Hal-hal seperti ini mestinya perlu "disosialisasikan"—
untuk tidak menyebut didoktrinkan—pada orang-orang
yang belum menikah, agar mereka tidak hanya termakan
doktrin "menikah akan membuatmu tenteram dan
bahagia dan bla-bla-bla..."
—@noffret
Teman saya punya saran yang aneh. Katanya, “Kalau kamu mau menikahi seorang perempuan, pastikan dia punya suara yang bagus.”
Saya kaget, “Kenapa?”
Dia menjelaskan, “Saat menikah nanti, kamu akan sering mendengar omelannya. Kalau suaranya bagus, setidaknya bisa dinikmati.”
Belakangan saya menyadari maksudnya. Kenyataannya, perempuan memang suka ngomel, atau minimal suka ngomong. Tanpa sadar, banyak perempuan yang menganggap suami bukan sebagai pasangan, tapi sebagai anaknya—semacam naluri keibuan yang kebablasan.
Ketika pria menikah, dia tidak ingin berubah, dan tidak ingin pasangannya berubah. Sebaliknya, ketika wanita menikah, dia ingin berubah, sekaligus ingin mengubah pasangannya. [Dalam kondisi semacam itu, saya benar-benar bingung bagaimana orang bisa bahagia dalam pernikahan.]
Latar belakang itu pula yang menjadikan wanita suka ngomel pada pasangannya—itu dorongan bawah sadarnya yang memang ingin berubah, sekaligus ingin mengubah pasangannya. Karena di dunia ini tidak ada orang (pasangan) yang sempurna, wanita pun ngomel sepanjang waktu.
Apakah wanita yang tampak kalem dan pendiam saat di luar rumah, sama kalem dan pendiam saat di dalam rumah? Dulu saya mengira begitu! Tapi ternyata tidak.
Saya pernah bilang ke seseorang, “Istrimu kalem dan pendiam sekali.” Dan dia langsung ngamuk, “KALEM DAN PENDIAM APAAN?”
Lalu dia ngoceh panjang lebar tentang istrinya yang suka ngomel, nyaris setiap hari. “Selalu saja ada yang salah,” dia berkata, “dan dia selalu ngomel.” Karenanya, dengan berat hati, dia mengakui, saat-saat menenangkan baginya adalah ketika istri (atau dirinya) sedang keluar rumah.
....
....
Di warung mi ayam, saya pernah ketiban sial. Tepat di depan saya ada pasangan pria-wanita (entah masih pacaran atau sudah menikah). Si wanita ngomoooooooong terus ke pasangannya, nyaris tanpa henti. Dan saya yang kebetulan ada di depannya ikut capek sekaligus stres mendengarnya.
Sambil makan mi ayam—yang waktu itu jadi terasa tidak enak—saya membayangkan. Bahkan baru mendengar ocehan si wanita beberapa menit saja, saya sudah frustrasi. Bagaimana rasanya mendengar ocehannya sepanjang hari sepanjang malam? Oh, well, and they life happily ever after.
Kadang, sewaktu-waktu, nyokap datang ke rumah saya. Dan setiap kali dia datang, rumah yang semula hening dan sunyi berubah ramai. Dia akan ngomooooong nyaris tanpa henti, tentang apa saja, dan saya benar-benar kelelahan menghadapinya. Nyatanya wanita memang suka ngomong.
Kalau kamu pria dan sudah menikah, dan istrimu suka ngomel karena, misalnya, kamu suka main game, dia akan tetap ngomel umpama kamu berhenti main game sama sekali! Karena intinya bukan apakah kamu main game atau tidak, tapi karena dia memang suka ngomel, itu saja!
Bagi banyak wanita, tidak mengomeli pasangannya artinya ada yang salah—dia akan merasa bahwa ada sesuatu yang mestinya dia omeli. Kadang dia bahkan menganggap ngomel adalah bentuk kasih sayang. Sebaliknya, bagi pria, pasangan ngomel artinya ada yang salah. Ini kan kacau!
Ketika stres, pria akan lebih banyak diam, karena dengan cara itulah stresnya mereda. Sebaliknya, ketika stres, wanita akan lebih banyak bicara, karena dengan cara itulah stresnya mereda. Jika keduanya sedang stres di waktu bersamaan, bayangkan bagaimana kacau hasilnya.
Hal-hal yang terkesan sepele tapi penting ini, sayangnya, tidak pernah diajarkan pada pasangan-pasangan yang akan menikah. Akibatnya, mereka membayangkan pernikahan akan seindah pacaran, ketika keduanya masih bebas sendiri-sendiri karena belum ada ikatan resmi/legal.
Orang-orang yang akan menikah mestinya diberi tahu bahwa pernikahan tidak seindah pacaran. Mereka memang bisa ngewe secara legal. Tapi di luar urusan ngewe, mereka akan menghadapi aneka hal menjengkelkan dari pasangannya, dan kali ini tidak bisa lari ke mana pun.
Pernikahan itu paradoks, dan karena itulah ada orang-orang yang sampai tidak percaya bahwa orang bisa bahagia dalam pernikahan. Ketika belum menikah, sepasang pria-wanita mengkhayalkan keindahan karena bisa bersama setiap saat... padahal justru itulah sumber masalahnya!
PS:
Kadang saya berpikir. Kelak, kalau menikah, saya akan berkata pada pasangan, “Kamu boleh ngomel, tapi tolong ngomellah secara akademis, dengan footnote dan daftar pustaka, agar aku bisa menelitinya secara ilmiah, demi ketenangan hidup kita bersama!”