Kamis, 01 Oktober 2020

Balada Orang-Orang Kota

Orang kota mengklaim, merekalah yang membangun peradaban. 
Tapi mereka tidak menyadari bahwa peradaban merekalah
yang menghancurkan dunia.


Iwan Fals punya lagu berjudul “Balada Orang-Orang Pedalaman”. Lagu itu sepertinya relevan dengan kondisi sekarang—di Indonesia, maupun di luar negeri. Orang-orang yang merasa beradab tampaknya selalu gatal jika menemukan orang-orang lain yang dianggap “belum tersentuh peradaban”.

Padahal, apa sebenarnya yang disebut “peradaban”? Ia hanyalah kontrak sosial yang disepakati, yang, mestinya, hanya berlaku pada orang-orang di lingkup sosial tersebut. Peradaban yang kita sepakati—sebagai kontrak sosial—belum tentu sesuai peradaban orang lain di tempat lain.

Peradaban kita menyepakati bahwa memakai baju tertutup, misalnya, sebagai bagian dari kontrak sosial untuk dianggap “pantas”. Tapi kita tidak bisa memaksakan “peradaban” semacam itu pada lingkup sosial lain yang, misalnya, menganggap koteka sebagai peradaban mereka.

Tidak usah jauh-jauh sampai ke urusan koteka, bahkan urusan WhatsApp saja bisa berbeda. Di banyak lingkup pergaulan sosial, penggunaan WhatsApp mungkin disepakati sebagai sarana komunikasi. Tapi di lingkup pergaulan saya, yang sangat terbatas, WhatsApp tidak dipakai.

Mungkin terdengar primitif, tapi saya sama sekali tidak pernah memakai WhatsApp, begitu pula lingkup pergaulan yang saya miliki. Kami berkomunikasi lewat telepon, atau SMS. Jika orang-orang lain yang “merasa lebih beradab” menganggap kami “tidak beradab” ya tidak apa-apa, itu hak mereka.

Intinya, setiap orang—dan lingkup sosial—mestinya punya hak untuk menjalani kehidupan, sebagaimana yang mereka inginkan. Selama mereka tidak mengganggu pihak lain, ya biarkan saja. Mau pakai baju atau koteka, mau pakai WhatsApp atau SMS, hormati pilihan mereka.

Tapi kebanyakan kita, Homo sapiens yang sok beradab ini, tampaknya memang tidak nyaman jika menemukan orang(-orang) lain yang kita anggap berbeda. Ada orang-orang damai tinggal di hutan, kita usik mereka. Ada orang nyaman di kesunyian, kita ganggu kehidupan mereka.

Fenomena semacam itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain. Di Kepulauan Andaman, misalnya, pemerintah India bolak-balik mengirim pasukan untuk masuk ke wilayah Sentinel Utara yang dihuni suku terasing. Alasannya, “biar mereka jadi orang-orang beradab”.

Padahal suku terasing di Sentinel Utara tidak pernah mengganggu siapa pun. Mereka menjalani kehidupannya di kesunyian hutan, dengan peradaban yang mereka bangun dan sepakati di antara komunitas sosialnya, dan hidup damai. Karena terus diusik, mereka pun akhirnya marah dan melawan.

Fenomena serupa terjadi di Amazon, Brasil. Belum lama, terjadi konflik antara suku terasing di Amazon dengan “orang-orang beradab” yang datang dari perkotaan Brasil. Pada 9 September kemarin, Rieli Franciscato, peneliti terkenal Brasil, tiba-tiba tewas tanpa diketahui siapa pembunuhnya.

Rieli Franciscato, yang mungkin percaya diri karena “tahu segala hal tentang masyarakat adat”, masuk ke wilayah terlarang Amazon. Tiba-tiba, dia terjatuh... dan tewas. Begitu saja.

Moises Kampes, yang menjadi saksi peristiwa itu, mengatakan, “Saya tidak melihat apa-apa.”

Moises Kampes membawa Rieli Franciscato ke rumah sakit terdekat, dan terungkap kalau tewasnya pria itu karena ada anak panah beracun yang menancap di dadanya. Panah beracun itu jelas dilepaskan oleh suku terasing di Amazon yang tidak ingin wilayah mereka dimasuki orang kota.

Kematian Rieli Franciscato hanyalah satu insiden dari banyak insiden lain yang terjadi sebelumnya. Orang-orang kota yang merasa beradab mencoba masuk ke pedalaman Amazon, dengan segala macam motivasi, dari ingin “memberadabkan” sampai ingin “mengenalkan agama”.

Jair Bolsonaro, yang kini jadi Presiden Brasil, memperparah masalah ini, dengan menganggap bahwa semua yang ada di wilayah Brasil—termasuk suku-suku pedalaman terasing Amazon—masuk di bawah pemerintahannya, yang artinya harus “mengikuti apa maunya”.

Karenanya, terkait keputusan Bolsonaro yang ingin “menginvasi” Amazon, Moises Kampes menyatakan, "Mereka (orang-orang suku pedalaman) melihat kita, dan berpikir bahwa kita (orang-orang kota) adalah musuh. Kita tak bisa menyalahkan mereka atas apa yang telah terjadi."

Sydney Possuelo, mantan pemimpin Funai (lembaga yang mengurusi masyarakat adat), menyatakan bahwa “kita bisa sangat berbahaya bagi orang-orang asli pedalaman, ketika berada dekat dengan mereka”.

Maksud dia, virus jinak di tubuh kita bisa menulari mereka yang belum kebal, dan bisa berdampak fatal. Dalam contoh mudah, kita telah kebal dengan virus flu, karena kekebalan tubuh kita memang telah mampu menangkalnya. Tapi orang-orang di pedalaman tidak/belum memiliki kekebalan tubuh alami semacam itu, karena memang belum pernah bersentuhan dengan flu.

“Tetapi,” lanjut Sydney Possuelo, “isu utamanya, kita tidak punya hak untuk mencampuri cara mereka hidup.”

Kita tidak punya hak untuk mencampuri cara mereka hidup. Meski mungkin terdengar remeh dan sederhana, berapa banyak dari kita yang mampu berpikir seperti itu?

Kita, Homo sapiens yang sok beradab ini, punya kecenderungan yang sangat memuakkan, yaitu merasa berhak mengatur kehidupan atau cara hidup orang-orang lain yang kita anggap berbeda dengan kita. Dari cara berpakaian, cara berinteraksi dengan orang lain, sampai cara berpikir.

Kita tidak nyaman melihat orang-orang yang kita anggap “tak beradab”, dan ingin memaksakan “peradaban” kita pada mereka. Padahal, kata Sarah Shencker dari Survival International, "Mereka (orang-orang pedalaman) penjaga alam sejati. Mereka benar-benar ahli dalam pelestarian. Ini adalah hidup mereka, dan mereka berkontribusi bagi kesejahteraan planet secara keseluruhan.”

Sementara Joenia Wapixana, satu-satunya anggota parlemen Brasil yang berasal dari masyarakat adat, menegaskan, "Suku pedalaman berhak untuk dilindungi, bukan dengan proses penjajahan gaya baru."

Peradaban kita belum tentu—dan jelas bukan—peradaban mereka. Mengapa hal sederhana ini sepertinya sulit dipahami orang-orang kota?

 
;