Nasi uduk, pecel lele yang digoreng garing, dengan sambal yang enak,
dan dimakan bersama seorang mbakyu. Apa yang lebih sempurna dari itu?
Setengah bulan lalu, saya dolan ke rumah teman, dan kami nyangkruk sampai larut malam. Sekitar pukul 21.00, teman saya mengaku lapar, begitu pun saya. Dia lalu mengajak makan nasi uduk di warung yang tak jauh dari rumahnya. Sebelumnya, saya bertanya memastikan, “Apakah nasi di sana (warung yang akan kami datangi) keras, akas?”
“Ya, nasinya akas,” dia memastikan.
Kami jalan kaki ke warung itu, dan saya mendapati warung sederhana, semi permanen, di pinggir jalan, yang juga menyediakan terpal di trotoar untuk lesehan. Spanduk di warung berisi penjelasan bahwa itu “warung nasi uduk dan ayam goreng/bakar”.
Teman saya memesan nasi uduk dan lele. Lalu kami duduk di tempat lesehan menunggu pesanan. Penjual warung, sepasang suami istri, sepertinya sudah akrab dengan teman saya.
“Dua porsi, Mas?” tanya wanita penjual warung.
“Ya, dua porsi,” jawab teman saya.
Lalu suami wanita tadi pergi, naik motor, sementara si wanita menyalakan kompor. Sesaat kemudian, si suami kembali muncul, dengan membawa buntalan, lalu lele mulai digoreng di wajan. Setelah itu, saya harus sabar menunggu sampai lama.
Sebelumnya, saya sudah sering makan lele—biasanya pecel lele ala Lamongan—dan urusan menggoreng lele relatif cepat, meski saya memesan garing. Tapi kali ini waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng lele sepertinya tiga kali lipat lebih lama dibanding durasi menggoreng lele di warung Lamongan.
“Lama sekali,” bisik saya pada teman.
“Kompornya,” dia berbisik, menjawab.
Ketika saya perhatikan, warung itu rupanya memakai kompor standar—kompor yang biasa dipakai rumah tangga—bukan kompor khusus bertekanan tinggi seperti yang digunakan warung makan. Akibatnya, kami harus benar-benar sabar menunggu. Untung saja tidak perlu antre, karena di sana cuma ada kami berdua, tidak ada pembeli lain.
Akhirnya pesanan kami datang juga; nasi uduk dengan pecel lele plus sambal dan lalap. Enak? Biasa-biasa saja. Yang jelas kami menikmati makan malam itu, namanya juga orang lapar. Lalu menghabiskan teh hangat di gelas, dan nyulut udud.
Saat kami melangkah pulang, teman saya bertanya, “Menurutmu, bagaimana makanan tadi?”
“Quo vadis,” jawab saya sambil nyengir. Maksudnya, enak ya tidak, tidak enak juga tidak. Biasa saja.
Dia ikut nyengir. “Aku sudah khawatir kamu akan bilang tidak enak.”
Saya jadi kaget. “Kalau kamu sudah mengira aku bakal bilang tidak enak, kenapa malah ngajak makan ke sana?”
“Ceritanya panjang.”
Kami duduk di teras rumah teman saya, sambil udud.
Warung makan tadi, menurut cerita teman saya, belum lama ada di sana. Pasangan suami istri yang punya warung itu sebelumnya tinggal di Jakarta. Si suami bekerja sebagai sopir. Ketika pandemi corona mengobrak-abrik Jakarta, mereka terkena dampak, kehilangan pekerjaan, dan memutuskan pulang (si istri adalah tetangga beda kampung teman saya).
Untuk menyambung hidup, mereka lalu membuka warung nasi uduk. Karena nyaris semua trotoar sudah terisi banyak pedagang lain, mereka dapat tempat yang tidak strategis, sehingga—menurut teman saya—dagangan mereka kurang laku. Hal itu masih diperparah dengan ketiadaan modal, salah satunya untuk membeli kompor bertekanan tinggi, yang memungkinkan masakan cepat matang. Akibatnya, pembeli yang datang ke sana bisa jadi kapok karena tak sabar menunggu.
“Waktu mereka awal buka warung, aku tertarik,” ujar teman saya. “Di sini jarang ada warung nasi uduk. Jadi, aku pun makan ke sana.”
Belakangan, teman saya mengaku, dia rutin makan ke warung itu semata-mata untuk membantu “melariskan”, karena pembeli di sana sangat minim. Hampir tiap makan di sana, tidak ada pembeli lain selain dirinya.
Karena setiap malam datang ke sana, teman saya pun akrab dengan si penjual—apalagi istri pemilik warung memang tetangganya. Tiap kali teman saya datang, si suami juga akan menemani ngobrol, sambil menunggu lele digoreng. Dari obrolan tiap malam itulah, teman saya jadi tahu mereka korban pandemi yang terpaksa hengkang dari perantauan, dan menyambung hidup di kampung halaman.
“Omong-omong soal lele,” kata teman saya, “mereka sebelumnya tidak menyediakan lele. Cuma ayam bakar dan lauk-pauk ala nasi uduk—telur, dan semacamnya. Karena bosan makan itu-itu terus, aku usul agar mereka juga sedia lele. Jadi, mereka pun lalu mengusahakan ada lele, khusus buatku, pelanggan mereka yang setia. Dan karena menyediakan lele cuma untuk satu orang, mereka pun tidak beli banyak-banyak. Menurut si suami, dia beli lele ke pasar untuk persediaan tiga atau empat hari. Disimpan di kulkas, dan baru diambil kalau aku datang ke warung mereka untuk makan.”
Saya pun ingat, tadi si suami harus pergi sebentar, begitu kami datang ke warung dan memesan lele. Rupanya dia pulang ke rumah untuk mengambil lele yang disimpan di kulkas.
Lalu teman saya berkata, “Urusan lele ini dilematis.”
Saya menyalakan udud baru, dan bertanya, “Kenapa urusan lele bisa dilematis?”
Teman saya ikut nyulut udud, mengisapnya sesaat, lalu menjelaskan panjang lebar, “Seperti yang kubilang tadi, mereka menyediakan lele cuma untukku. Memang kadang ada pembeli lain yang kebetulan tanya apakah ada lele, dan mereka dengan senang hati mengambilkannya ke rumah—itu rezeki nomplok buat mereka. Tapi sangat jarang ada, jadi satu-satunya konsumen lele di warung itu cuma aku. Sementara, mereka belanja lele ke pasar khusus buatku, dan itu sangat berisiko bagi mereka.
“Maksudku, jika aku tidak datang, artinya tidak ada orang lain yang akan membeli lele, padahal mereka menyimpannya di kulkas, dan tentu waktu simpan sangat terbatas. Artinya, mau tidak mau, aku harus selalu datang ke warung itu, agar lele yang mereka simpan bisa laku, dan tidak keburu membusuk di kulkas.
“Kamu pasti tidak pernah membayangkan nasib orang bisa sangat tergantung pada lele yang mereka simpan. Jika aku datang, lele itu laku terjual, dan mereka dapat untung yang tak seberapa. Jika aku tidak datang, mereka harus menghadapi kerugian. Karena itulah, aku mewajibkan diriku sendiri untuk datang ke sana, karena menyadari ketidakdatanganku bisa membuat mereka bersedih, bahkan merugi.”
Saya mengangguk-angguk, memahami maksudnya. Sambil mengisap udud, saya teringat spanduk di warung tadi. Di spanduk itu memang tidak ada keterangan bahwa warung menyediakan lele. Hanya nasi uduk dan ayam goreng/bakar. Saya lalu bertanya, “Kenapa mereka tidak bikin spanduk baru, yang menjelaskan bahwa warung mereka menyediakan lele, agar pembeli lain juga bisa memesan lele?”
“Apakah aku belum mengatakan?” sahut teman saya. “Modal mereka pas-pasan. Kompor saja, mereka terpaksa pakai kompor standar rumahan, karena tidak ada modal untuk beli kompor khusus untuk warung makan. Akibatnya tadi kita nunggu lele matang lama sekali.
“Soal spanduk warung, aku pernah bilang ke mereka, mbok bikin spanduk baru yang menjelaskan kalau mereka juga menyediakan lele. Tapi mereka dengan jujur menyatakan tidak ada uang untuk itu—dan aku percaya. Jadi, dulu, aku pernah menawarkan untuk meminjami uang, agar mereka bisa bikin spanduk baru. Pikirku, waktu itu, kalau mereka bikin spanduk baru yang menjelaskan ada lele selain ayam bakar, siapa tahu bisa lebih menarik konsumen. Tapi...”
Teman saya terlihat ragu-ragu. Dia mengisap rokoknya, terdiam sesaat, lalu mengatakan, “Pandemi ini benar-benar terkutuk! Virus corona keparat itu tak terlihat, tapi mengisap semua yang ada di sekeliling kita—kesehatan, ekonomi, daya hidup, bahkan mungkin kemanusiaan kita.”
Saya menyela, “Soal spanduk tadi...”
“Iya,” jawab teman saya. “Jadi, aku pernah meminjami uang ke mereka, agar bisa membuat spanduk baru. Tapi namanya juga orang susah—dan aku sangat memaklumi—uang yang kupinjamkan itu ternyata mereka gunakan untuk hal lain yang menurut mereka lebih penting. Jadi, sampai sekarang mereka tidak juga bikin spanduk baru, dan sampai sekarang hanya aku satu-satunya di dunia ini yang tahu kalau warung tadi menyediakan pecel lele.”
“Dan aku. Aku juga tahu di sana ada pecel lele.”
Dia cekikikan. “Ya, dan kamu. Sialan, apa sebenarnya yang kita percakapkan?”
Sesaat kami cekikikan karena menertawakan sesuatu yang kami anggap lucu—humor internal antarkawan.
Setelah itu, teman saya berkata, “Jadi, kamu lihat, aku seperti terikat dengan warung tadi, gara-gara lele. Mau tak mau aku harus datang ke sana, agar lele yang telah mereka beli bisa laku terjual ke konsumen. Jika aku tidak ke sana, aku merasa... uhm, merasa zalim, karena secara tak langsung telah merugikan mereka. Yang membuat semua ini sangat dilematis, bagaimana pun aku bisa bosan, dan sekarang pun sepertinya aku mulai bosan makan lele tiap malam!”
Sambil mengisap udud, saya membayangkan betapa nasib manusia bisa dijembatani, sekaligus dibelit, oleh lele. Teman saya mungkin tidak pernah mengkhayal bahwa suatu hari kelak dia harus datang, dan datang lagi, dan datang lagi, ke warung makan, gara-gara lele.
Dia lalu bertanya, “Bagaimana menurutmu?”
“Bagaimana menurutku apanya?”
“Itu, soal lele yang dilematis tadi. Kalau kamu menempati posisiku, apa yang sekiranya akan kamu lakukan, agar tidak terus menerus terjebak dalam urusan aneh ini?”
Saya bertanya, “Jadi, kamu sudah bosan makan lele, atau bagaimana?”
“Ya, sejujurnya, aku sudah bosan. Yang jadi masalah, aku tidak tahu bagaimana menghadapi masalah yang ditimbulkan.”
Saya mengisap rokok sejenak, lalu berkata, “Tadi kamu bilang, mereka biasa belanja lele ke pasar untuk persediaan tiga atau empat hari?”
“Ya.”
“Artinya, karena konsumen lele di warung itu cuma kamu, mereka menyediakan lele untuk tiga atau empat porsi. Apakah ini benar?”
“Ya.”
“Tadi kita datang ke sana, dan makan lele, artinya dua porsi lele sudah terjual. Bisa jadi, mereka masih punya simpanan dua porsi lagi. Sekarang begini saja. Besok, kalau kamu makan lagi di sana, kamu bisa ngobrol dengan pemilik warung, dan bilang kalau kamu mungkin besok tidak akan makan lele dulu, karena ingin variasi. Dia pasti paham kamu mungkin bosan. Setelah itu, kamu bisa pikirkan langkah selanjutnya—yang penting urusan lele ini selesai. Apakah usulku terdengar... well, environmental?”
Dia manggut-manggut. “Ya... sangat environmental.”
Lalu kami cekikikan.
....
....
Saat saya menulis catatan ini, warung tadi sudah tidak pernah buka. Kata teman saya, pasangan suami istri pemiliknya memilih untuk tutup, tidak jualan lagi, "karena terus menerus sepi pembeli".