Selasa, 20 Desember 2022

Akar Busuk Kapitalisme

Mumpung ingat, mumpung selo, dan mumpung udud masih panjang, aku mau melanjutkan ocehan ini.


Mari kita mulai dengan artikel ilmiah ini.



The Conversation bertanya, mengapa rata-rata orang Indonesia menganggap kunci sukses adalah ikhtiar atau kerja keras, dan bukan latar kelas sosialnya?

Pertanyaan itu sering menghasilkan jawaban stereotipe, yaitu “kemiskinan sistemik”, “kemiskinan struktural”, dan semacamnya.

Sebagian (kecil?) orang Indonesia saat ini sudah mulai sadar bahwa masalah kemiskinan tidak sekadar karena takdir atau karena orang miskin bersangkutan kurang kerja keras. Penyebab kemiskinan mayoritas orang di Indonesia—atau bahkan di dunia—adalah sistem.

Mayoritas orang miskin dari lahir sampai mati, sering kali bukan karena kurang kerja keras, bahkan bukan karena takdir semata, melainkan karena sistem yang buruk, yang melemparkan miliaran orang terus berkejaran dengan aneka kekurangan dan hambatan dalam lingkaran setan.

Kenyataan itulah yang mendasari lahirnya istilah “kemiskinan sistemik” atau “kemiskinan struktural”, yaitu kemiskinan yang lahir karena sistem, kemiskinan yang tercipta karena hasil warisan. Ini benar, meski sebagian orang masih menyangkal, dan percaya dunia baik-baik saja.

Pertanyaannya, dan yang jadi masalah, sekarang... bagaimana sistem itu bisa tercipta, hingga kemudian menciptakan ketimpangan mengerikan—jurang dalam antara si kaya dan si miskin—hingga yang satu bergelimang kemewahan, sementara satu lagi terjebak dalam lingkaran setan?

Kapitalisme? Oh, well, tentu saja mudah menyalahkan kapitalisme, dan kenyataannya mereka memang salah. Kapitalisme bahkan tidak akan mengelak andai kita lempari mereka dengan segala sumpah serapah yang berasal dari neraka. Kapitalisme [ekstrem] sadar, mereka salah.

Karenanya, terlalu mudah kalau sekadar menyalahkan kapitalisme, dan itu jelas tidak akan menyelesaikan masalah. Sekadar mengutuk kapitalisme juga membuktikan kita hanya mau cari gampang, sambil merasa jadi Che Guevara abad 21. Lebih dari itu, kapitalisme tidak berdiri sendiri.

Bagaimana kemiskinan sistemik dan struktural bisa ada di dunia? Terlalu menggampangkan kalau kita menganggap dan menuduh kapitalisme sebagai satu-satunya penyebab. Dalam perspektifku, kapitalisme bukan akar—ia “hanyalah” pohon besar yang ditumbuhkan oleh akar.

Dan apa akarnya? "Kebodohan" sistemik dan struktural! Kenapa kita tidak pernah berpikir ke situ—atau pura-pura tak tahu?

Kapitalisme bisa saja ada, tapi ia akan goyah, bahkan mudah ditumbangkan, andai tidak disokong akar kuat bernama "kebodohan" sistemik dan struktural.

Sampai di sini, kita harus masuk wilayah mengerikan terkait keyakinan, dan ocehan ini—kalau kulanjutkan—bisa sangat berbahaya, karena akan menyentuh impuls-impuls paling peka terkait keyakinan manusia. Tapi setidaknya kau mulai paham apa yang kumaksudkan—kalau kau cukup peka.

Karenanya, ketika The Conversation bertanya, “mengapa rata-rata orang Indonesia menganggap kunci sukses adalah ikhtiar atau kerja keras, dan bukan latar kelas sosialnya”, aku ingin menangis sambil tertawa. Tentu saja mereka akan menganggap begitu, karena didoktrin begitu!

Jangankan melihat kausalitas antara kerja keras dan kesuksesan—yang secara “gamblang” tampak berkaitan—bahkan untuk hal-hal yang jelas tak berkaitan pun mereka percaya! Mereka percaya bahwa menikah akan melancarkan rezeki, misalnya, meski realitas menunjukkan sebaliknya.

“Banyak anak banyak rezeki”, atau “tiap anak memiliki rezeki sendiri”, sebenarnya bukan ajaran agama—itu ajaran kapitalisme!

Bagi kapitalisme, semakin banyak anak-anakmu (dan “mu” di sini merujuk pada orang-orang tak berprivilese) artinya semakin banyak tenaga yang bisa diperas.

Jadi kapitalisme sangat ingin kita (orang-orang tak berprivilese) cepat menikah dan beranak pinak, kalau bisa sebanyak-banyaknya. Karena anak-anak kita akan menjadi sapi perah mereka, dan menjadikan mereka semakin kaya-raya, sementara kita terus hidup keblangsak.

Sekarang pikirkan hal sederhana ini; apa yang membuat para kapitalis (khususnya kapitalisme ekstrem) jadi kaya dan semakin kaya? Hanya dua hal. Pertama adalah pekerja yang murah, dan kedua adalah pasar yang melimpah! Dan keduanya adalah... oh, well, benar sekali, populasi!

Itulah kenapa aku menulis ocehan ini, bahwa yang mendukung—bahkan pendukung utama—kapitalisme adalah overpopulasi. Dan akar overpopulasi adalah... doktrin perkawinan!

(Agar benar-benar paham, baca utas ini dari awal sampai akhir):



Tapi kita—rata-tata manusia—selalu tahu cara menghibur diri sendiri, ngadem-ngademi diri sendiri, karena salah satu keahlian manusia yang luar biasa adalah membohongi diri sendiri. Manusia tidak percaya pada realitas; mereka hanya percaya pada yang ingin mereka percaya.

Jadi, kalau kita bertanya bagaimana cara menghentikan ketimpangan serta kemiskinan struktural dan sistemik, jawabannya adalah meruntuhkan kapitalisme. Dan bagaimana cara meruntuhkan kapitalisme? Jawabannya sangat gamblang... kalau kau cukup punya nalar untuk memikirkannya.

PS: 

Ada banyak miliuner yang juga menjadi filantropis, terlepas apa pun motivasi filantropi mereka. Jika kita meriset aksi filantropi para miliuner itu, rata-rata fokus pada bidang pendidikan, kesehatan, dan hal-hal semacamnya. Sekilas tampak baik, tapi sebenarnya sangat aneh.

Para miliuner/filantropis itu bukan orang-orang tolol; mereka tahu apa yang mereka lakukan. Tapi mereka hanya sekadar “menutupi masalah”. Ada kemiskinan? Mereka tutup dengan bansos. Kebodohan? Mereka tutup dengan kampus. Penyakit? Mereka tutup dengan rumah sakit. Dan seterusnya.

Tidak ada dari mereka yang mau masuk ke akar masalah sebenarnya, yang saat ini terjadi di dunia—kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural. Mereka pura-pura tak tahu. Kenapa? Jawabannya sederhana; karena punya kepentingan—mereka butuh anak-anakmu untuk menggerakkan industri!

Dalam bahasa yang blak-blakan, mereka justru ingin kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural terus ada, karena itu menguntungkan mereka. 

Tapi yang diuntungkan oleh kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural bukan hanya kapitalisme... tapi juga akarnya! You know what!

Jadi Jeff Bezos mengkhayal memindahkan sebagian orang ke luar angkasa, Elon Musk mengkhayal semua benda di muka bumi bersih dari polusi, sementara Bill Gates mengkhayal di dunia ini tidak ada penyakit. Tapi sebenarnya mereka tahu, inti masalahnya bukan itu!

Diakui atau tidak, Bezos butuh anak-anakmu, dan anak-anak dari anak-anakmu, karena anak-anak itulah yang menjadikan dia semakin kaya-raya. Begitu pula Musk, Gates, Jack Ma, sebut lainnya. Seiring dengan itu, kita terus didoktrin, “Menikah akan melancarkan rezeki.” Oh, well.

Ada cara mudah untuk memahami bagaimana “permainan” dunia ini dijalankan, hingga kita terjebak dan terperangkap di dalamnya. 

Belilah mainan Monopoli, dan bermainlah dengan teman-temanmu. Lemparkan dadu ke tengah mainan, lalu ingat kalimat Einstein, “Tuhan tidak bermain dadu.”

End note:

Di dunia yang fana ini, di tengah luka serta penderitaan umat manusia... hanya ada dua pihak yang mendapat keuntungan dari kemiskinan sistemik dan kebodohan struktural, hingga mereka berusaha melanggengkannya. Yang pertama adalah kapitalisme, yang kedua adalah akarnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Agustus 2020.

Menatap Jiwa Terlelap

Di seberang trotoar tempatku makan tadi, seorang tukang becak bersiap untuk istirahat. Dia naikkan becaknya ke trotoar yang lengang, memasang rantai di roda belakang, lalu menggelar terpal di depan becaknya. Setelah itu dia mulai membaringkan diri di terpal, berselimut sarung.

Dari seberang jalan, sambil udud seusai makan, aku memandanginya dengan perasaan iri. Damai sekali hidupnya.

Iri yang kurasakan mungkin tak masuk akal, karena aku hanya melihatnya damai saat dia akan istirahat, dan tak tahu isi pikirannya, hatinya, juga bagaimana kehidupannya.

Bisa jadi dia menanggung beban yang amat berat, pikiran yang ruwet menanggung tuntutan hidup, dan terpisah jauh dari keluarganya (di kotaku ada cukup banyak tukang becak yang datang dari kota lain, dan mereka tidak punya tempat tinggal, selain hanya punya becak untuk bekerja).

Aku sering keluar rumah jam 3 atau 4 pagi untuk sarapan, dan pasti mendapati para tukang becak "tersebar" di banyak trotoar kota, sedang terlelap dalam istirahat, berselimut sarung. Mereka tampak begitu damai, dalam tidurnya, dalam mimpinya, meski dingin menusuk tulang.

Menatap makhluk hidup yang sedang terlelap selalu membuat hatiku menghangat. Mereka tampak begitu damai... kesempatan yang diberikan alam untuk istirahat sejenak dari segala kesemrawutan hidup, terlepas sesaat dari semua kekalutan, tekanan, mimpi-mimpi, dan ketidakpastian.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Desember 2020.

Dikandani Bocah

Dikandani bocah ora percoyo.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 April 2020.

Cuaca yang Sempurna

Cuacanya benar-benar sempurna untuk—meminjam istilah Dominic Toretto—mengeluarkan monster dari sarangnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 April 2020.

Otw

Otw mengumpulkan Infinity Stones.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Desember 2020.

Sabtu, 10 Desember 2022

Dibayar Receh untuk Jadi Korban

Dulu ada tweet berbayar. Rupanya sekarang ada retweet berbayar, favorit berbayar, sampai reply berbayar. Salah satu cirinya; tweet yang di-retweet, difavoritkan, atau di-reply dalam hal ini bukan tweet promosi, tapi tweet yang tampak biasa, namun ditunggangi kepentingan tertentu.

Contoh. Seseorang mengunggah foto di Twitter—foto biasa; entah foto makanan, foto dia dengan pasangan, etc. Lalu kamu diminta memfavoritkan tweet-foto tersebut, dan dibayar. Receh, tentu saja. Dan kamu mau, karena kamu pikir itu "hal biasa", wajar, dan tidak merugikan siapa pun.

Contoh lain. Seseorang menulis tweet biasa, dalam arti tidak ada promosi apa pun di dalamnya, dan kamu diminta memfavoritkan tweet itu. Lagi-lagi kamu mau, karena pikirmu itu hal biasa, dan tweet yang kamu favoritkan juga tampak biasa.

Sekarang akan kuberitahukan sesuatu.

Kalau kamu dihubungi seseorang untuk me-retweet, memfavoritkan, atau bahkan me-reply tweet-tweet tertentu, dan kamu dibayar untuk hal itu—terlepas dibayar dalam bentuk apa pun—kamu sedang mengundang bahaya (minimal kerugian) untuk dirimu sendiri, meski mungkin tidak kamu sadari.

Tweet-tweet itu—yang kamu diminta untuk me-retweet, memfavoritkan, atau me-reply—memang tampak biasa, wajar, dan baik-baik saja... dan memang masalahnya bukan pada tweet tersebut. Masalahnya adalah pihak yang menunggangi tweet itu. Siapa? Pihak yang "membayarmu", tentu saja.

Pihak yang menyuruhmu me-retweet, memfavoritkan, atau me-reply tweet-tweet tertentu, ingin agar tweet-tweet itu sampai pada TL seseorang (yang mem-follow akunmu). Kamu dimanfaatkan untuk suatu tujuan yang bahkan tidak kamu tahu, tapi kamu yang akan menanggung risiko/kerugiannya.

Apa risiko/kerugian yang bisa terjadi, kalau kamu mau melakukan hal tadi (me-retweet, memfavoritkan, atau me-reply tweet-tweet tertentu) yang tampak wajar itu? Kerugian terkecil adalah kehilangan minimal 1 follower. Coba saja lakukan hal itu kembali, dan lihat yang terjadi.

Dan apa risiko/kerugian terbesar? Mungkin kamu tidak ingin mendengarnya. Tapi kalau kamu penasaran, terus pantau TL-ku. Cepat atau lambat, aku akan menjelaskan soal ini, dan kamu akan tahu ada orang-orang yang telah kehilangan peluang besar hanya karena terlibat urusan tolol ini.

Jauh lebih aman bagimu jadi buzzer/influencer yang jelas dibayar untuk mempromosikan produk-produk tertentu, daripada terlibat dalam urusan yang tidak kamu pahami; misalnya disuruh me-retweet atau memfavoritkan tweet-tweet tertentu yang bahkan tidak kamu tahu tujuan di baliknya.

Sekadar footnote.

Ada beberapa orang di Twitter yang memiliki profesi/keahlian tertentu yang hampir mendapat peluang/pekerjaan/proyek besar, tapi nama mereka kemudian dicoret, karena terlibat dalam urusan ini.

Jangan mau disuruh melakukan sesuatu yang tidak kamu pahami.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Desember 2020.

Insecure, Licik, dan Manipulatif

Ada orang ingin kenal Si A. Tetapi, bukannya langsung berinteraksi dengan Si A secara baik-baik, dengan sopan dan manusiawi, dia malah menghubungi Si B, C, D, E, F, G, H, I, dan seterusnya. Lha kok aneh? Dan ribet amat? Yang dituju 1 orang, yang dilibatkan banyak orang.

Lebih aneh lagi, ingin kenal Si A, tapi malah menyuruh Si B dan lainnya agar bikin masalah dengan Si A. Ketika hal itu ketahuan, dia menyuruh orang lain lagi untuk bikin masalah lain, dan begitu seterusnya. Kok ada orang semacam itu? Jawabannya sederhana; insecure dan manipulatif.

Guys, jangan ditiru hal semacam itu. Kalau kamu ingin kenal seseorang, berinteraksilah secara langsung dengan orang itu, secara sopan dan baik-baik, sebagaimana umumnya manusia. Itu menunjukkan kamu orang baik, dan memiliki itikad baik. Orang akan senang.

Sebaliknya, kalau kamu ingin kenal seseorang, tapi malah memanipulasi orang-orang lain untuk memuluskan tujuanmu, itu malah menunjukkan kamu punya itikad buruk, bahkan cenderung licik dan manipulatif. Orang yang kamu tuju justru akan jaga jarak, dan meragukan itikad baikmu.

Pada dasarnya, semua orang senang berteman, khususnya berteman dengan orang-orang baik. Karenanya, kalau kamu memang orang baik, dan punya itikad baik, lakukan interaksi dengan cara yang baik. Itu bukan hanya menghargai orang lain, tapi juga menghargai dirimu sendiri.

Klarifikasi

Sambil nunggu udud habis, aku jadi kepikiran ngoceh untuk... katakan saja, klarifikasi.

Beberapa waktu terakhir, aku unfollow cukup banyak akun Twitter yang semula aku follow. Alasannya bukan karena mereka nyampah atau menyuarakan hal-hal tertentu, semisal protes ke pemerintah atau menyerang oposisi—itu hak mereka, dan aku menghargai hal itu sebagai hak individu.

Alasan aku unfollow mereka adalah karena akun-akun itu dikontak suatu pihak (entah dibayar atau tidak) untuk ngetwit atau me-retweet hal-hal tertentu, agar sampai di TL-ku, dan lebih dari sekali. Sudah kubilang, aku akan tahu—jadi percuma mengujiku.

Aku bisa membedakan mana tweet dan interaksi yang tulus dari orang per orang, dan mana tweet dan interaksi yang digerakkan pihak lain. Jadi percuma kamu mencobanya. Bahkan, kalau kamu masih nekat mencoba, aku akan “menghabisimu” di sini—dan percayalah, aku tidak akan keliru!

Sekadar ilustrasi, ada suatu akun penjual buku yang tweet-nya saban hari hanya jualan buku. Aku senang sekali dengan akun tersebut, karena membantuku tahu buku-buku baru. Tapi akun itu lalu me-retweet sesuatu berdasarkan instruksi pihak tertentu, dan aku langsung unfollow.

Gus Ulil (Ulil Abshar Abdalla) adalah akun yang telah aku follow bertahun-tahun, dan aku menghormatinya. Tapi tempo hari dia ngetwit sesuatu berdasarkan instruksi pihak tertentu, dan aku unfollow akunnya. 

Jika Gus Ulil saja aku unfollow, apalagi orang lain yang tidak kukenal?

Kalau aku follow akunmu, aku tak peduli kamu ngetwit apa pun dan kapan pun, wong itu hakmu, dan aku menghormati hakmu. Tapi kalau kamu mau diminta pihak lain untuk menggangguku dengan cara ngetwit atau me-retweet sesuatu agar sampai di TL-ku, aku akan mengucap selamat tinggal.

Jika ada yang bertanya-tanya, siapa "pihak tertentu" yang kumaksud dalam ocehan ini, jawabannya adalah media online memuakkan yang pernah kuocehkan di sini. Rupanya mereka benar-benar memuakkan, bahkan lebih memuakkan dari yang kukira.


Sekadar mengingatkan, agar aku tak perlu unfollow akunmu—atau, lebih parah, aku akan membantaimu di sini sampai berdarah-darah:

Jika sewaktu-waktu ada “pihak ketiga” yang memintamu agar memancing interaksi/komunikasi denganku, apa pun alasannya, sebaiknya tolak saja—KECUALI KALAU KAMU DIBAYAR SANGAT BANYAK. Karena bisa jadi kamu akan menghadapi risiko yang tidak menyenangkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 November 2020.

Tidak Akan Tertarik

Orang tidak doyan pizza, ditawari pizza. Ya tidak akan tertarik.

Orang tidak minat pacaran, ditawari pacaran. Ya tidak akan tertarik.

Orang sangat sibuk, diajak nongkrong tanpa manfaat. Ya tidak akan tertarik.

Orang yang menikmati ketenangan dan keheningan, diajak keluyuran tidak jelas. Ya tidak akan tertarik.

Orang yang telah kecewa dengan pengkhianatan teman, ditawari berteman dengan orang beracun. Ya tidak akan tertarik.

Orang yang biasa dapat bayaran besar, ditawari bayaran receh. Ya tidak akan tertarik.

....
....

Orang kadang melakukan hal-hal tak masuk akal, tapi berpikir yang mereka lakukan akan mendapatkan hasil masuk akal. Einstein menyebutnya kegilaan. Aku menyebutnya kedunguan. 

Sesama Bocah

Seorang bocah berkata, “Sudah menghabiskan waktu, tidak ada manfaatnya. Ora kere!”

Sebagai sesama bocah, saya mendengarkannya.

Kamis, 01 Desember 2022

Melihat Fitnah Bekerja

Omong-omong soal fitnah...

Sambil nunggu udud habis.

Suatu malam, Si A ngetwit, “Capek banget badanku.” 

Kita tentu sepakat kalau itu tweet netral. Seseorang sedang sambat kalau badannya capek. Mungkin habis bersih-bersih rumah, atau habis jalan-jalan, apa pun. Dia tidak menyinggung siapa pun, selain hanya ingin sekadar sambat.

Tetapi, ada orang lain—sebut saja Si B—membaca tweet itu, lalu “memelintirnya”. 

Si B satu kantor dengan Si A. Besoknya, ketika di kantor, Si B menemui manajernya, dan ngadu, “Si A kayaknya nggak betah kerja di sini, tiap malam ngeluh terus di Twitter. Capek, lah. Bosan, lah.”

Si Manajer terpancing, dan sejak itu berprasangka buruk pada Si A, berpikir bahwa Si A tidak suka kerja di kantornya. Karena pikirannya sudah keliru, penilaiannya pada Si A juga keliru. Mungkin Si A pekerja yang baik dan rajin, tapi Si Manajer tidak bisa melihat kelebihan itu.

Dalam contoh tadi, itu bahkan omongan dari orang pertama (yang melihat langsung tweet Si A). Bayangkan akan seperti apa jadinya ketika omongan Si A melewati beberapa orang lain. 

Si B membaca tweet Si A, lalu cerita ke Si C—“eh, Si A nulis gini-gini di Twitter, loh.”

Lalu Si C cerita ke Si D, “menurut Si B, Si A nulis gini-gini di Twitter, gimana menurutmu?”

Si D terpengaruh, “Oooh, pantesan. Si A emang sukanya gitu.”

Lalu Si D cerita ke yang lain lagi.

Tiap kali omongan pindah dari orang ke orang, hampir selalu akan bertambah (ditambahi).

Ini mungkin terkesan sepele, tapi bisa berdampak besar pada orang lain. 

Seseorang ngetwit biasa, atau ngobrol biasa dengan temannya, lalu tweet atau omongannya dipelintir/ditambahi orang yang kebetulan nguping, dan digunakan untuk mengadu domba, atau untuk tujuan apa pun.

Ada orang berbicara dengan orang lain, dan kebetulan ada rokok terselip di bibirnya. Karena bibirnya sedang mengapit rokok, suara omongannya terdengar tidak jelas. Sebenarnya itu bukan masalah, karena dia sedang berbicara dengan temannya, dan si teman memahami ucapannya.

Tapi ada orang yang kebetulan melihat hal itu, mendengar suara yang tidak jelas (karena ada rokok terselip di bibir), lalu menuduh orang tadi sedang mabuk. 

“Oooh, dia pasti lagi mabuk, tuh. Suaranya aja gak jelas gitu.” Lalu tuduhan ngawur itu disebarkan ke orang-orang lain.

Itu mirip dengan kasus yang kuceritakan di sini. Aku memanggil temanku dengan sebutan “Mbah”—karena dia memang biasa dipanggil begitu—lalu ada orang lain mendengarnya, dan menyebarkan fitnah kalau itu dukun peliharaanku. Tidak tahu, tapi sok tahu.



Kasus lain. Ada dua orang sedang menghitung pergerakan nilai saham, lalu ada orang lain yang kebetulan mendengar, dan mengira sedang meramal angka togel. Sudah salah dengar, salah paham, sok pintar, lalu menyebar-nyebarkannya ke orang lain. Begitulah cara fitnah bekerja.

Sayangnya, ada orang-orang semacam itu di dunia ini; orang-orang yang sok tahu tentang orang lain hanya karena kebetulan membaca tweet-nya, atau karena nguping obrolannya. Lalu mereka salah paham, tapi merasa benar, dan menyebar-nyebarkannya ke orang lain.

“L'enfer, c'est les autres,” kata Jean Paul Sartre. 

Sering kali memang begitu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2022.

Orang Bermuka Banyak

Don't trust a person that gossips. 
The next subject will be about you.
—@PerfectGuide_


Itu benar sekali. Orang yang suka membicarakan keburukan orang lain di belakangnya adalah orang bermuka banyak. Ia bisa menjadi apa pun, membicarakan keburukan siapa pun, termasuk memburuk-burukkanmu.

Ketika seseorang memburuk-burukkan orang lain di depanmu—dengan bisik-bisik ala rahasia—jangan buru-buru berpikir kalau kamu “orang yang dipercaya” olehnya. Karena, suatu saat, apa pun alasan dan latar belakangnya, dia akan memburuk-burukkanmu di depan orang lain.

Aku pernah mengenal orang semacam itu, bahkan sempat berteman dengannya, dan telah bersumpah tidak akan pernah mengenalnya lagi. 

Dulu, ketika dia dekat denganku, dia suka memburuk-burukkan orang lain di depanku, seolah dia orang paling mulia dan tanpa keburukan sama sekali.

Bahkan waktu itu, aku sudah menyadari. Jika dia bisa memburuk-burukkan orang lain seenaknya di depanku, dia juga pasti bisa memburuk-burukkanku di depan orang lain. 

Dan faktanya memang itulah yang terjadi. Belakangan, aku memilih menjauh, karena jijik dengan kebusukannya.

Dan kamu tahu apa yang lalu terjadi? Tepat sekali! Dia memburuk-burukkanku di depan orang-orang lain. 

Itulah orang bermuka banyak. 

Saat di depanmu, dia menjadi temanmu, sekaligus musuh orang lain. Tetapi, saat di depan orang lain, dia berubah jadi musuhmu. Itu menjijikkan.

Orang “sakit jiwa” semacam itu ada di sekitar kita, biasanya punya penampilan meyakinkan, sebagian dari mereka bahkan kerap bertingkah sok alim—misal suka menyebut “astaghfirullah” dan semacamnya. Biasanya pula, bisa mempengaruhi orang lain hingga tertipu dan terpengaruh olehnya.

Orang-orang semacam itulah yang merusak kerukunan antarteman, mengacaukan hubungan antartetangga, sekaligus benalu dalam kehidupan manusia. 

Mereka jenis orang yang merasa dirinya paling baik dan paling mulia, sementara orang lain hina semua. Padahal dirinyalah yang paling hina.

Jangan pernah percaya pada orang yang suka memburuk-burukkan orang lain secara rahasia di depanmu. Karena, kapan pun waktunya, kamulah yang akan ia buruk-burukkan di depan orang lain.

Bahkan iblis tidak melakukan perbuatan hina itu. Dia berbicara tentang Adam di depan orangnya!

Kalau kamu ingin memburuk-burukkan orang lain, lakukan secara terbuka, di depan orangnya. Agar dia bisa menjawab, sekaligus mengoreksi kesalahanmu, atau tuduhanmu yang keliru. 

Memburuk-burukkan orang lain di belakangnya adalah bukti tak terbantah kalau kamulah yang buruk.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Maret 2022.

Hobi kok Adu Domba

Di podcast-nya, Deddy Corbuzier pernah ngobrol dengan Dokter Tirta, terkait kasus pria berinisal AD, yang sekarang telah ditangkap polisi. 

Sebelumnya, AD pernah terlibat kasus dengan beberapa orang, tapi baru sekarang dia kena batunya. Apa kasusnya? Adu domba!

Menurut cerita Dokter Tirta, AD punya kecenderungan mengadu domba antara satu orang dengan orang lain. Misalnya, AD ketemu Si X dan kebetulan ngobrol tentang Si Z. Obrolan biasa. Lalu AD menemui Si Z dan mengatakan kalau Si X mencaci-maki Si Z, hingga Z pun marah pada X.

Akibatnya, Si Z dan Si X bermusuhan, padahal sebenarnya mereka tidak punya masalah apa pun. 

Meski mungkin terdengar aneh, nyatanya ada orang-orang yang suka mengadu domba seperti itu. Bisa jadi, orang semacam itu bahkan ada di sekitar kita, dan kita perlu hati-hati.

Misalnya, kamu ngobrol dengan Si A, dan kebetulan kalian membicarakan Si C. Itu obrolan biasa, dan nyatanya kamu memang tidak punya masalah apa pun dengan Si C. 

Tetapi, kalau Si A orang yang suka mengadu domba, dia bisa memfitnahmu (menyelewengkan ucapanmu) di hadapan Si C.

Si A bisa saja ngadu ke Si C kalau kamu mencaci-maki Si C. Lalu Si C marah kepadamu. 

Masalah semacam ini terjadi di banyak tempat, di dunia maya maupun di dunia nyata. Suatu informasi atau ucapan diubah dan diselewengkan, lalu digunakan untuk memfitnah dan mengadu domba.

Orang mengadu domba orang lain biasanya karena mendapat keuntungan dari hal itu. Dalam contoh mudah, kamu bermusuhan dengan Si A, misalnya. Si A lalu butuh teman untuk memusuhimu, jadi dia mengadu domba kamu dengan orang-[orang] lain, agar juga memusuhimu. Licik dan menjijikkan.

Sekarang AD telah ditangkap polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan semoga orang-orang lain, yang juga suka mengadu domba sesamanya, juga mendapat hukuman yang sama.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Maret 2022.

Orang-orang Menjijikkan

Sambil nunggu udud habis, aku mau melanjutkan ocehan kemarin, untuk menunjukkan betapa orang yang suka mengadu domba dan tukang fitnah bisa ada di mana saja, dan korbannya bisa siapa saja.


Aku punya teman bernama Arif. Dia teman dari masa kuliah dulu. 

Yang unik, teman-teman kami biasa memanggil Arif dengan sebutan “Mbah Marijan”, karena dulu Arif menjadi relawan saat Gunung Merapi meletus pada 2010. Sampai sangat lama dia jadi relawan di sana.

Karena saking lamanya Arif jadi relawan ketika Gunung Merapi meletus itulah, dia kemudian dijuluki “Mbah Marijan”—merujuk nama Mbah Maridjan yang dikenal sebagai juru kunci Merapi. 

Sejak itu sampai sekarang, Arif masih biasa dipanggil “Mbah” (Mbah Marijan) oleh teman-teman.

Wawan (@SofwananismM), Kafa (@fayfauline), Fathur (@fathoer_fr), juga Fitri (@fitriyanihelmi), adalah segelintir dari banyak orang yang dulu sama-sama sekampus denganku, dan mereka semua kenal Arif. Sama seperti yang lain, mereka juga biasa memanggil Arif dengan sebutan “Mbah”.

Nah, belum lama, ada orang melihatku memanggil “Mbah” pada Arif. Bagi kami (Arif dan aku), itu hal biasa, karena nyatanya aku memang biasa memanggil dia dengan sebutan “Mbah”, sama seperti teman-teman kami yang lain. Tapi rupanya itu jadi awal fitnah yang jahat dan menjijikkan.

Orang yang sempat melihatku memanggil “Mbah” pada Arif, mengira kalau Arif adalah suhu (dukun) peliharaanku. Dan tanpa bertanya atau melakukan klarifikasi, dia menyebarkan tuduhan yang serupa fitnah itu ke orang-orang lain, hingga mereka mengira aku berhubungan dengan dukun.

Itu benar-benar fitnah yang konyol sekaligus menjijikkan, persis seperti si pelaku fitnah. Wong aku tidak percaya pada hal-hal mistik, apalagi berurusan dengan dukun? Dan usia Arif jauh di bawahku—dia bahkan menganggap aku sebagai kakaknya, karena kedekatan kami.

Meski kisah ini mungkin terdengar konyol, nyatanya ada orang-orang bermental sakit. Mereka akan memanfaatkan apa saja untuk mendiskreditkan orang lain, dan, seiring dengan itu, menaikkan citra dirinya. Mereka tipe orang yang “merasa baik jika bisa menjelekkan orang lain.”

Dan orang bermental sakit seperti itu bisa siapa saja, di mana saja; tipe orang-orang yang selalu berusaha mencari cacat cela orang lain, lalu menggunjingkannya dengan sok hebat. Dan jika mereka tidak bisa menemukan cacat cela orang lain, mereka akan mengarang seenak jidatnya.

PS:

Arif dalam kisah ini adalah teman yang pernah aku ceritakan dalam catatan ini. Dan dia bukan dukun, tapi pengusaha daging ayam! Belakangan kami sering ketemu (dia sering datang ke rumahku), karena kami sedang merintis bisnis bareng.

Resolusi untuk 2022 » https://bit.ly/3ze6L7y


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Maret 2022.

Jare Sopo?

Your very existence is vital to the Universe. All that you see could not exist without you! Pretty special, aren’t you? —@thesecret

Ah, jare sopo? ☺️


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2022.

Minggu, 20 November 2022

Terdengar Benar dan Terasa Benar, Tapi Belum Tentu Benar

Kita lebih senang memiliki “perasaan benar”
daripada memiliki kebenaran itu sendiri.
Jonathan Haidt, psikolog sosial


Catatan ini mungkin berat sekaligus rumit, dan rentan menimbulkan salah paham. Saya telah berusaha menulis dan menguraikannya dengan cara sederhana yang bisa dipahami siapa pun... tapi sebaiknya baca pelan-pelan saja, agar benar-benar paham dan tidak salah paham.

....
....

Orang-orang, khususnya anak muda zaman sekarang, makin kritis dan makin bisa melihat kekeliruan-kekeliruan yang di masa lalu dianggap kebenaran. Di masa lalu, kebenaran sifatnya seperti absolut, mutlak, tak terbantah. Tapi di masa sekarang, kita menyadari, kebenaran itu relatif.

Mari gunakan contoh yang hampir pasti pernah kita temui. 

Ada anak muda yang sukses dan kaya-raya, lalu dia berceramah, “Untuk sukses di usia muda itu gampang! Asal mau kerja keras, dan pantang menyerah!” Yang ngomong begitu anak pejabat, anak orang kaya, atau anak konglomerat.

Di masa lalu, ocehan “kerja keras dan pantang menyerah” agar sukses dan kaya itu terdengar seperti kebenaran mutlak. Bahwa kalau kita mau kerja keras dan bla-bla-bla, kita pasti akan sukses dan kaya-raya! Tapi sekarang kita menyadari, masalahnya tidak sesederhana itu.

Faktanya, ada banyak dari kita yang bekerja keras sampai bertahun-tahun, banting tulang siang malam, tapi tidak juga kaya.

Di titik itulah, kita mulai mengenali sesuatu yang disebut privilese—keistimewaan yang belum tentu dimiliki semua orang. Bahwa ada orang yang punya privilese, dan ada pula yang tidak. Jadi anak pejabat, atau anak orang kaya, itu privilese. Masalahnya, tidak semua kita adalah anak pejabat atau anak konglomerat. Itulah perbedaannya.

Jadi, resep “kerja keras dan pantang menyerah agar sukses”—sebagaimana yang sering diceramahkan—itu mungkin relevan untuk sebagian orang, tapi mungkin pula tidak relevan untuk sebagian yang lain. Karena kehidupan kita, sebenarnya, telah terjerat dalam sistem yang rumit.

Ada jutaan orang yang berangkat kerja jam empat pagi, dan pulang jam tujuh malam. Dan mereka melakukannya bertahun-tahun, puluhan tahun—kurang kerja keras apa mereka? Tapi jutaan orang itu tetap saja miskin, berkekurangan, seperti terjebak dalam lingkaran setan.

Ada pula jutaan orang yang bekerja tanpa kenal hari libur, membaktikan hidupnya untuk pekerjaan, dengan harapan suatu waktu akan menemukan pintu rezeki terbuka lebar, dan mereka akan kaya-raya. Tapi mereka tak pernah kaya—mentok-mentoknya hanya jadi kelas menengah.

“Bekerja keras akan membuatmu sukses dan kaya,” itu nasihat baik. Tapi nasihat baik hanyalah nasihat baik—ia belum tentu relevan untuk semua orang. Di titik itu, kita yang suka memberi nasihat perlu menyadari bahwa sesuatu yang kita anggap benar belum tentu benar pula untuk orang lain. Sesuatu yang relevan untuk sebagian orang, belum tentu akan relevan untuk semua orang.

Begitu pula nasihat, “Sayangilah orang tuamu, maka hidupmu akan bahagia.” Yang ngomong begitu punya ayah-ibu yang baik, penuh welas asih, yang mendidik dan membesarkan anak-anak dengan kasih sayang, berkecukupan, hingga si anak tumbuh dengan sehat, fisik maupun mental.

Nasihat semacam itu relevan untuk anak-anak yang kebetulan juga punya orang tua baik... tapi belum tentu relevan bagi anak-anak yang orang tuanya lebih mirip psikopat daripada orang tua, tidak relevan untuk anak-anak yang dididik dengan kekerasan, kekejaman, dan kebencian.

“Sayangilah orang tuamu, maka hidupmu akan bahagia.” Di masa lalu terdengar seperti kebenaran mutlak. Apalagi ditambah banyaknya orang yang meromantisasi dirinya sendiri—misal jadi sukses dan kaya-raya karena “berbakti pada orang tua”. Tapi benarkah kausalitasnya?

Maksud saya begini. Ada orang yang sangat baik pada orang tuanya, dan dia jadi orang sukses. Pertanyaannya, itu faktor kebetulan atau faktor kepastian? Faktanya, ada banyak orang yang sangat baik pada orang tuanya, tapi hidup mereka sengsara, berkekurangan, dalam arti harfiah. 

Sebaliknya, ada pula orang-orang yang sangat sukses dalam hidupnya, punya manfaat bagi banyak orang di dunia, tapi diam-diam membenci orang tuanya. Orang-orang itu mungkin tidak terang-terangan mengatakan bahwa mereka membenci orang tua—jadi kita tidak pernah tahu.

Itulah yang saya maksud “kebenaran relatif”—sesuatu yang bagi kita tampak benar dan terasa benar, tapi belum tentu benar pula bagi orang lain. Nyatanya, kita sebenarnya tidak senang mendengarkan kebenaran... kita hanya senang mendengar kebenaran yang ingin kita dengarkan.

Menggunakan istilah komputer, itulah “bug” di dalam otak manusia—suatu celah yang kosong, lemah, rentan, yang bisa disusupi “kode-kode tertentu”, dan celah itu akan menerimanya, untuk kemudian memprosesnya, seolah-olah itu bagian dari program yang memang ada.

Dan itulah kita... begitulah sistem pikiran manusia. Ia tidak sempurna, karena sebenarnya mengandung “bug”... dan “bug” itulah yang selama ini dimanfaatkan sebagian orang untuk membohongi atau bahkan mengeksploitasi orang-orang lain. Caranya mudah; susupkan “kebenaran” yang ingin mereka dengarkan.

Contoh mudah “kebenaran yang ingin kita dengar”, misalnya, “Menikah akan membuatmu bahagia, tenteram, dan lancar rezeki.” Itu sangat mudah masuk ke dalam sistem keyakinan manusia, karena nyatanya Homo sapiens butuh kawin, dan iming-iming itu “jadi terasa benar”.

Faktanya, di dunia ini, ada miliaran orang yang kawin, tapi hidup mereka sengsara. Ada jutaan orang yang menikah, dan sebagian mereka bercerai. Jadi, “menikah akan membuatmu bahagia, tenteram, dan lancar rezeki” itu kebenaran... atau hanya sesuatu yang terdengar benar?

Dan ketika fakta pahit ini ditunjukkan, apakah kemudian banyak manusia yang sadar dirinya telah tertipu? Sebagian besar tidak! Kenapa? Ingat “bug” yang ada dalam pikiran manusia. Selama komputer tidak melakukan “debugging”, celah rentan “bug” itu akan tetap ada. 

Jadi kita pun mendengarkan aneka hal yang terdengar indah... terasa benar... dan kita mempercayainya... dan, di satu titik tertentu, kita mengubah diri bukan hanya sebagai “penerima bug” tapi juga sebagai “pemberi bug” yang menulari orang-orang lain dengan “bug” yang sama.

Sudah melihat bagaimana “kebenaran” tercipta dalam sistem pikiran manusia? 

Kita adalah Makhluk Egois

Pada dasarnya, setiap kita adalah makhluk egois—diakui atau tidak. Kita hanya peduli, atau lebih peduli, pada diri sendiri daripada orang lain. Kita melihat segala sesuatu dari sudut pandang kita, tanpa peduli orang-orang lain juga punya sudut pandang mereka sendiri.

Yang kadang kita lupa... yang egois seperti itu bukan hanya kita, tapi semua orang! Semua orang lebih peduli pada diri mereka sendiri, daripada peduli pada orang lain. Semua orang lebih sibuk memikirkan hidup dan masalahnya sendiri, daripada memikirkan orang lain.

Menyadari kenyataan itu akan membawa kita selangkah lebih bijak, agar tidak terlalu naif saat berurusan dengan orang lain. Setiap kali kita ingin orang lain melakukan sesuatu, pikirkan terlebih dulu, “Apa manfaat atau keuntungan bagi dia, hingga mau melakukannya?”

Jika kita tidak bisa menjawab pertanyaan itu secara objektif, jangan heran jika orang itu tidak tertarik melakukan sesuatu yang kita inginkan. Karena, bukankah kita semua juga begitu? Kita hanya melakukan sesuatu, jika sesuatu itu memberi manfaat atau keuntungan bagi kita!

Fakta Sederhana

Fakta sederhana dalam hidup yang jarang kita sadari; apa saja yang biasa kita lakukan, akan membuat kita kecanduan. Saat suatu kebiasaan terbentuk, kita akan merasa “ada yang kurang” jika belum melakukannya. 

Masalah Laten

Masalah laten; lapar jam segini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 November 2019.

Udah, Putusin Aja!

"Udah, putusin aja!" | Tapi begitu kita putus, lalu stres campur nangis-nangis, dia nggak tanggung jawab. Lha piye, tho?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Januari 2012.

Kamis, 10 November 2022

Asal Usul Perkawinan yang Tidak Dikatakan Kepadamu

... Dan sekarang aku gatal ingin ngoceh—memuntahkan sesuatu yang telah kutahan-tahan selama 11.567 tahun... fakta perkawinan yang tidak pernah dikatakan kepadamu.

Kawin tangkap, istilah yang kita kenal sekarang, mungkin terkesan primitif. Tapi sebenarnya itu "modernisasi" dari sesuatu yang jauh lebih primitif, ketika praktik itu bahkan tidak/belum punya nama atau istilah; sesuatu yang dilakukan oleh manusia purba, beribu-ribu tahun lalu.

Lima tahun yang lalu, pada Oktober 2015, aku menulis tweet ini. Sebenarnya, waktu itu, aku sudah ingin ngoceh, tapi sejujurnya juga khawatir kalau orang-orang belum mampu menerimanya. 


Beribu-ribu tahun yang lalu, di zaman purba, ketika Homo sapiens masih hidup dalam suku-suku terisolir, mereka belum kenal konsep perkawinan. Tapi mereka sudah mengenal nafsu seksual, khususnya pada lawan jenis, khususnya lagi lawan jenis dari suku lain (penjelasannya panjang).

Singkatnya, untuk dapat menyalurkan nafsu seks, Homo sapiens pria harus mendapatkan wanita dari suku lain. So, ketika seorang pria sudah puber, dia akan keluar dari sukunya, lalu mencari tempat suku-suku lain, dan mengintai... mencari wanita yang sekiranya "cocok" untuknya.

Setelah menemukan wanita yang cocok, dia akan menculik si wanita—dalam arti harfiah—dan membawanya ke tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Ketika itu terjadi, si wanita tentu memberontak. Tetapi, seiring waktu, dan karena jauh dari sukunya, akhirnya dia pun menerima si pria.

Di tempat terasing, dan yang ada hanya mereka berdua, dan keduanya sudah diamuk libido, terjadilah yang alam kehendaki. Si pria akhirnya berhubungan seks dengan si wanita, dan evolusi bertepuk tangan.

And then... itulah asal usul kawin tangkap, dan... yang kita sebut bulan madu.

Setelah berminggu-minggu si pria dan si wanita menghabiskan waktu bersama, keduanya pun merasa saling nyaman. Kali ini, seks tidak lagi dilakukan dengan paksaan oleh pria, tapi juga dikehendaki si wanita. Witing tresno jalaran soko kulino, kata orang Jawa.

Dan cinta bersemi.

Setelah si pria yakin bahwa si wanita "sudah menjadi miliknya", dia akan membawa si wanita pada sukunya. Dalam moment pertemuan itu, si pria "minta izin" pada orang tua si wanita untuk menjadikannya pasangan. Karena sudah "kadung diculik", biasanya orang tua wanita mengizinkan.

Tetapi, agar orang-orang lain tahu bahwa si wanita sudah "dimiliki" seseorang, si pria harus membuat "tanda". 

Lalu si pria akan menempa besi untuk dibuat kalung, gelang, atau rantai, yang dililitkan pada tubuh si wanita. And then... inilah asal usul "ijab kabul" dan "maskawin".

Setelah si wanita dirantai dengan gelang, kalung, dan semacamnya, dan setelah orang-orang sekitar tahu bahwa si wanita sudah dimiliki seseorang, si pria biasanya akan mengajak si wanita untuk hidup mandiri, di tempat lain, dan dari situlah lalu tumbuh suku lain.

Evolusi dimulai.

Seiring perjalanan waktu, dan nalar peradaban Homo sapiens semakin berkembang, urusan kawin-mawin mulai diatur. Kali ini, bukan menculik dulu lalu minta izin, tapi minta izin dulu, diberi "tanda" lebih dulu, dan baru setelah itu "diculik". Apakah ini terdengar familier bagi kita?

Urusan perkawinan yang dilakukan Homo sapiens di zaman kita mengadopsi dari sesuatu yang terjadi ribuan tahun lalu. Intinya sama. "Minta izin" jadi pertunangan atau ijab kabul, "besi tempa" jadi mahar/maskawin, dan "penculikan" jadi bulan madu. And then happily ever after—maybe.

Kayaknya ini nyambung dengan ocehan barusan:

Romantisasi Kemiskinan, Glorifikasi Perkawinan » https://bit.ly/3ehJc3n


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 November 2020.

Kerusakan Akibat Doktrin

Seorang wanita berinisial MT (30) di Nias Utara diduga menggorok 3 anaknya hingga tewas. Polisi menyebut motif MT membunuh anak-anaknya adalah himpitan ekonomi. —@detikcom

Seorang wanita membunuh 3 anaknya, karena himpitan ekonomi. Padahal katanya "menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki", dan "setiap anak memiliki rezeki sendiri".

Betapa banyak kerusakan dunia dan kejahatan manusia, akibat doktrin dusta yang terus dikoar-koarkan itu.

Orang-orang memilih tidak menikah atau menunda menikah, karena menyadari belum mampu menghidupi keluarga. Tapi masyarakat terus nyinyir, "Kapan kawin?"

Mereka bahkan tidak hanya nyinyir, tapi juga membual dengan aneka doktrin, "Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki."

Lalu orang-orang itu pun menikah. Sebagian karena termakan rayuan doktrin, sebagian lagi karena tak tahan terus dinyinyiri masyarakatnya.

Setelah orang-orang itu menikah, dan ternyata hidupnya malah keblangsak, apakah masyarakat bertanggung jawab? Tidak! Itulah bejatnya mereka!

Ada banyak laki-laki baik ketika masih lajang, lalu terpaksa jadi penjahat setelah menikah, demi memberi makan keluarga. Ada banyak wanita baik ketika masih lajang, lalu terpaksa jadi pelacur (sebagian bahkan diizinkan suaminya), demi menghidupi keluarga. Itu realitas, nyata.

Bahkan sampai begitu pun mungkin masih "baik", jika dibandingkan wanita dalam berita tadi, yang sampai membunuh 3 anaknya, karena tak sanggup memberi makan mereka.

Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki, katanya. Oh, hell, katakan itu pada wanita dalam berita tadi.

Footnote untuk ocehan tadi:

Yang dimaksud "memampukanmu"—dalam ayat yang biasa digunakan untuk mendoktrin orang lain cepat kawin—itu artinya "memampukanmu menjalani pernikahan", bukan memampukanmu dalam arti menjadikanmu kaya atau "melancarkan rezeki" hanya gara-gara kawin.

Kalau dua orang menikah, mereka [hampir] pasti "mampu menjalani pernikahan", karena adanya kontrak sosial, perjanjian yang dilembagakan negara, sampai pengesahan oleh agama. Memangnya siapa yang berani melanggar—kecuali sangat kepepet akibat tersiksa?

Itulah arti "memampukanmu".


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Desember 2020.

Sebenarnya B Aja

Seks dan Perkawinan Itu B Aja » https://bit.ly/3oJco7c

Sebenarnya udah di-posting sejak kemarin, tapi ternyata "terganjal" di draft. Tadi nengok dasbor, ternyata belum ter-publish. Dasbor Blogger baru ini emang bikin "kagok".


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Desember 2020.

Listrik Mati, Internet Lemot

Listrik mati, internet lemotnya ngujubilah, dan kita disuruh kerja, kerja, kerja. Hebat sekali negeri ini.

Kalau kita komplain ke provider internet soal koneksi yang lemot, jawabannya selalu template ("coba di-restart perangkatnya"). Padahal masalahnya bukan pada perangkat pengguna, tapi pada kelebihan kapasitas yang tidak ditunjang infrastruktur layanan memadai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Desember 2020.

Kabar Wiranto

Beberapa waktu terakhir aku bertanya-tanya, Wiranto kabarnya bagaimana?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Desember 2020.

Selasa, 01 November 2022

Curhat Seorang Introver

Bagi orang-orang introver, hal berat di dunia ini bukan kesepian (karena introver jarang kesepian), bukan pula kebosanan (karena introver jarang bosan, meski sendirian). Hal berat bagi introver adalah saat bertemu orang-orang, dan harus menyapa atau berbasa-basi dengan mereka.

Bagi kebanyakan orang [ekstrover], berbasa-basi dengan orang lain—lalu mengobrol ringan tentang hal-hal sepele—mungkin menyenangkan. Tapi bagi orang-orang introver, itu sangat berat, menyiksa, dan menyedot energi kami habis-habisan. Apalagi jika harus melakukannya terus menerus.

Bagi introver, menyapa orang sesekali, itu tidak masalah. Berbasa-basi dengan orang sesekali, juga tidak masalah. Tapi jika harus menyapa orang yang sama setiap saat, setiap hari, atau berbasa-basi dengan orang yang sama setiap hari, itu sangat menyiksa psikis kami habis-habisan.

Dalam ilustrasi ekstrem, jika aku diminta memilih masuk kuburan sendirian di malam hari, atau memasuki acara pesta yang penuh orang di hotel mewah, aku akan memilih masuk kuburan sendirian! Karena masuk kuburan artinya tidak perlu menyapa atau berbasa-basi dengan siapa pun!

Orang introver malas menyapa orang lain terus menerus, atau berbasi-basi terus menerus, bukan karena sombong, tapi karena kami sangat berat melakukannya—itu menyedot energi kami habis-habisan. Daripada membuang energi untuk basa-basi, aku lebih suka memakai energi untuk bekerja.

Kalian yang bukan introver pasti tidak tahu bagaimana tersiksanya kami (orang-orang introver) saat harus menyapa, berbasa-basi, dengan orang-orang lain. Ketika kami melakukannya, energi kami terkuras, dan ketika kami kembali ke rumah, kami merasa sangat... sangat kelelahan!

Saat-saat paling menyenangkan dalam kehidupan orang introver adalah saat sendirian, tanpa diganggu siapa pun. Ketika sendirian, kami benar-benar berenergi, dan bisa menggunakan energi itu untuk hal-hal yang [kami anggap] lebih baik; misal bekerja, belajar, atau mencuci piring.

Sayangnya, hal ini sangat jarang diketahui masyarakat umum. Akibatnya, mereka sering salah paham terhadap orang-orang introver. Dikiranya sombong, tak mau bergaul, tak mau bersosialisasi. Padahal penyebab/masalahnya bukan itu. Penyebab/masalah yang terjadi adalah ketidakmampuan.

Sebagai introver, aku tidak malu mengakui; dalam skala ekstrem, introver itu serupa “cacat”, yang menyebabkan pengidapnya tidak bisa menjalani kehidupan seperti umumnya orang-orang lain. Salah satunya, mereka (orang-orang introver dalam skala ekstrem) tidak bisa bersosialisasi.

Nuwun sewu, bayangkan orang yang mengidap polio. Karena mengidap polio, dia tidak bisa berjalan normal, karena kakinya tidak sesehat kita. Cara berjalan pengidap polio berbeda dengan cara berjalan orang-orang normal (yang tidak mengidap polio). Kira-kira seperti itu ilustrasinya.

Kita tidak bisa menyalahkan pengidap polio, misalnya, “Kamu kalau jalan mbok seperti orang-orang lain umumnya!”

Dia “berbeda” dengan rata-rata orang lain, karena memang kondisinya begitu—dia tidak meminta jadi pengidap polio—dan kita tidak bisa menyalahkan dia karena kondisinya.

Begitu pula kondisi introver-ekstrem yang diidap sebagian kita. Temanmu, tetanggamu, atau bahkan anggota keluargamu, bisa jadi orang introver yang [hidupnya] berbeda dengan umumnya orang lain. Kita tidak bisa memaksanya agar “sama seperti orang lain”, karena nyatanya dia berbeda!

Tiga ratus lima puluh dua tahun yang lalu, pada 1669, Isaac Newton menjadi dosen matematika di Lucasian Professorship, Cambridge. Usia dia waktu itu baru 26 tahun, dan Newton adalah orang kedua yang memegang gelar dari universitas tertua di dunia tersebut. Hebat, eh? Tunggu dulu!

Isaac Newton adalah introver-ekstrem. Dia sangat hebat sebagai pemikir, dan dunia mengakuinya. Tapi dia sangat “payah” ketika berhadapan dengan orang lain, benar-benar tidak tahu cara bersosialisasi! Ketika menjadi dosen, para mahasiswa menyebutnya dosen paling membosankan!

Ketika mengajar di kelas, Newton lebih sering berbicara dengan tembok, daripada berinteraksi dengan para mahasiswanya!

Itu benar-benar ilustrasi tak terbantah betapa orang introver bisa seekstrem itu, karena memang tidak tahu cara menyapa, atau berbasa-basi dan bersosialisasi.

Tapi apakah Newton harus disalahkan hanya karena itu? Dia penemu teori gravitasi, dan dunia berutang kepadanya.

Ini tidak berarti orang-orang introver pasti sehebat Newton. Ini hanya ilustrasi bahwa manusia selalu bisa berbeda, dalam apa pun bentuknya, dan itu ilmiah, alamiah.

Footnote:

Dalam beberapa bagian ocehan ini, aku menyebut “introver-ekstrem”. Itu bukan istilah baku—itu istilahku sendiri untuk menyebut fenomena ekstrem yang dialami sebagian introver.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 September 2021.

Pelajaran Dasar Kepribadian

Sebelumnya, aku perlu ngasih “disclaimer” terlebih dulu. Introvert dan extrovert itu istilah Inggris, dan telah di-Indonesiakan menjadi introver dan ekstrover. So, aku akan konsisten menggunakan istilah Indonesia.


Konsep introver dan ekstrover, kita tahu, dirumuskan oleh Carl Gustav Jung, tokoh psikoanalisis, dalam buku Psychological Types. Jung menggunakan istilah introver dan ekstrover untuk membahas kecenderungan seseorang dalam memfokuskan energinya; “in”trovert dan “ex”trovert.

Orang introver mendapatkan energi dari dirinya sendiri. Ciri khas mereka adalah menikmati kesendirian, karena dengan cara itulah mereka bisa mendapatkan dan memiliki energi. Sebaliknya, ketika bersama orang-orang lain, energi orang introver akan terkuras, dan mereka kelelahan.

Sementara orang ekstrover mendapatkan energi dari luar dirinya. Ciri khas mereka adalah menikmati kebersamaan dengan orang-orang lain, karena dengan cara itulah mereka bisa mendapatkan dan memiliki energi. Sebaliknya, ketika sendirian, mereka kehilangan energi dan cepat bosan.

Dengan perbedaan yang jelas semacam itu, kita mulai memahami kenapa ada orang-orang yang sepertinya lebih suka sendirian dan menjauh dari keramaian, dan kenapa pula ada orang-orang yang tidak betah sendirian hingga ingin selalu bersama/bersosialisasi dengan orang-orang lain.

Orang introver sering tampak pendiam, menjauh dari keramaian, dan lebih suka menikmati kesendirian. Karena, dengan cara itu, energi mereka meningkat. Sebaliknya, ketika orang introver bersosialisasi dengan banyak orang, energi mereka terkuras. Itu membuat mereka kelelahan.

Orang ekstrover sebaliknya. Mereka sering tampak banyak bicara, bercanda, menikmati kebersamaan dengan orang-orang lain. Karena, ketika bersosialisasi, energi mereka meningkat. Ketika sendirian, orang ekstrover justru sering bosan, lelah, dan ingin segera ketemu orang lain.

Sekali lagi, dengan perbedaan yang jelas semacam itu, kita mulai menyadari kenapa ada orang-orang yang tampak senang jadi pusat perhatian di tengah pesta, dan kenapa ada orang-orang yang lebih suka sendirian dan tidak ingin diganggu siapa pun. Karena kepribadian mereka berbeda.

Tapi bukan berarti orang introver tidak mau bergaul dan bersosialisasi. Mereka juga bergaul dan bersosialisasi, meski tidak sesering orang ekstrover. (Ingat kembali perbedaan sumber energi mereka). Jika introver dipaksa sering bergaul/bersosialisasi, mereka akan sangat kelelahan.

Begitu pula, bukan berarti orang ekstrover tidak suka menyendiri. Kadang, orang ekstrover juga menjauh dari keramaian, menikmati kesendirian, meski tidak sesering dan seintens orang introver. Jika ekstrover dipaksa sering sendirian, mereka akan bosan, bingung, dan kehabisan energi.

Ocehan ini adalah “pelajaran dasar” untuk memahami perbedaan penting antara introver dan ekstrover, sekaligus pelajaran inti untuk memahami orang lain dengan [lebih] baik, tanpa buru-buru menghakimi. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 September 2021.

Introver, Ekstrover, dan Ambiver

Mumpung ingat, aku mau melanjutkan ocehan ini. 


Kalau membicarakan introver dan ekstrover, selalu ada kemungkinan orang mengajukan istilah lain; ambiver (ambivert), yang disebut sebagai “pertengahan antara introver dan ekstrover”. Padahal, dalam perspektif psikologi, ambiver itu tidak ada. Yang ada cuma introver dan ekstrover

Asal usul “ambiver” bisa dirujuk pada Adam Grant, profesor psikologi di University of Pennsylvania. Ia menciptakan istilah “ambiver”—lebih tepat, istilah yang ia ciptakan adalah “keuntungan ambiver”—untuk menyebut para sales (penjual) yang menghasilkan penjualan tertinggi.

Jadi, Adam Grant melakukan riset untuk menemukan penyebab sebagian salesman bisa menghasilkan penjualan sangat banyak, sementara sebagian sales lain hanya menghasilkan penjualan rata-rata, atau bahkan sangat minim. Riset itu melibatkan 340 karyawan/salesman.

Berdasarkan riset, Adam Grant menemukan bahwa para salesman yang menghasilkan penjualan tertinggi adalah mereka yang memanfaatkan sifat-sifat introver, dan memadukannya dengan sifat-sifat ekstrover. Dari situlah ia lalu menciptakan istilah “ambiver” untuk fenomena tersebut.

Sifat introver, dalam konteks riset terhadap para sales, misalnya bisa menjadi pendengar yang baik, bisa berempati pada kebutuhan klien, dan semacamnya. Sementara sifat ekstrover yang dimaksud adalah antusias saat menjelaskan keunggulan barang yang dijual, ceria, dan semacamnya.

Jadi, istilah “ambiver” sebenarnya hanya untuk konteks di dunia bisnis, khususnya dalam riset Adam Grant. Dia tidak memaksudkan istilah itu—ambiver—digunakan secara general untuk semua orang, apalagi digunakan sebagai penyebutan kepribadian bersama introver dan ekstrover.

Belakangan, para pakar bisnis dan kepemimpinan juga memakai istilah “ambiver” saat menjelaskan bagaimana “orang harus memadukan dua kepribadian sekaligus—introver dan ekstrover—untuk meraih kesuksesan”. Dua pakar yang paling populer dalam hal ini; Karl Moore dan Daniel H. Pink.

Tapi konteks istilah itu—ambiver—tetap di dunia bisnis. Karl Moore dan Daniel H. Pink meminjam istilah “ambiver” hanya untuk menunjukkan maksud mereka, sebagaimana hasil riset Adam Grant. 

Sayangnya, kekeliruan massal terjadi; mengira ambiver adalah "bagian ketiga" kepribadian.

Kekeliruan massal itu terjadi, salah satunya, karena amplifikasi media di internet yang asal tulis tanpa verifikasi. Lalu orang-orang membaca dan percaya begitu saja, sekali lagi tanpa verifikasi. Di Twitter, misalnya, sering terjadi perdebatan soal ambiver yang salah kaprah ini.

Beberapa kali aku menemukan, di Twitter, ada orang memberi tahu, “Ambiver itu tidak ada.” Lalu seseorang menyahut, “Ambiver itu ada!” sambil menyematkan link artikel dari suatu situs yang menjelaskan “psikologi ambiver”. Padahal artikel di situs itu salah. 

Lha piye ngene iki?

Kesimpulannya, ambiver adalah istilah yang diciptakan di dunia bisnis, bukan di bidang psikologi. Jadi, menurut sebagian pakar bisnis dan kepemimpinan, kita perlu memadukan sifat-sifat introver dan ekstrover jika ingin meraih kesuksesan, dan itulah yang disebut ambiver.

So, introver dan ekstrover adalah kata sifat (karena ia kepribadian bawaan), sementara ambiver adalah kata kerja (karena ia butuh upaya pelakunya; memadukan introver dan ekstrover). 

Jadi, apakah ambiver itu ada? Dalam konteks psikologi (kepribadian), jawabannya tidak ada!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Oktober 2021.

Akan Sampai

Segala hal akan sampai pada batasnya. Semua awal akan sampai pada akhirnya. Perjalanan akan sampai pada pulang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Januari 2012.

De Sué Sirve

¿De qué sirve poner la mano en medio de la boca del cocodrilo?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Oktober 2021.

Kamis, 20 Oktober 2022

Saran Aneh yang Bisa Diikuti

Hal-hal seperti ini mestinya perlu "disosialisasikan"—
untuk tidak menyebut didoktrinkan—pada orang-orang 
yang belum menikah, agar mereka tidak hanya termakan 
doktrin "menikah akan membuatmu tenteram dan 
bahagia dan bla-bla-bla..."
@noffret


Teman saya punya saran yang aneh. Katanya, “Kalau kamu mau menikahi seorang perempuan, pastikan dia punya suara yang bagus.” 

Saya kaget, “Kenapa?” 

Dia menjelaskan, “Saat menikah nanti, kamu akan sering mendengar omelannya. Kalau suaranya bagus, setidaknya bisa dinikmati.”

Belakangan saya menyadari maksudnya. Kenyataannya, perempuan memang suka ngomel, atau minimal suka ngomong. Tanpa sadar, banyak perempuan yang menganggap suami bukan sebagai pasangan, tapi sebagai anaknya—semacam naluri keibuan yang kebablasan. 

Ketika pria menikah, dia tidak ingin berubah, dan tidak ingin pasangannya berubah. Sebaliknya, ketika wanita menikah, dia ingin berubah, sekaligus ingin mengubah pasangannya. [Dalam kondisi semacam itu, saya benar-benar bingung bagaimana orang bisa bahagia dalam pernikahan.]

Latar belakang itu pula yang menjadikan wanita suka ngomel pada pasangannya—itu dorongan bawah sadarnya yang memang ingin berubah, sekaligus ingin mengubah pasangannya. Karena di dunia ini tidak ada orang (pasangan) yang sempurna, wanita pun ngomel sepanjang waktu.

Apakah wanita yang tampak kalem dan pendiam saat di luar rumah, sama kalem dan pendiam saat di dalam rumah? Dulu saya mengira begitu! Tapi ternyata tidak. 

Saya pernah bilang ke seseorang, “Istrimu kalem dan pendiam sekali.” Dan dia langsung ngamuk, “KALEM DAN PENDIAM APAAN?”
 
Lalu dia ngoceh panjang lebar tentang istrinya yang suka ngomel, nyaris setiap hari. “Selalu saja ada yang salah,” dia berkata, “dan dia selalu ngomel.” Karenanya, dengan berat hati, dia mengakui, saat-saat menenangkan baginya adalah ketika istri (atau dirinya) sedang keluar rumah.

....
....

Di warung mi ayam, saya pernah ketiban sial. Tepat di depan saya ada pasangan pria-wanita (entah masih pacaran atau sudah menikah). Si wanita ngomoooooooong terus ke pasangannya, nyaris tanpa henti. Dan saya yang kebetulan ada di depannya ikut capek sekaligus stres mendengarnya. 

Sambil makan mi ayam—yang waktu itu jadi terasa tidak enak—saya membayangkan. Bahkan baru mendengar ocehan si wanita beberapa menit saja, saya sudah frustrasi. Bagaimana rasanya mendengar ocehannya sepanjang hari sepanjang malam? Oh, well, and they life happily ever after. 

Kadang, sewaktu-waktu, nyokap datang ke rumah saya. Dan setiap kali dia datang, rumah yang semula hening dan sunyi berubah ramai. Dia akan ngomooooong nyaris tanpa henti, tentang apa saja, dan saya benar-benar kelelahan menghadapinya. Nyatanya wanita memang suka ngomong. 

Kalau kamu pria dan sudah menikah, dan istrimu suka ngomel karena, misalnya, kamu suka main game, dia akan tetap ngomel umpama kamu berhenti main game sama sekali! Karena intinya bukan apakah kamu main game atau tidak, tapi karena dia memang suka ngomel, itu saja!

Bagi banyak wanita, tidak mengomeli pasangannya artinya ada yang salah—dia akan merasa bahwa ada sesuatu yang mestinya dia omeli. Kadang dia bahkan menganggap ngomel adalah bentuk kasih sayang. Sebaliknya, bagi pria, pasangan ngomel artinya ada yang salah. Ini kan kacau! 

Ketika stres, pria akan lebih banyak diam, karena dengan cara itulah stresnya mereda. Sebaliknya, ketika stres, wanita akan lebih banyak bicara, karena dengan cara itulah stresnya mereda. Jika keduanya sedang stres di waktu bersamaan, bayangkan bagaimana kacau hasilnya.

Hal-hal yang terkesan sepele tapi penting ini, sayangnya, tidak pernah diajarkan pada pasangan-pasangan yang akan menikah. Akibatnya, mereka membayangkan pernikahan akan seindah pacaran, ketika keduanya masih bebas sendiri-sendiri karena belum ada ikatan resmi/legal.

Orang-orang yang akan menikah mestinya diberi tahu bahwa pernikahan tidak seindah pacaran. Mereka memang bisa ngewe secara legal. Tapi di luar urusan ngewe, mereka akan menghadapi aneka hal menjengkelkan dari pasangannya, dan kali ini tidak bisa lari ke mana pun.

Pernikahan itu paradoks, dan karena itulah ada orang-orang yang sampai tidak percaya bahwa orang bisa bahagia dalam pernikahan. Ketika belum menikah, sepasang pria-wanita mengkhayalkan keindahan karena bisa bersama setiap saat... padahal justru itulah sumber masalahnya!


PS: 

Kadang saya berpikir. Kelak, kalau menikah, saya akan berkata pada pasangan, “Kamu boleh ngomel, tapi tolong ngomellah secara akademis, dengan footnote dan daftar pustaka, agar aku bisa menelitinya secara ilmiah, demi ketenangan hidup kita bersama!”

Mungkin Menikah

Suatu saat, mungkin, aku akan menikah. Di waktu yang tepat, dengan orang yang tepat. Tapi bukan berarti aku ingin buru-buru pacaran.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 November 2012.

Tolol

Tolol adalah orang yang berpikir tak bisa hidup tanpa orang lain. Lebih tolol lagi yang berpikir orang lain tak bisa hidup tanpa dirinya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Cinta Datang Perlahan

Cinta datang perlahan, benci merayap begitu cepat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Maret 2012.

Tantangan LDR

Tantangan LDR, katanya, kau tidak tahu pacarmu sedang apa atau bersama siapa di malam Minggu, di tempat yang jauh darimu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2012.

Senin, 10 Oktober 2022

Kegilaan Laki-laki

“Hiburan utama laki-laki adalah kerja.” 
Kadir, Pelawak Indonesia


Di Twitter, saya beberapa kali mendapati tweet terkait fenomena laki-laki yang telah menikah, tapi sepertinya tidak/kurang bertanggung jawab pada keluarganya. Malas kerja, dan asyik dengan kesenangannya sendiri—dari kesenangan mancing sampai main games —hingga melalaikan kewajiban. 

Salah satu video yang pernah viral, terkait hal itu, memperlihatkan seorang laki-laki yang ditelepon istrinya, ketika sedang mancing. Di video, laki-laki itu tampak memegangi joran (alat pancing) di tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegangi ponsel yang menempel di telinga. Laki-laki itu terdengar marah campur frustrasi, karena terus menerus ditelepon istrinya saat dia lagi asyik memancing ikan.

Sebenarnya, secara objektif, hampir semua orang—dalam hal ini laki-laki—punya “penyakit” atau kebiasaan buruk masing-masing. Cuma beda kadarnya. Ada yang ringan, ada yang berat. Ada yang masih bisa ditoleransi, ada pula yang sudah tak bisa ditoleransi. Dari suka mancing sampai main games.

Mancing, main games, doyan nongkrong, suka keluyuran tidak jelas, sampai malas kerja, adalah sebagian penyakit atau kebiasaan buruk yang bisa diidap laki-laki mana pun. Tergantung kadarnya ringan atau berat, dan tergantung masih bertanggung jawab atau tidak.

Saya kenal seseorang yang hobinya dolanan merpati balap. Dia sampai menghabiskan uang ratusan juta untuk mengoleksi merpati balap, dan setiap hari selalu meluangkan waktu untuk asyik dengan merpati-merpati peliharaannya. Dia bahkan punya karyawan khusus untuk mengurusi koleksi merpatinya.

Istrinya tidak mempermasalahkan hal itu, dan hanya mengatakan, “Yo wis ben. Lebih baik dia main merpati, daripada main perempuan.” Dia tidak mempermasalahkan, karena suaminya tetap bertanggung jawab; tetap bekerja, tetap membiayai kebutuhan keluarga, dan lain-lain. Dalam arti, keasyikan si laki-laki bermain merpati tidak sampai menelantarkan keluarga.

Tapi istri mana pun tentu bakalan ngamuk kalau—umpama—suaminya dolanan merpati, dan melupakan tanggung jawabnya, hingga keluarga telantar. 

Sebenarnya, setidaknya menurut saya, inti masalahnya cuma di situ. Kita, laki-laki, bisa “segila” apa pun dalam hobi kita, asal bertanggung jawab pada keluarga.

Kalau memang masih asyik dengan kegilaan sendiri—entah kegilaan mancing sampai kegilaan main games—dan belum mampu bertanggung jawab pada pasangan atau keluarga, ya tidak usah buru-buru menikah. Wong tidak menikah juga tidak apa-apa, kalau masih “gila”. 

Numpang curhat; saya sendiri belum berani menikah, karena sadar “masih gila”. Sebagai laki-laki, saya tidak suka mancing, tidak memelihara hewan apa pun, tidak suka main games, tidak suka keluyuran... tapi saya punya penyakit atau kebiasaan buruk lain.

“Penyakit” saya yang pertama; kalau sudah asyik belajar, saya lupa segalanya. 

Dan kebiasaan buruk saya yang sampai sekarang belum sembuh; kalau sudah asyik bekerja, saya lupa waktu. 

Itu sama sekali tidak baik, karena dulu pacar saya sering marah gara-gara kebiasaan itu. Dia merasa diabaikan, karena saya terlalu sibuk dengan diri sendiri.

Kalau mau, saya bisa berdiam di rumah sampai berbulan-bulan, khusyuk belajar atau bekerja, dan tidak ingin diganggu apa pun atau siapa pun. (Omong-omong, belajar dan bekerja itu satu kesatuan dalam hidup saya, karena pekerjaan saya membutuhkan proses belajar tanpa henti).

Saat ini saya masih lajang, tinggal sendirian di rumah, dan saya bisa memuaskan “kegilaan” dalam belajar dan bekerja. No problem. Tapi kalau saya menikah dan punya keluarga, istri dan anak-anak saya bisa menjadi korban. Mereka akan merasa diabaikan, dan itu tentu tidak baik.

Well, yang saya lakukan—asyik belajar dan bekerja—sebenarnya sama dengan laki-laki lain yang suka mancing, suka main games, suka nongkrong dan keluyuran, dan lain-lain. Sebenarnya sama-sama kebiasaan buruk, karena asyik dengan diri sendiri hingga mengabaikan hal-hal lain.

Dan karena kesadaran itulah, saya memutuskan untuk tidak buru-buru menikah, daripada nantinya malah menelantarkan keluarga (istri dan anak-anak). 

Jadi, buat sesama teman laki-laki, kalau memang masih ingin “gila”, ya gila dulu sajalah—gila sendiri, biar tidak ada yang jadi korban. Tak perlu buru-buru menikah, apalagi punya anak, karena kegilaanmu—atau kegilaan kita—akan mengorbankan atau setidaknya menyakiti mereka.

Kelak, kalau sudah menikah, apalagi punya anak, saya memang tetap akan belajar dan bekerja. Tapi tentu tidak akan segila ketika masih lajang. Waktunya belajar, ya belajar. Waktunya kerja, ya kerja. Waktunya menemani istri dan anak-anak, ya menemani. Tapi saat ini saya belum mampu. 

Karenanya, nasihat “menikah akan membuatmu tenteram dan bahagia” itu belum tentu relevan untuk semua orang. Kalau saya nekat menikah sekarang, saya justru akan tertekan, dan pasangan saya akan sama tertekan. Persis seperti laki-laki yang ditelepon istrinya ketika asyik mancing, sementara si istri merasa diabaikan. Tidak ada kebahagiaan, apalagi ketenteraman.

Percaya pada Cinta

Percaya pada cinta yang kita miliki, sepertinya jauh lebih penting daripada memiliki cinta itu sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Januari 2012.

Memilih

Memilih adalah soal pilihan. Memilih untuk tidak memilih juga termasuk pilihan. Aku tidak akan memilih, karena aku punya pilihan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Bikin Galau

Gini nih yang bikin galau. Sudah nyaman di kamar, lalu perut tiba-tiba kelaparan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Maret 2022.

Kadang

Kadang, jatuh cinta pada seseorang adalah cara menyakiti diri sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Desember 2012.

Sabtu, 01 Oktober 2022

Berhenti Memikirkan Apa Kata Orang Lain

Your boundaries must be stronger than 
your need to be liked by other people.


Kemarin malam, saya berkumpul dengan beberapa teman, dan ada satu orang yang baru saya kenal. Saya mendapat pelajaran penting darinya, dan ingin saya bagikan di sini. Dia mengizinkan saya menceritakannya, tapi tidak mengizinkan saya menyebut namanya. Jadi sebut saja dia X.

Salah satu topik percakapan kami kemarin malam adalah tentang “memikirkan apa kata orang lain”. Ini hal yang sering muncul dalam pikiran banyak orang, termasuk kita. Ketika ingin melakukan sesuatu, kita kadang berpikir, “Apa kata orang lain nanti?” dan varian semacamnya.

Saya juga dulu sering berpikir begitu. Saat ingin menyampaikan sesuatu, atau ingin melakukan sesuatu, kadang saya terhenti karena berpikir, “Apa kata orang lain nanti?” 

Belakangan saya mulai belajar untuk tidak lagi berpikir seperti itu, dan tetap melakukan apa pun yang saya yakini benar.

Nah, X memberi saya ilustrasi yang benar-benar “frontal” tentang bagaimana dia tidak peduli lagi pada apa pun pendapat orang lain, dan dia menjalani hidupnya dengan caranya sendiri. Ia bilang, “Selama tidak mengganggu atau merugikan orang lain, aku akan melakukan, dan persetan dengan mereka.” 

Dulu, X mengakui, dia sama seperti orang lain umumnya, sering berpikir, “Apa kata orang lain nanti?” Karenanya, dia juga mengakui, dia kadang khawatir saat ingin melakukan sesuatu dalam kehidupannya. Sampai suatu saat, dia jatuh dalam kebangkrutan, dan miskin.

Singkat cerita, X benar-benar miskin saat itu, sampai tidak punya uang untuk makan, sementara kendaraannya tidak bisa dipakai karena kehabisan bensin. Dia tinggal sendirian di rumahnya, barang-barang berharga sudah habis terjual, dan setelah itu satu-satunya cara agar dia bisa makan hanya jalan kaki ke rumah orang tuanya.

Dan itulah yang dilakukan X. Selama waktu-waktu itu, setiap hari dia jalan kaki ke rumah orang tuanya, sekitar 5 km jauhnya, hanya agar bisa makan. Tentu saja dia hanya makan satu kali sehari, agar tidak terus bolak-balik jalan kaki. Kadang-kadang dia menginap di rumah orang tuanya, jika kelelahan, tapi sering kali dia pulang ke rumahnya sendiri. Dan dia menjalani masa pahit itu hingga beberapa bulan.

Kenapa dia tidak menginap terus saja di rumah orang tuanya, agar tidak bolak-balik? Jawabannya sederhana; tidak nyaman.

“Itu fase paling rendah dan menyedihkan dalam hidupku,” curhat X. 

Dan selama dia berjalan kaki setiap hari sejauh 5 km hanya agar bisa makan, X berpikir dan menyadari bahwa tidak ada orang lain yang peduli kepadanya. Tidak ada orang peduli dia jalan kaki sejauh 5 km hanya untuk bisa makan satu kali sehari.

“Dan itu memberiku kesadaran,” ujar X, “bahwa orang-orang di sekitar kita sebenarnya tidak peduli dengan kita. Mereka hanya peduli dengan urusan mereka sendiri, dan mereka sudah terlalu sibuk dengan hidup mereka sendiri. Jadi, persetan, kenapa aku harus mempedulikan mereka?”

PR Terbesar Setiap Startup

Setiap kali pesan makanan lewat layanan pesan antar, termasuk Gofood, saya selalu memberikan tip buat driver. Kalau pesanan saya habis Rp42.000, misalnya, saya kasih Rp50.000. Sisa Rp8.000 (uang kembaliannya) tidak saya minta. Saya kasihkan ke driver, sebagai tip untuknya.

Hal semacam itu saya lakukan bukan sekali dua kali, tapi setiap hari, kapan pun pesan Gofood. Saya ikhlas memberikannya, bahkan terus menerus. Kenapa? Karena itu kehendak saya sendiri!  

Jadi, ketika Gofood menaikkan aneka biaya—dari biaya aplikasi, biaya antar, dan lain-lain—lalu saya kecewa, yang membuat saya kecewa sebenarnya bukan nominal uangnya. Beberapa ribu perak itu cuma receh bagi saya. Yang bikin saya kecewa, karena saya merasa dieksploitasi!

Ini tak jauh beda dengan rata-rata orang lain. Bagi kebanyakan orang, duit seribu rupiah mungkin tidak ada nilainya. Tapi kalau kamu mencuri uang seribu rupiah dari seseorang, dan dia tahu, dia bisa ngamuk! Bukan masalah nominal seribunya, tapi dia merasa dicuri.

Itulah yang saya maksud dalam ocehan tempo hari, bahwa Gojek/Gofood terlalu kasar atau agresif—untuk tidak menyebut eksploitatif—dalam upaya “memanen” bisnis mereka. Padahal, andai mereka bermain lebih cantik, para mitra dan pelanggan tidak akan menjerit.

And know, inilah PR terbesar setiap startup. Bagaimana pun, startup butuh keuntungan—kita tahu. Pertanyaannya, bagaimana cara menghasilkan keuntungan besar, tanpa membuat konsumen merasa “dipaksa” atau dieksploitasi?

Jangan tanya saya. Tanya Rhenald Kasali. 

Percakapan Yika

Seseorang berkata, “Virus yika saja begini begitu.”

Temannya membatin, “Virus yika kok jadi acuan.”

Terlambat

Waktu berjalan cepat. Dan kita tetap saja terlambat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Maret 2012.

Kegalauan

Dan kegalauan membunuh perlahan-lahan...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Selasa, 20 September 2022

Bocah-Bocah Menutup Telinganya

Terkait ribut-ribut soal sekelompok bocah yang menutup telinganya saat mendengar musik...

Ocehan sambil nunggu udud habis.

Sekelompok bocah—yang disebut penghafal Quran—menutupi telinganya saat mendengarkan musik, ketika mereka menunggu giliran vaksinasi. Mereka tidak melakukan apa pun; hanya duduk, diam, dan menutupi telinganya sendiri. Tidak ada aksi anarkis atau semacamnya.

Tapi bocah-bocah itu lalu dipersoalkan banyak orang, hingga ada yang mengkhawatirkan kalau-kalau mereka jadi muslim radikal. Kita tentu tidak bisa yakin apakah kekhawatiran itu benar atau tidak, dan tujuan ocehan ini bukan itu. Tujuan ocehan ini adalah untuk melihat akar masalah.

Ada sekelompok bocah menutupi telinga ketika mendengar musik, dan sebagian kita meributkannya—kenapa? Menurutku, karena kita telah terdoktrin sekaligus terjebak dalam dikotomi “suara yang baik” dan “suara yang buruk”. Kita terpecah karena doktrinasi dan dikotomi.

Padahal “suara baik” dan “suara buruk” itu hanyalah, meminjam istilah Harari, “tatanan yang diimajinasikan”. Sebagian kita meyakini bahwa musik adalah suara yang baik, hingga senang mendengarnya. Sementara sebagian lain meyakini musik adalah suara yang buruk, dan menutup telinga.

Sampai di situ—dalam dikotomi yang terbelah semacam itu—sebenarnya tidak ada masalah, andai kita saling menghormati keyakinan masing-masing. 

Akar masalah kita adalah ketiadaan hormat pada yang liyan, berharap semua orang harus sama, dan, tidak jarang, memaksakan keyakinan.

Yang disebut “memaksakan keyakinan” tidak harus dengan pedang. Sama seperti suara musik yang bisa mengganggu sekelompok bocah penghafal Quran, pernahkah kita memikirkan kalau suara-suara keras dari masjid dan musala yang terus membahana setiap hari bisa mengganggu liyan?

Kita meyakini, misalnya, suara-suara dari masjid dan musala—dari suara azan sampai suara pengajian—sebagai suara yang baik. Menurut siapa? Tentu menurut kita, menurut keyakinan kita! Tapi keyakinan kita bukan jaminan bahwa semua orang di dunia pasti punya keyakinan sama.

Apakah kita pernah memikirkan kenyataan itu? Mungkin tidak. Nyatanya, setiap hari, setiap waktu, suara-suara dari masjid dan musala terus membahana... dan kita menganggap semua itu baik-baik saja... tanpa sempat memikirkan apakah ada orang-orang yang mungkin terganggu.

Dan orang-orang yang mungkin terganggu itu selama ini hanya diam, karena tak berani menyatakan terang-terangan, karena melihat konsekuensi yang terjadi pada orang-orang yang nekat mengatakannya. Akibatnya, perasaan yang lama dipendam itu berubah jadi amarah dan kebencian.

And then, sekarang kita menyaksikan akibatnya. Hanya karena ada sekelompok bocah menutupi telinga karena mendengar musik, orang-orang ribut, dan sampai melemparkan aneka tuduhan. 

Dalam perspektifku sebagai bocah, semua tuduhan itu berasal dari amarah, sinisme, dan kebencian.

Ada amarah dan kebencian yang selama ini menjadi api dalam sekam, tersimpan diam-diam di lubuk hati banyak orang... amarah dari perasaan merasa “dibedakan”, “tak dianggap”, “tak dimanusiakan”, dan bara itu menyala, mencari cara untuk membakar apa pun yang lalu muncul.

Ada banyak orang di negeri ini—meski mereka mungkin tidak mengakuinya terang-terangan—yang telah lama terganggu dengan ulah dan sikap kita; orang-orang beragama yang merasa [paling] benar dan mayoritas, yang kadang memaksakan keyakinan dan sistem nilai kita pada semua orang.

Mereka mungkin berusaha tidak terang-terangan menyerang ajaran agama, karena—di negeri ini—agama sudah menjadi kebenaran yang tak boleh digugat, hingga ada ancaman penistaan agama. Kenyataan itu lalu menimbulkan resistensi, perlawanan diam-diam, dengan segala cara dan sarana.

Orang-orang sekuler dan para ateis pasti tahu—dan mereka benar-benar bodoh jika tidak tahu—bahwa agama adalah “tatanan yang diimajinasikan”. Itu serupa sistem nilai lain, dari demokrasi sampai Pancasila. Tatanan yang diimajinasikan adalah sistem nilai yang disepakati pelakunya.

Demokrasi, sebagai tatanan yang diimajinasikan, sebagai misal, dirancang sebagai itikad baik dalam membangun negara dan kemanusiaan. Kita menyepakati itu, dan, alih-alih membenci, kita justru mendukung. Tapi kita membenci para penjahat yang menggunakan topeng demokrasi.

Bisa melihat yang kumaksud? Agama, sebagai tatanan kemanusiaan, yang—dalam bayangan almarhum Gus Dur—diharapkan menjadi pengantar masyarakat madani, sebenarnya tidak masalah... sebagai seperangkat sistem keyakinan. 

Tetapi, memang, kadang ada orang-orang curang di dalam sistem.

“Orang-orang curang” itulah yang lalu memercik amarah dan kebencian diam-diam pada sebagian orang lain, hingga mereka tidak hanya menujukan pandangan pada orang-orang curang tadi, tapi juga pada semua orang yang tergabung di dalam sistem. 

Inilah akar masalah kita semua.

“Orang-orang curang” itu bisa berupa da’i yang menebarkan kebencian pada yang liyan, penceramah yang memaksakan kebenaran dirinya sendiri dan mudah mengkafir-kafirkan, orang-orang agamis yang tak mengenal toleransi, sampai pengumbar suara-suara bising dari corong toa membahana.

Kita membiarkan semua “kecurangan” itu berlangsung di depan mata kita, dari waktu ke waktu, menganggap semuanya biasa saja, tanpa menyadari semua itu akan menjadi bom waktu. Sementara amarah tersimpan menjadi bara api, kebencian menyala di hati banyak orang yang terluka.

Lalu bocah-bocah penghafal Quran yang tak bersalah menjadi sasaran amarah dan kebencian itu, hanya karena mereka menutup telinganya dari kebisingan. Mereka tidak melakukan apa pun, tapi setumpuk tuduhan dilemparkan pada mereka... tuduhan yang berasal dari amarah dan kebencian.

Masalah kita sebenarnya bukan bocah-bocah yang menutupi telinganya, bukan apakah musik itu baik atau buruk, bukan apakah bocah-bocah itu kelak akan menjadi teroris atau menjadi pejuang kemanusiaan... masalah kita adalah tiadanya toleransi untuk memanusiakan yang liyan.

Selama kita tidak mau mengakui kenyataan yang terang benderang itu, selama kita masih ngotot memaksakan kebenaran diri sendiri pada semua orang, dan selama kita masih mengumbar suara-suara seenaknya hanya karena menganggap itu suara baik, masalah ini tidak akan pernah selesai.

Sistem keyakinan apa pun yang ada dalam pikiran manusia—selama itu tidak berwujud konkret—hanyalah tatanan yang diimajinasikan. Semua orang memilikinya, yang teis maupun ateis, yang beragama maupun agnostik. Itu tidak masalah. 

Karena masalah kita adalah toleransi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 September 2021.

Dalam Hening

Tak pernah ada badai dalam hening. Itu yang membuat aku jatuh cinta kepadanya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Jualan Kecap

Di mana-mana sedang musim jualan kecap, dan tiba-tiba semua kecap berubah putih tanpa cacat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Terlelap

Orang-orang terlelap di dunia nyata, dan terjaga di dunia maya. Udara telah menjadi bagian virtual, dan kehidupan cuma segaris pita digital.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Misteri Penjual Nasgor

Misteri penjual nasgor: Ditunggu nggak lewat-lewat, nggak ditunggu bolak-balik lewat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Maret 2012.

Sabtu, 10 September 2022

Temuan Ilmiah yang Menggelisahkan

Ada riset terkenal yang telah terbukti ilmiah, diyakini para ilmuwan, khususnya dalam bidang psikologi, tapi sangat menggelisahkanku. Riset itu menunjukkan bahwa orang-orang lebih suka sosok yang hangat (meski sangat bodoh), daripada sosok yang dingin (meski sangat pintar).

Sosok yang hangat itu misalnya ramah, supel, murah senyum, pintar basa-basi dan mencairkan suasana, pandai bergaul, dan semacamnya. 

Sementara sosok yang dingin itu misalnya pendiam, tidak banyak bicara, kaku, berwajah murung, terkesan angkuh, dan lebih suka menyendiri.

Dari perbandingan ilustrasi tadi, siapa pun pasti akan lebih suka dan lebih tertarik pada sosok yang hangat, daripada sosok yang dingin.

Yang kadang jadi masalah adalah saat kita butuh seseorang yang memiliki pengetahuan/kemampuan tertentu, misal untuk kita ajak bekerja bersama.

Berdasarkan pengalaman, ada orang-orang yang memiliki kemampuan luar biasa, tapi mereka belum tentu sosok yang menyenangkan (dalam arti hangat, supel, dan murah senyum). Rata-rata mereka sangat dingin, pendiam, bahkan terkesan angkuh. Tapi kemampuannya sangat menakjubkan.

Masih berdasar pengalaman. Aku mengamati bahwa semakin cerdas seseorang, dia akan semakin logis. Dan semakin logis seseorang, dia akan semakin dingin. Karena logika memang butuh otak, bukan emosi. Padahal emosi itulah yang menjadikan orang lebih "hangat". 

Meski tak mesti begitu.

Aku percaya, di luar sana ada orang-orang yang luar biasa cerdas, sekaligus ramah dan murah senyum, serta pintar bergaul dengan segala basa-basi. Mereka yang disebut punya... well, kecerdasan intelektual sekaligus emosional.

Tetapi, sejujurnya, aku belum pernah menemukannya.

Satu hal pasti yang selalu kukenali tiap bertemu orang-orang luar biasa cerdas (dan kalian bisa menggunakannya sebagai semacam "pemandu"); mereka to the point, dan tidak banyak bacot tidak penting.

Karenanya, temanmu yang sangat cerdas, biasanya juga orang yang kalian jauhi.

Dalam ilustrasi mudah, ini perbedaan orang bodoh dan orang pintar saat akan ngutang:

Orang bodoh ngajak ngobrol ngalor ngidul sampai capek, lalu mengatakan maksudnya; mau ngutang.

Orang pintar to the point, langsung mengatakan maksudnya, mau ngutang, baru setelah itu ngobrol.

Orang bodoh meletakkan hal-hal tidak penting lebih dulu (misal basa-basi dan banyak bacot), sebagai semacam "pelumas" (karena emosi mereka lebih berperan). Sementara orang pintar meletakkan hal-hal penting lebih dulu, baru setelah itu mengurus/membicarakan hal-hal tidak penting.

Sayangnya, cara "to the point" semacam itu sering sulit diterima kebanyakan orang, bahkan bisa jadi dinilai tidak sopan. Ini kembali pada cara kita dalam menghadapi orang lain (lebih dominan emosi/perasaan, atau lebih dominan rasio/pikiran). Dan kebanyakan lebih pakai perasaan.

Ini tak jauh beda dengan cowok saat akan ngajak "bobo emesh" seorang cewek, misalnya. Saat cowok ngajak gituan, dia pasti akan banyak bacot, banyak rayuan, banyak aksi, dan lain-lain. Padahal, baik si cowok maupun si cewek sama-sama tahu bahwa intinya ngajak emesshh... appeuuh...

Bayangkan saja seorang cowok, misalnya, ngomong ke seorang cewek, "Aku ingin bobo emesh sama kamu." Kemungkinan besar si cewek akan ngamuk, menuduh si cowok melakukan pelecehan seksual, sampai ngemeng HAM segala macam, bahkan meski sebenarnya dia juga sama-sama menginginkannya.

Bisa melihat sesuatu yang "merisaukan" di sini? Homo sapiens adalah makhluk emosi, bukan makhluk logika, karenanya mereka lebih mengedepankan perasaan. Dan inilah yang menjadikan kebanyakan kita menyukai orang yang hangat, meski bodoh, daripada orang yang dingin, meski pintar.

Cowok butuh seribu macam bacotan tidak penting untuk sampai pada ajakan emesshh pada seorang cewek. Dan terus terang, aku tidak punya kemampuan semacam itu. Aku akan mengatakan langsung maksudku. Tapi kamu pasti akan ngamuk. Jadi aku lebih memilih tidak pernah melakukannya.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 3877. Tapi buat apa? Wong intinya aku cuma ingin bobo emesshh sama kamuuuuhhh... Apppeeeeuuuuhhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Desember 2020.

 
;