“Hiburan utama laki-laki adalah kerja.”
—Kadir, Pelawak Indonesia
Di Twitter, saya beberapa kali mendapati tweet terkait fenomena laki-laki yang telah menikah, tapi sepertinya tidak/kurang bertanggung jawab pada keluarganya. Malas kerja, dan asyik dengan kesenangannya sendiri—dari kesenangan mancing sampai main games —hingga melalaikan kewajiban.
Salah satu video yang pernah viral, terkait hal itu, memperlihatkan seorang laki-laki yang ditelepon istrinya, ketika sedang mancing. Di video, laki-laki itu tampak memegangi joran (alat pancing) di tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegangi ponsel yang menempel di telinga. Laki-laki itu terdengar marah campur frustrasi, karena terus menerus ditelepon istrinya saat dia lagi asyik memancing ikan.
Sebenarnya, secara objektif, hampir semua orang—dalam hal ini laki-laki—punya “penyakit” atau kebiasaan buruk masing-masing. Cuma beda kadarnya. Ada yang ringan, ada yang berat. Ada yang masih bisa ditoleransi, ada pula yang sudah tak bisa ditoleransi. Dari suka mancing sampai main games.
Mancing, main games, doyan nongkrong, suka keluyuran tidak jelas, sampai malas kerja, adalah sebagian penyakit atau kebiasaan buruk yang bisa diidap laki-laki mana pun. Tergantung kadarnya ringan atau berat, dan tergantung masih bertanggung jawab atau tidak.
Saya kenal seseorang yang hobinya dolanan merpati balap. Dia sampai menghabiskan uang ratusan juta untuk mengoleksi merpati balap, dan setiap hari selalu meluangkan waktu untuk asyik dengan merpati-merpati peliharaannya. Dia bahkan punya karyawan khusus untuk mengurusi koleksi merpatinya.
Istrinya tidak mempermasalahkan hal itu, dan hanya mengatakan, “Yo wis ben. Lebih baik dia main merpati, daripada main perempuan.” Dia tidak mempermasalahkan, karena suaminya tetap bertanggung jawab; tetap bekerja, tetap membiayai kebutuhan keluarga, dan lain-lain. Dalam arti, keasyikan si laki-laki bermain merpati tidak sampai menelantarkan keluarga.
Tapi istri mana pun tentu bakalan ngamuk kalau—umpama—suaminya dolanan merpati, dan melupakan tanggung jawabnya, hingga keluarga telantar.
Sebenarnya, setidaknya menurut saya, inti masalahnya cuma di situ. Kita, laki-laki, bisa “segila” apa pun dalam hobi kita, asal bertanggung jawab pada keluarga.
Kalau memang masih asyik dengan kegilaan sendiri—entah kegilaan mancing sampai kegilaan main games—dan belum mampu bertanggung jawab pada pasangan atau keluarga, ya tidak usah buru-buru menikah. Wong tidak menikah juga tidak apa-apa, kalau masih “gila”.
Numpang curhat; saya sendiri belum berani menikah, karena sadar “masih gila”. Sebagai laki-laki, saya tidak suka mancing, tidak memelihara hewan apa pun, tidak suka main games, tidak suka keluyuran... tapi saya punya penyakit atau kebiasaan buruk lain.
“Penyakit” saya yang pertama; kalau sudah asyik belajar, saya lupa segalanya.
Dan kebiasaan buruk saya yang sampai sekarang belum sembuh; kalau sudah asyik bekerja, saya lupa waktu.
Itu sama sekali tidak baik, karena dulu pacar saya sering marah gara-gara kebiasaan itu. Dia merasa diabaikan, karena saya terlalu sibuk dengan diri sendiri.
Kalau mau, saya bisa berdiam di rumah sampai berbulan-bulan, khusyuk belajar atau bekerja, dan tidak ingin diganggu apa pun atau siapa pun. (Omong-omong, belajar dan bekerja itu satu kesatuan dalam hidup saya, karena pekerjaan saya membutuhkan proses belajar tanpa henti).
Saat ini saya masih lajang, tinggal sendirian di rumah, dan saya bisa memuaskan “kegilaan” dalam belajar dan bekerja. No problem. Tapi kalau saya menikah dan punya keluarga, istri dan anak-anak saya bisa menjadi korban. Mereka akan merasa diabaikan, dan itu tentu tidak baik.
Well, yang saya lakukan—asyik belajar dan bekerja—sebenarnya sama dengan laki-laki lain yang suka mancing, suka main games, suka nongkrong dan keluyuran, dan lain-lain. Sebenarnya sama-sama kebiasaan buruk, karena asyik dengan diri sendiri hingga mengabaikan hal-hal lain.
Dan karena kesadaran itulah, saya memutuskan untuk tidak buru-buru menikah, daripada nantinya malah menelantarkan keluarga (istri dan anak-anak).
Jadi, buat sesama teman laki-laki, kalau memang masih ingin “gila”, ya gila dulu sajalah—gila sendiri, biar tidak ada yang jadi korban. Tak perlu buru-buru menikah, apalagi punya anak, karena kegilaanmu—atau kegilaan kita—akan mengorbankan atau setidaknya menyakiti mereka.
Kelak, kalau sudah menikah, apalagi punya anak, saya memang tetap akan belajar dan bekerja. Tapi tentu tidak akan segila ketika masih lajang. Waktunya belajar, ya belajar. Waktunya kerja, ya kerja. Waktunya menemani istri dan anak-anak, ya menemani. Tapi saat ini saya belum mampu.
Karenanya, nasihat “menikah akan membuatmu tenteram dan bahagia” itu belum tentu relevan untuk semua orang. Kalau saya nekat menikah sekarang, saya justru akan tertekan, dan pasangan saya akan sama tertekan. Persis seperti laki-laki yang ditelepon istrinya ketika asyik mancing, sementara si istri merasa diabaikan. Tidak ada kebahagiaan, apalagi ketenteraman.