

....
....

Ketika saya menulis catatan ini, Saleem Iklim (iya, Saleem Iklim yang itu!) sedang sakit dan terbaring di rumah sakit. Karena dikenal sebagai artis Malaysia, banyak orang mengunjungi Saleem di rumah sakit—termasuk para penggemar dan wartawan dari berbagai media. Dan sama seperti yang terjadi di mana pun, ada banyak orang yang mengeluarkan ponsel atau kamera, untuk memotret Saleem yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.

Kondisi Saleem terlihat menyedihkan, layaknya orang sakit. Wajahnya kuyu, tubuhnya kurus kering. Dia tampak jauh berbeda dengan sosok yang dulu menyanyikan lagu-lagu cinta, sebagaimana yang kita kenal.

Mendapati banyak orang memotret dirinya, dengan susah-payah Saleem mengatakan, “Tolong jangan unggah foto-foto saya di sini (rumah sakit) ke internet. Saya tidak nyaman dengan kondisi yang sedang saya alami.”

Itu pesan yang diucapkan orang yang sedang sakit parah. Dan apakah orang-orang mematuhi atau memenuhi permintaan itu? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, foto-foto Saleem di rumah sakit kemudian bertebaran di media sosial. Beberapa orang bahkan membanggakan diri karena “telah menjenguk Saleem di rumah sakit” sembari memamerkan foto buatannya dengan ceria.

Selfie dan kemampuan membuat foto adalah salah satu perbedaan manusia dengan primata. Sayangnya, kemampuan itu tidak diimbangi dengan kesadaran, etika, dan kearifan—sesuatu yang juga tidak dimiliki primata.

Zaman Kalabendu

Mereka menikah dan punya anak-anak, dengan harapan agar anak-anak merawat mereka di hari tua. Tapi zaman sudah berubah, dan kini mereka menghadapi kenyataan pahit yang tak terbayangkan sebelumnya » http://bit.ly/2pBxl6q

Kepada para orang tua yang anak-anaknya kini terdampar di jalanan, menyabung nyawa demi bisa makan, atau yang menarik diri dari kehidupan dengan hati menangis diam-diam... tolong tanyakan pada diri sendiri, "Untuk apa sebenarnya aku melahirkan mereka?" » http://bit.ly/1nfimsB 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Januari 2018.

Diantarkan

Ooh... diantarkan.

Kamis, 10 Mei 2018

Spoiler Film dan Ketelanjangan Scarlett Johansson

Beberapa film tampaknya memang bisa membuat 
penonton keluar dari bioskop sambil merasa depresi.


Saat Avengers: Invinity War mulai tayang di bioskop Indonesia, orang-orang di Twitter terlibat “war” sendiri. Akar “war” mereka adalah spoiler yang bertebaran di timeline, yang dicuitkan orang-orang yang telah menonton film tersebut.

Bagi sebagian orang, spoiler adalah hal haram, karena dapat menurunkan atau mengurangi kenikmatan menonton film. Orang-orang jenis ini sangat membenci spoiler, karena benar-benar ingin dapat menikmati film secara utuh dengan segala sensasi di dalamnya. Karenanya, mereka pun bisa ngamuk kalau ada orang yang seenaknya membuka spoiler.

Di sisi lain, orang-orang yang membuka spoiler mungkin menganggap tidak apa-apa melakukannya. Dalam pikiran mereka, mungkin, itu seperti menceritakan pengalaman hidupnya sendiri. Atau bisa pula mereka membuka spoiler untuk pamer karena telah menonton suatu film, sementara banyak orang lain belum menonton. Naluri semacam itu bisa saja muncul, khususnya untuk film-film populer semacam Avengers: Invinity War.

Terlepas dari hal itu, saya kadang bertanya-tanya, apakah spoiler memiliki batas waktu kedaluwarsa?

Maksud saya begini. Jika saya membocorkan jalan cerita suatu film yang baru tayang kemarin, misalnya, tentu yang saya lakukan termasuk spoiler. Tapi bagaimana kalau saya membocorkan jalan cerita terkait film yang telah rilis setahun atau bahkan tiga tahun kemarin? Apakah yang saya lakukan juga akan disebut spoiler?

Pertanyaan itu penting diajukan, agar kita bisa sama-sama menyepakati, sampai kapan batas waktu “pembocoran kisah dalam film” bisa disebut spoiler. Saya sudah mencoba mencari informasi mengenai hal ini, namun belum menemukan jawaban pasti. Padahal, batas waktu penting ditetapkan, agar masing-masing orang bisa menyadari kapan sesuatu bisa disebut spoiler, dan kapan tidak disebut spoiler lagi.

Sepertinya aneh, kalau misal kita membicarakan sebuah film yang tayang sepuluh tahun lalu, misalnya, tapi membicarakannya dengan hati-hati karena khawatir akan melakukan spoiler. Lebih aneh lagi kalau ada orang marah-marah karena mendapat spoiler untuk suatu film yang telah tayang sepuluh tahun lalu. Hellooowww?

Dalam pikiran saya, sesuatu disebut spoiler jika film yang dibicarakan masih dalam masa tayang di bioskop. Jika batas waktu tayang sudah selesai, segala bentuk pembocoran kisah dalam film tidak bisa lagi disebut spoiler. Kalau pun kemudian ada orang marah karena kita membicarakan isi film yang sudah tidak tayang di bioskop, itu salahnya sendiri. Kenapa dia tidak menonton waktu masih tayang?

Persoalan masa kedaluwarsa spoiler ini penting, khususnya bagi para kritikus film. Sekarang pikirkan pertanyaan ini: Jika orang tidak boleh membicarakan isi cerita sebuah film, lalu bagaimana kritikus bisa menganalisis film dengan baik dan komprehensif? Mau tidak mau, analisis akan melibatkan isi film—termasuk jalan cerita, akting para pemain, sudut pengambilan gambar, bahkan kemungkinan bagian ending—jika si kritikus memang menganggap bagian itu perlu diulas.

Karenanya, sekali lagi, kita perlu memiliki batas yang tegas mengenai kapan sesuatu bisa disebut spoiler, dan kapan sesuatu tidak lagi disebut spoiler. Penegasan waktu itu penting, agar orang-orang—khususnya yang suka mereviu film—tidak khawatir kalau sewaktu-waktu ingin menulis panjang lebar mengenai film yang ditonton. Di sisi lain, penegasan waktu terkait spoiler juga akan membuat orang-orang—khususnya yang antispoiler—tidak asal marah-marah kalau mendapati bocoran suatu film.

Terkait urusan spoiler, sekarang saya akan membicarakan salah satu film yang saya tonton lima tahun lalu. Judulnya Under The Skin (rilis pada 2013). Saya akan membicarakan isi film itu secara utuh, dari awal sampai akhir. Kalau ada yang ingin ngamuk karena spoiler, ingat ini film yang tayang lima tahun lalu! Kalau kau belum menontonnya, itu masalahmu.

Under The Skin dibintangi Scarlett Johansson. Dan, terus terang, itu pula satu-satunya alasan serta motivasi saya menonton film ini. Saya penggemar Mbakyu Scarlett Johansson. Jadi, saya berusaha untuk menonton semua film yang dibintanginya.

Sebagaimana kita tahu, Scarlett Johansson telah membintangi film-film populer yang asyik ditonton. Misalnya, yang terkenal, dalam seri Iron Man, Captain America, dan Avengers. Ada pula film fiksi-ilmiah; Lucy, The Island, dan Ghost in The Shell. Film-film yang saya sebut itu sangat menarik, dan saya puas menontonnya. Saya bahkan menontonnya berkali-kali.

Sampai kemudian, saya ketemu film Under The Skin. Sebelum menonton, saya sempat membaca reviu di beberapa situs dan blog film. Rata-rata mereka hanya menjelaskan sepintas isi film (karena mungkin khawatir akan spoiler). Yang jelas, karena film itu dibintangi Scarlett Johansson, saya pun menontonnya.

Hasilnya, saya kecewa.

Mungkin saya termasuk penonton film yang “awam”, sehingga tidak bisa menikmati semua jenis film. Tetapi, sesungguhnya, saya benar-benar bingung dengan film itu. Kebingungan saya sederhana, yaitu... kenapa ada orang yang sampai membuang banyak biaya untuk membuat film membingungkan semacam itu?

Jalan cerita Under The Skin sangat datar—maksud saya, sangat... sangaaaaat datar. Selain datar, jalan cerita juga membingungkan. Kita baru paham cerita apa sebenarnya yang kita tonton, ketika film itu hampir berakhir.

Dan apakah klimaks di akhir film begitu mengejutkan? Sayangnya tidak. Oh, akhir film itu mungkin memang mengejutkan. Tapi kadar “mengejutkan”-nya sudah hilang, akibat jalan cerita yang sangat datar sekaligus membingungkan dan membosankan.

Secara runtut, berikut ini isi kisah Under The Skin.

Mula-mula, muncul gambaran tidak jelas mengenai orang membopong seseorang lain. Lalu ada gambaran mengenai orang melepasi baju seseorang lain. Setelah itu, cerita mulai bergulir. Datar... datar... datar... datar.... Hanya terlihat Scarlett Johansson mengendarai mobil, berjalan perlahan, sesekali bercakap dengan orang lain, dan begitu seterusnya. Sampai film berakhir, isinya hanya seperti itu!

Bayangkanlah film paling membosankan yang pernah kalian tonton. Nah, Under The Skin lebih membosankan! Setidaknya, itulah yang saya rasakan selama menonton film tersebut.

Jika ada hal menarik terkait Under The Skin, hanyalah kesempatan melihat Scarlett Johansson telanjang. Dalam film itu, ada beberapa adegan yang cukup jelas memperlihatkan Scarlett Johansson tanpa pakaian, hingga penonton bisa melihat tubuhnya secara utuh. Saya pikir, itulah satu-satunya daya tarik Under The Skin, serta satu-satunya alasan kenapa saya—dan mungkin penonton lain—menyabar-nyabarkan diri selama menonton film tersebut.

Jadi, detailnya kira-kira seperti ini: Scarlett Johansson naik mobil perlahan-lahan. Ketemu seorang pria. Mereka ngemeng-ngemeng. Lalu masuk sebuah rumah. Saling telanjang. Ketika si pria berpikir akan segera bercinta dengan Scarlett Johansson, tubuh pria itu perlahan-lahan melesak ke dalam lumpur-hitam-entah-apa, hingga benar-benar tenggelam dan hilang. Setelah itu, Scarlett Johansson kembali berpakaian, dan melanjutkan perjalanan.

Lalu cerita serupa terjadi. Scarlett Johansson bermobil perlahan-lahan. Ketemu lagi seorang pria. Ngemeng-ngemeng lagi. Masuk rumah lagi. Telanjang lagi. Si pria tenggelam lagi. Scarlett Johansson keluyuran lagi. Dan begitu seterusnya. Sangat membosankan.

Selain jalan cerita yang membosankan, film ini juga minim dialog. Sama sekali jauh dari kesan seru atau mengasyikkan, sebagaimana kesan yang biasa kita nikmati dalam film.

Karenanya, seperti yang tadi saya nyatakan secara jujur, satu-satunya hal yang menarik dalam Under The Skin hanyalah adegan Scarlett Johansson telanjang.

Lalu bagaimana akhir filmnya? Siapakah sebenarnya Scarlett Johansson yang tidak jelas itu? Ternyata, dia adalah alien! Sudah, hanya itu.

Mengejutkan? Mungkin iya, kalau saja jalan cerita dalam film dibuat lebih menarik, sehingga penonton tidak keburu mati bosan. Susahnya, jalan cerita Under The Skin sangat datar dan membosankan. Akibatnya, meski mungkin akhir kisah akan menjadi klimaks mengejutkan, penonton sudah mati kebosanan. Dalam bahasa lugas, saya bisa mengatakan, “Paling mau ngomong dia alien saja, pakai cerita bertele-tele dan membosankan!”

Terkait film, saya menganggap bahwa tujuan dibuatnya film adalah untuk menghibur. Karenanya, sehebat apa pun muatan cerita atau pesan di dalamnya, bagaimana pun juga film harus tetap menghibur. Jika film justru membuat penonton mati bosan, artinya film itu gagal memenuhi unsur penting dirinya. Itu tak jauh beda dengan, misalnya, buku. Orang membaca buku untuk mendapat wawasan dan pengetahuan baru. Jika orang membaca buku tapi tidak bertambah wawasan, artinya buku itu telah gagal.

Jadi, omong-omong, apa pelajaran yang bisa diambil dari menonton Under The Skin? Bagi saya, pelajarannya cuma satu—kalau memang boleh disebut pelajaran—yaitu melihat Scarlett Johansson telanjang.

60 Buku Pengantar untuk Mengenal Dunia

Kalau pas selo, dan pikiran lagi fresh, coba baca buku-buku ini. Daftar ini bisa menjadi pengantar yang bagus untuk (lebih) mengenal dunia yang kita tinggali saat ini. Tidak banyak, cuma 60 buku, plus seri pendamping. (Masing-masing seri pendamping terdiri dari 1 sampai 12 buku lagi).

  1. Adam Fergusson: When Money Dies, The Nightmare Of The Weimar Hyper Inflation 
  2. Antonia Juhasz: The Tyranny of Oil, The World's Most Powerful Industry, and What We Must Do to Stop It
  3. C. Wright Mills: The Power Elite 
  4. Charles Ferguson: Predator Nation (Corporate Criminals, Political Corruption, and the Hijacking of America)
  5. Charles Mackay: Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds
  6. Charles R. Morris: The Tycoons (How Andrew Carnegie, John D. Rockefeller, Jay Gould and J.P. Morgan Invented the American Supereconomy) 
  7. Charles P. Kindleberger: Manias, Panics, and Crashes (A History of Financial Crises) 
  8. David Graeber: Debt, The First 5,000 Years
  9. David S. Landes: The Wealth and Poverty of Nations, Why Some Are So Rich and Some So Poor 
  10. Emma Rothschild: The Inner Life of Empires, An Eighteenth-Century History 
  11. Erin Arvedlund: Too Good to Be True, The Rise and Fall of Bernie Madoff 
  12. Eustace Mullins: The Secrets Of The Federal Reserve 
  13. Gary Gorton: Misunderstanding Financial Crises: Why We Don't See Them Coming 
  14. Geoffrey P. Faux: The Global Class War, How America's Bipartisan Elite Lost Our Future - and What It Will Take to Win It Back 
  15. George A. Akerlof: Phishing for Phools, The Economics of Manipulation and Deception 
  16. George Monbiot: Captive State, The Corporate Takeover of Britain 
  17. Gordon Brown: Beyond the Crash, Overcoming the First Crisis of Globalization 
  18. Greg Farrell: Crash of the Titans (Greed, Hubris, the Fall of Merrill Lynch, and the Near-Collapse of Bank of America) 
  19. Ha-Joon Chang: 23 Things They Don't Tell You About Capitalism
  20. Harald Parigger: Fugger und der Duft des Goldes, Die Entstehung des Kapitalismus 
  21. James Morcan: Bankrupting the Third World
  22. James Morcan: Interntional Bankster$, The Global Banking Elite Exposed and the Case for Restructuring Capitalism 
  23. James Rickards: Currency Wars, The Making of the Next Global Crisis
  24. Jane Mayer: Dark Money, The Hidden History of the Billionaires Behind the Rise of the Radical Right 
  25. Joel Bakan: The Corporation, The Pathological Pursuit of Profit and Power
  26. John Bowe: Nobodies, Modern American Slave Labor and the Dark Side of the New Global Economy 
  27. John Perkins: Confessions of an Economic Hit Man
  28. John Perkins: Hoodwinked, An Economic Hit Man Reveals Why the World Financial Markets Imploded & What We Need to Do to Save Them 
  29. John Perkins: The Secret History of the American Empire (Economic Hit Men, Jackals & the Truth about Global Corruption) 
  30. Joseph E. Stiglitz: Globalization and Its Discontents  
  31. Joseph E. Stiglitz: Freefall (America, Free Markets, and the Sinking of the World Economy) 
  32. Josy Joseph: A Feast of Vultures, The Hidden Business of Democracy in India 
  33. Karen Piper: The Price of Thirst, Global Water Inequality and the Coming Chaos 
  34. Kevin P. Gallagher: Ruling Capital, Emerging Markets and the Reregulation of Cross-Border Finance 
  35. Larry Doyle: In Bed with Wall Street, The Conspiracy Crippling Our Global Economy 
  36. Liaquat Ahamed: Lords of Finance, The Bankers Who Broke the World 
  37. Malcolm Balen: The King, the Crook, and the Gambler (The True Story of the South Sea Bubble and the Greatest Financial Scandal in History)
  38. Martin J. Walker: Corporate Ties That Bind, An Examination of Corporate Manipulation and Vested Interest in Public Health
  39. Muhammad Yunus: Banker to the Poor, Micro-Lending and the Battle Against World Poverty
  40. Naomi Klein: The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism 
  41. Niall Ferguson: The Ascent of Money, A Financial History of the World
  42. Niall Ferguson: The House of Rothschild (All Series)
  43. Nick Buxton: The Secure and the Dispossessed, How the Military and Corporations are Shaping a Climate-Changed World
  44. Noam Chomsky: Hegemony or Survival, America's Quest for Global Dominance 
  45. Noam Chomsky: Media Control, The Spectacular Achievements of Propaganda 
  46. Noam Chomsky: Failed States, The Abuse of Power and the Assault on Democracy 
  47. Paul Krugman: The Return of Depression Economics and the Crisis of 2008 
  48. Peter Chapman: Jungle Capitalists (A Story of Globalisation, Greed and Revolution: United Fruit and the Invention of Twentieth-century Greed)
  49. Peter Dale Scott: The American Deep State (Wall Street, Big Oil & the Attack on U.S. Democracy)
  50. Peter Temple: Hedge Funds, Courtesans of Capitalism 
  51. Robert B. Reich: Aftershock, The Next Economy and America's Future 
  52. Sebastian Mallaby: More Money Than God, Hedge Funds and the Making of a New Elite 
  53. Sheldon S. Wolin: Democracy Incorporated, Managed Democracy and the Specter of Inverted Totalitarianism
  54. Stephen E. Ambrose: Rise to Globalism, American Foreign Policy since 1938 
  55. Steven Hiatt: A Game as Old as Empire, The Secret World of Economic Hit Men and the Web of Global Corruption 
  56. Thomas Frank: One Market Under God: Extreme Capitalism, Market Populism, and the End of Economic Democracy 
  57. Thomas L. Friedman: Hot, Flat, and Crowded (Why We Need a Green Revolution, and How It Can Renew America)
  58. Tim Parks: Medici Money (Banking, Metaphysics, and Art in Fifteenth-Century Florence) 
  59. William D. Cohan: Money and Power, How Goldman Sachs Came to Rule the World 
  60. William D. Cohan: House of Cards, A Tale of Hubris and Wretched Excess on Wall Street 

Kapan-kapan, kalau pas selo, dan pikiranku juga lagi fresh, akan kutambah lagi.


*) Catatan/daftar buku ini sebelumnya saya tulis di timeline Twitter, pada 13 Maret 2018, dan saya pindahkan ke sini agar lebih mudah ditemukan.

Menjawab

Dalam suatu hal, menjawab adalah pertanyaan.

Sabtu, 05 Mei 2018

Catatan Ulang Tahun

Apa yang paling penting dalam hidup? Kesadaran. 
Ironisnya, itu justru tampak paling tidak penting, hingga terabaikan.


Setiap tahun, sebagaimana yang terjadi pada orang-orang lain, saya melewati satu hari yang menjadi tanggal ulang tahun. Bagi saya, ulang tahun adalah hari biasa, dan saya pun biasanya menjalani hari ulang tahun dengan biasa-biasa saja, sebagaimana hari-hari biasa lainnya. Seumur-umur, saya hanya satu kali merayakan ulang tahun—dulu, ketika masih awal kuliah.

Kemarin, tanggal 3 Mei, saya berulang tahun. Sebenarnya tidak ada rencana apa pun, apalagi sampai merayakannya. Saya pikir akan menjalani hari itu dengan biasa-biasa saja—membaca buku, bekerja, dan menikmati kesibukan seperti biasa. Tapi kemudian saya mendapatkan sesuatu yang lebih menyenangkan.

Semua berawal tanpa sengaja. Malam hari, 18 April kemarin, saya dan bocah ini makan malam bersama di sebuah resto. Tempatnya nyaman—tersedia tempat duduk lesehan, juga ada meja-kursi. Kami memilih tempat lesehan, biar bisa leyeh-leyeh sambil udud. Kami memesan nasi dan ikan bakar. Dan teh hangat, dan jus.

Karena pas jam sibuk (banyak pengunjung), kami harus menunggu cukup lama, dan kami pun mengobrol sambil menunggu pesanan diantarkan. Ketika sedang menunggu itulah, muncul bocah-bocah lain yang kami kenal. Resto itu memang populer di kalangan teman-teman kami, jadi pertemuan dengan teman-teman di sana bisa dibilang hal biasa. Ketika melihat kami, bocah-bocah yang baru datang ikut ngumpul di tempat kami duduk.

Mula-mula hanya dua orang. Seiring dengan itu, muncul lagi satu orang. Lalu satu orang lagi. Mereka ikut duduk di tempat kami. Akhirnya, enam orang berkumpul di satu tempat, dan kami pun mengobrol asyik—seperti umumnya bocah.

Usai makan, kami melanjutkan obrolan sampai resto tutup. Dalam obrolan itulah, beberapa dari mereka ingat kalau saya akan ulang tahun beberapa hari lagi. Mereka mengusulkan agar kami ngumpul di tempat saya, sambil bakar ikan, merayakan ulang tahun saya mendatang. “Sudah lama, kita tidak kumpul-kumpul kayak dulu.”

Saya oke saja. Saya bilang ke mereka, nanti saya carikan ikannya, sementara nasinya bisa pesan ke warung. Mereka setuju, bahkan mengatakan akan mengajak teman-teman yang lain. “Biar ramai kayak dulu,” kata mereka.

Di Hari H, saya pun siap-siap. Saya memesan nasi ke warung untuk porsi 15 orang, dan akan diambil nanti malam. Setelah itu membeli ikan untuk dibakar, menyiapkan arang, juga tempat pembakaran serta perlengkapannya. Menjelang malam, semuanya sudah siap.

Di samping kanan rumah saya ada tempat kosong tanpa atap, yang hanya berisi hamparan batu. Saya menggelar karpet di bebatuan itu, dan di sanalah kemudian kami berkumpul. Ada 11 orang yang datang—teman-teman yang lama tidak berkumpul karena kesibukan masing-masing. Secara alfabetis, mereka adalah Adit, Dani, Fahmi, Fikri, Gunawan, Heri, Miko, Rino, Safik, Salman, dan Topik. Kami semua bukan teman sekampus, tapi teman nyangkruk. Di masa lalu, kami kuliah di kampus berbeda-beda, tapi biasa ngumpul bersama.

Kami duduk bersama, beralas karpet dan beratap langit. Membakar ikan, dan bercengkerama. Setelah itu, kami makan bersama, menikmati malam yang menyenangkan. Langit tampak cerah, dengan taburan bintang, dan rembulan seperti tepat di atas kami. Bagi saya, itu acara ulang tahun sederhana namun mengesankan.

Seusai makan, kami melanjutkan percakapan sambil menikmati udud. Sebagian dari kami sudah ada yang menikah, ada pula yang sudah punya anak. Miko, yang sudah menikah, mengatakan, “Aku benar-benar kangen menikmati saat-saat seperti ini. Rasanya seperti mengulang masa lalu.”

Heri, yang juga sudah menikah, menimpali, “Betul. Sekarang, mencari sedikit waktu luang saja sulitnya luar biasa. Saban hari selalu ada yang perlu dilakukan, dan seperti tak pernah berakhir. Bisa kumpul-kumpul seperti ini rasanya seperti jeda yang sangat menyenangkan.”

Di acara itu pula, kami saling terbuka mengisahkan kehidupan masing-masing, dengan segala suka duka, bersama kejujuran dan canda tawa.

Di masa lalu, Topik dan Heri adalah teman dekat yang biasa saling mengunjungi. Namun, sejak Heri menikah, Topik mulai jarang mengunjungi Heri, dan belakangan bahkan tidak pernah lagi. Malam itu, saat kami berkumpul bersama, Heri sempat menyinggung hal itu, dan Topik menjelaskan.

“Sebenarnya, aku masih ingin dolan ke tempatmu,” ujar Topik kepada Heri. “Tapi sejujurnya aku tidak enak. Terakhir kali, saat datang ke rumahmu, kamu sedang mengurusi anakmu, dan sepertinya waktu itu kamu juga sedang sangat kerepotan. Aku khawatir kedatanganku mengganggumu.”

Heri pun kemudian menyadari, dia juga sudah lama sekali tidak dolan ke tempat Topik seperti di masa lalu, karena nyatanya dia sangat kerepotan mengurus keluarga. “Seperti yang kubilang tadi,” kata Heri, “bisa kumpul-kumpul lagi seperti ini rasanya seperti jeda menyenangkan.”

Yang mengalami “perpisahan” seperti itu bukan hanya Heri dan Topik. Beberapa teman yang lain—yang ikut kumpul malam itu—juga mengalami hal serupa. Mereka semula sangat dekat, biasa saling mengunjungi, lalu salah satu dari mereka menikah, dan pertemanan mereka pun merenggang. Saya juga mengalami hal semacam itu.

Di masa lalu, saya, Fikri, dan Safik, biasa runtang-runtung. Sebegitu dekat hubungan kami, sampai orang tua masing-masing mengenali kami sebagai teman anak mereka. Saya akrab dengan keluarga Fikri dan Safik, layaknya saudara. Lalu Fikri menikah, dan saya mengalami “dilema”. Di satu sisi, saya masih ingin sering mengunjungi Fikri, seperti biasa. Namun, di sisi lain, saya khawatir kedatangan saya akan mengganggu—persis seperti yang dialami Topik tadi.

Sejak itu pula, hanya ada saya dan Safik. Kami berdua masih sering bersama, seperti dulu, seperti biasa. Tapi kebersamaan itu pun akhirnya usai, ketika Safik menikah.

Saya masih ingat, bertahun lalu, ketika akan menikah, Safik berkata kepada saya, “Meski aku sudah menikah, aku ingin kita tetap berteman seperti biasa. Aku akan tetap mengunjungimu, dan aku berharap kamu masih mau mengunjungiku. Aku tidak ingin kehilanganmu, seperti aku kehilangan Fikri, atau yang lain.”

Waktu itu, saya pun berjanji pada Safik, bahwa saya akan tetap menjadi temannya, seperti biasa.

Tetapi, faktanya, jalan hidup tak semudah angan. Setelah menikah, Safik memasuki kehidupan baru, kesibukan baru, yang menguras energi dan menghabiskan waktunya. Di awal-awal dia menikah, saya masih mengunjunginya, sebagaimana dia juga mengunjungi saya (bersama istrinya). Tetapi, setelah punya anak, pertemuan kami makin jarang. Dia makin sibuk, sehingga tak punya waktu luang. Sementara saya juga tidak enak setiap kali ingin datang menemuinya, karena khawatir akan mengganggu.

Salman, yang juga sudah menikah, bercerita secara jujur bagaimana kehidupannya sekarang, setelah punya tiga anak yang masih kecil. “Bahkan umpama aku diberi 50 jam setiap hari, rasanya masih kurang, karena banyaknya beban serta kesibukan yang harus kulakukan,” ujarnya.

Setelah itu, ia melanjutkan, “Jika kalian bertanya, apakah aku bahagia bersama istri dan anak-anakku, tentu aku bahagia. Menatap anak-anak yang kita miliki adalah menatap wujud kebahagiaan. Tetapi, kita tahu, selalu ada harga yang harus dibayar. Termasuk untuk kebahagiaan yang kini kumiliki. Dan harga yang harus kubayar adalah berkurangnya waktu tidur, berkurangnya istirahat, termasuk berkurangnya kesempatan bertemu teman-teman. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, yang kupikirkan hanya keluarga, dan yang kulakukan hanya untuk mereka. Percaya atau tidak, aku sering merasa sudah tua.”

Secara fisik, rata-rata dari kami yang sudah menikah memang tampak lebih tua dibanding yang masih lajang. Kami semua sebaya—rata-rata berusia 30-35. Tapi perbedaan antara yang sudah menikah dan yang masih lajang bisa dibilang sangat jelas. Salman dan saya, misalnya, memiliki usia sama. Tapi Salman sudah seperti bapak-bapak, sementara saya masih mirip ABG yang baru lulus SMA. Ketika saya katakan itu, Salman ngakak sambil misuh-misuh.

Dari percakapan-percakapan yang jujur dan saling terbuka itu, kami kemudian bernostalgia ke masa lalu, saat-saat masih belia, masih sama-sama lajang, dan begitu bebas.

Safik berkata kepada saya sambil tersenyum, “Da’, masih ingat, zaman kita kuliah dulu, jalan-jalan dengan motorsport dan pakai t-shirt Volcom atau Spyderbilt? Waktu itu, kita merasa bocah-bocah paling keren sedunia. Kini, aku merasa itu sudah berabad-abad lalu. Aku masih punya t-shirt Volcom dan Spyderbilt dari masa itu. Tapi sudah malu memakainya.”

Saya tertawa mendengar itu. Saya tentu masih mengingatnya—itu zaman ketika Volcom dan Spyderbilt baru menjadi tren di kalangan bocah Indonesia. Dalam memori saya, itu baru beberapa tahun lalu, saat kami sama-sama awal kuliah. Di masa itu, Volcom atau Spyderbilt mudah dikenali, karena memiliki warna-warni nge-jreng, dan sangat meremaja.

Fahmi kemudian menyahut, “Omong-omong soal Volcom dan Spyderbilt, itu seperti cermin nyata betapa kita memang sudah berubah. Ya, aku juga punya t-shirt itu di masa lalu, dan merasa sangat keren waktu memakainya. Tapi, seperti Safik, sekarang aku juga malu memakainya. Bukan malu pada siapa pun, tapi malu pada diri sendiri, karena merasa sudah tua, karena sadar sudah tidak sekeren waktu remaja dulu.”

Setelah itu, Fahmi melanjutkan panjang lebar, “Itu seperti angan dan khayal kita, kan? Waktu masih belia, kita punya setumpuk impian dan angan indah—tentang diri sendiri dan masa depan. Tapi waktu-waktu berlalu, dan kita perlahan lupa pada semua angan dan impian itu. Kita menikah, punya anak-anak, lalu tiba-tiba hidup kita hanya sebatas keluarga. Kita benar-benar sudah tak ingat pada mimpi-mimpi indah di masa belia dulu, karena realitas telah mencengkeram kita begitu kuat. Mau tidak mau, kita harus menghadapi dan menjalani kehidupan yang ada—anak, istri, keluarga, beserta segala kesibukan di dalamnya—dan, mungkin, kadang-kadang kita ingat pada masa lalu, sambil diam-diam merasa malu. Persis seperti kita dulu merasa begitu keren saat memakai Volcom atau Spyderbilt, tapi kini malu memakainya.”

Ungkapan panjang itu membuat kami terdiam. Mungkin sama-sama menyadari kebenaran ucapan Fahmi.

Lalu saya berkata perlahan-lahan, “Sebenarnya, aku masih memakainya.”

Mereka menatap saya, dan saya menjelaskan, “Aku masih memakai Volcom atau Spyderbilt—atau semacamnya. Bukan untuk keren-kerenan, tapi untuk tidur.”

Mereka tertawa.

Saya melanjutkan, “Melihat kalian, yang sudah menikah, sejujurnya aku senang. Karena kalian bertumbuh dan menjadi pribadi yang lebih baik. Kita sama-sama tahu, beberapa dari kita yang dulu suka mabuk, sekarang tak pernah mabuk setelah menikah. Yang dulu mbah-mbuh dan seenaknya, sekarang rajin kerja keras dan menjadi pribadi bertanggung jawab. Artinya, pernikahan mampu mengubah orang menjadi lebih baik. Kalian juga memiliki banyak hal yang tidak atau belum kumiliki—pasangan, anak-anak, keluarga. Tapi, seperti yang tadi dibilang Salman, kita semua harus membayar hidup yang kita pilih. Karena setiap pilihan—menikah atau melajang—sama-sama meminta harga yang harus dibayar.”

....
....

Well, terima kasih untuk teman-teman yang kemarin sudah datang. Semoga kalian beserta keluarga juga sama-sama diberi kesehatan dan panjang umur, agar bisa melakukan hal-hal yang ingin dilakukan, impian yang ingin diwujudkan, agar hidup yang singkat ini benar-benar menjadi saat-saat yang bermakna.

Noffret’s Note: Teknologi

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, sepertinya teknologi yang makin tinggi juga diikuti kerumitan. Menurutku, itu "kesalahan penciptaan".

Sheila On7 punya filosofi yang bagus, "hebat dalam berkarya, sederhana dalam bersikap". Seharusnya, teknologi dibangun dengan dasar itu; kemampuan mesin yang hebat, dan antarmuka serta cara penggunaan yang sederhana.

Dalam konteks teknologi, manusia selalu menginginkan kehebatan, tapi di saat sama juga membutuhkan kemudahan. Kenapa para inventor tidak pernah menyadari kenyataan itu? Mereka menciptakan mesin-mesin hebat, tapi rumit.

Sepuluh tahun lalu, printer yang kugunakan sangat mudah dioperasikan. Sebegitu mudah, hingga aku bisa mengoperasikannya sambil merem. Sekarang, mengoperasikan printer seperti mau melakukan operasi caesar! (Pokoknya serumit itu).

Begitu pula dalam urusan ponsel. Semakin hebat teknologinya, semakin lebar layarnya. Aku heran, dan bertanya-tanya, bagaimana "rumus kacau" itu bisa diterapkan pada semua ponsel?

Saat ini, mencari ponsel dengan kamera 12 MP namun layarnya di bawah 5 inci (misalnya), sulitnya mendekati mustahil. Padahal, banyak orang yang membutuhkan. Aku salah satunya. Sampai sekarang, aku tidak nyaman mengantongi ponsel berukuran besar.

Kenapa produsen ponsel berasumsi bahwa semua orang membutuhkan ponsel berlayar lebar? Dari dulu sampai sekarang, aku tidak pernah tertarik pada ponsel sehebat apa pun, jika layarnya lebih dari 4,5 inci. Sebenarnya, 4 inci sudah maksimal. Lebih nyaman dikantongi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Maret 2018.

Rumus Aneh yang Terbukti

Semakin sedikit, semakin sulit.

(Kau bisa menambahkan subjek/objek apa pun ke dalamnya, atau bahkan membalik rumus aneh itu.)

Selasa, 01 Mei 2018

Kolam Darah di Thailand

Banyak orang tersesat, keliru, salah paham, 
meyakini tanpa dasar, dan selama bertahun-tahun terus begitu. 
Hanya karena asumsi yang keliru.


Di Thailand, ada pantai yang sangat indah bernama Koh Samui, tempat banyak wisatawan berdatangan. Di tepi Pantai Koh Samui ada hotel yang tak kalah indah, bernama The Library. Nama hotel itu mungkin terdengar unik, namun di dalamnya memang ada perpustakaan (library), dengan koleksi buku yang mampu membuat para kutubuku mendadak horny. Yang tak kalah unik, Hotel The Library memiliki kolam renang dengan air semerah darah.

Kolam renang semerah darah itu berada di bagian luar hotel—tepat berhadapan dengan Pantai Koh Samui—sehingga para tamu yang datang ke hotel akan melewati kolam renang tersebut. Biasanya, reaksi orang-orang yang pertama kali melewati kolam renang itu akan bergidik, karena air di kolam benar-benar seperti darah kental. Saat permukaan air sedang bergerak, yang tampak dalam pandangan kita seperti kolam darah yang sedang menggelegak.

Tetapi, tentu saja, air dalam kolam bukan darah, melainkan air sebagaimana yang kita kenal. Warna merah mirip darah muncul sebagai efek dari mozaik keramik yang digunakan di sekitar kolam, yang berpadu dengan sinar matahari. Karenanya, kalau kita memasukkan tangan ke dalam kolam, yang kita rasakan tentu air biasa. Jika kita ambil setangkup air di tangan, air di tangan kita juga tampak putih sebagaimana air biasa.

Secara keseluruhan, Hotel The Library menggunakan warna hitam, putih, dan merah. Dinding-dindingnya dominan warna putih, begitu pula tempat tidur. Namun rak-rak di perpustakaan, juga perabotan di kamar, berwarna hitam. Sementara seluruh lantai di sana berwarna merah. Merah yang menyala. Semua itu, dalam pikiran saya, perpaduan filosofis bagi para tamu yang mau berpikir.

Orang-orang yang datang ke Hotel The Library akan melewati kolam renang semerah darah, dan mereka bergidik ngeri. Lalu mereka masuk ke hotel yang putih bersih, dan mendapati perpustakaan yang menyediakan banyak buku untuk belajar. Setelah punya waktu luang, mereka bisa mendatangi kolam renang semerah darah tadi, dan mendapati bahwa air di kolam hanyalah air biasa, bukan darah.

Apa yang terjadi? Asumsi. Pembelajaran. Dan kesadaran.

Kolam dengan penampakan semerah darah pasti dibuat dengan sengaja, bukan hasil karya arsitek iseng yang ingin mengerjai tamu-tamu hotel. Begitu pun, keberadaan perpustakaan di hotel juga pasti disengaja, karena tidak setiap hotel punya perpustakaan besar. Karenanya, tepat kalau kemudian hotel itu menggunakan nama The Library. Bukan hanya tempat untuk menginap atau berlibur, tapi juga tempat untuk belajar.

Seratus tahun sebelum Hotel The Library dibangun di tepi pantai Thailand, ada kisah serupa yang melibatkan seorang astronom terkenal, bernama Percival Lowell. Di Amerika maupun di dunia umumnya, Percival Lowell dianggap sebagai astronom terkemuka di awal abad ke-20.

Dalam pengamatan di Flagstaff, Arizona, Percival Lowell menguji kebenaran hipotesa Giovanni Virginio Schiaparelli, astronom Italia, yang percaya bahwa di planet Mars pernah ada kanal. Percival Lowell setuju hipotesis Schiaparelli, terkait keberadaan kanal di Mars. Lowell bahkan mengatakan bahwa kanal-kanal itu berwarna merah, dan tampaknya bergerak.

Di dalam bukunya, Mars As the Abode of Life, Lowell tidak hanya menjelaskan penemuan tersebut, tapi juga menggambarkan peta mengenai kanal yang ia saksikan. Sejak itu, ide dan peta buatannya muncul di buku-buku pelajaran sekolah di dunia. Anak-anak sekolah diberitahu bahwa di Mars ada kanal-kanal berwarna merah, sebagaimana yang dinyatakan Percival Lowell.

Yang tidak dipahami Lowell adalah... di Mars tidak ada kanal!

Percival Lowell seorang terpelajar yang sangat teliti. Namun dia menderita penyakit mata yang masih langka, yang juga tidak diketahuinya. Saat melihat dari teleskop, dia melihat urat nadi merah di matanya sendiri. Itulah “kanal merah” yang disaksikan Lowell, saat mempelajari Mars. Pada masa itu, Lowell sangat dihormati di kalangan ilmuwan, sehingga orang-orang memilih diam. Belakangan, setelah Lowell meninggal, para ilmuwan baru mengoreksi kesalahan tersebut.

Keberadaan kanal merah di Mars diyakini Lowell sebagai kenyataan, tetapi sesungguhnya bentuk yang tercipta dari asumsinya, karena penyakit mata yang ia derita. Tentu saja kita tidak menyalahkan Lowell, karena bagaimana pun dia telah berupaya maksimal dalam penelitiannya. Namun, jika orang seserius dan seteliti Lowell bisa “ditipu” keyakinannya sendiri, apalagi kita?

Pada masa hidupnya, Percival Lowell tentu sangat yakin bahwa di Mars memang ada kanal-kanal berwarna merah. Sebegitu yakin, sampai dia bisa menjelaskanya secara meyakinkan, bahkan menggambarkan peta kanal-kanal itu dengan detail. Dan orang-orang percaya, karena dia yang mengatakan. Sayangnya, Lowell manusia biasa, yang tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan—dalam hal ini penyakit mata. Dia tidak menyadari penyakitnya sendiri, sehingga yang ia lihat diburamkan oleh penyakitnya.

Ketika menyaksikan kolam semerah darah di Hotel The Library, saya teringat pada Percival Lowell. Betapa keyakinan yang kita peroleh sebagai hasil pembelajaran dan penelitian pun kadang bisa keliru, bias, dan subjektif. Karena kita kadang punya “penyakit” tertentu yang menghalangi objektivitas dalam menatap banyak hal. Kita menggunakan asumsi dan “pengalaman” kita sendiri dalam memandang realitas.

Berapa kali kita menemui sesuatu, lalu menatap hal itu berdasarkan keyakinan kita? Berapa kali kita bertemu seseorang, dan mendengarkan kisahnya, lalu menilai orang itu berdasarkan pengalaman kita? Berapa kali kita menghadapi peristiwa, lalu memandang peristiwa itu berdasarkan asumsi-asumsi kita?

Disadari atau tidak, kita lebih sering menggunakan pengalaman kita sendiri untuk menilai banyak hal, padahal pengalaman yang kita miliki tentu subjektif dan belum tentu dialami semua orang. Itu seperti penyakit mata yang diderita Percival Lowell. Penyakit itu benar-benar ada, tapi tidak disadari, bahkan oleh pengidapnya. Yang ia hasilkan—bahkan dengan segala pembelajaran yang amat teliti—justru kekeliruan.

Seperti para tamu yang datang ke Hotel The Library. Mereka bergidik ngeri ketika melangkah di samping kolam, dan menyaksikan air semerah darah yang menggelegak. Mengapa mereka bergidik ngeri? Karena mereka menggunakan asumsi berdasar pengalaman sendiri. Mereka pernah melihat darah, dan menggunakan pengalaman itu saat melihat air di kolam.

Berbeda dengan anak-anak kecil, yang belum pernah melihat darah seumur hidup mereka. Ketika melangkah melewati kolam renang di The Library, anak-anak itu tidak menunjukkan reaksi seperti orang tua mereka. Alih-alih bergidik ngeri, anak-anak itu justru tampak tertarik. Anak-anak melihat segala sesuatu berdasarkan realitas. Kadang kala mungkin naif, namun anak-anak sering kali lebih objektif, karena mereka belum dikuasai asumsi berdasarkan pengalaman pribadi yang subjektif.

Kehidupan kita dibentuk oleh pengetahuan. Pengetahuan kita dibentuk oleh keyakinan. Keyakinan kita dibentuk oleh pengalaman. Dan pengalaman dibentuk oleh lingkungan—tempat lahir, keluarga, latar sosial, sekolah tempat belajar, pergaulan, sampai makanan, minuman, hingga musik dan film dan bacaan, yang biasa kita konsumsi. Karenanya, memaksakan sesuatu kepada orang lain bisa sangat bermasalah, khususnya jika orang lain memiliki pengalaman hidup berbeda dengan kita.

Seperti yang mungkin sering kita dengar, manusia adalah produk lingkungannya. Lingkungan adalah pembentuk keyakinannya. Keyakinan seseorang akan mempengaruhi cara dalam menjalani kehidupan.

Karena itulah, seperti yang saya sebut tadi, Hotel The Library adalah perpaduan filosofis bagi para tamu yang mau berpikir. Hotel itu mengejutkan para tamu yang datang, dengan kolam air semerah darah, dan menyediakan perpustakaan untuk belajar. Di tepi kolam juga tersedia kursi-kursi nyaman bagi yang ingin bersantai, lengkap dengan payung peneduh, hingga siapa pun bisa duduk nyaman memandangi kolam semerah darah di dekatnya, dan menatap keindahan pantai Koh Samui di kejauhan.

Karena hal-hal di dekat kita, seperti asumsi dan pengalaman, sering kali menipu. Sementara kebenaran sering kali berada di tempat lebih jauh. Dan langkah menuju ke sana adalah kemauan belajar, kesadaran untuk mau berpikir, dan kebesaran hati untuk menerima kebenaran.

Noffret’s Note: Industri

Meski tersirat, artikel ini memberitahu, bahwa ramai-ramai 
perayaan Halloween sebenarnya digerakkan oleh industri:
Halloween yang Tak Lagi Sakral dan Seram bit.ly/2I4JSew


Segala macam perayaan, sebenarnya, cuma cara industri menggerakkan bisnis mereka. Termasuk perayaan lebaran dan semacamnya, tentu saja.

Yang paling berkepentingan dalam setiap perayaan sebenarnya bukan orang-orang yang merayakan, tapi tangan industri yang tak kelihatan.

Industri memberitahu bahwa kau harus merayakan anu, bahwa kau tidak keren kalau tidak anu. Padahal tujuannya sepele: Mereka ingin uangmu.

Indonesia tidak punya akar sejarah Halloween. Kenapa sekarang merayakan? Karena tipu daya industri. Begitu pula Valentine, dan lain-lain.

Mungkin orang masih "tenang" kalau diberitahu bahwa Halloween cuma "rekayasa industri". Bagaimana kalau "Halloween" diganti "Lebaran"?

Bagi industri, Halloween atau Lebaran tidak ada bedanya. Untuk setiap perayaan, mereka punya kepentingan. Dan orang-orang tidak juga sadar.

Industri ingin kita selalu merayakan apa pun, karena dengan cara itulah mereka bisa jualan dan menghasilkan untung. Sesederhana itu.

Pernikahan, sebenarnya, bisa dilakukan sederhana. Tapi lebih banyak yang suka mewah. Kenapa? Karena tipu daya industri! Tidakkah kita paham?

Industri punya kepentingan di balik setiap perayaan perkawinanmu, dan sekarang kita paham kenapa perkawinan Raisa tempo hari begitu heboh.

Mungkin jarang yang sadar bahwa perkawinan Raisa tempo hari adalah "iklan hidup". Berbagai pihak "menempelkan" iklan-iklan mereka di sana.

Dari Halloween, Valentine, sampai perayaan Lebaran, semua sebenarnya cara industri menggerakkan bisnis dan menghasilkan keuntungan.

Pasti akan menarik kalau ada jurnalis yang "cukup gila", yang mau mengungkap bagaimana permainan industri di balik perayaan Lebaran.

Alasan kenapa aku menjauh dari perayaan Lebaran: Karena Lebaran di Indonesia, dalam pikiranku, adalah penindasan pada orang-orang lemah.

Tidak ada perayaan (di Indonesia) yang menciptakan inflasi sedemikian gila, selain perayaan Lebaran. Dan itu sangat mengerikan.

Yang paling mengerikan dari industri adalah... semua industri jualan doktrin. Dari doktrin "agar kau keren" sampai doktrin "agar kau..."


*) Ditranskrip dari timeline‏ @noffret, 31 Oktober 2017.

Palawija atau Rempah-rempah

Kadang-kadang aku berpikir kita semua sebenarnya palawija... atau rempah-rempah.

 
;