Sabtu, 01 Oktober 2022

PR Terbesar Setiap Startup

Setiap kali pesan makanan lewat layanan pesan antar, termasuk Gofood, saya selalu memberikan tip buat driver. Kalau pesanan saya habis Rp42.000, misalnya, saya kasih Rp50.000. Sisa Rp8.000 (uang kembaliannya) tidak saya minta. Saya kasihkan ke driver, sebagai tip untuknya.

Hal semacam itu saya lakukan bukan sekali dua kali, tapi setiap hari, kapan pun pesan Gofood. Saya ikhlas memberikannya, bahkan terus menerus. Kenapa? Karena itu kehendak saya sendiri!  

Jadi, ketika Gofood menaikkan aneka biaya—dari biaya aplikasi, biaya antar, dan lain-lain—lalu saya kecewa, yang membuat saya kecewa sebenarnya bukan nominal uangnya. Beberapa ribu perak itu cuma receh bagi saya. Yang bikin saya kecewa, karena saya merasa dieksploitasi!

Ini tak jauh beda dengan rata-rata orang lain. Bagi kebanyakan orang, duit seribu rupiah mungkin tidak ada nilainya. Tapi kalau kamu mencuri uang seribu rupiah dari seseorang, dan dia tahu, dia bisa ngamuk! Bukan masalah nominal seribunya, tapi dia merasa dicuri.

Itulah yang saya maksud dalam ocehan tempo hari, bahwa Gojek/Gofood terlalu kasar atau agresif—untuk tidak menyebut eksploitatif—dalam upaya “memanen” bisnis mereka. Padahal, andai mereka bermain lebih cantik, para mitra dan pelanggan tidak akan menjerit.

And know, inilah PR terbesar setiap startup. Bagaimana pun, startup butuh keuntungan—kita tahu. Pertanyaannya, bagaimana cara menghasilkan keuntungan besar, tanpa membuat konsumen merasa “dipaksa” atau dieksploitasi?

Jangan tanya saya. Tanya Rhenald Kasali. 

 
;