Kamis, 10 Mei 2018

Spoiler Film dan Ketelanjangan Scarlett Johansson

Beberapa film tampaknya memang bisa membuat 
penonton keluar dari bioskop sambil merasa depresi.


Saat Avengers: Invinity War mulai tayang di bioskop Indonesia, orang-orang di Twitter terlibat “war” sendiri. Akar “war” mereka adalah spoiler yang bertebaran di timeline, yang dicuitkan orang-orang yang telah menonton film tersebut.

Bagi sebagian orang, spoiler adalah hal haram, karena dapat menurunkan atau mengurangi kenikmatan menonton film. Orang-orang jenis ini sangat membenci spoiler, karena benar-benar ingin dapat menikmati film secara utuh dengan segala sensasi di dalamnya. Karenanya, mereka pun bisa ngamuk kalau ada orang yang seenaknya membuka spoiler.

Di sisi lain, orang-orang yang membuka spoiler mungkin menganggap tidak apa-apa melakukannya. Dalam pikiran mereka, mungkin, itu seperti menceritakan pengalaman hidupnya sendiri. Atau bisa pula mereka membuka spoiler untuk pamer karena telah menonton suatu film, sementara banyak orang lain belum menonton. Naluri semacam itu bisa saja muncul, khususnya untuk film-film populer semacam Avengers: Invinity War.

Terlepas dari hal itu, saya kadang bertanya-tanya, apakah spoiler memiliki batas waktu kedaluwarsa?

Maksud saya begini. Jika saya membocorkan jalan cerita suatu film yang baru tayang kemarin, misalnya, tentu yang saya lakukan termasuk spoiler. Tapi bagaimana kalau saya membocorkan jalan cerita terkait film yang telah rilis setahun atau bahkan tiga tahun kemarin? Apakah yang saya lakukan juga akan disebut spoiler?

Pertanyaan itu penting diajukan, agar kita bisa sama-sama menyepakati, sampai kapan batas waktu “pembocoran kisah dalam film” bisa disebut spoiler. Saya sudah mencoba mencari informasi mengenai hal ini, namun belum menemukan jawaban pasti. Padahal, batas waktu penting ditetapkan, agar masing-masing orang bisa menyadari kapan sesuatu bisa disebut spoiler, dan kapan tidak disebut spoiler lagi.

Sepertinya aneh, kalau misal kita membicarakan sebuah film yang tayang sepuluh tahun lalu, misalnya, tapi membicarakannya dengan hati-hati karena khawatir akan melakukan spoiler. Lebih aneh lagi kalau ada orang marah-marah karena mendapat spoiler untuk suatu film yang telah tayang sepuluh tahun lalu. Hellooowww?

Dalam pikiran saya, sesuatu disebut spoiler jika film yang dibicarakan masih dalam masa tayang di bioskop. Jika batas waktu tayang sudah selesai, segala bentuk pembocoran kisah dalam film tidak bisa lagi disebut spoiler. Kalau pun kemudian ada orang marah karena kita membicarakan isi film yang sudah tidak tayang di bioskop, itu salahnya sendiri. Kenapa dia tidak menonton waktu masih tayang?

Persoalan masa kedaluwarsa spoiler ini penting, khususnya bagi para kritikus film. Sekarang pikirkan pertanyaan ini: Jika orang tidak boleh membicarakan isi cerita sebuah film, lalu bagaimana kritikus bisa menganalisis film dengan baik dan komprehensif? Mau tidak mau, analisis akan melibatkan isi film—termasuk jalan cerita, akting para pemain, sudut pengambilan gambar, bahkan kemungkinan bagian ending—jika si kritikus memang menganggap bagian itu perlu diulas.

Karenanya, sekali lagi, kita perlu memiliki batas yang tegas mengenai kapan sesuatu bisa disebut spoiler, dan kapan sesuatu tidak lagi disebut spoiler. Penegasan waktu itu penting, agar orang-orang—khususnya yang suka mereviu film—tidak khawatir kalau sewaktu-waktu ingin menulis panjang lebar mengenai film yang ditonton. Di sisi lain, penegasan waktu terkait spoiler juga akan membuat orang-orang—khususnya yang antispoiler—tidak asal marah-marah kalau mendapati bocoran suatu film.

Terkait urusan spoiler, sekarang saya akan membicarakan salah satu film yang saya tonton lima tahun lalu. Judulnya Under The Skin (rilis pada 2013). Saya akan membicarakan isi film itu secara utuh, dari awal sampai akhir. Kalau ada yang ingin ngamuk karena spoiler, ingat ini film yang tayang lima tahun lalu! Kalau kau belum menontonnya, itu masalahmu.

Under The Skin dibintangi Scarlett Johansson. Dan, terus terang, itu pula satu-satunya alasan serta motivasi saya menonton film ini. Saya penggemar Mbakyu Scarlett Johansson. Jadi, saya berusaha untuk menonton semua film yang dibintanginya.

Sebagaimana kita tahu, Scarlett Johansson telah membintangi film-film populer yang asyik ditonton. Misalnya, yang terkenal, dalam seri Iron Man, Captain America, dan Avengers. Ada pula film fiksi-ilmiah; Lucy, The Island, dan Ghost in The Shell. Film-film yang saya sebut itu sangat menarik, dan saya puas menontonnya. Saya bahkan menontonnya berkali-kali.

Sampai kemudian, saya ketemu film Under The Skin. Sebelum menonton, saya sempat membaca reviu di beberapa situs dan blog film. Rata-rata mereka hanya menjelaskan sepintas isi film (karena mungkin khawatir akan spoiler). Yang jelas, karena film itu dibintangi Scarlett Johansson, saya pun menontonnya.

Hasilnya, saya kecewa.

Mungkin saya termasuk penonton film yang “awam”, sehingga tidak bisa menikmati semua jenis film. Tetapi, sesungguhnya, saya benar-benar bingung dengan film itu. Kebingungan saya sederhana, yaitu... kenapa ada orang yang sampai membuang banyak biaya untuk membuat film membingungkan semacam itu?

Jalan cerita Under The Skin sangat datar—maksud saya, sangat... sangaaaaat datar. Selain datar, jalan cerita juga membingungkan. Kita baru paham cerita apa sebenarnya yang kita tonton, ketika film itu hampir berakhir.

Dan apakah klimaks di akhir film begitu mengejutkan? Sayangnya tidak. Oh, akhir film itu mungkin memang mengejutkan. Tapi kadar “mengejutkan”-nya sudah hilang, akibat jalan cerita yang sangat datar sekaligus membingungkan dan membosankan.

Secara runtut, berikut ini isi kisah Under The Skin.

Mula-mula, muncul gambaran tidak jelas mengenai orang membopong seseorang lain. Lalu ada gambaran mengenai orang melepasi baju seseorang lain. Setelah itu, cerita mulai bergulir. Datar... datar... datar... datar.... Hanya terlihat Scarlett Johansson mengendarai mobil, berjalan perlahan, sesekali bercakap dengan orang lain, dan begitu seterusnya. Sampai film berakhir, isinya hanya seperti itu!

Bayangkanlah film paling membosankan yang pernah kalian tonton. Nah, Under The Skin lebih membosankan! Setidaknya, itulah yang saya rasakan selama menonton film tersebut.

Jika ada hal menarik terkait Under The Skin, hanyalah kesempatan melihat Scarlett Johansson telanjang. Dalam film itu, ada beberapa adegan yang cukup jelas memperlihatkan Scarlett Johansson tanpa pakaian, hingga penonton bisa melihat tubuhnya secara utuh. Saya pikir, itulah satu-satunya daya tarik Under The Skin, serta satu-satunya alasan kenapa saya—dan mungkin penonton lain—menyabar-nyabarkan diri selama menonton film tersebut.

Jadi, detailnya kira-kira seperti ini: Scarlett Johansson naik mobil perlahan-lahan. Ketemu seorang pria. Mereka ngemeng-ngemeng. Lalu masuk sebuah rumah. Saling telanjang. Ketika si pria berpikir akan segera bercinta dengan Scarlett Johansson, tubuh pria itu perlahan-lahan melesak ke dalam lumpur-hitam-entah-apa, hingga benar-benar tenggelam dan hilang. Setelah itu, Scarlett Johansson kembali berpakaian, dan melanjutkan perjalanan.

Lalu cerita serupa terjadi. Scarlett Johansson bermobil perlahan-lahan. Ketemu lagi seorang pria. Ngemeng-ngemeng lagi. Masuk rumah lagi. Telanjang lagi. Si pria tenggelam lagi. Scarlett Johansson keluyuran lagi. Dan begitu seterusnya. Sangat membosankan.

Selain jalan cerita yang membosankan, film ini juga minim dialog. Sama sekali jauh dari kesan seru atau mengasyikkan, sebagaimana kesan yang biasa kita nikmati dalam film.

Karenanya, seperti yang tadi saya nyatakan secara jujur, satu-satunya hal yang menarik dalam Under The Skin hanyalah adegan Scarlett Johansson telanjang.

Lalu bagaimana akhir filmnya? Siapakah sebenarnya Scarlett Johansson yang tidak jelas itu? Ternyata, dia adalah alien! Sudah, hanya itu.

Mengejutkan? Mungkin iya, kalau saja jalan cerita dalam film dibuat lebih menarik, sehingga penonton tidak keburu mati bosan. Susahnya, jalan cerita Under The Skin sangat datar dan membosankan. Akibatnya, meski mungkin akhir kisah akan menjadi klimaks mengejutkan, penonton sudah mati kebosanan. Dalam bahasa lugas, saya bisa mengatakan, “Paling mau ngomong dia alien saja, pakai cerita bertele-tele dan membosankan!”

Terkait film, saya menganggap bahwa tujuan dibuatnya film adalah untuk menghibur. Karenanya, sehebat apa pun muatan cerita atau pesan di dalamnya, bagaimana pun juga film harus tetap menghibur. Jika film justru membuat penonton mati bosan, artinya film itu gagal memenuhi unsur penting dirinya. Itu tak jauh beda dengan, misalnya, buku. Orang membaca buku untuk mendapat wawasan dan pengetahuan baru. Jika orang membaca buku tapi tidak bertambah wawasan, artinya buku itu telah gagal.

Jadi, omong-omong, apa pelajaran yang bisa diambil dari menonton Under The Skin? Bagi saya, pelajarannya cuma satu—kalau memang boleh disebut pelajaran—yaitu melihat Scarlett Johansson telanjang.

 
;