Selasa, 29 Mei 2018

Wasiat Terakhir

Ada yang lebih menyedihkan dari kematian fisik,
yakni kematian akal sehat dan kesadaran.
@noffret


Sulaiman sekarat. Atau setidaknya dia merasa begitu. Adiknya mengabari saya bahwa Sulaiman sakit—sudah beberapa lama hanya terbaring di tempat tidur—dan saya tergerak untuk menjenguk. 

Di masa lalu, sebagaimana yang dikisahkan di sini, Sulaiman dan saya berteman akrab, karena bekerja di tempat yang sama. Ketika saya tidak lagi bekerja di sana, kami mulai jarang bertemu. Meski begitu, kami kadang masih menyempatkan diri untuk saling menjenguk, membina pertemanan yang telah terjalin. 

Saya suka mengobrol dengan Sulaiman, karena dia sosok yang bijak. Dia senang memikirkan banyak hal, dan biasanya kami membicarakan hal-hal yang ia pikirkan dengan asyik sambil cekikikan.

Sampai kemudian, karena kesibukan yang luar biasa, saya dan Sulaiman cukup lama tidak bertemu. Pada waktu itulah, saya ketemu adiknya tanpa sengaja, yang mengabarkan kondisi Sulaiman.

Suatu sore, saya pergi ke rumah Sulaiman, untuk menjenguk. Dia tinggal bersama orang tuanya, dan mereka—orang tua Sulaiman—mengenali saya teman anak mereka. Saya diantarkan ke kamar Sulaiman, tempatnya berbaring, dan kondisinya memang tampak memprihatinkan. 

Di kamarnya itulah Sulaiman mengatakan pada saya, bahwa dia sekarat.

Saya bertanya, penyakit apa yang dideritanya, dan Sulaiman menjawab, “Entahlah, aku tidak tahu.”

Sebelumnya, keluarga Sulaiman telah memeriksakan kondisi Sulaiman ke dokter, dan diberi resep obat, tapi kondisi Sulaiman tidak juga membaik. Pernah, Sulaiman juga dirawat di rumah sakit—dan sempat menginap di sana empat hari—tapi kondisinya tidak juga membaik. Karena hal itu, dan karena biaya yang mahal, pihak keluarga akhirnya membawa Sulaiman pulang ke rumah. 

Di rumah, Sulaiman hanya berbaring di tempat tidur, meski sesekali bisa bangkit untuk ke kamar mandi dengan tubuh sempoyongan. 

“Yang kurasakan seperti demam atau meriang biasa,” ujar Sulaiman, “tubuhku rasanya lemah sekali. Tapi demam atau meriang ini tidak juga sembuh.”

Setelah itu, dengan suara lirih, Sulaiman melanjutkan, “Aku merasa sedang sekarat.”

Saya duduk di kursi, di samping tempatnya berbaring, dan mengajaknya mengobrol, berharap pertemuan serta obrolan kami bisa sedikit menghiburnya. Pada waktu itu, saya sempat menawari sesuatu yang mungkin diinginkannya. Di luar dugaan, Sulaiman menjawab, “Aku ingin klepon.”

Saya merasa salah dengar. “Kamu ingin... apa?”

“Klepon,” ulang Sulaiman.

Saya memastikan, “Klepon?” 

“Ya, klepon.” Dia menjawab dengan konsisten, jadi dia memang ingin klepon. Kemudian, Sulaiman menambahkan, “Kamu tahu klepon di depan Toko X (nama sebuah toko)? Yang pakai gerobak itu?”

Saya tahu, di depan Toko X memang ada penjual klepon. Penjualnya seorang lelaki, mungkin berusia 50-an, dan klepon jualannya ada di sebuah gerobak, seperti yang dibilang Sulaiman. 

Saya pun menjanjikan pada Sulaiman, “Besok aku akan ke sini lagi, dan kamu bisa menikmati klepon.”

....
....

Besoknya, saya pergi ke penjual klepon di depan Toko X, untuk membeli klepon sebagaimana yang diinginkan Sulaiman. Kebetulan, waktu itu, suasana di sekitar sana sedang macet parah. Beberapa orang menyatakan ada kecelakaan di ujung jalan, dan akibatnya kini ratusan kendaraan macet nyaris tak bergerak. 

Ketika klepon pesanan saya sudah dibungkus, saya berdiri sesaat menatap kemacetan parah di jalan. Jika saya pergi saat itu, mau tak mau saya juga harus terjebak dalam kemacetan. Akhirnya, dengan maksud menunggu kemacetan di sana agak berkurang, saya duduk di bangku yang ada di dekat gerobak klepon.

Setelah selesai melayani pembeli lain, penjual klepon duduk di samping saya, dan sesaat kami mengobrolkan kemacetan yang sedang terjadi. Tanpa sengaja, saya melihat emblem FPI (Front Pembela Islam) di baju yang dikenakan si penjual klepon. Karena tertarik, saya bertanya, “Sampeyan anggota FPI, Pak?”

“Iya, Mas,” jawab penjual klepon. 

Setelah itu, obrolan tentang kemacetan beralih ke obrolan soal FPI. Saya bertanya kegiatannya di FPI, dan penjual klepon menceritakan dengan nada bangga. “Kami memerangi maksiat, Mas!” ujarnya. Lalu ada setumpuk kisah yang dia ceritakan, dari menggerebek sarang prostitusi, menindak penjual togel, sampai menutup paksa warung yang buka di bulan puasa.

Penjual klepon mengatakan, “Meski orang lemah, saya punya tanggung jawab moral untuk sama-sama memelihara ajaran Islam, dan menindak kemaksiatan. Bersama FPI, saya bisa melaksanakan tanggung jawab itu.”

Saya bertanya, apakah dia tahu siapa pendiri FPI, atau tujuan dan latar belakang didirikannya FPI? 

Dia tidak tahu, dan mengatakan tidak peduli. “Yang saya tahu,” ujarnya, “FPI adalah organisasi yang bergerak dan berjuang demi Islam!”

Untuk menguatkan pernyataannya, dia pun mengisahkan banyak hal yang selama ini telah dilakukan FPI, yang lagi-lagi berkutat seputar memberangus kemaksiatan. Karena tertarik, saya bertanya suka duka bergabung dengan FPI, dan dia lagi-lagi menceritakan dengan bangga. 

“Meski kadang ada risiko yang harus kami hadapi,” ujarnya kemudian.

Saya makin tertarik. “Risiko bagaimana, Pak?”

Lalu dia menceritakan aksi penutupan paksa terhadap warung yang buka pada bulan puasa, beberapa tahun sebelumnya. Waktu itu, menurut ceritanya, FPI menutup suatu warung, dan—karena situasi yang terjadi—aksi penutupan itu agak “kacau”. Makanan di warung tumpah berantakan, sementara si penjual histeris. Pada waktu itu, anggota FPI yang terlibat dalam penutupan warung tidak menyadari ada seseorang yang diam-diam mengamati—anak si penjual warung.

Anak penjual warung itu rupanya preman yang punya banyak teman. Melihat warung ibunya rusak dan berantakan, si anak marah, dan dari kejauhan mengamati orang-orang—anggota FPI—yang terlibat dalam masalah itu. Selang beberapa hari kemudian, si anak penjual warung, bersama teman-temannya, mendatangi satu per satu anggota FPI yang terlibat perusakan warung, di rumahnya masing-masing. Kejadian selanjutnya tak perlu saya ceritakan.

Saya bertanya, “Apakah setelah itu, FPI masih... memerangi kemaksiatan?”

Penjual klepon mengangguk. “Meski kami juga harus lebih waspada.”

“Maksudnya, lebih waspada kalau-kalau kejadian serupa terulang?”

“Kami tidak takut preman, Mas,” ujarnya. “Asal mereka tidak main keroyokan!”

“Tentu saja begitu.”

Perlahan tapi pasti, kemacetan di jalan mulai terurai, dan saya pun pamit pada penjual klepon. Beberapa saat kemudian, saya sudah melaju ke rumah Sulaiman.

....
....

Sulaiman tampak senang melihat saya membawakan klepon seperti yang diinginkannya. Ia duduk menyandar pada bantal. Sambil bercanda, saya mengatakan, “Untuk orang yang sekarat, klepon benar-benar pilihan aneh.”

Sulaiman tersenyum. “Ini (sambil menunjuk klepon di depannya) makanan favoritku sejak kecil.”

Sulaiman mulai menikmati klepon, mengunyah perlahan-lahan. Dia tampak menghayati makanan favoritnya. 

Setelah merasa cukup, Sulaiman menghentikan makannya. Wajahnya tampak puas. Saya penasaran, dan bertanya, “Setelah menikmati makanan favoritmu, apakah kamu masih merasa sekarat?”

Lagi-lagi Sulaiman tersenyum. Tapi tidak menjawab.

Saya kembali bertanya, “Sebenarnya, apa yang kamu rasakan?”

“Aku hanya merasa... menyesal,” ujar Sulaiman perlahan. “Maksudku, menyesal atas banyak hal yang pernah kulakukan. Saat sehat, kita sering lupa sewaktu-waktu bisa sakit, dan aku menggunakan waktu sehatku untuk hal-hal yang kupikir sekarang tak bermanfaat. Entah kenapa, banyak hal yang dulu kupandang baik dan berguna, kini terasa sia-sia. Karena itulah aku menyesal.”

Saya menyahut, “Kupikir, semua orang juga begitu, ketika mereka mulai sadar.”

Sulaiman mengangguk. “Kamu akan makin menyadari hal itu, saat merasa sedang sekarat. Seperti yang kualami sekarang. Saat tak bisa apa-apa, selain hanya bisa mengingat dan memikirkan hal-hal yang pernah kulakukan. Sekarang aku menyadari, banyak waktu yang telah kubuang untuk hal-hal tak berguna. Kalau saja bisa mengulang, aku tidak akan peduli pada apa pun, selain hanya mengisi hidupku dengan hal-hal baik yang jelas bemanfaat, yang tak akan kusesali.”

“Kamu telah mengisi hidup dengan hal-hal baik, Sul,” ujar saya membesarkan hatinya. “Selama menjadi temanmu, aku tahu kamu hanya sibuk bekerja dan melakukan hal-hal bermanfaat.”

Sulaiman menatap saya. “Tapi kamu tidak tahu yang ada dalam pikiranku, atau yang ada di hatiku.”

Ketika saya akan pamit pulang, waktu itu, Sulaiman berkata, “Saat kamu merasa sehat, dan kuat, dan merasa bisa melakukan apa pun, kamu akan lebih menujukan pandangan ke luar—ke orang-orang lain, menghitung kesalahan mereka, menghakimi dosa mereka. Saat kamu sakit, tak berdaya, dan sekarat, kamu akan lebih menujukan padangan ke dalam—ke diri sendiri, menghitung kesalahan yang telah dilakukan, dan menyesali banyak hal yang sia-sia...”

Dua hari kemudian, Sulaiman meninggal.

Kematian memang tak pernah memandang usia. Tua atau muda tak berbeda bagi Sang Maut, dan saya kehilangan seorang teman.

Kalau saja saya tahu Sulaiman akan pergi secepat itu, saya ingin lebih banyak mengobrol dengannya, lebih sering menghabiskan waktu bersamanya. Saya pikir kami akan hidup sampai tua... sebagaimana yang biasa dibayangkan manusia. Tapi kematian memang tidak peduli apa yang dibayangkan atau diinginkan manusia. Ia datang kapan saja, dengan alasan dan penyebab apa pun, yang kadang tak terduga.

Kini Sulaiman telah tiada, dan saya menyesal serta kehilangan. Meski begitu, setidaknya, Sulaiman meninggalkan sesuatu yang berharga untuk saya ingat.

“Saat kamu merasa sehat, dan kuat, dan merasa bisa melakukan apa pun, kamu akan lebih menujukan pandangan ke luar—ke orang-orang lain, menghitung kesalahan mereka, menghakimi dosa mereka. Saat kamu sakit, tak berdaya, dan sekarat, kamu akan lebih menujukan padangan ke dalam—ke diri sendiri, menghitung kesalahan yang telah dilakukan, dan menyesali banyak hal yang sia-sia....”

Selamat jalan, Sobat. 

 
;