Selasa, 20 Oktober 2020

Ba’as

Seseorang berkata, “Hei, Ba’as, ngabruk itu apa?”

Ba’as mengambil bambu sepanjang dua meter, memeganginya hingga berdiri tegak, lalu berkata pada orang yang bertanya kepadanya, “Lihat ini.” Setelah itu, Ba’as menjatuhkan bambu hingga tergeletak di tanah. Lalu ia berkata, “Itulah ngabruk.”

Orang yang bertanya tadi tampak manggut-manggut, seperti memahami, dan puas dengan penjelasan Ba’as.

Ba’as bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tiba-tiba bertanya tentang ngabruk?”

Agak ragu-ragu, orang itu menjawab, “Uhm... ada seseorang yang pernah menyarankan agar aku ngabruk.”

“Dan kamu melakukannya?”

“Tidak.”

....
....

Aku di sana, waktu itu, ketika Ba’as bercakap-cakap dengan orang yang bertanya soal ngabruk. Setelah orang itu pergi, Ba’as duduk di dekatku. 

Ba’as adalah orang yang kadang menikmati waktu bersamaku—bercakap-cakap ngalor ngidul, tentang apa saja, khususnya tentang kehidupan kami. Dia pria yang usianya sedikit lebih tua dariku, dan menjalani kehidupan mirip sepertiku. Sendirian. Tanpa siapa pun. Menjalani hidup dalam sunyi.

Ba’as bertanya, “Kalau kamu diminta mendeskripsikan dirimu sendiri, kira-kira apa deskripsimu?”

Aku seketika menjawab, “Bocah.”

“Bocah?”

“Ya,” aku memastikan. “Aku suka mendeskripsikan diri sebagai bocah, dan aku senang menyebut diriku sebagai bocah.”

“Kenapa kamu menyebut dirimu sebagai bocah?”

“Mungkin karena aku masih sering kekanak-kanakan. Meski secara usia bisa dibilang sudah dewasa, tapi aku tahu jiwaku masih anak-anak, dan aku kadang masih bersikap seperti anak-anak—maksudku, yeah... aku merasa kurang mampu bersikap seperti orang dewasa umumnya.”

Ba’as tersenyum. “Memangnya orang dewasa seperti apa, yang kamu sebut ‘seperti umumnya’?”

“Yeah...” aku menjawab ragu-ragu. “Orang dewasa, kita tahu, biasanya luwes saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan siapa pun, dan mereka bisa bercakap-cakap santai layaknya orang dewasa. Aku merasa belum mampu melakukan hal semacam itu. Saat bercakap dengan orang lain, aku sering merasa kaku, bahkan kadang aku sadar betapa aku tidak nyaman melakukannya.”

“Karena itu, kamu menyebut dirimu bocah?”

Aku mengangguk. “Karena itu aku menyebut diriku bocah.”

“Tapi kamu bisa bercakap-cakap denganku secara normal. Bahkan menurutku sangat normal, seperti umumnya manusia.”

Aku tersenyum. “Aku tidak tahu, Ba’as. Mungkin karena kita memang telah akrab, hingga aku nyaman bercakap-cakap denganmu.”

Ba’as mengangguk-angguk. Dia memang selalu bisa menerima kenyataan apa pun, seolah isi dunia ini sama sekali tidak ada yang membuatnya terkejut atau heran.

Lalu aku bertanya, “Bagaimana denganmu, Ba’as? Kalau kamu diminta mendeskripsikan dirimu sendiri, kira-kira apa deskripsimu?”

Ba’as menjawab, “Aku menyebut diriku penghibu.”

“Penghibur?” aku memastikan.

“Bukan,” jawab Ba’as. Lalu dia menyatakannya dengan lebih jelas, “Penghibu.”

Berusaha mencerna jawabannya, aku bertanya, “Dan apa itu penghibu?”

“Penghibu adalah aku—maksudku, hal-hal yang kulakukan. Itulah penghibu.”

....
....

Ba’as memiliki sepetak tanah di belakang rumahnya, tidak luas, dan di sepetak tanah itulah kami duduk-duduk sambil mengobrol. 

Pada sepetak tanah itu, Ba’as menggantungkan setengah hidupnya. Dia menanam pohon pepaya di sana, juga pohon pisang, pohon cabai, pernah juga pohon semangka. Apa pun yang bisa ditanam di tanahnya, ia akan mencoba menanamnya. Dan berharap bisa mendapat penghidupan dari sana.

Sewaktu-waktu, Ba’as memanen pepaya dari pohonnya, lalu ia bawa ke pasar, untuk dijual pada pedagang buah. Di waktu lain, ia membawa setandan pisang, yang ia ikat di boncengan sepedanya, dan ia membawanya ke pasar, untuk dijual pada pedagang buah. Hasil jualan itu ia gunakan untuk makan, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kalau memang mencukupi.

Seperti kubilang tadi, pada sepetak tanah itu Ba’as menggantungkan setengah hidupnya. Setengah yang lain, dia biasa mendapatkan penghidupan dari kerja serabutan. Kalau ada panggilan kerja di pabrik, dia akan berangkat ke pabrik. Kalau sedang tidak ada kerjaan, dia berusaha mencari kerjaan apa pun, yang menghasilkan uang. Kalau pun sama sekali tidak ada yang bisa dikerjakan, dia akan berjalan-jalan. Biasanya dengan sepedanya yang ringkih.

Menatap kehidupan Ba’as, sering kali aku takjub. Dia hidup sendirian, tanpa keluarga, tanpa pekerjaan jelas, tapi dia mampu bertahan dengan baik. Kadang-kadang dia mengeluh, tentu saja, tapi lebih sering tidak. Dia orang yang tidak banyak omong, sepertiku. Dan dia menjalani kehidupannya yang sendiri dalam sunyi. 

Kadang aku bertanya, apakah dia sudah makan? Aku juga sering menawarinya rokok, atau apa pun yang mungkin dibutuhkannya. Ba’as sangat jarang menerima tawaranku. Bukan karena segan atau tidak mau menerima, tapi karena dia memang sudah tercukupi. Dia sudah makan, jadi menolak ketika kuajak makan. Dia sudah punya rokok, jadi menolak pula ketika kutawari rokok. Begitu pun tawaran lain.

Belakangan, aku tahu bagaimana alam semesta menjaga kehidupan Ba’as dengan cara yang sangat aneh.

Setiap hari—lebih tepat setiap dini hari, menjelang subuh—Ba’as telah terbangun dari tidur, lalu mulai beraktivitas. Dia menyibukkan diri di tanahnya, mencabuti rumput yang tumbuh, atau menyirami tanah. Usai subuh, dia akan jalan-jalan santai, ke mana pun. Kadang pula menaiki sepedanya yang tampak ringkih, menggenjotnya perlahan-lahan. Dia pergi ke mana pun ia mau, melangkah sejauh apa pun ia ingin.

Dalam aktivitas “jalan-jalan” yang saban hari ia lakukan itu, keajaiban yang aneh sering terjadi. Dia sering menemukan sesuatu!

Aku baru tahu kenyataan itu, ketika suatu malam ia mendatangi rumahku, dan menunjukkan sebuah ponsel. “Aku menemukan ponsel ini di jalan,” ujar Ba’as waktu itu. “Aku tidak biasa memegang ponsel canggih seperti ini, jadi aku bingung.”

Aku menerima ponsel itu darinya, dan mencoba membuka isinya. Ponsel itu jelas milik seseorang, yang mungkin terjatuh, dan kebetulan ditemukan oleh Ba’as. Di dalamnya terdapat daftar nomor telepon, pesan masuk dan pesan keluar, beberapa games, akses ke internet dan e-mail, dan lain-lain. 

Aku berkata dengan ragu-ragu, “Pemiliknya pasti merasa kehilangan, Ba’as.”

“Aku tahu,” sahut Ba’as. “Jadi, apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu bagaimana mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya. Aku bahkan tidak tahu siapa pemiliknya.”

Aku memahami kerisauan Ba’as. Bagaimana pun, isi ponsel itu tidak menunjukkan sedikit pun keterangan siapa pemiliknya. Akhirnya, aku terpikir untuk menelepon nama orang yang ada dalam phonebook ponsel itu, untuk menanyakan siapa pemilik nomor ponsel yang sekarang ditemukan Ba’as.

Ba’as menyetujui saranku, tapi dia meminta aku yang melakukannya. Jadi, aku pun membuka rekaman panggilan, untuk melihat nomor siapa yang terakhir kali dihubungi ponsel tersebut. Setelah itu, aku melakukan panggilan.

Panggilan telepon itu diterima seorang wanita, dan aku mengatakan kepadanya bahwa aku (yang tentu maksudnya Ba’as) telah menemukan ponsel tanpa tahu siapa pemiliknya. Jadi, aku bertanya kepadanya, siapa pemilik nomor ponsel ini?

“Nomor (ponsel) ini milik Yunita,” ujar suara di ponsel. 

Aku bertanya, “Bagaimana agar aku bisa mengembalikan ponsel ini kepadanya?”

Dia menyebutkan suatu alamat. Setelah itu, aku menjelaskan pada Ba’as, bahwa pemilik ponsel itu bernama Yunita, dan memberikan alamat rumahnya.

“Aku akan mengembalikannya,” kata Ba’as.

Dan Ba’as benar-benar mengembalikannya. Menggunakan sepedanya yang ringkih, ia pergi ke alamat Yunita, mengetuk pintu rumahnya, dan mengatakan bahwa dia telah menemukan ponselnya yang mungkin terjatuh. Belakangan, Ba’as menceritakan, Yunita tampak gembira sekaligus terharu, dan dia memberikan amplop pada Ba’as. Isinya uang cukup banyak, tutur Ba’as. 

Kisah itu lalu membuka cerita lain tentang Ba’as, yang membuatku takjub. Ternyata, selama ini, Ba’as telah menemukan aneka hal, termasuk uang, di jalan-jalan yang ia lewati setiap hari. Ia pernah menemukan cincin. Jam tangan. Dompet. Ponsel. Hingga gulungan uang. Semua barang berharga itu tergeletak begitu saja di jalan. Dan, entah bagaimana, tidak ada orang lain yang melihat... selain Ba’as.

Setelah menemukan suatu barang berharga, Ba’as akan menunggu. Menurutnya, orang yang kehilangan sesuatu di suatu tempat biasanya akan sering bolak-balik untuk mencari barang tersebut, dan biasanya pula itulah yang terjadi.

Ketika menemukan cincin di Jalan A, misalnya, Ba’as akan sering duduk-duduk di sekitar Jalan A, sambil mengamati kalau-kalau ada orang yang tampak mencari-cari sesuatu. Setelah ketemu, dia mendekati orang itu, dan menanyakan apa yang ia cari. Jika benar orang itu mencari cincin, Ba’as menanyakan ciri-ciri cincin yang hilang, dan—setelah yakin—dia pun menyerahkan cincin yang telah ia temukan.

Orang itu sangat bersyukur. Dan biasanya memberikan sejumlah uang untuk Ba’as, sebagai tanda terima kasih—meski kadang pula hanya berlalu setelah menunjukkan kegembiraan.

Melalui “penemuan-penemuan” itulah, Ba’as bisa menjalani kehidupan dengan baik, karena selalu ada orang pemurah yang memberinya rezeki, setelah barangnya yang hilang dikembalikan. Sebegitu sering dan sebegitu banyak penemuan yang pernah terjadi, sampai aku berpikir “penemuan” Ba’as jauh lebih banyak dibandingkan penemuan Thomas Edison.

Yang paling aneh adalah kisah ketika Ba’as menemukan sepeda roda tiga, di suatu jalan yang sepi, usai subuh, saat hari masih gelap. Ba’as heran ketika mendapati ada sepeda roda tiga—yang biasanya dipakai anak-anak—teronggok di pinggir jalan raya, tanpa ada seorang pun. 

Ba’as berpikir. Jika ia tinggalkan sepeda roda tiga itu, bisa jadi akan ditemukan orang lain. Dan bisa jadi pula orang yang menemukan itu tidak mengembalikan pada pemiliknya. Jadi, dengan itikad baik, Ba’as mengambil sepeda roda tiga itu, lalu membawanya pulang. Waktu itu dia belum tahu bagaimana cara mengembalikan sepeda roda tiga tersebut pada pemiliknya. 

Tapi kebetulan yang aneh lalu terjadi.

Ketika Ba’as sedang makan malam di warung, dia mendengar orang bercakap-cakap mengenai suatu keluarga yang panik, karena sepeda roda tiga milik anaknya hilang entah ke mana. Dan si anak terus menerus menangis tanpa henti.

Ba’as mendengarkan diam-diam, ketika orang di sana bercerita, “Tadinya si anak naik sepeda itu, sambil dituntun mbak yang biasa menemaninya. Tapi di tengah jalan si anak rewel, dan si mbak menggendongnya. Karena sibuk menenangkan si anak yang rewel, si mbak lupa membawa sepedanya. Sekarang sepeda itu lenyap entah ke mana.”

Sambil mendengarkan, Ba’as tahu bahwa sepeda yang diceritakan itu adalah sepeda yang ia temukan. Jadi, diam-diam, dia pun memperhatikan percakapan di warung, untuk tahu di mana rumah keluarga yang kehilangan sepeda. Setelah tahu di mana alamatnya, esok paginya Ba’as mengikat sepeda roda tiga itu di boncengan sepedanya sendiri, lalu membawanya ke rumah keluarga yang kehilangan.

Ba’as ditemui si mbak yang biasa menemani anak majikannya—yang sepedanya kini dikembalikan—dan si mbak sangat berterima kasih karena Ba’as mengembalikan sepeda yang ia temukan. 

Majikannya sedang pergi, katanya, sedang berusaha menghibur anak kesayangan mereka yang kini terus rewel karena sepedanya hilang. Si mbak tidak bisa memberikan apa pun pada Ba’as, dan meminta Ba’as agar kembali lagi ke sana, agar bertemu majikan si mbak. 

Ba’as hanya mengangguk. Tapi dia tidak pernah datang kembali ke sana.

“Aku sudah senang karena bisa mengembalikan sepeda itu,” ujar Ba’as belakangan kepadaku. 

Aku mencoba menggoda, “Dan kamu tidak ingin ketemu si mbak itu lagi?”

Ba’as hanya tertawa.

....
....

“Kamu bertanya, apa itu penghibu,” ujar Ba’as, saat kami duduk dan bercakap-cakap di sepetak tanah kecil miliknya. “Itulah penghibu.”

Aku mengangguk-angguk penuh khidmat.

Cara Ilmiah Menarik Perhatian

Ada beragam cara menarik perhatian orang lain. Yang paling tolol adalah menarik perhatian dengan cara menjengkelkan.

Cara mudah untuk menguji apakah cara pendekatan kita berhasil atau tidak; jika cara itu telah dilakukan setidaknya tiga kali dan tak menunjukkan pengaruh apa pun, artinya cara kita gagal. Ganti cara lain.

Melakukan sesuatu yang sama tapi mengharapkan hasil berbeda adalah sebuah ketololan. Itu bukan aku yang ngomong, tapi Einstein. Iya, Einstein yang itu.

Makanya aku heran bukan kepalang pada cowok-cowok yang suka catcalling di jalanan. Mereka mungkin ingin menarik perhatian si cewek, tapi apakah cara itu berhasil? Tidak! Dan apakah cowok-cowok itu berhenti melakukan catcalling? Juga tidak!

Aneh? Sangat!

Menarik perhatian orang lain adalah seni "menempatkan diri kita pada diri orang lain". Dan cara paling efektif, bahkan hampir tak pernah gagal, adalah "memberikan yang ia inginkan, dengan cara yang ia sukai". Semua pakar psikologi di kolong langit akan menyetujui kata-kata ini.

Sedari lahir sampai dewasa sekarang, aku tidak pernah makan pisang, dan tidak pernah tertarik memakannya. Bahkan perutku bisa mual hingga ingin muntah kalau mencium aroma pisang. 

Jangan tanya kenapa, karena aku juga tidak tahu. Yang aku tahu, aku tidak doyan pisang.

Sekarang bayangkan kau ingin menarik perhatianku dengan iming-iming pisang, karena menurutmu pisang adalah makanan paling enak sedunia akhirat. Apakah iming-imingmu dengan menyodorkan pisang akan berhasil menarik perhatianku?

Bahkan iblis di neraka tahu jawabannya: Tidak!

Ketika ingin menarik perhatian seseorang, yang penting bukan apa yang kausukai, tapi apa yang dia sukai. 

Orang tolol hanya berfokus pada diri sendiri, dan itulah kenapa mereka tetap tolol. Orang bijak berfokus pada orang lain, dan itulah kenapa orang lain menganggapnya bijak.

Silakan cari cara apa pun yang menurutmu hebat untuk menarik perhatian orang lain. Tapi tidak akan ada yang bisa mengalahkan cara efektif ini: Tawarkan sesuatu yang dia sukai, dengan cara yang dia inginkan.

Bahkan bidadari pun tidak akan mampu menolak tawaran semacam itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 April 2020.

Di Hadapan Krisis

Di hadapan krisis, seperti sekarang, setidaknya kita bisa memahami mana yang penting dan mana yang tidak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 April 2020.

Noffret’s Note: Stigma

Dari tadi mikir, apa sekiranya kata yang sepadan/semakna dengan "stigma", tapi lebih mudah dipahami semua orang?

Akhir-akhir ini, misalnya, ada imbauan "hentikan stigma tenaga medis yang merawat pasien corona". Imbauan itu terkait perlakuan tidak baik terhadap tenaga medis oleh masyarakat; diusir dari tempat kos sampai penolakan pemakaman tenaga medis yang meninggal.

Mereka yang melakukan stigma terhadap tenaga medis itu umumnya orang-orang yang "kurang teredukasi". Jadi, bagaimana mereka yang "kurang teredukasi" itu bisa memahami arti "stigma"? Wong memperlakukan orang lain dengan empati saja tampaknya tidak bisa?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 April 2020.

Noffret’s Note: Semremeng

Cuaca saat ini, kadang panas banget terus hujan deras, bikin orang mudah "semremeng" (agak meriang). Ditambah wabah ini... hadeeehh.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 April 2020.

Sabtu, 10 Oktober 2020

Urusan Lele yang Dilematis

 Nasi uduk, pecel lele yang digoreng garing, dengan sambal yang enak, 
dan dimakan bersama seorang mbakyu. Apa yang lebih sempurna dari itu?


Setengah bulan lalu, saya dolan ke rumah teman, dan kami nyangkruk sampai larut malam. Sekitar pukul 21.00, teman saya mengaku lapar, begitu pun saya. Dia lalu mengajak makan nasi uduk di warung yang tak jauh dari rumahnya. Sebelumnya, saya bertanya memastikan, “Apakah nasi di sana (warung yang akan kami datangi) keras, akas?”

“Ya, nasinya akas,” dia memastikan.

Kami jalan kaki ke warung itu, dan saya mendapati warung sederhana, semi permanen, di pinggir jalan, yang juga menyediakan terpal di trotoar untuk lesehan. Spanduk di warung berisi penjelasan bahwa itu “warung nasi uduk dan ayam goreng/bakar”.

Teman saya memesan nasi uduk dan lele. Lalu kami duduk di tempat lesehan menunggu pesanan. Penjual warung, sepasang suami istri, sepertinya sudah akrab dengan teman saya.

“Dua porsi, Mas?” tanya wanita penjual warung.

“Ya, dua porsi,” jawab teman saya.

Lalu suami wanita tadi pergi, naik motor, sementara si wanita menyalakan kompor. Sesaat kemudian, si suami kembali muncul, dengan membawa buntalan, lalu lele mulai digoreng di wajan. Setelah itu, saya harus sabar menunggu sampai lama.

Sebelumnya, saya sudah sering makan lele—biasanya pecel lele ala Lamongan—dan urusan menggoreng lele relatif cepat, meski saya memesan garing. Tapi kali ini waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng lele sepertinya tiga kali lipat lebih lama dibanding durasi menggoreng lele di warung Lamongan.

“Lama sekali,” bisik saya pada teman.

“Kompornya,” dia berbisik, menjawab.

Ketika saya perhatikan, warung itu rupanya memakai kompor standar—kompor yang biasa dipakai rumah tangga—bukan kompor khusus bertekanan tinggi seperti yang digunakan warung makan. Akibatnya, kami harus benar-benar sabar menunggu. Untung saja tidak perlu antre, karena di sana cuma ada kami berdua, tidak ada pembeli lain.

Akhirnya pesanan kami datang juga; nasi uduk dengan pecel lele plus sambal dan lalap. Enak? Biasa-biasa saja. Yang jelas kami menikmati makan malam itu, namanya juga orang lapar. Lalu menghabiskan teh hangat di gelas, dan nyulut udud.

Saat kami melangkah pulang, teman saya bertanya, “Menurutmu, bagaimana makanan tadi?”

“Quo vadis,” jawab saya sambil nyengir. Maksudnya, enak ya tidak, tidak enak juga tidak. Biasa saja.

Dia ikut nyengir. “Aku sudah khawatir kamu akan bilang tidak enak.”

Saya jadi kaget. “Kalau kamu sudah mengira aku bakal bilang tidak enak, kenapa malah ngajak makan ke sana?”

“Ceritanya panjang.”

Kami duduk di teras rumah teman saya, sambil udud. 

Warung makan tadi, menurut cerita teman saya, belum lama ada di sana. Pasangan suami istri yang punya warung itu sebelumnya tinggal di Jakarta. Si suami bekerja sebagai sopir. Ketika pandemi corona mengobrak-abrik Jakarta, mereka terkena dampak, kehilangan pekerjaan, dan memutuskan pulang (si istri adalah tetangga beda kampung teman saya).

Untuk menyambung hidup, mereka lalu membuka warung nasi uduk. Karena nyaris semua trotoar sudah terisi banyak pedagang lain, mereka dapat tempat yang tidak strategis, sehingga—menurut teman saya—dagangan mereka kurang laku. Hal itu masih diperparah dengan ketiadaan modal, salah satunya untuk membeli kompor bertekanan tinggi, yang memungkinkan masakan cepat matang. Akibatnya, pembeli yang datang ke sana bisa jadi kapok karena tak sabar menunggu.

“Waktu mereka awal buka warung, aku tertarik,” ujar teman saya. “Di sini jarang ada warung nasi uduk. Jadi, aku pun makan ke sana.”

Belakangan, teman saya mengaku, dia rutin makan ke warung itu semata-mata untuk membantu “melariskan”, karena pembeli di sana sangat minim. Hampir tiap makan di sana, tidak ada pembeli lain selain dirinya. 

Karena setiap malam datang ke sana, teman saya pun akrab dengan si penjual—apalagi istri pemilik warung memang tetangganya. Tiap kali teman saya datang, si suami juga akan menemani ngobrol, sambil menunggu lele digoreng. Dari obrolan tiap malam itulah, teman saya jadi tahu mereka korban pandemi yang terpaksa hengkang dari perantauan, dan menyambung hidup di kampung halaman.

“Omong-omong soal lele,” kata teman saya, “mereka sebelumnya tidak menyediakan lele. Cuma ayam bakar dan lauk-pauk ala nasi uduk—telur, dan semacamnya. Karena bosan makan itu-itu terus, aku usul agar mereka juga sedia lele. Jadi, mereka pun lalu mengusahakan ada lele, khusus buatku, pelanggan mereka yang setia. Dan karena menyediakan lele cuma untuk satu orang, mereka pun tidak beli banyak-banyak. Menurut si suami, dia beli lele ke pasar untuk persediaan tiga atau empat hari. Disimpan di kulkas, dan baru diambil kalau aku datang ke warung mereka untuk makan.”

Saya pun ingat, tadi si suami harus pergi sebentar, begitu kami datang ke warung dan memesan lele. Rupanya dia pulang ke rumah untuk mengambil lele yang disimpan di kulkas. 

Lalu teman saya berkata, “Urusan lele ini dilematis.”

Saya menyalakan udud baru, dan bertanya, “Kenapa urusan lele bisa dilematis?”

Teman saya ikut nyulut udud, mengisapnya sesaat, lalu menjelaskan panjang lebar, “Seperti yang kubilang tadi, mereka menyediakan lele cuma untukku. Memang kadang ada pembeli lain yang kebetulan tanya apakah ada lele, dan mereka dengan senang hati mengambilkannya ke rumah—itu rezeki nomplok buat mereka. Tapi sangat jarang ada, jadi satu-satunya konsumen lele di warung itu cuma aku. Sementara, mereka belanja lele ke pasar khusus buatku, dan itu sangat berisiko bagi mereka. 

“Maksudku, jika aku tidak datang, artinya tidak ada orang lain yang akan membeli lele, padahal mereka menyimpannya di kulkas, dan tentu waktu simpan sangat terbatas. Artinya, mau tidak mau, aku harus selalu datang ke warung itu, agar lele yang mereka simpan bisa laku, dan tidak keburu membusuk di kulkas. 

“Kamu pasti tidak pernah membayangkan nasib orang bisa sangat tergantung pada lele yang mereka simpan. Jika aku datang, lele itu laku terjual, dan mereka dapat untung yang tak seberapa. Jika aku tidak datang, mereka harus menghadapi kerugian. Karena itulah, aku mewajibkan diriku sendiri untuk datang ke sana, karena menyadari ketidakdatanganku bisa membuat mereka bersedih, bahkan merugi.”

Saya mengangguk-angguk, memahami maksudnya. Sambil mengisap udud, saya teringat spanduk di warung tadi. Di spanduk itu memang tidak ada keterangan bahwa warung menyediakan lele. Hanya nasi uduk dan ayam goreng/bakar. Saya lalu bertanya, “Kenapa mereka tidak bikin spanduk baru, yang menjelaskan bahwa warung mereka menyediakan lele, agar pembeli lain juga bisa memesan lele?”

“Apakah aku belum mengatakan?” sahut teman saya. “Modal mereka pas-pasan. Kompor saja, mereka terpaksa pakai kompor standar rumahan, karena tidak ada modal untuk beli kompor khusus untuk warung makan. Akibatnya tadi kita nunggu lele matang lama sekali. 

“Soal spanduk warung, aku pernah bilang ke mereka, mbok bikin spanduk baru yang menjelaskan kalau mereka juga menyediakan lele. Tapi mereka dengan jujur menyatakan tidak ada uang untuk itu—dan aku percaya. Jadi, dulu, aku pernah menawarkan untuk meminjami uang, agar mereka bisa bikin spanduk baru. Pikirku, waktu itu, kalau mereka bikin spanduk baru yang menjelaskan ada lele selain ayam bakar, siapa tahu bisa lebih menarik konsumen. Tapi...”

Teman saya terlihat ragu-ragu. Dia mengisap rokoknya, terdiam sesaat, lalu mengatakan, “Pandemi ini benar-benar terkutuk! Virus corona keparat itu tak terlihat, tapi mengisap semua yang ada di sekeliling kita—kesehatan, ekonomi, daya hidup, bahkan mungkin kemanusiaan kita.”

Saya menyela, “Soal spanduk tadi...”

“Iya,” jawab teman saya. “Jadi, aku pernah meminjami uang ke mereka, agar bisa membuat spanduk baru. Tapi namanya juga orang susah—dan aku sangat memaklumi—uang yang kupinjamkan itu ternyata mereka gunakan untuk hal lain yang menurut mereka lebih penting. Jadi, sampai sekarang mereka tidak juga bikin spanduk baru, dan sampai sekarang hanya aku satu-satunya di dunia ini yang tahu kalau warung tadi menyediakan pecel lele.”

“Dan aku. Aku juga tahu di sana ada pecel lele.”

Dia cekikikan. “Ya, dan kamu. Sialan, apa sebenarnya yang kita percakapkan?”

Sesaat kami cekikikan karena menertawakan sesuatu yang kami anggap lucu—humor internal antarkawan. 

Setelah itu, teman saya berkata, “Jadi, kamu lihat, aku seperti terikat dengan warung tadi, gara-gara lele. Mau tak mau aku harus datang ke sana, agar lele yang telah mereka beli bisa laku terjual ke konsumen. Jika aku tidak ke sana, aku merasa... uhm, merasa zalim, karena secara tak langsung telah merugikan mereka. Yang membuat semua ini sangat dilematis, bagaimana pun aku bisa bosan, dan sekarang pun sepertinya aku mulai bosan makan lele tiap malam!”

Sambil mengisap udud, saya membayangkan betapa nasib manusia bisa dijembatani, sekaligus dibelit, oleh lele. Teman saya mungkin tidak pernah mengkhayal bahwa suatu hari kelak dia harus datang, dan datang lagi, dan datang lagi, ke warung makan, gara-gara lele.

Dia lalu bertanya, “Bagaimana menurutmu?”

“Bagaimana menurutku apanya?”

“Itu, soal lele yang dilematis tadi. Kalau kamu menempati posisiku, apa yang sekiranya akan kamu lakukan, agar tidak terus menerus terjebak dalam urusan aneh ini?”

Saya bertanya, “Jadi, kamu sudah bosan makan lele, atau bagaimana?”

“Ya, sejujurnya, aku sudah bosan. Yang jadi masalah, aku tidak tahu bagaimana menghadapi masalah yang ditimbulkan.” 

Saya mengisap rokok sejenak, lalu berkata, “Tadi kamu bilang, mereka biasa belanja lele ke pasar untuk persediaan tiga atau empat hari?”

“Ya.”

“Artinya, karena konsumen lele di warung itu cuma kamu, mereka menyediakan lele untuk tiga atau empat porsi. Apakah ini benar?”

“Ya.”

“Tadi kita datang ke sana, dan makan lele, artinya dua porsi lele sudah terjual. Bisa jadi, mereka masih punya simpanan dua porsi lagi. Sekarang begini saja. Besok, kalau kamu makan lagi di sana, kamu bisa ngobrol dengan pemilik warung, dan bilang kalau kamu mungkin besok tidak akan makan lele dulu, karena ingin variasi. Dia pasti paham kamu mungkin bosan. Setelah itu, kamu bisa pikirkan langkah selanjutnya—yang penting urusan lele ini selesai. Apakah usulku terdengar... well, environmental?”

Dia manggut-manggut. “Ya... sangat environmental.”

Lalu kami cekikikan.

....
....

Saat saya menulis catatan ini, warung tadi sudah tidak pernah buka. Kata teman saya, pasangan suami istri pemiliknya memilih untuk tutup, tidak jualan lagi, "karena terus menerus sepi pembeli".

Bau

Bau-baunya seperti sejarah yang (akan) terulang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Oktober 2020.

Noffret’s Note: Tagihan Listrik

Kenaikan tagihan listrik, yang beberapa waktu terakhir dikeluhkan banyak orang, sepertinya memang tidak wajar. Angka kasusnya terlalu banyak untuk ditoleransi sebagai "kewajaran". Terlepas apa pun dalih PLN, kenaikan tagihan yang tiba-tiba melonjak ini memang sangat janggal.

Dulu, waktu yang mengeluhkan hal ini baru satu dua orang, kita bisa menganggapnya "kasuistis". Tapi makin ke sini makin banyak yang mengalami hal serupa; sama-sama kaget mendapati lonjakan tagihan listrik, padahal penggunaannya tidak terlalu berbeda dibanding sebelum-sebelumnya.

Omong-omong, bahkan Raffi Ahmad kaget mendapati tagihan listriknya bulan kemarin yang melonjak gila-gilaan (kalian bisa cek vlognya). Kalau Raffi Ahmad yang duitnya jelas banyak saja "kaget", apalagi rata-rata kita yang duitnya gak banyak-banyak amat? Kalau orang resah, ya wajar.

Ada cara cukup mudah untuk tahu sekaligus membuktikan apakah "kenaikan yang tiba-tiba" ini wajar atau tidak. Cari rumah kosong yang hanya menyalakan 1 atau 2 lampu, dan coba cek berapa tagihan listriknya. Aku agak yakin, tagihan listrik untuk rumah kosong itu juga ikut melonjak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Juni 2020.

Noffret’s Note: New Normal

Kita diminta untuk mulai menjalani New Normal. Dan apakah New Normal itu?

Tatanan hidup baru.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Mei 2020.

Dokter Reisa adalah Mbakyu

 Akhir-akhir ini aku senang mendengarkan penjelasan Jubir Covid-19. Sampai kupikir, betapa hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak mendengarkan penjelasan Jubir Covid-19.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Juni 2020.

Kamis, 01 Oktober 2020

Balada Orang-Orang Kota

Orang kota mengklaim, merekalah yang membangun peradaban. 
Tapi mereka tidak menyadari bahwa peradaban merekalah
yang menghancurkan dunia.


Iwan Fals punya lagu berjudul “Balada Orang-Orang Pedalaman”. Lagu itu sepertinya relevan dengan kondisi sekarang—di Indonesia, maupun di luar negeri. Orang-orang yang merasa beradab tampaknya selalu gatal jika menemukan orang-orang lain yang dianggap “belum tersentuh peradaban”.

Padahal, apa sebenarnya yang disebut “peradaban”? Ia hanyalah kontrak sosial yang disepakati, yang, mestinya, hanya berlaku pada orang-orang di lingkup sosial tersebut. Peradaban yang kita sepakati—sebagai kontrak sosial—belum tentu sesuai peradaban orang lain di tempat lain.

Peradaban kita menyepakati bahwa memakai baju tertutup, misalnya, sebagai bagian dari kontrak sosial untuk dianggap “pantas”. Tapi kita tidak bisa memaksakan “peradaban” semacam itu pada lingkup sosial lain yang, misalnya, menganggap koteka sebagai peradaban mereka.

Tidak usah jauh-jauh sampai ke urusan koteka, bahkan urusan WhatsApp saja bisa berbeda. Di banyak lingkup pergaulan sosial, penggunaan WhatsApp mungkin disepakati sebagai sarana komunikasi. Tapi di lingkup pergaulan saya, yang sangat terbatas, WhatsApp tidak dipakai.

Mungkin terdengar primitif, tapi saya sama sekali tidak pernah memakai WhatsApp, begitu pula lingkup pergaulan yang saya miliki. Kami berkomunikasi lewat telepon, atau SMS. Jika orang-orang lain yang “merasa lebih beradab” menganggap kami “tidak beradab” ya tidak apa-apa, itu hak mereka.

Intinya, setiap orang—dan lingkup sosial—mestinya punya hak untuk menjalani kehidupan, sebagaimana yang mereka inginkan. Selama mereka tidak mengganggu pihak lain, ya biarkan saja. Mau pakai baju atau koteka, mau pakai WhatsApp atau SMS, hormati pilihan mereka.

Tapi kebanyakan kita, Homo sapiens yang sok beradab ini, tampaknya memang tidak nyaman jika menemukan orang(-orang) lain yang kita anggap berbeda. Ada orang-orang damai tinggal di hutan, kita usik mereka. Ada orang nyaman di kesunyian, kita ganggu kehidupan mereka.

Fenomena semacam itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain. Di Kepulauan Andaman, misalnya, pemerintah India bolak-balik mengirim pasukan untuk masuk ke wilayah Sentinel Utara yang dihuni suku terasing. Alasannya, “biar mereka jadi orang-orang beradab”.

Padahal suku terasing di Sentinel Utara tidak pernah mengganggu siapa pun. Mereka menjalani kehidupannya di kesunyian hutan, dengan peradaban yang mereka bangun dan sepakati di antara komunitas sosialnya, dan hidup damai. Karena terus diusik, mereka pun akhirnya marah dan melawan.

Fenomena serupa terjadi di Amazon, Brasil. Belum lama, terjadi konflik antara suku terasing di Amazon dengan “orang-orang beradab” yang datang dari perkotaan Brasil. Pada 9 September kemarin, Rieli Franciscato, peneliti terkenal Brasil, tiba-tiba tewas tanpa diketahui siapa pembunuhnya.

Rieli Franciscato, yang mungkin percaya diri karena “tahu segala hal tentang masyarakat adat”, masuk ke wilayah terlarang Amazon. Tiba-tiba, dia terjatuh... dan tewas. Begitu saja.

Moises Kampes, yang menjadi saksi peristiwa itu, mengatakan, “Saya tidak melihat apa-apa.”

Moises Kampes membawa Rieli Franciscato ke rumah sakit terdekat, dan terungkap kalau tewasnya pria itu karena ada anak panah beracun yang menancap di dadanya. Panah beracun itu jelas dilepaskan oleh suku terasing di Amazon yang tidak ingin wilayah mereka dimasuki orang kota.

Kematian Rieli Franciscato hanyalah satu insiden dari banyak insiden lain yang terjadi sebelumnya. Orang-orang kota yang merasa beradab mencoba masuk ke pedalaman Amazon, dengan segala macam motivasi, dari ingin “memberadabkan” sampai ingin “mengenalkan agama”.

Jair Bolsonaro, yang kini jadi Presiden Brasil, memperparah masalah ini, dengan menganggap bahwa semua yang ada di wilayah Brasil—termasuk suku-suku pedalaman terasing Amazon—masuk di bawah pemerintahannya, yang artinya harus “mengikuti apa maunya”.

Karenanya, terkait keputusan Bolsonaro yang ingin “menginvasi” Amazon, Moises Kampes menyatakan, "Mereka (orang-orang suku pedalaman) melihat kita, dan berpikir bahwa kita (orang-orang kota) adalah musuh. Kita tak bisa menyalahkan mereka atas apa yang telah terjadi."

Sydney Possuelo, mantan pemimpin Funai (lembaga yang mengurusi masyarakat adat), menyatakan bahwa “kita bisa sangat berbahaya bagi orang-orang asli pedalaman, ketika berada dekat dengan mereka”.

Maksud dia, virus jinak di tubuh kita bisa menulari mereka yang belum kebal, dan bisa berdampak fatal. Dalam contoh mudah, kita telah kebal dengan virus flu, karena kekebalan tubuh kita memang telah mampu menangkalnya. Tapi orang-orang di pedalaman tidak/belum memiliki kekebalan tubuh alami semacam itu, karena memang belum pernah bersentuhan dengan flu.

“Tetapi,” lanjut Sydney Possuelo, “isu utamanya, kita tidak punya hak untuk mencampuri cara mereka hidup.”

Kita tidak punya hak untuk mencampuri cara mereka hidup. Meski mungkin terdengar remeh dan sederhana, berapa banyak dari kita yang mampu berpikir seperti itu?

Kita, Homo sapiens yang sok beradab ini, punya kecenderungan yang sangat memuakkan, yaitu merasa berhak mengatur kehidupan atau cara hidup orang-orang lain yang kita anggap berbeda dengan kita. Dari cara berpakaian, cara berinteraksi dengan orang lain, sampai cara berpikir.

Kita tidak nyaman melihat orang-orang yang kita anggap “tak beradab”, dan ingin memaksakan “peradaban” kita pada mereka. Padahal, kata Sarah Shencker dari Survival International, "Mereka (orang-orang pedalaman) penjaga alam sejati. Mereka benar-benar ahli dalam pelestarian. Ini adalah hidup mereka, dan mereka berkontribusi bagi kesejahteraan planet secara keseluruhan.”

Sementara Joenia Wapixana, satu-satunya anggota parlemen Brasil yang berasal dari masyarakat adat, menegaskan, "Suku pedalaman berhak untuk dilindungi, bukan dengan proses penjajahan gaya baru."

Peradaban kita belum tentu—dan jelas bukan—peradaban mereka. Mengapa hal sederhana ini sepertinya sulit dipahami orang-orang kota?

Setengah dari Seluruh Kemalangan

Setengah dari seluruh kemalangan dan penderitaan umat manusia akan lenyap... andai kita runtuhkan semua doktrin yang tak bertanggung jawab.

Doktrin: Manusia adalah pemimpin di muka bumi.

Fakta: Tempat terbaik di muka bumi adalah yang tak terdapat manusia.

Ironi keberadaan manusia di bumi adalah; di mana pun manusia berada, kemurnian akan lenyap. Termasuk udara. » Di Mana Lokasi yang Udaranya Paling Bersih di Bumi?

Agar tidak timbul salah paham, sepertinya aku perlu ngasih footnote.

"Khalifah fil ardh" itu arti sebenarnya bukan pemimpin, tapi pengatur/penanggung jawab. Yang jadi masalah, banyak orang suka melakukan glorifikasi, termasuk mengglorifikasi dirinya sendiri. Diserahi tanggung jawab untuk mengatur bumi, malah mendaku pemimpin.

Ini salah satu contoh doktrin yang tak bertanggung jawab—untuk tidak menyebut sesat.

Manusia senang disebut "pemimpin di muka bumi", padahal itu keliru, yang benar adalah "pengatur/penanggung jawab kehidupan bumi". Gara-gara disebut pemimpin, lalu bertingkah seenaknya sendiri.

Andai manusia didoktrin—meski aku tidak nyaman menggunakan istilah ini—bahwa mereka bertanggung jawab atas segala yang terjadi di bumi, mereka akan lebih berhati-hati. Mereka akan menempatkan diri di posisi seharusnya. Sialnya, manusia justru didoktrin sebagai "pemimpin".

Yang menjadikan manusia membabat hutan seenaknya, atau menganiaya hewan tanpa merasa bersalah, karena mereka merasa diri sebagai "pemimpin". Doktrin sesat melahirkan perilaku sesat.

Andai mereka didoktrin bahwa mereka harus "bertanggung jawab", mereka akan lebih berhati-hati.

Jika kita mencermati berita-berita di Indonesia, kita pasti akan sering mendapati para jurnalis yang menyebut pemerintah sebagai "penguasa".

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mengapa "pemerintah" bisa berubah menjadi "penguasa"? Itu dua istilah yang (seharusnya) berbeda makna.

Secara sederhana, "pemerintah" adalah pihak yang diserahi amanat dan bertanggung jawab kepada rakyat. Posisinya di bawah rakyat (ingat "kedaulatan di tangan rakyat").

Tapi "penguasa"? Artinya beda jauh. Menyebut "pemerintah" sebagai "penguasa", menempatkannya di atas rakyat.

Karenanya, aku kadang berpikir, yang menjadikan pemerintah merasa bisa sewenang-wenang kepada rakyat, karena mereka disebut penguasa. Ironisnya, glorifikasi—menyebut "pemerintah" sebagai "penguasa"—justru dilakukan orang-orang terpelajar, para jurnalis yang tulisannya kita baca.

Kenyataan semacam itu sebelas dua belas dengan berbagai doktrin dan glorifikasi yang terkait ajaran agama (yang tentunya disampaikan oleh para ustaz).

Seperti "khalifah fil ardh"—arti sebenarnya tereduksi, dan berubah menjadi glorifikasi; pemimpin di muka bumi. Oh, well.

Itu hanya salah satu contoh. Masih banyak contoh lain, yang kalau kuocehkan mungkin baru selesai tahun 8744.

Seperti doktrin-glorifikasi "manusia yang sebulan berpuasa Ramadan jadi sesuci bayi baru lahir". Itu dari mana asal usulnya? Para ustaz ngomong begitu, dan kita percaya.

Atau contoh lain yang jelas-jelas gamblang; Idul Fitri. Wong "Idul Fitri" artinya "Hari Raya Makanan" (hari raya untuk menikmati makanan setelah sebulan berpuasa). Kok bisa berubah jadi "kembali suci"?

Kita senang disebut "kembali suci", padahal itu keliru, bahkan—maaf—ngapusi.

Ocehan ini, kalau kuteruskan, bisa panjang sekali, dan akan sampai pula pada doktrin-glorifikasi yang sangat populer, "menikah akan melancarkan rezeki", atau "setiap anak memiliki rezeki sendiri".

Kita senang mendengarnya. Bukan karena itu benar, tapi karena menyenangkan kita!

Di dalam pikiranku sebagai bocah, doktrin-doktrin glorifikasi semacam itulah yang menjadi awal kerusakan bumi, sekaligus kemalangan dan penderitaan umat manusia. Karena mereka tidak lagi menjalani kehidupan dengan cahaya (al-'ilm), tapi melangkah dalam kegelapan (kebodohan).


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29-30 Juni 2020.

Berhenti Mengglorifikasi Manusia

Paus biru sebenarnya tidak makan ikan, tapi makan krill. Dan doktrinasi kenyataannya memang sering bertolak belakang dengan realitas. Karena itulah keyakinan butuh pembelajaran, sebagaimana orang buta membutuhkan tongkat.

"Jangankan manusia, bahkan burung yang tak punya akal pikiran pun sudah terjamin rezekinya."

Kata siapa?

Dari waktu ke waktu, jumlah burung terus berkurang akibat rusaknya habitat, dan rusaknya habitat menyebabkan mereka kesulitan melanjutkan hidup, termasuk kehilangan makanan.

Tidak usah paus yang besar atau burung yang bisa terbang, bahkan serangga pun saat ini sudah nyaris punah akibat "krisis pangan" karena rusaknya ekosistem, pembalakan liar, perusakan hutan, dan aneka kehancuran akibat ulah manusia.

Sudah saatnya berhenti mengglorifikasi manusia.

Apa yang akan terjadi jika manusia punah? Tidak ada apa-apa, dan Bumi menjadi tempat yang lebih baik.

Apa yang akan terjadi jika serangga punah? Yang terjadi adalah kehancuran Bumi, dan manusia akan ikut punah.

Dibanding serangga, manusia bukan apa-apa.

Serangga dan tumbuhan adalah penyusun dasar kehidupan. Karenanya, peran serangga sangat vital dalam menjaga ekosistem. » Apa yang Akan Terjadi jika Serangga Punah?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Juni 2020.

Yang Terungkap Corona

Terlepas dari dampaknya pada kesehatan dan efek destruktif yang ditimbulkannya, wabah virus corona saat ini telah melakukan sesuatu yang tak bisa dilakukan satu orang pun; mengungkap wajah dunia sebenarnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Mei 2020.

Nggak Perlu dan Nggak Ada Faedahnya

Bayangin kamu nikah dengan biaya resepsi mahal, setelah nikah kamu sadar ternyata banyak persiapan nikah yang nggak perlu dan nggak ada faedahnya. http://buff.ly/2BvNMbv@magdalene

Ya nikahnya pun sebenarnya nggak perlu dan nggak ada faedahnya—bagi sebagian orang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2020.

 
;